INICIAR SESIÓNPintu apartemen tertutup, menandai dimulainya malam panjang yang mungkin akan penuh tantangan.
Philia berdiri di ambang pintu meremas jemarinya sendiri dengan perasaan gusar. Ia masih berdiri di sana, kaku sekali. "Masuk." Titah Timur. Dengan gerakan canggung, Philia beranjak dari ambang pintu, berjalan menuju area tengah apartemen tersebut. Nampak Timur berjalan sempoyongan, menuju lemari pendingin guna membawa sebotol minuman keras untuk menemani malam yang panjang ini. CKLAK!! Timur membuka tutup botol wine dengan gerakan kasar, lalu menuangkannya ke gelas kristal yang sudah menunggu di atas meja. Dalam sekali teguk, cairan merah itu langsung habis, meninggalkan noda di sudut bibirnya. Sorot matanya semakin berat, campuran antara mabuk dan luka yang tak kunjung sembuh. Ia meletakkan gelas dengan suara kencang di atas meja, lalu berdiri mendekati Philia. Tatapannya menelisik tubuh gadis itu dari ujung rambut hingga kaki. "Jangan cuma berdiri. Saya bayar mahal, jadi jangan bikin saya kecewa." Philia terkesiap, namun tubuhnya diam dan kaku. Netranya berusaha menangkap ekspresi Timur, benarkah ia pemuda yang sama dengan siswa SMA Nusa yang ia sukai dulu? Kenapa sekarang..begitu berbeda? Ia nampak berantakan, hancur, dan.. menakutkan. "Ayo, Babe." Timur melepas kancing kemejanya, membuat otot dadanya terlihat jelas. Philia makin kaku. Nafasnya tercekat, jantungnya memukul dadanya terlalu keras. Sementara itu gaun hitam yang ia pakai terasa menyesakkan, seakan menyiksa dirinya yang terjebak dalam situasi ini. Timur melangkah mendekat. Setiap langkahnya membuat Philia mundur selangkah, hingga punggungnya membentur dinding dingin apartemen itu. Bau alkohol, parfum maskulin, dan ketegangan bercampur jadi satu, menyesakkan dada. Dengan tatapan dingin, Timur mengangkat dagu Philia dengan jari telunjuknya. "Nama kamu siapa tadi?" "Ph… Philia?" Ulang Timur. Philia mengangguk, matanya terpejam takut. Timur tersenyum tipis, tapi tak ada kehangatan di sana. "Cantik nama kamu. Malam ini, saya gak peduli siapa kamu. Yang saya mau cuma satu, puasin saya. Saya bayar, kamu nurut." Philia menggertakkan giginya, menahan gemetar. Ia sadar, semua ini adalah konsekuensi dari pekerjaan yang ia pilih. Namun, jika ternyata orangnya adalah kenalannya apalagi Timur.. semuanya tidak akan mudah! Julian dan Maya memang sudah mewanti-wanti dirinya untuk lebih nakal, agresif dan binal. Namun, ia adalah gadis lugu yang tidak pernah bersentuhan dengan laki-laki. Apalagi yang dihadapinya kini.... cinta pertamanya. Bagaimana Philia menghadapinya? Bagaimana ia harus bersikap binal dan liar? Pacaran saja tidak pernah, ia hanya sempat menyukai seseorang. Dan orang itu adalah.. Timur. "Kenapa? Takut?" Gumamnya. Jemari Timur mulai meraba pinggangnya, membuat seluruh bulu kuduk Philia meremang. Sentuhan itu terasa tergesa dan tidak ada perasaan. Setiap sentuhan yang Timur berikan seperti sentuhan liar yang tak berizin. "Jadi beneran kamu masih virgin?" Timur meremas dan mengusap-usap bagian bokong Philia, membuat gadis itu meringis takut. "Kalo liat respon kamu, kayaknya beneran." "Cantik, seksii, dan..virgin." Bisiknya tepat di telinga Philia. Bibirnya mulai menyentuh leher Philia, membuat sentuhan-sentuhan kecil yang sensasional. SLRUP... Ia menjilat telinga Philia, lalu mengunyah daun kupingnya liar dan penuh birahi. Sementara itu, tangan Philia menegang di samping tubuhnya. Kepalan tangannya gemetar, menahan rasa takut dan juga gugup yang bergumul di dalam dadanya. Benarkah ini Timur? Benarkah pemuda ini yang akan mencuri kesucian yang ia punya? Pemuda itu semakin giat menggerayangi dirinya, membuat bulu kuduk Philia meremang. Ia ingin kabur, ia ingin menghindar namun semuanya sudah kepalang tanggung. Nampaknya Timur juga begitu terpuaskan, apalagi