“Maksud kamu, Evan?”Nayla menatap suaminya dengan rasa tak percaya.“Jangan bilang, kalau kamu juga mencurigai minuman ini?”Nayla mengangkat cangkir teh itu, menunjukkannya pada Evan.Evan menghela napas berat, menatap mata Nayla lekat-lekat.“Aku sama sekali tidak mencurigai tehnya, Nayla. Tapi aku curiga pada orang yang membuatnya!” Nada bicara Evan menjadi lebih tegas penuh penekanan. “Apa kamu lupa, kalau Rasti itu masuk dalam orang-orang yang kita curigai?”Nayla terdiam, mencerna kata-kata Evan. Dadanya sedikit sesak dan naik turun. Sulit baginya membayangkan sesuatu yang butuh di saat-saat bahagia seperti sekarang ini.“I–iya, Evan. Tapi tetap saja, ini hanya teh herbal!” bantah Nayla, mencoba menepis segala prasangka buruk.“Sayang ….” Evan menyentuh pipi Nayla, membelainya dengan lembut, hingga kedua mata mereka saling bertemu. “Aku tahu itu hanya teh. Untuk itu, kita perlu uji tes dulu tehnya, supaya kita bisa yakin kalau itu aman, ya.”Nayla menghela napas pasrah. Tangann
“Iya, Bi. Lusa, aku dan Evan akan pergi.”“Do’ain, ya. Semoga kami berdua segera mendapatkan keturunan.”Nayla begitu antusias dan bersemangat. Hingga dia tidak sadar, siapa yang sebenarnya dia ajak bicara itu. Mendengar itu, Rasti menyunggingkan senyumannya dengan terpaksa, kemudian menganganggukkan kepalanya.“Tentu, Nyonya.”“Baiklah, kalau begitu, bibi akan buatkan teh herbal untuk Nyonya, ya.”Nayla mengangguk, mengiyakan. Lalu, tanpa menunggu lama, Rasti langsung pergi ke dapur untuk membuatkan teh herbal tersebut. Dan Nayla pergi ke ruangan khususnya. Karena semenjak Nayla menjadi CEO, Evan menyiapkan ruangan khusus untuknya sendiri sebagai tempat bekerja kalau sedang berada di rumah.“Hmm … sebaiknya aku mengecek laporan hotel dulu, memastikan semuanya berjalan lancar, sebelum pergi berbulan madu dengan Evan.” Nayla bergumam sendiri di sela-sela langkah kakinya. Dia lalu mengulum senyuman, dengan pipinya yang tiba-tiba merona, tersipu malu. “Aku jadi tidak sabar menunggu lusa.
“Baiklah. Kalau begitu, kami berdua akan sering menjenguk Ibu. Kami akan memastikan kalau Ibu baik-baik saja di sini.”Evan berkata lembut, mencoba mencairkan suasana. Namun, keheningan terasa menyelimuti ruangan sesaat setelah Evan mengatakan hal itu.Nasyila tersenyum lemah, tangannya masih menggenggam tangan Nayla. Lalu menatap Evan dengan penuh haru sambil mengangguk pelan.“Terima kasih, Nak Evan. Terima kasih banyak,” ucap Nasyila.Setelah beberapa saat berbincang, Nayla dan Evan pamit pulang. Di perjalanan pulang, suasana di dalam mobil terasa berat. Nayla bersandar di bahu Evan, merasakan letih di pikiran juga fisiknya.“Aku merasa tidak berdaya, Evan. Aku tetap nggak bisa tenang, kalau membiarkan ibu tetap bersama mereka,” bisik Nayla.Evan mengusap lembut rambut Nayla. “Aku tahu, Sayang. Tapi kita harus menghormati keputusan Ibu. Kita tidak bisa memaksanya.”Nayla mengangguk pasrah, kepalanya semakin membenam ke dada Evan. Merasakan hangat dan nyaman bersandar di dada bidang
“Tentu saja aku akan membuktikannya!”Nayla menatap tajam ke arah Adelia yang mengerutkan dahinya, sementara Marissa berdiri di depannya dengan senyum sini. Namun, Nayla dengan dada yang sedikit membusung, mengangkat dagunya, menampakkan tekad yang membara menerima tantangan Adelia.Evan masih setia di samping Nayla, bahunya tegap tapi kedua tangannya terkepal erat, mencoba mengontrol emosinya.“Kalau begitu buktikan!” Adelia melangkah maju, ikut membusungkan dadanya, mencoba menekan Nayla dengan tantangannya.Namun, Nayla tidak gentar sedikitpun. Sebaliknya, memperlihatkan bahwa tekanan itu malah membuatnya semakin menunjukkan kemampuan dirinya.Sebelum Nayla sempat membalas kata-kata Adelia, Evan maju selangkah, lalu menyelak dengan tegas.“Tidak perlu kamu suruh juga, dia pasti akan membuktikannya!”Sorot mata tajam Evan mengunci Adelia dari balik kacamata hitamnya.Nayla menghembuskan napas dalam-dalam. “Benar! Nggak perlu kamu suruh juga pasti aku buktikan!” Nayla ikut menambah
“Hm! Memangnya kenapa? Aku kan juga putrinya.”Nada suara Adelia terdengar dingin tapi penuh kepastian, matanya menatap tajam ke arah Nayla yang berdiri membeku di depannya bersama Evan. “Memangnya salah, kalau aku ingin menggantikan posisi ayahku sendiri, saat kamu, putrinya yang lain tidak mampu?” lanjut Adelia dengan enteng, seolah berkata sesuatu yang sudah jelas dan tak terbantahkan.Nayla mematung, dadanya berdebar tak menentu. Wajahnya yang biasa tenang kini berubah menjadi campuran antara kesal yang sulit ditahan. Dia menundukkan kepala sebentar, mencoba menahan amarah yang mulai membara.Di samping Adelia, Marissa melangkah maju dengan langkah mantap. Senyum sinis terlukis di bibirnya, sorot matanya tajam dan penuh kemenangan. “Iya, benar yang dikatakan Adelia,” ucap Marissa dengan nada congkak, seolah ingin menegaskan dominasi mereka di hadapan Nayla dan Evan. “Dia juga kan putri di rumah ini,” tambah Marissa lagi, menegaskan status Adelia sebagai bagian dari keluarga, me
“Jadi, selama ini kamu berpura-pura buta?”Nayla tertegun menatap Evan dengan rasa tak percaya, matanya yang mulai berkaca-kaca dan penuh amarah sekaligus kekecewaan. Tapi amarahnya mulai mereda, diganti oleh kebingungan yang mendalam. Dia menatap Evan semakin dalam, mencoba mencerna kata-kata yang baru saja didengarnya. Tidak buta? Semua ini adalah sebuah kebohongan?Evan mengangguk, matanya menatap Nayla dengan penuh penyesalan. “Aku melakukannya untuk memastikan kebusukan anggota keluargaku sendiri, Nayla. Aku harus tahu, apakah mereka benar-benar keluargaku, atau hanya lintah yang ingin menghisap darahku sampai habis.”“Keluargamu?” Nayla mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”Evan menarik napas dalam, mencoba merangkai kata-kata untuk menjelaskan semuanya. “Iya, keluargaku sendiri. Aku banyak kecurigaan terhadap keluargaku sendiri, terutama paman. Semenjak kematian Ibu dan ayahku, dia selalu ingin menguasai perusahaan. Dia melakukan banyak hal yang tidak benar secara diam-diam, te