Share

Disangka Masih Hilang Ingatan
Disangka Masih Hilang Ingatan
Author: Kom Komala

Pulang dari rumah sakit

Disangka Masih Hilang Ingatan

Part 1

"Maaf, sebenarnya kalian siapa?" tanyaku pada seorang pria yang sedang menyetir. Juga pada seorang wanita yang ada di sampingnya. Mereka juga sama sepertiku. Kepala mereka dibalut perban. Hanya wanita yang disampingnya lengannya yang sedikit luka.

Mereka menoleh ke arahku dengan wajah heran. "Ka-kamu beneran gak ingat siapa kamu?" tanya wanita berkulit putih berambut sebawah bahu di cat warna merah kekuning-kuningan.

"Mbak, Mas, saya beneran gak ingat siapa saya. Lalu Mbak dan Mas siapa?" tanyaku ingin segera tahu. Karena aku katanya baru saja kecelakaan bersama mereka. Dan aku amnesia. Sama sekali aku tak kenal siapa diriku ini. Sejak keluar dari rumah sakit, mereka berdua tak bicara banyak. Bahkan namaku pun belum mereka kasih tahu.

Saat mendengar jawabanku, wanita itu nampak komat-kamit bicara pada si pria. Yang dua-duanya belum kuketahui namanya. Aneh.

Kepalaku masih pusing.

"Em, kamu ingat nama kamu siapa?" tanya si pria yang ada di samping wanita itu. Dia sesekali menolehku dari kaca spion. Karena ia sedang menyetir.

Saat berusaha mengingat, kepalaku pusing sekali. Apa aku benar-benar amnesia? Ya Tuhan, siapa aku?

"Sama sekali saya gak tahu tentang diri saya. Ngomong-ngomong, kalian ini siapa? Apa kalian keluarga saya?" selidikku lagi masih dalam keadaan pening.

Mereka berdua saling menoleh. "Sebentar, kamu tahu arah jalan ini?" tanya si pria yang menyetir. Dan dia belum jawab apa yang aku tanyakan. Apa mereka rekanku? Apa mereka saudaraku?

"Saya gak ingat, Mas, Mbak. Memangnya ini dimana?" Aku kembali bertanya. Dan mereka berdua nampak heran dengan jawabanku. Tapi mereka nampak saling menyemai senyuman.

"Oh ya, tadi, suster bilang saya kecelakaan pas saya naik mobil. Memang saya punya mobil?" tanyaku penasaran dengan apa yang suster jelaskan tadi padaku. Suster bilang aku kecelakaan mobil. Bahkan aku menabrak seseorang.

"Oh, em, iya. Kamu kecelakaan bersama kami. Kita tadi pagi mau pergi keluar kota. Sayangnya kita kecelakaan," jawab si pria itu.

"Hah? Jadi? Jadi kalian siapa saya?" Aku benar-benar menyelidik tentang siapa jati diri ini sebenarnya. Kalau aku kecelakaan bersama mereka, mereka keluargaku? Teman-temanku?

"Kamu itu ... kamu asisten rumah tangga kami." Wanita yang belum kuketahui namanya itu angkat bicara. Dan ia beritahu identitasku. Jadi? Aku asisten rumah tangga? Asisten rumah tangga mereka?

"Jadi, saya hanya asisten rumah tangga Mas dan Mbak?" selidikku benar-benar buram tentang masa lalu diri ini. Aku tak tahu kenapa amnesia menimpaku.

Mereka saling menoleh. Dan si pria yang menyetir sempat menatap heran wanita di sampingnya.

"I-iya, kamu asisten rumah tangga kami. Em, maksudnya, asisten rumah tangga Mas Andri. Dan saya pacarnya Mas Andri. Apa kamu sama sekali tak ingat?" kata wanita di samping pria yang kini sudah kuketahui namanya, Andri.

"Dan saya Maya. Saya pacar Andri. Dan kami sebentar lagi akan tunangan. Oh ya, tadi kita kecelakaan itu karena akan keluar kota. Kita akan buat foto prewedding, tapi sayangnya kita kecelakaan. Ya kan, Sayang?" Pak Andri mengangguk. Tapi anggukkannya sungkan sekali. Nampak ikhlas gak ikhlas. Apalagi dia juga acap kali memperhatikanku dari kaca spion.

Oh, jadi wanita di depanku namanya Maya?

"Tuh kan, Mas. Dia gak inget apa-apa," kata Mbak Maya bisik-bisik. Oh ya, lalu aku panggil mereka waktu dulu dengan sebutan apa?

"Mbak, Mas, jadi nama saya siapa? Dan saya dulu panggil Mbak sama Mas apa?" Aku kembali bicara dengan penuh tanda tanya.

"Ka-kamu, nama kamu Inah. Ya, nama kamu Inah. Kamu asli orang Jowo. Tapi kamu sudah kerja sama Mas Andri selama lima tahun. Kamu seorang janda dan gak punya anak. Apa kamu gak ingat?" jelas Bu Maya. Lantas membuat pikiran ini makin pusing. Aku janda?

"Apa? Saya janda?"