harus diakui tubuh Philia ini luar biasa. Dadanya membusung sempurna, pinggulnya meliuk-liuk bak gitar Spanyol, sementara bokongnya menyembul berisi. Sungguh, malam ini tidak akan mudah bagi mereka berdua. Napas Philia tercekat, terlebih ketika hidung pemuda itu bergesekan dengan hidungnya. Dari jarak sedekat ini, dapat ia lihat bagaiman tampannya Timur, tidak berubah sedikitpun meskipun mereka sudah bertahun-tahun tidak pernah bertemu. Sayang, kini mereka bertemu dalam situasi yang tidak bisa dibilang etis apalagi manis Jemarinya pemuda itu kian liar meraba-raba, bibirnya makin giat menyesap, membuat Philia tidak mampu bergerak sedikitpun. Namun tiba-tiba saja bayangan masa lalu menabrak pikirannya. Saat masa SMA, masa ketika ia masih berlari di koridor hanya untuk melihat punggung pria ini. Saat tiap senyum Timur seperti candu, dan saat tiap kata yang keluar dari mulutnya bak peluru yang menembak jantung hati Philia. Ia, yang dua tahun lebih muda dari Timur itu seperti seorang penggemar yang mengidolakan seseorang. Mantan ketua OSIS, murid berprestasi, kerap ikut banyak pertandingan olahraga maupun mata pelajaran dan tentu saja sangat tampan. Philia jatuh cinta, selalu begitu setiap hari. Sampai akhirnya ia menyatakan cinta, dan ditolak karena ternyata Timur sudah berpacaran dengan Alana. Yang kemudian menjadi istrinya. Tapi lihat sekarang, pemuda yang menolaknya itu tengah mencumbu dirinya. Meremas seluruh bagian tubuhnya seperti hewan yang kelaparan. Haruskah Philia senang? Haruskah ia bahagia karena berhasil memadu kasih dengan idolanya dulu? Ataukah.. ia harus berpura-pura tidak pernah mengenalinya? Si mantan ketua OSIS yang dulu menolaknya dengan sadis. Dan tanpa sadar, bibir Philia bergetar mengeluarkan suara lirih yang menghancurkan segalanya. "Timur…" Bisiknya. Gerakan liar Timur yang tengah menggigiti leher dan dada Philia itu seketika terhenti. Kedua matanya menyipit, menatap Philia lebih dalam, kali ini dengan rasa heran. "Apa kamu bilang tadi?" "Kamu manggil siapa?" Philia terdiam, matanya melebar panik. Sadar ia baru saja keceplosan. Timur menunduk, menatapnya lebih dekat. Ada kebingungan, ada amarah, ada rasa ingin tahu yang tiba-tiba muncul. Dan saat itu, ia mulai curiga sesuatu. Ia tidak memberi tahu Julian soal identitasnya. Lalu, darimana pelacur ini tahu namanya? "Kenapa lo tau nama gue? Siapa lo sebenarnya?" Nada bicara Timur meninggi, bahkan tidak bicara semi formal seperti tadi karena ia curiga perempuan ini mengenalnya. Mungkinkah salah satu mahasiswinya? Philia hanya bisa terisak kecil, terjebak antara ingin berbohong atau mengaku. Malam itu, rahasia lama yang harusnya terkubur mulai merayap keluar, mengancam malam yang harusnya berakhir cepat. Bercumbu kasih, bayar, selesai. Namun kini, sepertinya tidak akan berjalan lancar."Lo tau nama gue? Lo kenal sama gue?" Tatapan Timur menusuk, penuh keraguan yang perlahan berubah jadi kejutan. "Tunggu, nama lo siapa tadi?" Pemuda itu mengangkat wajah Philia yang menunduk dengan jari telunjuknya. "Philia, kan?" Ia mengamati wajah itu dengan seksama. Mata yang bulat seperti kelereng, hidung yang mungil dan bibir yang tipis. Rasanya begitu familiar. Semakin dilihat, semakin mirip. Dan, idak salah lagi.. ia adalah... "Philia… Diana Miska?" Panggil Timur dengan suaranya terdengar dingin, tapi juga getir. Philia memejamkan mata, air matanya jatuh begitu saja dari kelopak matanya yang berpoleskan eyeshadow murahan. Ia tak bisa lagi menghindar. Perlahan ia mengangguk, meski tubuhnya bergetar hebat. DAR!!!! Petir besar menyambar, membuat hasrat Timur yang sudah meninggi mendadak terjun ke inti bumi. Sial. Bathinnya. Timur terkekeh, nada tawanya hambar dan penuh luka. Ia memutar tubuhnya sebentar, lalu meneguk langsung sisa wine dari botol. "Gila..
