LOGIN
"Dua hari lagi menuju hari pernikahan kita. Aku merasa gugup jadinya. Kamu bagaimana?"
Sebuah pesan masuk ke ponsel seorang laki-laki bernama Xavier. Pesan masuk tersebut langsung di buka dan di baca. Namun, bukan Xavier yang membaca pesan tersebut. Tetapi seorang wanita yang kini sedang bersamanya. "Kekasihmu sangat tidak sabar menunggu hari pernikahan kalian tiba." Wanita tersebut berbicara pada Xavier, yang kini duduk di sampingnya. Mereka kini sedang berada di dalam sebuah kamar hotel, menghabiskan waktu bersama. Pakaian mereka yang berserakan di atas lantai menjelaskan kegiatan apa yang sudah mereka lakukan sebelumnya. "Dia memutuskan semuanya sendirian. Padahal sudah kukatakan aku belum siap menikah. Dia membuatku terpaksa menerima semua ini." Xavier, pria itu berucap dengan nada datar. Matanya terpejam, hingga dia tak bisa melihat kalau wanita di sampingnya tersenyum puas dan bangga. "Jadi, bagaimana? Kamu harus mengambil tindakan secepatnya untuk membatalkan pernikahan. Jika tidak, maka aku yang akan pergi mengacau ke sana nanti," ujar wanita tersebut. Xavier terdiam, masih dengan mata yang terpejam. "Lagi pula, ibumu juga tidak setuju dengan hubunganmu bersama Savira kan?" Wanita tersebut kembali bersuara. Xavier lalu membuka matanya dan menghela nafas dengan pelan. "Kamu tak perlu repot-repot pergi ke sana untuk mengacau, Syila." Xavier berucap. Dia kemudian menoleh, dan menatap wanita bernama Syila tersebut. "Kita akan pergi bersama, dengan syarat jangan meminta status pernikahan padaku. Kamu sanggup?" Xavier melontarkan sebuah pertanyaan. Tanpa pikir panjang, Syila menganggukkan kepala. Bagi dia, tak masalah tak ada ikatan resmi bernama pernikahan. Yang penting dia selalu bersama dengan Xavier, laki-laki yang sudah dia cintai sejak lama. *** Savira Angeline Wijaya, seorang perempuan berusia 22 tahun yang bekerja sebagai resepsionis. Dia memiliki seorang kekasih bernama Xavier, dan hubungan mereka sudah berjalan dua tahun lamanya. Karena merasa sudah cukup saling mengenal, akhirnya Savira mengajak Xavier untuk segera menikah. Savira sangat bahagia bisa segera menikah dengan Xavier, karena berpikir tak lama lagi dia bebas bepergian dengan pria yang dia cintai tersebut. Savira berasal dari keluarga yang ketat tentang peraturan, hingga dia sulit mencari waktu untuk sekedar berduaan dengan Xavier. Ayah dan kakak lelakinya sangat sulit memberikan izin saat Savira ingin pergi kencan bersama Xavier. Karena itulah Savira sangat antusias dengan pernikahannya sendiri. Dia merasa, kebebasan sebentar lagi akan dia dapatkan. Persiapan pernikahan sudah dilakukan sejak jauh-jauh hari. Semua persiapan sudah hampir selesai, tinggal menunggu harinya saja. Savira selalu merasa gugup saat membayangkan dia dan Xavier akan segera menikah. Dia juga merasa bahagia karena statusnya dengan Xavier tak lama lagi sah menjadi suami istri. Dan Savira kadang merasa malu saat dengan tak sengaja benaknya bertanya tentang apa yang akan terjadi di malam pertama mereka nanti. "Aish. Kenapa aku jadi berpikiran mesum sih?" Savira bergumam pada dirinya sendiri. Dia kemudian tersenyum malu-malu karena isi pikirannya sendiri. "Xavier kemana ya? Dari pagi gak ada kabar." Savira mengambil ponselnya dan mengirimkan pesan pada Xavier. Kening Savira berkerut, saat pesan yang dia kirim pada Xavier hanya centang