"Ke rumahku?" Sabrina melihat sekeliling jalan yang tengah mereka lalui. Jalan itu nampak tak asing baginya. "Iya. Kamu lebih aman tinggal bersama orangtuamu sementara waktu." Menurut Bram, Sabrina akan aman jika tinggal bersama orangtuanya saat ini."Tidak!" tolak Sabrina cepat. Ia tak mau pulang ke rumah. Ia tak ingin menjadi beban pikiran kedua orangtuanya. Apa yang akan ia katakan nanti jika mereka bertanya. Lalu apa kata mereka jika ia datang tidak bersama Seno malah diantarkan Bram."Kenapa?""Aku tidak mau pulang, aku takut Ibu dan Bapakku kepikiran tentang aku lalu jatuh sakit. Aku tidak mau," tegas Sabrina. "Tapi di sini tempat yang paling aman untukmu. Bilang saja kalau kamu rindu dengan mereka dan ingin menginap beberapa hari, sambil aku mencarikan kontrakan untukmu." Bram mencoba memberikan pengertian pada Sabrina supaya mau tinggal sementara di rumah orangtuanya sampai ia mendapatkan kontrakan yang cocok untuk Sabrina tinggali."Tapi... ""Ini demi kebaikanmu."Akhirnya
Bram bergegas menuju ruangan yang telah ayahnya sebutkan. Ia tak habis pikir kenapa bisa terjadi hal seperti ini."Ayah, bagaimana? Kenapa bisa terjadi seperti ini?" Bram duduk di kursi tunggu samping ayahnya begitu ia sampai."Ayah juga tidak tahu bagaimana detail awalnya tapi saat Seno teriak memanggil, ayah langsung keluar dan sampai sana Rafka sudah tak sadarkan diri, Wati terluka di kepalanya lalu Ibumu pingsan." Ahmad menceritakan apa yang ia ketahui."Kok Ibu bisa pingsan?" Bram melihat ke arah Seno yang tengah duduk diam agak jauh dari tempat duduknya saat ini."Aku tidak tahu," balas Seno singkat. Ia memang tidak tahu kenapa ibunya pingsan karena tadi ia hanya fokus ingin menghabisi adiknya sendiri yang tidak tahu diri itu. Ia tak peduli dengan teriakan dan tangisan ibunya tapi tiba-tiba ibunya jatuh pingsan hal itu yang membuat Seno menghentikan aksinya untuk menghabisi Rafka dan berteriak meminta tolong pada Ayahnya."Lalu apa kata dokter?" Bram mengalihkan kembali pandanga
Seno merasa tak tenang. Belum ada satu hari berpisah dengan Sabrina, ia merasa ada yang kurang. Ia merindukan Sabrina yang selalu siaga untuknya."Dimana dia," gumam Seno sambil berpikir kemana Sabrina pergi. Ia harus cepat-cepat menemukan Sabrina.Daripada terus merasa tak tenang, Seno memilih untuk menemui Bram. Mau tak mau, ia harus memohon pada Bram supaya dia bersedia memberitahukan keberadaan Sabrina. Ia tidak peduli jika nanti Bram mengejek dan meremehkan dirinya karena yang paling terpenting saat ini adalah ia bisa menemui Sabrina, meminta maaf dan membawanya pulang.Tok... Tok... Tok....Beberapa kali Seno mengetuk pintu kamar Bram tapi tak kunjung di buka olehnya. "Mas, buka pintu! Aku mau bicara denganmu!" Seno masih tak menyerah. Ia terus mengetuk pintu kamar Bram dan berharap segera dibuka olehnya. Seno yakin, Bram berada di kamarnya. "Apa tidur?" Seno bermonolog.Semalam Seno pulang lebih awal. Ia malas untuk berjaga di rumah sakit. Lebih baik ia memilih pulang untuk ja
Sabrina segera bersiap-siap setelah mendapatkan kabar dari Bram. Ia penasaran seperti apa kontrakan yang akan ia tempati nantinya. Sebenarnya tidak masalah meski tempat itu kecil, bagi Sabrina yang terpenting nyaman dan banyak orang. Sabrina tidak ingin tinggal di tempat sepi. Ia takut jika terjadi sesuatu yang tidak ia inginkan."Mau kemana?" Lastri melihat bingung pada Sabrina yang sudah rapi padahal masih sangat pagi. "Aku ada janji sama teman, Bu.""Sudah pamit sama suamimu?" Lastri mengingatkan Sabrina untuk minta izin pada suaminya meski saat ini mereka tengah berjauhan. Lagipula, jaman sekarang sudah modern, Sabrina bisa izin melalui telepon atau mengirimkan pesan."Sudah kok," balas Sabrina singkat. 'Maafkan aku, Bu. Aku terus berbohong tapi aku janji, setelah semuanya selesai. Aku akan ceritakan'. Sabrina hanya bisa membatin karena saat ini, ia benar-benar belum siap untuk jujur. Ia belum siap melihat orangtuanya bersedih atas nasib buruknya."Sarapan dulu!""Tidak, Bu. Nan
