Keesokan paginya, Liam kembali muntah darah. "Tuan, saya akan memanggil dokter agar menyuntikkan penawarnya." ujar Dylan seraya mengambil ponsel yang ada disaku celananya. Saat telepon baru terhubung, Liam berkata, "Nggak perlu menelpon dokter. Sepertinya nyawaku sekarang nggak begitu berharga." Dylan buru-buru mengakhiri panggilan telepon, lalu ia menatap wajah putus asa atasannya. "Tuan ... " Liam mengibaskan tangannya, seolah-olah menyuruh Dylan segera pergi meninggalkan kamarnya. Melihat Dylan yang masih mematung, tidak segera keluar dari kamar. Liam berkata lagi, "Keluarlah!! Aku lelah, aku mau tidur dulu!" "Baiklah, saya ijin keluar," sahut Dylan yang tidak memiliki pilihan lain, selain menyetujui permintaan dari Liam. Liam memejamkan matanya, bayang-bayang Naura berkata pada Steven, jika dia masih mencintai Daniel masih terngiang-ngiang didalam otaknya. Ntah kenapa ia merasa tidak rela, jika istrinya itu mencintai pria lain. Bahkan ada rasa sakit didalam lub
Langkah kaki Naura terhenti, setelah mendengar pengakuan Steven. Sontak saja ada rasa takut dalam hatinya, mengingat luka Steven waktu itu. Sepertinya Steven memang bukan orang baik, bahkan nyawanya menjadi incaran banyak orang. Liam dari kejauhan semakin mengepalkan tangannya, saat mendengar pengakuan cinta Steven pada istrinya. Dylan yang sangat memperdulikan Liam, tak kuasa berkomentar. "Tuan, sepertinya tuan Steven beneran jatuh cinta pada nyonya. Saya malah merasa takut kalau nantinya tuan muda malah akan bermusuhan dengan tuan Steven." Wajah Liam nampak acuh tak acuh, saat mendengarkan komentar dari Dylan. "Aku nggak peduli dengan pertemanan, jika nantinya aku beneran menginginkan Naura." "Ntah siapapun orang itu nggak berhak menghalangi jalanku, contohnya dulu saat aku benar-benar ingin bersama dengan Kanaya. Bahkan ibuku saja tidak bisa menghentikan ku." Maksud dari ucapan Liam adalah, jangankan Steven yang notabene hanyalah teman. Ibunya saja yang dulu pernah me
Makan malam di ruangan ruko Naura berlangsung dengan suasana yang tampak tenang di permukaan, namun napas tegang terasa mengalir di antara mereka. Helena duduk dengan senyum tipis, matanya tajam mengamati setiap gerak Steven yang tanpa malu-malu terus melirik dan sesekali berusaha menyentuh tangan Naura saat berbicara. Naura sendiri berusaha tersenyum sopan, tapi dadanya berdebar tidak nyaman. Sikap Steven sekarang ini sungguh di luar batas. Di sisi lain, Karina menatap Steven dengan sorot mata penuh waspada, rahang mengeras, ia tahu sikap Steven begini putrinya, karena dirinya adalah penolongnya. Tapi, bukan begini caranya. Sementara Sania yang duduk di ujung meja menegakkan punggung, tangannya terkepal di bawah meja menahan rasa jengkel yang sulit disembunyikan. Steven, dengan gaya santai tapi jelas menggoda, sesekali melemparkan candaan yang membuat suasana semakin memanas, terutama ketika ia menyebutkan hal-hal kecil yang hanya diketahui oleh Naura dan dirinya.
Steven berujar dengan nada lirih, "ternyata dugaan ku tidak salah. Liam adalah suaminya Naura." Lalu ia teringat, saat sebelumnya ia berada dikedai Naura dan Liam membuntutinya disana. Kaduanya tampak canggung dan berjarak, dan berkata seolah-olah tidak mengenal satu sama lain. Sebuah pemikiran tiba-tiba melintas di benak Steven. "Apa mungkin Liam menikahi Naura karena terpaksa, sebab gadis itu hamil?" duganya. Namun, Steven ragu dengan asumsi itu, mengingat jarak usia Naura dan Liam yang terpaut lebih dari lima tahun. Naura adalah gadis baik, yang tak mungkin sengaja menggoda sahabatnya sejak awal. Begitu pula Liam, sosok yang dingin dan sulit didekati. Steven sering mengajaknya ke klub, tapi Liam tetap kaku dan tertutup. Meski ada rasa tidak nyaman dalam diri Steven saat menyadari bahwa gadis yang ia sukai adalah istri sahabatnya, kini hatinya sedikit lega mengetahui Liam dan Naura akan segera bercerai mengingat keduanya tidak saling cinta. Ia bahkan tak kebe
"Liam semua ini!" ujar Kanaya mencoba membela diri. Tapi sebuah alasan logis sulit keluar dari otaknya. Liam menyela, "Apakah cara membuktikan cintamu, itu dengan cara membunuhku?" Kanaya bingung, darimana Liam mengetahui semua rencananya. Kanaya pun akhirnya teringat, Liam pingsan dan koma sebelum ia melakukan kesepakatan dengan Helena. Jadi tidak mungkin Helena mengatakan sesuatu yang belum terjadi pada Liam, apalagi seingatnya sebelum pingsan. Liam masih sibuk mengurus Naura dan ibunya. Tiba-tiba lamunan Kanaya buyar, saat Liam mengatakan. "Aku setuju untuk menceraikan Naura sebagai syarat, tapi aku nggak setuju kalau harus menikahimu." Sontak tanda tanya besar terucap dari bibir Kanaya, "kenapa? Bukankah kamu sangat mencintaiku?" "Cinta?" ujar Liam dengan tawa sinis, lalu ia melirik Kanaya tajam. "Dari awal kamu berniat membunuhku? Kamu ingin mendapatkan cinta dariku, nggak usah mimpi!" Kanaya tertegun, ntah kenapa hatinya merasa sakit setelah Liam mengatakan tid
Liam membuka matanya perlahan, aroma tajam desinfektan langsung menyergap inderanya. Cahaya putih dari lampu ruang perawatan rumah sakit menyilaukan matanya yang masih samar-samar melihat. Di sisi ranjang, Helena duduk dengan wajah penuh kecemasan, tangan gemetar mencoba meraih tangan Liam. "Liam, akhirnya kamu sadar?" suara Helena bergetar, matanya berkaca-kaca tapi berusaha tegar. Liam mengerjap, segera bertanya dengan suara serak, "Ibu… di mana Naura? Apa dia baik-baik saja?" Helena menarik napas panjang, wajahnya berubah menjadi campuran lega dan beban berat. "Liam… kata dokter keadaanmu sangat buruk." Alis Liam mengerut. "Bukankah seharusnya aku sudah berubah jadi manusia?" "Iya, Biksu bilang kamu sudah berubah menjadi manusia seutuhnya, tidak lagi butuh darah Naura. Ini sebuah keajaiban, tapi sekarang kamu sakit keras, harus istirahat dulu, sayang.” Liam merasa seperti ada sesuatu yang disembunyikan Helena; matanya sesekali melirik ke arah pintu ruang perawatan