Pintu apartemen tertutup, menandai dimulainya malam panjang yang mungkin akan penuh tantangan. Philia berdiri di ambang pintu meremas jemarinya sendiri dengan perasaan gusar. Ia masih berdiri di sana, kaku sekali. "Masuk." Titah Timur. Dengan gerakan canggung, Philia beranjak dari ambang pintu, berjalan menuju area tengah apartemen tersebut. Nampak Timur berjalan sempoyongan, menuju lemari pendingin guna membawa sebotol minuman keras untuk menemani malam yang panjang ini. CKLAK!! Timur membuka tutup botol wine dengan gerakan kasar, lalu menuangkannya ke gelas kristal yang sudah menunggu di atas meja. Dalam sekali teguk, cairan merah itu langsung habis, meninggalkan noda di sudut bibirnya. Sorot matanya semakin berat, campuran antara mabuk dan luka yang tak kunjung sembuh. Ia meletakkan gelas dengan suara kencang di atas meja, lalu berdiri mendekati Philia. Tatapannya menelisik tubuh gadis itu dari ujung rambut hingga kaki. "Jangan cuma berdiri. Saya bayar mahal, jadi j
Gemercik air hangat yang menetes lewat shower kamar mandi terdengar merdu, memecah keheningan malam yang semakin larut. Di atas kloset duduk yang tertutup, seorang pria tengah menengadah sembari terengah-engah. Matanya terpejam, menikmati hangatnya kamar mandi yang sunyi.Tetesan air terdengar merdu, mengiringi erangan kecil yang terus keluar dari bibirnya tiap kali jemarinya menari-nari di bagian bawah tubuhnya. Namun, sudah bermenit-menit jemarinya menari-nari di sana, kepuasan itu tidak kunjung tiba. Timur, pemuda itu berdecak sebal sembari menyugar rambutnya. Sungguh, usaha yang sia-sia. Sudah berapa kali ia melakukan cara ini untuk memuaskan hasratnya, namun tidak pernah ia merasakan kenikmatan sekalipun. Seolah tiap puncak yang ia raih, hanyalah sebuah uji coba yang tidak ada untungnya. Meskipun ia sudah memancingnya dengan menonton video dewasa, namun tetap saja tiada yang bisa menandingi nikmatnya melakukan semua itu secara langsung. Timur, ia bukanlah bujang lapuk yang
"Kamu... masih perawan?"Philia mengangguk pelan. Jemarinya mencengkram ujung kaus yang ia pakai dengan gemetaran.Tubuhnya menggigil karena rintik hujan sepanjang malam yang menghajar tubuhnya sejak tadi, membuatnya yang sudah rapuh semakin runtuh.Julian, mucikari kelas kakap di Amore Bar dimana Philia berada tersenyum miring, seperti baru saja menemukan berlian di tumpukan debu."Mau dilepas berapa?" Tanyanya, dengan seringai kecil mengerikan.Philia tak menjawab. Matanya kosong, tapi sorotnya menyimpan badai yang bergemuruh.Di dalam kepalanya hanya ada dua alasan untuk melakukan semuan ini. Yakni bayangan sosok ibunya yang terbaring di kasur rumah sakit, serta bayangan ayahnya yang tengah meringkuk di penjara tanpa mampu mengajukan banding apalagi menyewa pengacara untuk meringankan kasusnya. Philia tidak boleh gentar, tidak boleh menyerah. dengan yakin ia merogoh saku tasnya lalu mengeluarkan sebuah lembar tagihan rumah sakit. Ia membuka kertas itu, lalu membacanya."20.585.500
Tes...tes...tes... Hujan di malam itu belum reda, justru rintiknya semakin deras menghantam aspal jalanan. Dari atas jembatan, seorang gadis pecundang memandang nanar kendaraan yang berlalu lalang di bawah sana. Entah akan kemana tujuan mereka semua, yang jelas sama seperti dirinya yang juga punya tujuan. Tapi, bedanya tujuan gadis ini adalah sebuah kematian. Ia mencengkeram kencang pagar pembatas, merasakan dinginnya besi lengkap dengan baunya yang khas. Philia Diana Miska, gadis berusia 24 tahun itu harus menghadapi kenyataan pahit bahwa ia tercipta sebagai manusia gagal segalanya. Ayahnya dipenjara, namun bukan karena kesalahannya sendiri. Tapi karena membela dirinya yang hampir dirudapaksa oleh seseorang, preman pasar yang mabuk di malam sial itu. Pria itu dibunuh di depan matanya sendiri, oleh sosok pria yang selama ini mengayomi dan menyayangi dirinya. Tak main-main, Ayahnya dijatuhi hukuman mati karena terbukti melakukan tindakan pembunuhan berencana. Sementara