Seno kebingungan tak ada Sabrina di rumah. Biasanya Sabrina selalu ada untuknya. Ia sudah berusaha menelpon dan mengirimkan chat untuk Sabrinq tetapi tak ada satu pun yang direspon oleh Sabrina. Padahal ia ingin Sabrina segera pulang.Tak bisa menunggu lebih lama lagi, akhirnya Seno memutuskan untuk pergi ke rumah orang tua Sabrina, ia berharap Sabrina berada di sana. "Permisi!" seru Seno ketika sudah sampai di rumah Sabrina. mengetuk-ngetuk pintu sambil beberapa kali memanggil supaya orang yang ada di dalam rumah mendengarnya.Tak lama pintu rumah terbuka. "Nak Seno, apa ada barang Sabrina yang tertinggal?" Lastri bertanya saat mendapati Seno saat ia membuka pintu. Ia berpikir Seno datang ke rumah untuk mengambil barang Sabrina yang tertinggal karena pagi-pagi sekali, Sabrina sudah pamit pergi buru-buru."Barang apa?" Seno yang tak tahu, memilih untuk balik bertanya Lastri. Ia datang tidak ingin mengambil apa pun. Ia datang untuk mencari keberadaan Sabrina."Ibu pikir kamu datang ke
Bram mengabaikan ponselnya yang terus berdering. Ia tak mau mau terganggu. Seharian ini, ia ingin habiskan waktunya bersama Sabrina sebagai pembuktian bawah ia benar-benar serius. Ia juga ingin dipandang sebagai pria yang bisa diandalkan oleh Sabrina. Mulai sekarang, Bram perlahan ingin mengatur Sabrina. Ia akan buat Sabrina menjadi wanita seperti yang ia inginkan karena ia menyukai wanita penurut dan lembut."Sabrina, boleh pinjam ponselnya?" Bram memulai aksinya. Pertama-tama, ia ingin membuang ponsel Sabrina supaya Seno atau siapa pun tidak bisa menghubungi Sabrina lagi."Boleh, Mas." Sabrina tidak menaruh curiga sedikit pun pada Bran. Ia langsung memberikan ponselnya tanpa berpikir panjang. "Apa yang kamu lakukan, Mas!" Sabrina berseru terkejut ketika tiba-tiba Bram membanting ponselnya."Aku tidak mau, Seno melacak keberadaan kamu. Nanti aku berikan yang baru," ucap Bran tanpa merasa berdosa. Bahkan Bram menginjak-injak ponsel Sabrina di hadapan Sabrina hingga ponsel itu sudah ta
Perasaan Nela makin tak tenang setelah mendengarkan ucapan Seno barusan. Awalnya ia akan datang sore nanti tetapi percuma jika ia memaksakan untuk bekerja. Pikirannya sudah tak bisa fokus. Ia butuh kepastian dari Bram atas hubungan mereka.Ada rasa tak percaya dengan ucapan Seno tetapi sepertinya itu serius karena Seno mau datang ke kantornya dan terlihat sangat frustasi."Aku harus pergi sekarang." Nela memutuskan untuk pergi sekarang juga tanpa memberitahukan kepada Bram terlebih dahulu. Ia berencana langsung mendatangi kantor Bram, ia tak mau nanti Bram menghindar darinya jika ia menghubunginya terlebih dahulu.Saat Nela baru sampai, ia melihat Bram di basemen terlihat buru-buru hendak pergi. Ia segera turun dari mobil dan menghampiri Bram."Sayang!" panggil Nela sedikit keras supaya Bram mendengarnya dan usaha Nela berhasil. Bram mendengar panggilannya."Kamu datang kesini tanpa meneleponku terlebih dahulu?" Bram melihat ke arah Nela. Tidak biasanya dia datang tanpa menelepon terl
Bram menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Ia tidak setuju dengan keputusan Sabrina. Ia tidak rela Sabrina kembali pada Seno. Hanya ia yang berhak memilikinya bukan Seno."Aku tidak akan pernah setuju," ucap Bram mantap menolak keputusan Sabrina."Aku tidak perlu persetujuan dari kamu, Mas. Aku berhak mengatur kehidupanku sendiri." Sabrina membalas ucapan Bram tak kalah mantapnya karena ia merasa benar dan ia merasa berhak terhadap dirinya sendiri."Kamu harus ingat, Seno itu tidak baik buat kamu." Bram mencoba mengingatkan Sabrina tentang sikap Seno yang ringan tangan."Lebih baik Mas Seno daripada kamu, Mas. Kamu tega nyakitin perasaan wanita dan tidak setia." Sabrina berpikir, sekarang saja Bram tega meninggalkan Nela demi wanita lain. Padahal mereka berhubungan sudah cukup lama jadi tidak menutup kemungkinan Bram akan tega meninggalkan dirinya juga kelak, jika menemui wanita yang lebih baik lagi darinya. "Aku janji, aku bakal setia padamu. Kamu sudah lihat, bukan? Aku sudah memutusk