Share

Dicerai Karena Gendut
Dicerai Karena Gendut
Author: Ariesa Yudistira

Kupaksa istriku diet

"Astaga, Dicki! Lihat itu istrimu, sudah kayak kerbau! Suruh diet dong!"

Mukaku seketika memerah mendengar ucapan Mama. Kulihat wajah Ningsih, istriku, juga memerah dan langsung menunduk malu. Dia akhirnya memilih sedikit mundur dari sisiku sambil menggendong Vian, putra kami yang masih berusia sembilan bulan.

Memang sejak melahirkan putra pertama kami, badan istriku sudah tak lagi langsing seperti dulu. Semakin hari dia semakin terlihat berisi, dan akhirnya melar tak terkendali. Wajahnya juga dipenuhi dengan jerawat, tak mulus seperti dulu lagi.

"Lihat itu kakakmu, sudah punya dua anak tapi masih seperti gadis," ucap Mama lagi, sambil menunjuk ke arah Mbak Mei, Kakak perempuanku.

Mbak Mei melirik sinis ke arah Ningsih, lalu menatap ke arahku.

"Sebagai istri seorang pengusaha, harusnya bisa menjaga penampilan. Biar gak malu-maluin di acara penting seperti ini," ucap Mbak Mei, membuatku semakin malu saja.

"Benar itu, Dicky. Apa kata orang kalau melihat penampilan istrimu seperti itu?" timpal Mama lagi.

Aku membuang napas, sambil menatap Nining dengan perasaan kesal. Benar juga, gamis panjang mahal yang dikenakan istriku tidak bisa menutupi bentuk tubuhnya yang bulat. Sepertinya ucapan Mama dan Kakakku mulai mempengaruhiku. Aku jadi jijik melihat ke arahnya.

Hari ini adalah hari ulang tahun Mama. Akan banyak tamu dari kalangan pengusaha yang datang. Apa yang akan mereka katakan ketika melihat istriku nanti? Pikirku gelisah.

"Aku ke dapur saja, Mas," ucap Ningsih tiba-tiba, seperti tahu apa yang aku pikirkan.

Dia menatap ke arahku dengan netra yang berkaca, mungkin mengharap pembelaan dariku. Tapi lagi-lagi, perasaan malu mampu mengalahkan rasa ibaku padanya.

"Maafkan Mas, Ning." Akhirnya hanya itu yang bisa kuucapkan, berharap dia bisa mengerti.

Ningsih mengangguk, lalu berjalan menuju arah dapur sambil menunduk, dengan Vian masih berada dalam gendongannya. Aku masih memperhatikannya hingga dia menghilang di balik tembok ruang belakang. Entah kenapa hatiku merasa lega saat dia sudah tidak tampak lagi.

Beberapa saat kemudian, para tamu undangan mulai berdatangan. Akupun ikut sibuk menyambut mereka, karena ada beberapa yang aku kenal dan merupakan rekan bisnis keluarga kami.

"Dicky! Sini!"

Aku menoleh ketika mendengar Mama memanggilku. Aku berjalan mendekat ke arah Mama, dan pandanganku langsung jatuh pada sosok wanita yang berdiri di samping Mama.

Aku langsung terpesona ketika pertama kali melihat wanita cantik dengan pakaian sedikit terbuka itu. Apalagi ketika dia mengulurkan tangan, mengajakku berjabat tangan. Aku menyambutnya dengan sedikit terpana.

"Kenalkan, ini Nella, putri dari sahabat Mama," ucap Mama. "Dia ini sedang mencari rekan bisnis, siapa tahu kalian cocok."

Nella tersenyum manis sambil menyebutkan namanya, begitupun denganku. Saat itu, tak sengaja aku melihat Ningsih mengintipku dari balik pintu belakang, dengan pandangan yang sulit diartikan. Ah, masa bodoh. Toh aku tidak berbuat yang macam-macam.

.

.

.

"Kok kamu makan nasi lagi sih, Dek? Kan Mas sudah bilang, jangan makan karbo!"

Pagi-pagi aku sudah dibuat kesal karena Ningsih sarapan dengan seporsi besar nasi. Padahal sudah hampir dua Minggu ini aku menyuruhnya untuk berhenti makan nasi, agar tubuhnya bisa kembali seperti dulu lagi. Ningsih menghentikan makannya, lalu menatapku dengan pandangan nelangsa.

"Tapi ... aku kan masih menyusui, Mas," jawabnya membela diri.

"Air susu banyak dihasilkan oleh buah dan sayur, Ningsih. Kamu itu cuma mencari alasan saja!" bentakku kesal.

"Tapi, Mas ...."

Sudah, gak usah tapi-tapi! Kamu itu memang tidak tahu cara menyenangkan suami!"

Ningsih seketika menunduk dalam. Dia pasti menangis lagi. Aku jadi semakin kesal saja dibuatnya. Tanpa mempedulikannya lagi aku meninggalkannya begitu saja dan memilih berangkat kerja. Di tengah perjalanan gawaiku berbunyi, pesan masuk dari aplikasi hijau.

[ Kebetulan ada proyek yang ingin aku bicarakan. Bisa mampir untuk sarapan? ]

Aku tersenyum melihat pesan yang masuk dari Nella. Rasa kesalku pada Ningsih seketika hilang. Nella memang wanita yang sempurna. Bukan hanya cantik secara fisik, tapi dia juga wanita karir yang sukses. Diam-diam aku menyesal kenapa tidak bertemu dengannya sejak dulu, sebelum aku bertemu dengan Nining.

Setelah membicarakan bisnis bersama dengan Nella, malam itu kami juga berjanji makan malam bersama sepulang dari kantor. Bersama Nella, rasanya hidupku serasa berwarna lagi. Kami banyak sekali kecocokan.

Saat asik berbincang dengan Nella, gawaiku berulang kali berdering. Telepon masuk dari Ningsih. Dengan kesal aku langsung mematikan gawaiku.

"Siapa, Mas? Kok dimatikan?" tanya Nella.

"Ah, bukan hal yang penting," jawabku.

Karena terlalu asik bersama Nella, aku tak sadar pulang sangat terlambat. Sesampainya di rumah, aku heran karena rumah dalam keadaan gelap. Beberapa saat kemudian, Bibi tetangga datang sambil menggendong Vian.

"Loh, kok Vian bisa sama Bibik? Memang Ningsih ke mana?" tanyaku heran.

Wanita paruh baya itu mengulurkan Vian padaku, lalu memberi penjelasan.

"Tadi Neng Ningsih pingsan di teras rumah. Para tetangga sini sudah mencoba menghubungi Den Dicky, tapi tidak diangkat. Jadi kami membawa Neng Ningsih ke rumah sakit. Kondisinya kritis, Den."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status