Cinta yang Terkurung
Keesokan paginya, dunia seakan bersekongkol untuk merampas sisa kebebasan Karin.
Satu unggahan media saja sudah cukup untuk mengguncang hidupnya.Foto itu ia berdiri di samping Alexandre Von Reinhardt, cincin berkilau di jarinya telah menyebar ke seluruh dunia. Di layar ponselnya, berita-berita bertebaran, menjerit lebih keras daripada detak jantungnya sendiri:
“Pewaris Von Group Resmi Bertunangan dengan Putri Alverez Corp!”
“Dua Dinasti Bisnis Terkuat Siap Bersatu!”“Perjanjian atau Cinta?”Karin ingin muntah. Ia bahkan belum bisa bernapas lega sejak malam kemarin. Bagaimana semuanya bisa berubah begitu cepat? Apa arti pertunangan ini? Aliansi bisnis? Strategi bertahan? Atau sekadar bentuk manipulasi paling elegan dari seorang pria tanpa hati?
Pintu ruangannya tiba-tiba terbuka tanpa ketukan. Dan tentu saja, hanya ada satu orang yang cukup angkuh untuk melakukan itu.
Alex.
“Pagi yang cerah untuk calon istriku,” ucapnya santai, lalu menjatuhkan diri ke sofa tanpa diminta.
Karin menutup ponsel dengan gerakan kasar dan menatapnya tajam. “Apa kau tidak tahu arti kata privasi, Von Reinhardt?”
Alex menyandarkan tubuh, menyilangkan kaki, dan tersenyum tipis. “Sejak cincin itu melingkar di jarimu, kata privasi kehilangan maknanya.”
Karin berdiri, mencoba menjaga sikap meskipun emosinya mendidih. “Aku tidak peduli apa yang media tulis. Semua ini kebohongan, dan kita tahu itu.”
Alex bangkit, melangkah pelan seperti predator yang sengaja mempermainkan jarak dengan mangsanya. Tatapannya menghujam, membuat Karin nyaris tak berani bernapas.
“Sayangnya, dunia lebih tertarik pada ilusi ketimbang kebenaran. Dan kita sedang memainkan peran dalam panggung besar, Karin.”
Ia berhenti hanya beberapa inci darinya. Suaranya merendah, penuh kuasa.
“Kau tidak perlu mencintaiku. Kau hanya perlu terlihat seperti melakukannya.”Karin mendesis, “Kau pikir aku boneka? Aku bukan wanita yang bisa bertingkah manis di depan kamera lalu menangis diam-diam di balik layar. Aku tidak semurah itu.”
Alex mengangkat dagunya, tatapannya tak bergeser. “Justru karena kau bukan wanita murah, maka kau dipilih. Oleh keluargaku. Dan… diam-diam, juga olehku.”
Karin tertawa sinis. “Kau tidak pernah memilihku, Alex. Kau selalu memilih kekuasaan.”
Alih-alih membalas, Alex menyentuh rambutnya dengan ringan. Sentuhan itu membuat Karin menegang. Itu bukan kelembutan seorang tunangan. Itu adalah tanda kepemilikan.
“Besok malam, konferensi pers di Von Group. Kau akan hadir sebagai tunanganku. Gunakan gaun apa pun yang kau suka. Tapi tolong… jangan lupakan senyuman.”
Sebelum Karin sempat berkata apa pun, Alex berbalik dan keluar, meninggalkan wangi kayu dan mint yang entah mengapa melekat lebih lama di indranya daripada yang ia mau.
Keesokan malamnya, aula konferensi Von Group dipenuhi wartawan dan kamera. Panggung megah disiapkan, banner besar bertuliskan “Von Group x Alverez Corp: The Future Begins” menjulang di belakang podium.
Karin berdiri di balik panggung dengan gaun merah maroon berpotongan ramping. Wajahnya dipoles sempurna, tapi dadanya diguncang badai yang tak terlihat.
Alex muncul dari samping, menatapnya singkat. “Kau terlihat… mengagumkan.”
Karin melirik dingin. “Aku di sini bukan untuk memuaskan matamu.”
