Kembali pulang ke rumahnya, hari itu pikiran Izzan terus saja dihantui dengan wajah Inayah. Entah kenapa dia mulai memikirkan perempuan berhijab itu, "Apakah sikapku ini berlebihan kepada Inayah? Tapi aku melakukan ini karena amanah dari kak Irsyad." Hendak menghempaskan tubuhnya di atas ranjang, Izzan terkejut ketika mendengar sang kakek memanggilnya begitu histeris, "Ada apa, Kek?" tanya Izzan berjalan pelan menuju ke ambang pintu."Halwa ada di bawah," jawabnya sambil melirik Izzan sejenak."Halwa," sebutnya terpelonjak kaget. Sontak saja pria tampan itu langsung bangun dan menuju ke bawah, melihat Halwa yang tengah berbincang begitu serius kepada sang kakek, Izzan pun ikut menegahi dua orang itu, tetapi sebuah eprtanya spintan saja membuat Izzan meneguk salivanya dengan kasar."Kapan kalian akan segera menikah? Apakah akan pacaran seperti ini terus?" sindir sang kakek dengan pertanyaan yang begitu lugas."Sepertinya Izzan yang tidak ingin menikah, Kek," jawab Halwa menoleh
"Kak Irsyad itu adalah mantan pecandu narkoba karena itulah dia ditolak untuk menikah dengan Inayah." Halwa tersentak begitu ia mendengar pernyataan yang keluar dari bibir Izzan. Gadis tersebut tak tahu sama sekali mengenai Irsyad, hanya bertemu sesekali saja dan apa yang terjadi di masa lalu Irsyad dan Inayah. Halwa bahkan tak menyangka jika di keluarga yang tersohor dengan agama yang melekat kuat pada identitas mereka ternyata memiliki satu anggota keluarga yang pernah memakai obat-obatan terlarang.“Jadi, karena itu mereka tidak bisa menikah?” tanya Halwa yang langsung dijawab oleh Izzan dengan anggukan kepala.“Kau pasti paham, ‘kan, bagaimana sulitnya situasi Kak Irsyad waktu itu? Dia sangat mencintai Inayah dan ingin menikah dengan Inayah. Tapi, karena hal itu Kak Irsyad harus kehilangan Inayah dan melihat orang yang dia cintai dijodohkan dengan pria lain,” jelas Izzan dengan matanya yang berlinang. Halwa mengangguk-anggukkan kepala. Dia sedikit memahami tentang apa yang
“Apa, Inayah? Aku tidak dengar,” ujar Izzan sebab suara Inayah betul-betul pelan. Inayah menoleh ke arahnya. “Terima kasih.”Izzan tersenyum, lalu mengangguk. “Sama-sama, Inayah. Aku senang kalau Athar senang.”‘Aku tidak mungkin membuat Kak Irsyad kecewa di atas sana kalau aku membuat putramu kecewa, Inayah,’ sambung Izzan dam hati. Sesekali Izzan melirik Inayah yang nampak bahagia keyiak melihat sang putra terus saja tersenyum bahagia, seakan bahagia terus saja mengiringinya padahal sebenarnya sisa hidup Athar tidak lama lagi. Setiba di Bandara Ngurah Rai Bali, tepat pukul 16.00 WITA, di Bali perputaran waktu brbeda satu jam dengan Indonesia. Ketiga orang itu langsung saja menuju ke hotel mereka. Izzan lebih dulu berjalan ke bagian resepsionis untuk check ini. Setelah mendapatkan kunci kamar, ketiga orang itu bergegas menuju ke lift.Tingg! Pintu lift terbuka dan mereka memasukinya, Athar menarik tangan Inayah sambil bertanya, "Bu, Ayo kita ke pantai sekarang!