satu saja. Kemudian Savira berusaha menghubunginya, namun ternyata nomor Xavier tidak aktif. "Apa semalam dia begadang dan sekarang masih tidur?" Savira terus saja bertanya pada dirinya sendiri. Kemudian dia melihat ke arah jam di ponselnya. Hari sudah menjelang sore, dan seharusnya Xavier sudah bangun siang tadi kalaupun semalam memang begadang. "Mungkin dia memang masih tidur," gumam Savira. Dia lalu mengetik beberapa pesan lagi dan mengirimkannya pada Xavier, dengan keyakinan Xavier yang akan membaca dan membalas pesannya jika sudah bangun dari tidurnya nanti. *** Jam menunjukkan pukul sembilan malam, dan Savira merasa khawatir sekarang karena Xavier tak ada kabar sejak pagi tadi. Beberapa kali Savira mengirimkan pesan, namun semuanya centang satu. Bahkan saat berusaha dihubungi pun nomor Xavier tetap tidak aktif. Savira jelas panik dan khawatir, takut terjadi sesuatu pada Xavier. Dia sudah berusaha menghubungi calon ibu mertuanya, namun tetap tak ada jawaban. "Bagaimana, Vir? Sudah ada jawaban dari keluarganya belum?" Nathan, kakak laki-laki Savira bertanya seraya berjalan mendekat. "Belum, Kak. Aku sudah kirim pesan pada Tante Wanda, namun beliau belum menjawab." Savira memberikan jawaban. Nathan menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan saat mendengar itu. Dia jelas ikut panik dan khawatir saat Savira bercerita tentang Xavier yang tak memberikan kabar seharian ini, padahal pernikahan mereka akan dilangsungkan dua hari lagi. "Kamu tenang saja ya. Jika malam ini dia masih tak ada kabar, besok Kakak dan Papa akan menemui keluarganya. Berdoa saja semoga dia baik-baik saja," ujar Nathan. Savira menatap kakaknya tersebut kemudian menganggukkan kepalanya dengan lesu. "Ya sudah. Sekarang kamu harus tidur. Hari sudah malam." Setelah mengatakan itu, Nathan pun berjalan keluar dari kamar adiknya tersebut. Setelah kepergian Nathan, Savira kembali mengecek ponselnya. Dia terpaksa menelan kekecewaan karena masih belum ada jawaban dari Xavier maupun dari ibu kandung laki-laki itu. Menit demi menit berlalu, Savira masih belum mendapatkan balasan pesan dari siapa pun. Akhirnya dia memutuskan untuk segera membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Kantuk sudah mulai menyapa, dan Savira berusaha untuk tidur. Dengan harapan, semoga besok pagi saat dia bangun, sudah ada kabar dari Xavier.Savira menatap sekeliling kamar di rumah Abian yang mulai hari ini akan dia tempati. Kamar tersebut sangat luas menurut Savira, dan didominasi warna putih. Ada ranjang berukuran king size di tengah-tengah ruangan, lalu sebuah sofa panjang berwarna cream di dekat jendela, dan ada juga sebuah televisi berukuran besar yang dipasang berhadapan langsung dengan ranjang. Kamar tersebut, cocok untuk melakukan segala aktivitas, bukan hanya untuk sekedar tidur saja. Savira tersenyum, merasa suka dengan warna cat dan juga segala interiornya. Sepertinya, dia akan mudah beradaptasi. Savira membawa dua koper pakaian, dan dia sudah menyimpan semua pakaiannya ke dalam lemari. Dia juga sudah membereskan tas, buku, sepatu, dan barang-barangnya yang lain di tempat yang sudah disediakan. Sebelum meninggalkan Savira tadi, Abian sempat menawarkan untuk cat ulang dinding kamar jika Savira merasa kurang suka dengan warnanya sekarang. Namun, Savira menyukai suasana yang cerah dan tenang di kamar tersebut.
