Aku tersadar ketika menjelang pagi. Kutatap sekeliling, aku sudah terbaring di atas ranjang dengan tubuh tertutup selimut. Teringat semalam, aku pingsan begitu saja saat baru saja akan keluar dari lift. Sepertinya Bang Raka yang membawaku ke dalam kamar.Bang Irsyad terlihat masih pulas tertidur di sisiku. Sementara Bang Raka, tidak terlihat, sepertinya dia tidur di kamarnya.Perlahan aku turun dari ranjang, kemudian melangkah menuju kamar mandi. Mengambil air wudu untuk melaksanakan salat subuh dua rakaat. Karena sepertinya waktu subuh sudah masuk.Saat keluar dari kamar mandi, Bang Irsyad sudah terbangun. Dia masih duduk di tepi ranjang."Gimana keadaan kamu sekarang, Nay?" Raut wajahnya menggambarkan kecemasan. "Abang semalaman khawatir banget sama kamu.""Sudah baikan, Bang. Mungkin cuma kecapean atau masuk angin. Soalnya kan semalam lihat pemandangan puncak dari atas hotel. Anginnya kenceng banget." Aku berusaha meyakinkan Bang Irsyad agar ia tak khawatir."Syukurlah kalau begitu
Aku sedikit terkejut dengan penawaran Bang Raka. Meskipun dari dulu kami memang dekat, tapi aku belum pernah pergi berdua saja dengannya. Apa aku nunggu Bang Irsyad saja sampai urusannya selesai? Tapi seminggu itu terlalu lama. Aku bosan di rumah sendirian, meskipun ada Mbok Rum. Kalau di kampung, aku bisa ikut ibu atau bapak ke kebun atau ke sawah."Gimana, Nay?" tanya Bang Irsyad."Gimana apanya?" jawabku pura-pura tak mengerti."Itu tawaran Raka buat nganterin kamu," tutur Bang Irsyad.Aku menatap Bang Raka, "Emang Abang ga sibuk ya? Nanti ngerepotin," ujarku."Enggak, kan pekerjaan bisa dihandle Irsyad," jawab Bang Raka sambil tersenyum ke arah Bang Irsyad.Ya, usaha cuci mobil yang dikelola Bang Irsyad memang sebagian besar modal dari Bang Raka. Makanya Bang Irsyad lebih giat mengontrol dan mengawasi usahanya itu.Di kampung, Bang Raka memang berasal dari keluarga yang berada. Orang tuanya memiliki lahan persawahan yang luas. Belum lagi toko bahan bangunan. Berbeda dengan keluar
Aku memang berniat akan bicara jujur sama ibu dan bapak. Tapi bukan sekarang. Aku ingin mencari waktu yang tepat untuk memberi tahu kepada dua orang yang begitu menyayangiku itu. Apalagi sekarang aku cape banget. Hampir empat jam diperjalanan membuatku tubuhku terasa pegal-pegal."Nay, ditanya kok malah ngelamun." Ibu menepuk pundakku pelan."Maaf, Bu. Naya ga fokus." Aku pura-pura lupa pada pertanyaan Ibu. "Fahri gimana kabarnya?" Ibu mengulangi pertanyaannya."Mas Fahri ... Mas Fahri baik kok, Bu. Sehat," jawabku sambil berusaha sedikit tersenyum pada ibu. "Oh ya, Bu. Naya punya kabar gembira buat Ibu sama Bapak. Naya sedang hamil, Bu," tuturku antusias."Beneran, Nay?" tanya Ibu."Iya, Bu." Aku mengangguk meyakinkan."Masya Alloh Alhamdulillah .... Sebentar lagi Ibu akan punya cucu." Ibu mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Matanya terlihat berkaca-kaca."Selamat ya, Nay." Ibu menggenggam tanganku."Selamat juga buat Ibu." "Kamu mau makan sekarang, Nay?""Enggak, Bu. Tadi di j
"Apa yang kamu katakan, Nay?" tanya Bapak sekali lagi."Iya, Pak. Mas Fahri sudah mempunyai istri. Namanya Khoirunnisa. Mereka sudah menikah selama empat tahun. Tapi karena Nisa nggak bisa punya anak, makanya Mas Fahri menikahiku," tuturku pada Bapak panjang lebar.Sementara Ibu terus mengelus punggungku. Namun kelopak matanya sudah menyimpan genangan air yang siap tumpah. Tangan Bapak terlihat mengepal kuat. Sementara tatapan matanya menyiratkan kemarahan dan kekecewaan. Ya, ini pasti menyakitkan. Bukan hanya untukku, tapi juga kedua orang tuaku. Kali ini Ibu berdiri, menghampiri bapak yang masih mematung dengan sorot mata memerah dan rahang mengeras. "Sabar, Pak. Tenang. Nanti jantungnya kumat lagi," ucap Ibu menenangkan. Lalu ibu menuntun Bapak agar kembali duduk di sofa.Ibu menyerahkan segelas air yang sudah tersedia di meja. Bapak meneguknya sampai habis. Sekarang, emosi bapak terlihat mulai mereda.Ibu kembali duduk di sampingku. "Coba ceritakan semuanya pada Ibu sama Bapak,
