Thanks udah baca gaess. Andini butuh dukungan… bukan cuma dari sahabatnya, tapi juga dari kalian he... Like & komen ya, biar dia nggak curhat ke kipas angin lagi. 😌
Pintu IGD terbuka, dan dari luar terlihat Dr. Gilang berdiri di ambang pintu, kedua tangannya menyilang di dada. “Dia pasienku juga, Dipta. Aku harus tahu kondisinya.” Suaranya datar, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang sulit dibaca.Dipta menoleh sekilas, wajahnya tetap dingin. “Kamu bisa baca hasil lab nanti. Sekarang, keluar.” Nada tegas itu membuat perawat yang sedang mencatat data pasien menelan ludah gugup.Tunggu. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa ke dua dokter itu terlihat bersaing dalam menolong dokter KOAS yang pingsan itu. Bisik-bisik pun mulai menyebar seperti bola panas yang bergerak liar.Gilang menghela napas, mengendalikan emosinya, melangkah masuk beberapa langkah. “Aku cuma mau memastikan dia baik-baik saja. Nggak perlu segitunya.” Dipta berdiri di sisi ranjang, tubuhnya seperti dinding pelindung. “Aku bilang keluar, Gilang.” Tatapan mereka bertemu dengan sorot yang tajam, seolah saling menantang. Udara di ruangan itu terasa lebih padat dari biasanya. Naura
Hujan baru saja reda. Jalanan basah berkilau memantulkan lampu jalan. Naura duduk di kursi penumpang, mengamati tetesan air yang masih menetes di kaca mobil dr. Gilang.“Makanya aku tawarin tumpangan, Naura. Taksi nggak bakal gampang lewat sore mana hujan,” kata Gilang sambil menyalakan pemanas.Naura tersenyum tipis. “Makasih, Dok.”Ia ragu sejenak, lalu bertanya santai, “Tadi… abis ngapain di mall?”Gilang menghela napas pelan. “Beli buku… sama nyari hadiah buat keponakan. Harusnya istriku ikut, tapi ya, dia sibuk.”Nada “sibuk” itu terdengar lebih berat daripada kata biasa.Naura melirik sekilas. “Lagi banyak operasi, ya?”Diam sejenak, lalu Gilang tersenyum miris. “Operasi, seminar, konferensi, semua diambil. Kayak… hidupnya cuma buat karier.” Tangannya mengetuk setir pelan. “Kadang aku pikir… kalau menikah itu harusnya saling isi, bukan saling tinggal.”Naura menunduk. Ia tidak nyaman mengomentari urusan pribadi, tapi tetap berusaha sopan menanggapi. “Mungkin dia cuma lagi kejar
Andini, Dewa dan Naura, mereka bertiga berjalan menuju eskalator. Dewa menggandeng tangan Andini erat, seolah takut istrinya terseret arus para gadun, eh, para pengunjung mall. Sementara itu Naura berjalan di belakang sambil meremas ujung jilbabnya. Sebuah kebiasaan kalau sedang canggung sembari mengunyah permen kapas yang entah siapa yang beliin. Sadar diri, kali ini menjelma menjadi ngengat di antara sepasang suami istri itu.“Aku beneran nggak nyangka, loh, Pak Dewa bisa langsung nyamber ke food court gitu,” ucap Naura, berusaha terdengar santai tapi ujung bibirnya menahan senyum. Dewa menoleh sedikit, wajahnya masih datar. “Refleks. Aku pikir ada yang perlu diamankan.” Naura menahan tawa. “Diamankan dari apa? Dari dokter ganteng? Oh, berarti bener dong… eh—” ia buru-buru menutup mulutnya, merasa terlalu blak-blakan.Andini menepuk lengannya. “Nana, tolong… jangan kompor-komporin. Kebiasaan deh kompor beledug,” “Tapi kan…” Naura menunduk, suaranya mengecil, “seru, Din. Tadi tuh
Naura baru saja menyuap potongan ayam saat seseorang mendekat ke meja mereka. “Permisi, mbak, boleh gabung? Meja penuh semua.”Naura langsung menegang. Tapi yang muncul ternyata hanya salah satu perawat IGD yang mereka kenal, Pak Wisnu. Seketika senyum tersungging di wajahnya. “Oh iya, silakan, Pak,” sambut Andini ramah.Naura ikut mengangguk, mencoba rileks lagi. Mereka ngobrol sebentar tentang shift jaga semalam, sambil sesekali tertawa kecil. “Eh, Bapak duluan ya. Soalnya istri Bapak telepon. Lain kali kita ngobrol lagi ya KOAS Naura dan Nona Andini.”Pak Wisnu tersenyum ramah pada Naura dan Andini.Untuk beberapa saat Naura menghela nafas panjang. Pun, Andini melihat raut wajah sahabatnya yang berubah-ubah mirip bunglon.Suasana kembali normal… sampai Naura mendengar suara berat yang terlalu familiar.Langkah sepatu sneaker. Nada bicara datar. Suara itu seperti hawa dingin yang tiba-tiba menurunkan suhu mall lima derajat. “Mario, kamu yakin mau di sini? Oh, ada meja kosong di—
“Astagfirullah, kamu ini, sabun mandi aja bisa lupa beli,” komentar Naura sambil meletakkan dua botol sabun ke dalam troli. Ia menggelengkan kepalanya ribut.Andini tersenyum kecut. “Makanya aku ajak kamu. Otakku lagi berantakan, Nana. Tapi hidup harus terus berjalan.”Cengkraman tangan Andini di trolly lebih kuat. Naura melirik sahabatnya yang tampak kelelahan. Meski senyum masih tergambar, tapi matanya tidak bisa bohong. Andini masih belum menerima perlakuan keluarga Dewa terhadapnya. Ia tidak mengeluh. Ia lebih memilih mengalihkan perasaan itu.“Duh, Din… kamu tuh butuh liburan, bukan belanja bulanan.” Tak henti-hentinya, Naura menggoda Andini. Bahkan demi menemani sahabatnya berbelanja, ia membolos dari RS dengan alasan yang dibuat-buat.“Kalau aku liburan, nanti yang nyuci piring siapa?” balas Andini, mencoba bercanda.Naura terkekeh, lalu merangkul lengan sahabatnya. “Kalau kamu tinggal nyuci air mata aja, biar aku yang urus belanjaan.”Andini tertawa kecil. Setidaknya Naura se
Dipta segera menekan tombol interkom, tiga kali. Tidak ada suara balasan, hanya statis hampa. Ia beralih ke tombol darurat, bunyi nyaring menggema, menusuk, tapi tetap tak membangkitkan respons.Naura berdiri diam di sebelahnya, menggigit bibir bawahnya. Ia mulai dilanda gelisah. Sesaat ia hanya memandangi angka lantai yang membeku di panel digital.Satu menit. Dua menit. Tiga menit berlalu.Dengan gerakan pasrah, ia menghela napas panjang lalu perlahan duduk di lantai lift, menyandarkan punggung ke dinding. Roknya ia rapikan dulu sebelum akhirnya bersandar. Dipta melirik. Keningnya mengernyit. “Kamu ngapain?”Naura menengadah, tenang. “Ya duduk. Masa