Setelah mengatakan kalimat tak terduga dan mengejutkan, jelas Savira langsung disidang oleh keluarganya sendiri, sementara Abian hanya bisa menunggu dengan perasaan bingung di ruang tamu. "Apa maksud perkataanmu tadi, Savira?" Chandra bertanya dengan serius. Savira diam dengan kepala sedikit menunduk. Entahlah, dia sendiri tak begitu paham kenapa kata-kata tadi bisa keluar dengan mudah dari mulutnya. "Kamu ingin mencoba menjalani hubungan dengan Abian? Kerasukan apa kamu Savira?" Nina bertanya dengan nada tak percaya. Jelas mereka heran, karena mereka ingat kemarin Savira masih menangisi Xavier. "Ini keputusanku," jawab Savira singkat. Chandra dan Nina saling bertatapan saat mendengar itu. Sementara Nathan dan Trisha, hanya bisa menyaksikan saat Savira ditanyai. "Savira, pikirkan lagi. Jangan mengambil keputusan yang gegabah. Ini untuk kelanjutan hidupmu." Chandra berucap. Savira menghela nafas pelan mendengarnya. Dia sudah bisa menebak kalau keluarganya pasti akan memberikan resp
Savira duduk termenung di pinggir ranjang. Matanya melihat sekeliling, pada kamarnya yang sudah didekorasi dengan indah. Seulas senyum miris terukir di bibirnya, tak menyangka kalau nasibnya akan semenyedihkan ini. Savira sudah selesai membersihkan tubuh dan kini memakai piyama polos berwarna biru muda. Dia tak tahu apa yang harus dilakukan sekarang, yang jelas Savira memikirkan nasibnya ke depan. Abian memakai namanya sendiri saat akad tadi, bukan memakai nama Xavier. Dan itu berarti, pernikahan dia dan Abian sah di mata agama. Yang berarti juga, sekarang Savira sudah sah menjadi istri Abian. Savira memejamkan mata dengan erat. Kepalanya tiba-tiba terasa pusing lagi sekarang. Mungkin, dia butuh istirahat malam ini. Masalah status dia dan Abian, bisalah dipikirkan lagi besok. Savira menaikkan kedua kakinya ke atas ranjang lalu menarik selimut tebal miliknya yang hangat. Saat hendak membaringkan tubuh, ponselnya yang berada di atas laci bergetar pelan. Karena penasaran, Savira menga
Dua hari berturut-turut, Savira terus menangis dan merenung. Hal tersebut membuat keadaannya jadi kurang baik ketika hari pernikahan tiba. Selama dirias, Savira merasakan sakit di kepala. Mungkin hal tersebut karena dia terus saja menangis, masih belum sepenuhnya menerima kenyataan tentang Xavier yang meninggalkannya. Keadaannya yang kurang sehat bisa dilihat oleh MUA yang meriasnya. "Sepertinya keadaan calon pengantin kurang baik." Asisten MUA menginfokan hal tersebut pada keluarga. Chandra dan Nina bergegas melihat keadaan Savira yang masih di rias oleh MUA. Savira terlihat memaksakan senyuman walau kepalanya terasa sangat berat sekarang. "Aku baik-baik saja. Hanya sedikit pusing," ucap Savira, berusaha untuk tidak membuat keluarganya khawatir. Akhirnya Nina pun memberikan obat pada Savira. "Mas, mungkin seharusnya kita tidak memaksakan keadaan. Kondisi Savira jauh dari kata baik." Nina berkata pada suaminya. Semua orang sudah berdandan rapi untuk ikut merayakan pernikahan Savir
Savira duduk merenung di kamarnya. Dia tak sendirian, karena sekarang ada sang nenek yang sedang menemaninya. Savira masih memikirkan perkataan Abian tadi tentang pria itu yang memilih untuk menjadi pengganti Xavier di hari pernikahan nanti. "Kamu masih kepikiran?" Nenek Savira yang bernama Mia bertanya seraya menyentuh lembut baju Savira. "Bagaimana mungkin aku gak kepikiran, Nek?" tanya Savira dengan suara pelan dan serak. Mia tersenyum kecil mendengar itu. "Jelas kamu kepikiran. Tapi, tak ada untungnya juga kamu memikirkan semua ini terus-menerus. Kamu harus percaya saja kalau semua yang terjadi adalah takdir dari Tuhan." Mia berucap. Tangan keriputnya bergerak meraih telapak tangan Savira dan menggenggamnya dengan lembut. "Sematang apapun rencana yang sudah kita buat, tetap tak akan terjadi jika Tuhan tak memberikan izin. Mungkin, memang sudah takdir dari Tuhan juga kalau kamu dan Xavier tidak berjodoh." Mia berkata dengan nada suara yang lembut. Savira semakin menundukkan kep
Perkataan Wanda sebenarnya cukup mengganggu bagi Abian. Karena itu, Abian berusaha keras menemukan keberadaan Xavier. Keluarganya yang sudah tahu tentang kaburnya Xavier ikut panik dan khawatir. Mereka jelas akan menanggung malu jika sampai pernikahan Xavier dan Savira batal. Rani, ibu kandung Abian pun terus mendesak anaknya tersebut untuk segera menemukan Xavier sebelum hari pernikahan tiba. Namun, yang dikatakan Wanda ternyata benar. Abian akan kesulitan menemukan di mana Xavier berada. Karena kepergian Xavier di bantu oleh Wanda sendiri. Mengetahui fakta tentang Wanda yang tak menyukai Savira pasti membuat Wanda mengerahkan segala yang dia bisa untuk menyembunyikan keberadaan Xavier sekarang. Abian tak paham kebebasan apa yang ingin Wanda berikan pada Xavier. Membiarkan Xavier pergi dengan wanita lain menjelang hari pernikahannya bersama Savira? Hal tersebut bukanlah tindakan yang bijak. Jika memang tak mau, harusnya Wanda bukan membantu Xavier kabur. Tapi memberikan pengertian







