Pagi berlalu dengan atmosfer tegang di kantor Ashraf. Beberapa karyawan yang mengetahui perubahan posisi Ayu hanya bisa saling bertukar pandang, membicarakannya dalam bisik-bisik di balik meja kerja. Mereka tak menyangka Ayu, yang sebelumnya menjabat sebagai kepala divisi pemasaran, kini duduk tepat di depan ruangan Ashraf sebagai sekretaris pribadi.Namun, Ayu bersikap profesional. Ia membuka laptop, mencatat agenda rapat Ashraf hari itu, dan mulai membaca kembali beberapa dokumen penting yang diberikan oleh Arnold. Tak ada senyum, tak ada gumaman—hanya keseriusan yang terpancar dari wajahnya.Di dalam ruangan, Ashraf sesekali mencuri pandang ke arah Ayu dari balik kaca ruangan yang sedikit terbuka. Ada rasa bersalah yang sulit dihapuskan dari hatinya. Ia tahu Ayu merasa dipaksa, tapi ini satu-satunya cara untuk membuat istrinya tetap berada dalam jangkauannya.Ashraf menekan interkom.“Bisa masuk sebentar?”Ayu mengangguk dan berdiri, masuk ke dalam ruang kerja Ashraf.“Ya, ada yang
Keesokan harinya, Ayu mulai bersiap-siap untuk berangkat kerja. Namun, pagi ini tidak sesemangat biasanya. Pagi ini Ayu dengan malas bersiap-siap. Kalian sudah tahu alasannya. Ya, alasannya karena ia harus menjadi sekretaris pribadi suaminya. Ceklek!Pintu kamar mandi terbuka, membuat Ayu menatap ke arah cermin besar di depannya dan melihat keberadaan Ashraf yang baru saja keluar dari dalam sana. Begitu pula dengan Ashraf, ia menatap Ayu yang tengah bersiap-siap. Tatapan mereka berdua bertemu, membuat Ayu dan Ashraf saling tatap untuk beberapa saat sampai akhirnya Ayu memalingkan wajahnya, mengambil anting-anting dan memakainya. Ashraf hendak mendekat ke arah Ayu, tapi terhenti ketika ia mendengar suara pintu kamarnya dan Ayu diketuk. Tok ... Tok ... Tok ... "Ada apa?" tanya Ashraf ketika pintu mobil terbuka dan melihat dara di sekitar gedung kantor Ashraf terasa berbeda bagi Ayu. Tidak seperti biasanya, kali ini ia melangkah dengan hati yang berat menuju kantor sang suami. Mesk
Ayu menghentikan mobilnya ketika sudah sampai di perusahaan papanya. Ia memarkirkan mobil di basement tempat biasa ia memarkirkan mobilnya. Dengan waspada Ayu keluar dari mobil, melihat ke sekeliling takut jika di sana sudah ada dua bodyguard yang ditugaskan Ashar. Namun, ia bisa bernapas lega ketika tidak ada tanda-tanda dari kedua bodyguard itu. Ayu masuk ke lobby. Sesekali ia tersenyum dan membalas sapaan dari beberapa karyawan papanya. "Selamat pagi, Bu Ayu.""Pagi," jawab Ayu sembari tersenyum ramah. Di sisi lain, Nathan yang sedang berbicara dengan rekan kerjanya menoleh saat mendengar suara Ayu. Ia tersenyum ketika melihat wajah Ayu yang mengukir senyum ramah pada setiap orang. Dengan segera, ia berpamitan pada rekan kerjanya dan berjalan menyusul Ayu yang sudah berdiri di depan pintu lift yang masih tertutup. "Selamat pagi, Ayu." Sapaan dari arah belakang membuat Ayu yang sedang menunggu pintu lift terbuka menoleh dan melihat Nathan yang sedang berjalan ke arahnya dengan s
Ayu berhasil sampai ke pintu darurat yang mengarah ke parkiran basement. Napasnya nyaris habis, keringat membasahi pelipisnya. Dengan panik, ia menoleh ke kanan dan kiri, mencari celah untuk kabur. Matanya menangkap sebuah pintu keluar kecil di sisi kiri.“Semoga saja…” gumamnya sambil berlari ke arah pintu itu.Tangannya gemetar saat menarik handle pintu. Namun sebelum sempat membukanya sepenuhnya, sebuah tangan besar menarik lengannya dengan keras, membuat tubuhnya terhentak ke belakang.“Aaah!” jerit Ayu, tubuhnya berbalik paksa dan menabrak dada bidang seseorang yang begitu familiar.Ashraf.Napasnya memburu, rahang mengeras, dan matanya penuh amarah yang berusaha ia kendalikan. Wajahnya begitu dekat dengan Ayu hingga ia bisa merasakan hembusan napasnya.“Kenapa lari, Ayu?!” suaranya berat, tertahan, namun jelas dipenuhi emosi.“Aku… aku harus pulang!” Ayu mencoba meronta, menarik lengannya yang digenggam kuat. “Lepaskan, Ashraf!”Namun genggamannya semakin kuat. Dengan satu gerak
Ashraf berdiri di depan jendela ruang kerjanya, kedua tangannya bertumpu di tepi meja dengan napas memburu. Tatapannya kosong menembus kaca, namun pikirannya bergejolak. Telepon dari pengawal barusan membuat amarahnya memuncak.“Bagaimana bisa kalian kehilangan dia?!” bentaknya, suara rendah namun menggetarkan.“Tuan... kami—”“Diam!” Ashraf memutus sambungan telepon tanpa memberi kesempatan untuk menjelaskan. Ponselnya nyaris hancur di genggaman karena cengkeramannya yang terlalu kuat.Ia berjalan mondar-mandir, mencoba menahan diri agar tidak meledak. Namun semakin ia berusaha, semakin panas dadanya. Bayangan Ayu yang sengaja menghindar membuatnya tak bisa tenang.“Ayu...” gumamnya, rahangnya mengeras. “Kamu pikir kamu bisa lari dariku begitu saja?”Tanpa pikir panjang, Ashraf meraih kunci mobil di atas meja, jaket hitamnya ia sangkutkan di bahu, lalu melangkah cepat keluar ruangan. Para staf yang berpapasan dengannya hanya bisa menunduk, merasakan aura tegang yang memancar dari tub
Ayu menoleh cepat ke arah sumber suara. Langkahnya terhenti ketika mendapati Ashraf berdiri tegap di belakangnya, mengenakan setelan kerja rapi dengan ekspresi wajah yang dingin namun jelas penuh emosi yang tertahan."Aku yang memerintahkan mereka untuk menghadang kamu," ulang Ashraf, suaranya berat dan tegas.Ayu mengepalkan tangan, matanya memancarkan kemarahan. "Kamu kenapa lagi-lagi mau ngatur aku, sih?" suaranya bergetar menahan emosi.Ashraf melangkah mendekat, sorot matanya tak lepas dari Ayu. "Aku sudah bilang, kamu nggak bisa pergi begitu saja Ayu.""Apa maksud kamu, Ashraf?!" Ayu hampir membentak. "Aku ini mau kerja, bukan mau melakukan hal yang enggak-enggak. Kenapa harus sampai ditahan begini?!"Ashraf menghela napas kasar, mencoba menahan amarah yang sejak tadi menguasai pikirannya. Ia teringat beberapa menit sebelumnya, di dalam kamar. Setelah Ayu pergi dengan keras kepala, ia mencoba menghubungi Arnold berulang kali. Tidak ada jawaban—hanya suara operator yang membuatny