"Iya, kamu Inah, kamu seorang janda. Kamu kerja di rumah Mas Andri udah lima tahun. Ya, sejak kamu menjanda," jelas Bu Maya lagi. Dan penjelasan Bu Maya masih asing di otakku. Dan yang aku heran, kalau aku asisten, kenapa baju yang kukenakan nampak mewah dan mahal?

"Oh ya, Bu! Kalau saya asisten, kok baju saya gini, ya? Ini kan kayaknya bagus dan mahal. Lebih cocok dipakai oleh seorang wanita kaya diluaran sana." Saat aku berkata seperti itu mereka berdua nampak saling diam dan saling menatap. Aneh.

"Bu, Pak, gimana?" Aku terus menyelidik. Apa mereka tak sedang membohongiku?

"Em, a-anu, tadi itu baju kamu sobek-sobek. Pas pingsan suster gantiin baju kamu pakai baju saya. Begitu aja. Oh ya, kamu panggil kami itu dengan sebuatan Nyonya dan Tuan, ya. Bukan Bapak sama Ibu." Bu Maya mengomentari kekeliruanku.

"Oh begitu. Baik, Bu. Eh maksud saya, baik, Nyonya, Tuan," jawabku pelan. Dan ternyata aku hanyalah asisten rumah tangga? Alhamdulillah, setidaknya aku sudah tahu siapa diri ini. Jadi Pak Andri itu majikanku? Dan Bu Maya calon istrinya? Ya, mereka lumayan serasi.

Kini kami saling diam. Karena aku tak bicara lagi. Kuperhatikan wajah ini di kaca spion. Aku tak menyangka, wajahku se-ayu ini, dan aku keturunan Jawa, aku seorang pembantu? Kulitku juga mulus, bersih dan seperti wanita yang tak absen perawatan. Apa iya? Mereka tidak membohongiku?

Bahasa Jawa?

Kok aku bisa gak inget bahasa aku ya? Logat bicaraku juga biasa. Gak ada Jawa-Jawanya. Apa orang amnesia bisa lupa bahasa juga? Lho, tapi, aku kok kayak mahir banget berbahasa Inggris. Bahkan stiker di mobil bertuliskan bahasa asing itupun aku mengerti. Aku memang asisten rumah tangga yang lumayan jenius. Apa dulu aku sekolah tinggi? Sampai SMA mungkin?

***

"Nah, Inah. Ini rumah Mas Andri. Kamu selama ini kerja disini. Dan kamu semua yang bersihin ini. Ya, meskipun di dalam ada asisten rumah tangga lagi," kata Bu Maya pas kami sampai di depan rumah Pak Andri, up, Tuan Andri. Rumahnya amat megah sekali. Desainnya juga keren. Lebih modern. Tapi aku amat tak asing dengan rancangan rumah ini. Ah, memang, aku kan sudah kerja selama lima tahun disini.

"Inah! Kok kamu bengong?" Bu Maya mengagetkan. "Eh, enggak, Nyonya. Ini rumah bagus sekali. Saya sampai pangling," jawabku amat kaget. Tapi rasanya tak sekaget atau seaneh rasa seorang asisten. Apa karena di lubuk hati ini menggebu-gebu ingin jadi orang kaya? Ah, tak mungkin.

"Eh, enggak, Bu. Eh, Nyonya. Kalau gitu saya masuk duluan. Saya mau ganti baju," ujarku sambil permisi. Pak Andri masih terus menatapku dengan bingung. Kenapa ya?

"Eh, tunggu! Kamu diem dulu. Saya dulu yang masuk. Entar kalau saya udah panggil kamu, kamu baru boleh masuk. Ngerti!" kata Nyonya Maya dengan nada lumayan tinggi di akhir.

"Sayang, kamu tunggu dulu disini. Aku masuk dulu. Kamu jagain Inah, takutnya ia kesasar," kata Nyonya Maya sambil melenggang masuk. Dia katanya hanya pacar, tapi lagaknya seperti Nyonya besar di rumah ini saja. Up. Inah! Apa yang kamu pikirkan? Jelas lah! Mereka kan pasti orang-orang berada. Biasa seperti itu.

Pas Nyonya Maya masuk.

"Em, I-Inah? Ka-kamu beneran gak ingat apapun? Atau kamu lagi bercanda?" kata Tuan Andri angkat bicara. Dia masih saja heran dengan tingkahku. Dia juga mengikat kalimat dengan gagap. Aneh. Dia kan majikan.

"Memangnya kenapa, Tuan? Saya memangnya gimana? Saya juga gak ngerti. Yang jelas, saya kan asisten Tuan. Jadi maksud Tuan gimana?" selidikku. Apa ada sesuatu? Ya Tuhan, apa kami pernah ada hubungan? Seperti di cerita-cerita pembantu dengan majikan? Ya Tuhan, apa aku wanita semacam itu? Tidak! Tidak! Aku janda. Jadi sebelumnya aku ini gimana?

"Inah! Ayok masuk!" Bu Maya tiba-tiba mengagetkan dan langsung menyuruh aku masuk.