Izzan mengangguk dan berusaha menetralisirkan jantungnya yang mulai berdetak tak beraturan. Melihat langit yang begitu indah membuat Inayah pun ikut duduk di samping Athar sambil menikmati matahari tenggelam. "Memandangi langit sore seperti ini sungguh sangat menyejukkan mata, menghilangkan kepenatan tersendiri..." Inayah mengatupkan bibirnya ketika menghentikan kalimat yang terlontar dari bibirnya. Entah kenapa saat itu Inayah teringat dengan seseorang, matanya berlinang, seseorang yang masih ada di hatinya kini masih tetap bersemayam di relung hati terdalam. "Sakit itu ketika kamu masih ada di hatiku namun kita tidak ditakdirkan bersama." Siapa sangka Izzan sejak tadi memandangi Inayah yang sedang termenung, lamunannnya bersemayam di dalam jiwanya. Tak terasa buliran bening tiba-tiba saja berjatuhan di pipinya membuat sang anak langsung menyentuh jemari Inayah sambil bersandar di bahu Inayah. "Apakah Ibu merindukan ayah?" tanya Athar spontan. Mendengar itu Inayah terte
"Maafin Atahr ya, Bu," ucapnya untuk kedua kali. Izzan yang melihat itu pun langsung mengajak Inayah dan Athar untuk makan malam bersama, menyelusuri sebuah restoran outdor yang ada di dekat pantai membuat Athar berlarian kecil dan berdiri di tepi pantai sambil berteriak, "Bu, Pemandangan mlam begitu indah ya," pujinya tersenyum bahagia."Iya, sayang," jawab Inayah sambil berdiri tepat di samping putranya. Izzan memanggil Inayah dan Athar untuk menikmati makam malam bersama dan seteah itu pria tampann itu berniat untuk mengajaknya menghidupkan api unggun di ruang bawah dekat gazebo di tepi pantai, "Ayo Athar, duduklahdi sini," ajaknya sambil menarik kursi dan mempersilahkan anak kecil itu duduk."Kau bisa duduk di sini, Naya," sambung Izzan melakukan hal yang sama kepada perempuan berhijab itu. Seperti pada umunya ketiga orang itu menjaga adab makan dengan bungkam dan setelah makan barulah Izzan menoleh ke arah Athar, "Apakah Athar sudah siap buat api unggun?" tanyanya ter
Inayah yang melihat itu spontan saja memanggil nama putranya begitu histeris, "Athar," panggil Inayah beberapa kali. Mata Athar mengerjap perlahan dan kemudian anak kecil itu membuka matanya, "Ibu," panggilnya menatap Inayah. Segera saja perempuan itu langsung mengenggam erat tangan Athar sambil bertanya, "Ada apa sayang?" tanyanya dengan tatapan begitu tajam."Athar igin pulang, Bu.""Iya, sayang. Kamu hars sembuh dulu baru bisa pulang," balas Inayah mencoba menenangkan Athar. Entah kenapa sang buah hatinya tiba-tiba saja mau pulang secara mendadak seperti itu, tetapi melihat Athar yang sudah sangat gelisah membuat Inayah mulai khawatir, "Apakah Athar merasakan sakit?" Athar menggelengkan kepalanya seraya melirik pak guru, "Athar ingin pulang ke Jakarta saja, Pak Guru.""Iya, Athar tenang ya? Kalau Dokter sudah mengijinkan kamu boleh pulang maka kita akan pulang hari ini juga." Izzan dan Inayah saling beradu pandang satu sama lain, mereka merasa bingung dengan sika
Setiba di bandara, kedatangan Izzan disambut hangat oleh seorang gadis berambut panjang yang sejak tadi melambaikan tangannya, Izzan bergerak cepat berjalan ke arah Halwa, ya gadis itu tak lain adalah Halwa."Apakah kakek baik-baik saja?" tanya Izzan menatap Halwa dengan serius."Beliau hanya kelelahan saja," jawab Halwa sedikit sinis melirik Inayah yang kini berada di samping Izzan sementara Athar terus saja bergelayut manja dengan sang kekasih."Ayo, Zan kita ke rumah sakit langsung," ajak Halwa berniat ingin menyindir Inayah agar menjauh dari kekasihnya. Perempuan cantik itu langsung menyambar tangan Athar sambil berkata, "Sayang ayo kita pulang duluan, sepertinya taksi online kita sudah datang tuh," bujuk Inayah kepada anaknya yang tak mau melepaskan genggaman tangan Izzan."Kenapa pulang? Athar harus periksa dulu ke rumah sakit, benar 'kan Wa?" ucap Izzan melirik kekasihnya."Oh iya," jawab Halwa sedikit mendengus kesal karena dia tahu betul sudah pasti Izzan akan mengaja
"Maaf, Zan. Aku hanya sedang memikirkanmu." Pria tampan itu mengerutka dahinya sambil bertanya, "Apa yang kau pikirkan tentang kita?""Aku hanya sedang berpikir betapa beruntungnya aku memilikimu." Izzan mengakhiri pergerakannya dan menatap Halwa, "Kau terlalu berlebihan, Wa." Pria tampan itu langsung bangun dari duduknya dan langsung meninggalkan Hlwa yang masih bengong hingga Izzan sampai berkata, "Aku mau ke ruangan kakek dulu ya.""Zan, tapi kau belum memijat kakiku?" tanyanya sedikit berteriak."Kau berdiri saja dulu," titahnya sambil menutup pintu. Halwa mengepalkan jemarinya sebal karena melihat Izzan yang asal meninggalkannya namun siapa sangka ternyata Halwa bisa berdiri tanpa merasakan nyeri sedikitpun, "Izzan," sebutnya malu sendiri karena telah berpikir negatif pada sang kekasih. Sementara di ruangan lain, Izzan mengetuk pintu ketika mendapati sang kakek terbaring di atas tempat tidur dengan tangan kirinya diinfus, "Assalamu'alaikum, Kek.""Wa'alaikumsalam,