Dering alarm dari gawaiku berdering nyaring. Membuatku yang sedang tidur nyenyak langsung bangun seketika. Meraba-raba mencari letak gawai di atas nakas. Namun tidak kutemukan. Aku baru teringat kalau semalam aku tertidur sambil memeluk gawai. Ternyata gawaiku terbungkus selimut yang semalam kupakai. Langsung saja kumatikan alarm itu.Aku bangun, lalu duduk di ranjang untuk mengumpulkan kesadaranku. Mengangkat kedua tangan, merenggangkan otot-otot yang terasa lebih segar setelah bangun tidur.Tiba-tiba aku teringat pesan terakhir semalam dari Bang Raka, membuat bibirku tanpa sadar menyunggingkan senyum. Ah, kenapa aku jadi seperti ini. Tidak mungkin aku jatuh hati pada lelaki yang sudah kuanggap kakakku itu. Apa karena aku sedang patah hati, lalu Bang Raka selalu ada dengan perhatian dan kasih sayangnya. Membuat hatiku menjadi nyaman. Atau hanya sekedar pelarian dari rasa sakit yang sedang kualami? Entahlah. Yang pasti sekarang statusku masih istri Mas Fahri selama palu hakim belum
Sepulang dari sawah aku jadi lebih banyak diam. Teringat semua perubahan sikap Bang Raka padaku. Tatapannya bukan lagi tatapan seorang kakak pada adiknya, seperti hubungan yang terjalin di antara kami selama ini. Tak ada kecanggungan, tak ada kekakuan. Dan aku, merindukan sikapnya yang dulu. Yang selalu ceria, selalu mengganggu dan menggodaku dengan sikap jahilnya.Lebih dari sepuluh tahun aku mengenalnya. Saat aku masih sering bermain masak-masakan dengan rambut yang dikuncir dua dengan pita merah atau biru. Sedangkan dia sudah mengenakan seragam putih abu-abu. Aku teringat dulu saat dia sering main ke rumahku bersama Bang Irsyad. Terkadang dia membawa ciki, permen, coklat bahkan es krim untukku. Sebagai seorang anak kecil, tentu aku sangat senang dengan pemberiannya itu. Bahkan itu berlangsung sampai aku dewasa.Saking seringnya kami bertemu, kami menjadi sangat akrab. Namun keakraban kami merenggang saat Bang Raka dan Bang Irsyad memutuskan melanjutkan kuliah di Jakarta. Dan kami
Mas Fahri yang dari tadi hanya berdiri mematung, kini menghampiri bapak yang tergolek di lantai. Kepala bapak ada di pangkuan ibu. Pun aku ada di samping ibu."Kita bawa bapak ke rumah sakit," ujar Mas Fahri sambil berjongkok."Semua ini gara-gara kamu, Mas," bentakku sambil menatap tajam ke arahnya. "Maafkan aku, Nay. Tapi ini bukan waktunya untuk berdebat. Ayo bantu aku angkat bapak ke mobil. Sebentar-sebentar, aku buka dulu pintu mobilnya, biar nanti bapak langsung dimasukkan." Mas Fahri berlari menuju halaman rumah. Sesaat kemudian sudah kembali lagi.Karena tubuh bapak lumayan berat, aku, ibu dan Mas Fahri mengangkatnya bersama-sama. Setelah sampai di halaman, bapak langsung dimasukkan ke dalam mobil. Pun aku dan ibu ikut masuk ke dalam mobil. Ibu duduk di belakang menemani bapak. Sementara aku duduk di depan di sebelah Mas Fahri. Tubuhku rasanya gemetar, air mata terus bercucuran takut sesuatu yang buruk terjadi pada bapak. Ibu pun tak henti-hentinya menangis sambil bergumam,
Suara isakan mulai terdengar dari bibir Bang Irsyad. Dengan jelas aku bisa mendengar betapa hancurnya hati Bang Irsyad menerima kabar duka dariku."Apa yang terjadi sama bapak, Nay?" tanya Bang Irsyad sambil menangis."Penyakit jantung bapak kambuh, Bang."Ya, bapak meninggal karena penyakit jantung. Tapi itu semua disebabkan Mas Fahri. Aku hanya bisa mengucapkannya dalam hati. Tak ingin Bang Irsyad tahu yang sebenarnya terjadi."Abang pulang sekarang. Tunggu Abang ya, Nay. Abang ingin ikut memandikan bapak untuk terakhir kalinya. Abang masih ingin melihat wajah bapak." Bang Irsyad menangis tergugu."Iya, Bang. Tadi Naya sudah nelpon Bang Raka, dia sedang di jalan mau ke rumah Abang. Bang Irsyad ga boleh nyetir dalam kondisi seperti ini. Biarkan Bang Raka yang menyetir. Hati-hati di jalan ya, Bang. Naya tutup dulu."Sambungan pun terputus. Kumasukkan kembali gawai ke saku piyama. Mas Fahri belum juga kembali dari tempat administrasi. "Bapak, Nay. Bapak ....." Ibu yang dari tadi diam