"Kamu jangan dekat-dekat dengan Mas Andri. Kamu itu cuma pembantu!" Bu Maya nampak sinis saja padaku sejak tadi. Apa memang aku asisten yang buruk? Ah rasanya tidak.

"Iya, Nyonya. Saya masuk!" jawabku sambil menunduk. Aku tahu diri. Aku hanya seorang asisten rumah tangga. Tapi yang masih aneh, kok kulitku kayak mulus sekali. Bukan seperti asisten rumah tangga kebanyakan. Telapak tanganku juga halus. Gak ada kapalan atau sejenisnya. Nyonya Maya bilang aku yang kerjakan semua pekerjaan rumah. Tapi kok bisa telapak tanganku mulus seperti ini?

"Nah, Inah. Kenalin, ini Mbok Mun. Mbok ini sama seperti kamu. Asisten. Dan kamu dibawa kesini olehnya," kata Nyonya Maya memperkenalkan aku pada Mbok Mun. Wanita paroh baya yang usianya mungkin sudah lima puluh delapan tahunan.

"Mbok," sapaku. Mbok nampak tersenyum kaku. Dia juga tak berani menatapku. Dia seperti canggung dengan kedatanganku.

"Nah, Mbok! Bawa dia ke kamarnya. Jelasin lagi semua pekerjaannya. Jangan sampai ada yang salah. Mbok ngerti, kan!" Tatapan Nyonya Maya pada Mbok Mun amat tajam. Kesannya, Nyonya Maya itu jahat sekali. Kok bisa Pak Andri dapatkan calon istri seperti dia. Sedangkan Pak Andir sejak tadi hanya bengong melihatku. Dia masih aneh saat melihat reaksi-reaksiku. Ah aku bingung.

"A-ayok Inah, kita ke kamar kamu," ajak Mbok Mun. Dia masih tak berani menatapku. Namun aku segera menyusuri langkahnya. Aku yakin, Mbok Mun orangnya baik. Sopan dan bijak. Kelihatan sekali.

Aku melihat sekilas Pak Andri memperhatikanku. Apa kami memang ada hubungan? Oh tidak. Apa-apaan ini? Aku gak boleh jadi pelakor. Pak Andri pasti sangat iba melihat kondisiku. Tapi pas kami saling tatap, dada ini sedikit gemetar. Apa aku dulu pernah suka sama majikanku?

"Sayang, ayok!" Bu Maya mengajak Pak Andri ke ruang tengah. Bu Maya gelendotan. Dan dia nampak seperti wanita kecentilan.

Beberapa saat kemudian.

"Nah, Inah, i-ini kamar kamu. Ka-kamu yakin, kamu gak ingat siapa kamu?" tanya Mbok Mun. Dia memasang raut wajah yang sama. Seperti bingung dan takut.

"Mbok, Mbok kenapa? Aku Inah, kan? Dan ya, Mbok, baju-baju aku dimana? Aku gak nyaman harus pakek baju kayak gini." Aku mulai tahu diri.

Si Mbok nampak bingung. "Eum, anu, baju kamu, baju kamu ada di kamar satunya lagi. Lagi di renovasi sedikit. Kalau gitu, sebentar saya bilang sama tuan Andri." Aneh. Mbok langsung pergi meninggalkan aku di sebuah ruangan kecil berukuran 3x4 meteran. Ya, inilah tempat tidurku. Dan yang lagi di renovasi mana?

Tiba-tiba Mbok Mun datang kembali. Dia nampak membawa beberapa baju daster yang lumayan kuno. "Ini, Inah. Ini baju kamu sementara sebelum tuan belikan lagi," kata Mbok Mun dengan gagap bercampur gugup.

Aku meraih daster-daster yang pasti ukurannya amat longgar ketika kupakai. Karena tubuhku tinggi dan sekitar lima puluh enam kiloan. Sedangkan baju yang Mbok bawa besar-besar sekali.

"Lho, Mbok. Memang baju-baju lama saya kemana? Pasti ada di kamar lain ya? Kalau gitu biar saya ambil saja," usulku.

"Eh, jangan. Kamu nanti kesasar di rumah sebesar ini. Wes nanti aku ambilkan," tawar Mbok Mun dengan logat Jawanya. Sedangkan aku merasa tak punya cengkok Jawa sedikitpun

Aku masih heran. Dan untuk menenangkan situasi, lebih baik aku iya kan saja apa kata mereka. Sambil kuselidiki identitasku yang seperti mengada-ada ini. Ah, aku tak ingat apapun.

***

Sore harinya.

"Maaf, Mbok, ini rumah besar sekali. Tapi kok gak ada foto pemilik rumah, ya. Cuma ada lukisan-lukisan itu?" Mbok Mun yang sedang lap guci dekat lemari pun malah langsung diam dengan wajah panik.

"Mbok! Kenapa?"

***

Selamat datang, Kakak. Bila suka, jangan lupa di follow ceritanya, ya. Follow juga akunku. Jangan lupa pula tinggalkan like dan komentar di bawah biar aku makin semangat. Sampai Jumpa! Vote juga ya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status