Alex menyentuh ujung jarinya. “Bukan. Tapi untuk menyenangkan mata dunia.”
Lampu panggung menyala. Mereka berjalan berdampingan menuju podium. Kamera menyorot, kilatan cahaya menyilaukan. Alex menggenggam tangannya, mengangkatnya tinggi, memperlihatkan cincin berlian di jari manisnya. Riuh tepuk tangan memenuhi aula.
Karin memasang senyum tipis, wajah sempurna dalam bidikan kamera. Namun jauh di balik senyuman itu, hatinya berteriak.
Karena ia tahu, mulai malam itu, hidupnya bukan lagi miliknya sendiri. Ia sedang berdansa di atas panggung bersama pria yang bisa menghancurkan keluarganya sekali lagi atau mungkin, menghancurkan dirinya sepenuhnya.
Nama Tanpa WarisanKeesokan paginya, Arvina diguyur hujan tipis. Jalanan basah, dan awan menggantung rendah, seperti mencerminkan beban yang baru saja mereka pilih untuk pikul.Alex duduk di meja makan apartemen, membaca laporan bisnis dari tablet—bukan laporan milik Von Group, tapi milik perusahaan kecil yang diam-diam ia mulai rintis sejak dua tahun lalu: Ares Collective. Sebuah startup teknologi strategis yang ia bangun tanpa sepengetahuan ayahnya, sebagai bentuk pemberontakan sunyi.Karin berjalan ke arahnya, mengenakan kemeja longgar milik Alex. Rambutnya masih basah setelah mandi, dan wajahnya tampak lebih tenang dari hari-hari sebelumnya.“Kau masih yakin soal ini?” tanyanya sambil menuang kopi untuk mereka berdua.Alex menutup tabletnya dan menatapnya lembut. “Aku tidak akan mundur sekarang. Kita sudah bicara soal ini berbulan-bulan. Sekarang saatnya menjalani.”Karin mengangguk, tapi hatinya masih terasa berat. Ia tahu, keluar dari nama besar Von bukan hanya tentang menolak w
Kebenaran di Jantung ArvinaTiga hari yang tenang di Desa Aurale telah berakhir. Kini, mereka kembali—bukan ke rumah, tapi ke medan perang bernama Arvina.Langit kota itu seperti biasa: kelabu, seolah tahu badai tak selalu datang dalam bentuk hujan. Di kejauhan, siluet gedung-gedung pencakar langit berbaris di balik kabut tipis. Kilauan lampu kendaraan dan papan reklame digital menari di antara bayangan, menegaskan bahwa kota ini tak pernah benar-benar tidur.Arvina… tempat segalanya dimulai. Dan hari ini, tempat semuanya akan diuji.Karin menatap keluar jendela mobil hitam yang membawa mereka menuju markas Von Group di distrik keuangan Nordheim. Tangan Alex menggenggam tangannya diam-diam di pangkuan mereka—erat, seolah hanya itu yang bisa menenangkan gelombang di dada masing-masing.“Kamu yakin mau hadapi ini langsung?” tanya Karin pelan.Alex mengangguk tanpa menoleh. “Kalau aku terus menunda, aku akan kehilangan satu-satunya hal yang penting.”Gedung Von Group Tower menjulang ting
Jeda yang Membawa DekatKeesokan paginya, vila kecil itu diselimuti kabut tipis. Suara burung dan angin bersahut pelan, menciptakan harmoni alam yang lembut. Tapi keheningan itu tak mampu menyaingi suara napas Alex dan Karin yang tidur berdampingan untuk pertama kalinya tanpa batasan kontrak, tanpa kebohongan yang menggantung di antara mereka.Karin membuka mata perlahan. Cahaya matahari menerobos tirai kayu, menyentuh wajah Alex yang tertidur di sebelahnya. Ada ketenangan yang baru ia lihat pagi ini—bukan karena semuanya telah sempurna, tapi karena mereka tak lagi saling berpura-pura.Ia menatap wajah itu lama. Wajah yang dulu ia sangka arogan, terlalu dingin, terlalu penuh perhitungan. Tapi pagi ini, semua topeng itu runtuh. Yang tersisa hanya Alex—pria yang membuatnya marah, menangis, ragu... tapi juga jatuh cinta.Tanpa sadar, jari-jarinya menyentuh alis Alex pelan. Alex menggeliat, lalu membuka mata, menatapnya dalam diam.“Kamu bangun lebih dulu,” gumamnya.Karin mengangguk pela
Luka yang Membawa PulangTiga hari telah berlalu sejak Karin menemukan dokumen itu. Dokumen yang membuka tabir perjodohan mereka jauh sebelum ia diberi pilihan. Hatinya masih bergejolak. Setiap kali mengingat bahwa Alex ternyata sudah menyetujui semuanya sebelum ia ikut berjuang menolak, kemarahan dan rasa sakitnya bercampur menjadi satu.Ia tahu satu hal: ia tidak bisa tetap berada di apartemen itu. Tidak sekarang. Tidak sebelum ia menenangkan pikirannya sendiri.Maka pagi itu, Karin meninggalkan apartemen dengan tas kecil di bahunya. Ia tidak menjawab pesan, tidak mengangkat telepon, bahkan keluar dari grup internal proyek gabungan mereka. Tujuannya sederhana: mencari tempat yang sunyi, jauh dari dunia yang penuh pengawasan dan intrik bisnis, tempat di mana ia bisa menenangkan pikirannya tanpa terganggu oleh tatapan atau kata-kata Alex.Pilihan itu membawanya ke sebuah vila kecil milik keluarganya di pinggiran Desa Aurale. Tidak ada sinyal kuat, hanya suara angin yang menyapu pepoho
Dia yang KembaliHari itu berjalan biasa, hingga sebuah nama dari masa lalu kembali menggema di lobi utama Von Group: Althea Renata.Model internasional, mantan kekasih Alex, wanita yang dulu nyaris menjadi calon istri resmi Von Reinhardt sebelum semua rencana berantakan tiga tahun lalu.Karin hanya tahu sedikit tentang Althea. Berita lama menyebut mereka sebagai pasangan “paling sempurna” di mata public tinggi semampai, cantik, cerdas, dan selevel dengan Alex dalam ambisi serta kekuasaan. Sekarang, dia muncul kembali. Tiba-tiba. Dengan gaun merah menyala dan senyum yang terlalu tenang, menembus setiap sudut kantor seolah menuntut perhatian.Saat Karin keluar dari lift lantai 28 untuk menghadiri rapat dewan, pandangannya langsung tertuju padanya. Althea berdiri di koridor, berbicara akrab dengan Alex, tertawa pelan, lengan mereka hampir bersentuhan dengan nyaman. Hatinya mencubit. Bukan karena cemburu, tapi karena ada sesuatu dalam cara Althea menyentuh Alex terlalu lama, terlalu fami
Jejak Lama di Balik CincinDua hari setelah siaran langsung Alex, keheningan yang biasanya menenangkan kota Arvina terasa berbeda bagi Karin. Publik, seperti biasanya, cepat lupa. Media beralih ke isu baru, dan sentimen terhadapnya pun perlahan berubah positif. Banyak yang menyebut keberanian Alex sebagai “pembelaan cinta sejati”, sementara Karin mulai dipandang sebagai wanita yang pantas berdiri di sisinya.Namun bagi Karin, badai sesungguhnya baru dimulai.Hari itu, ia diundang makan siang pribadi oleh ayahnya di rumah keluarga Alverez sebuah rumah klasik di kawasan tua Arvina, penuh marmer dan kenangan. Setiap sudut rumah itu menyimpan cerita lama, dan aroma kayu tua bercampur bunga segar membuat Karin merasa seperti kembali ke masa-masa ketika hidupnya masih sederhana, sebelum tekanan bisnis dan perjanjian keluarga menyelimuti segalanya.Di ruang makan, hanya ada mereka berdua. Ayahnya menyajikan hidangan hangat dengan gerakan yang terlihat santai, tapi matanya memancarkan ketegan