Dua hari berikutnya, anak buah Rafael turun ke pelabuhan timur. Kepala-kepala kecil di sana sudah digiring, ditanya, dipukul, kuku dicabut, tulang dipatahkan, wajah disetrum dengan kabel listrik. Namun hasilnya nihil. Semua bersumpah tidak tahu.
Rafael duduk di sebuah ruangan yang ia gunakan untuk interogasi. Dindingnya bercat putih tapi kini ternodai bercak merah yang tak pernah hilang meski sudah disikat. Di hadapannya, Marco melaporkan hasil penyelidikan. “Don, kami sudah tanya semua mandor di dermaga. Tidak ada yang mengaku. Mereka ketakutan, tapi... sepertinya mereka benar-benar tidak tahu.” “Tidak mungkin kontainer sebesar itu hilang tanpa ada yang sadar,” ucapnya dingin. “Ada seseorang yang menutup mulut mereka. Ada yang lebih besar dari sekadar mandor dermaga.” Marco menunduk. “Ada satu nama yang disebut beberapa kali, tapi, dia licin. Tidak ada catatan resmi. Bahkan kepolisian tidak punya data lengkap. Mereka hanya menyebutnya The Ghost.” Alis Rafael terangkat tipis. “Hantu?” “Ya, Don. Seorang broker bayangan. Katanya, dia bisa keluar masuk semua jalur barang tanpa terdeteksi. Tapi tidak ada yang tahu wajah aslinya.” Rafael menyandarkan punggung ke kursi, menghembuskan asap cerutu. “Semua orang punya wajah. Bahkan hantu pun butuh tubuh untuk berjalan di dunia ini.” ••• Malam berikutnya, Rafael mendapat kabar bahwa ada satu orang yang mungkin tahu tentang The Ghost. Seorang pedagang senjata kelas menengah bernama Viktor Dragunov. Lelaki Rusia dengan perut buncit, gemar memakai cincin emas di setiap jarinya. Rafael memerintahkan agar Viktor dibawa padanya. Ruang bawah tanah kembali dipenuhi aroma besi, dan asap. Viktor diikat di kursi, wajahnya babak belur. Darah mengalir dari hidungnya, menetes ke lantai. Rafael berjalan mengitari kursi itu dengan tenang, langkah sepatunya berderap pelan. Ia berhenti di depan Viktor, menatapnya lama. “Viktor,” suaranya tenang, hampir ramah. “Kau orang yang pintar. Aku tahu kau lebih suka uang daripada nyawa orang lain. Jadi katakan padaku siapa The Ghost?” Viktor terisak, menggeleng. “Aku... aku tidak bisa, Don. Dia terlalu berbahaya. Jika aku buka mulut, keluargaku yang akan mati duluan. Aku lebih baik mati di sini.” Rafael tersenyum tipis. “Keputusan yang mulia.” Ia mengambil pisau kecil dari meja. Dengan gerakan tenang, ia mengiris pelan kulit di pipi Viktor, membuat darah baru mengalir. “Tapi kau salah. Keluargamu tetap akan mati. Bedanya, kau tidak akan ada di sana untuk melindungi mereka.” Viktor menggigil, tubuhnya bergetar. “Don, aku mohon jangan. Jangan sentuh mereka.” “Lalu bicara.” Viktor memejamkan mata. Air matanya bercampur darah. “Aku hanya tahu satu hal. Ada seorang kurir, tapi tidak seperti yang lain. Aku tidak tahu siapa dia sebenarnya, tapi, dia orang yang pernah kulihat berbicara langsung dengan The Ghost. Itu saja, hanya itu yang kutahu.” Tanpa menunggu lama, ia menodongkan pistol ke dahi Viktor. “Don, tunggu!” teriak Viktor panik. “Aku sudah memberikan informasi! Aku...” Dor! Satu peluru menembus tengkoraknya. Darah dan serpihan otak memercik ke lantai. Rafael menurunkan pistol dengan ekspresi datar. “Orang yang takut lebih memilih berbohong daripada jujur. Aku tidak suka membuang waktu dengan pengecut.” ••• Klub malam kembali berdenyut dengan musik keras, seolah darah yang mengalir beberapa jam lalu hanyalah sebuah mainan bagi Rafael. Lampu strobo menari, dentuman bass mengguncang dinding, dan orang-orang kembali tenggelam dalam alkohol, tarian, serta hasrat. Di balkon VIP, Rafael duduk bersandar pada kursi kulit hitam. Jasnya masih sama, elegan, tanpa noda meski beberapa jam sebelumnya ia menembak kepala seorang tanpa ragu. Seperti biasa, tubuhnya memancarkan aura dingin. Sebuah tanda bahwa ia tak mengenal kata goyah. Namun malam itu berbeda. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Bukan soal bisnis, bukan soal musuh, tapi tentang keberadaan seseorang. Seorang saksi. Tak seharusnya ada saksi. Apalagi seorang perempuan yang bukan bagian dari dunia mereka. Dia ingat jelas, beberapa jam sebelumnya, di lorong pelabuhan timur saat darah masih menetes dari dinding, dia merasakan ada tatapan asing. Begitu dia berbalik, matanya bertemu dengan sepasang mata biru tajam milik seorang perempuan. Rambutnya pirang keemasan, tergerai berantakan seolah ia baru saja berlari. Tubuhnya gemetar, tapi matanya, anehnya, tidak memancarkan ketakutan yang biasanya ia lihat dari orang-orang yang berhadapan dengannya. ••• Elena tidak pernah menyangka akan melihat kejadian mengerikan malam itu. Ia hanyalah seorang pianis yang baru selesai tampil di sebuah hotel tak jauh dari klub. Malam itu ia memutuskan untuk pulang lewat jalan pintas, melewati gang-gang sempit yang jarang dilalui orang. Namun langkahnya membawanya ke belakang pelaburan timur, tempat sebuah mobil hitam berhenti mendadak. Rasa penasaran membawanya kesana. Ia mengintip dari balik tembok bata, dan saat itulah ia melihat seorang pria berjas rapi menodongkan pistol pada seorang lelaki, memohon ampun. Hanya butuh satu tembakan untuk meredam suara ratapan itu. Darah memercik. Tubuh itu jatuh. Dan saat Elena tersadar, matanya bertemu dengan pria berjas hitam itu. Tatapan dingin, tajam, seolah bisa menembus isi kepalanya. Ia seharusnya lari. Seharusnya menjerit. Seharusnya berbalik dan berpura-pura tidak pernah melihat. Tapi yang terjadi hanyalah diam dan menatap balik. ••• Sekarang, beberapa jam kemudian, Elena duduk di ruang kecil yang jauh dari keramaian. Tangannya diikat ke sandaran kursi, tubuhnya dipaksa duduk tegak. Pintu terbuka. Rafael masuk, langkahnya tenang, tak tergesa. Sepasang sepatu kulitnya berderap di atas lantai kayu, bunyinya lebih nyaring dari dentuman musik. Ia berhenti tepat di depan Elena. Tanpa bicara, ia mengeluarkan pistol, lalu menodongkannya ke kening perempuan itu. Rafael menatap tajam, dingin, tanpa ekspresi. “Biasanya aku menembak tanpa pikir panjang,” suaranya datar, tapi mengandung tekanan yang membuat dada siapa pun terasa sesak. “Apa kau tahu apa yang membuatmu masih bernapas?” Elena menelan ludah. Napasnya berat, tapi matanya tetap pada mata pria itu. Biru bertemu hitam. Api bertemu es. “Mungkin karena aku satu-satunya yang berani menatap matamu, Tuan,” jawabnya lirih, tapi jelas. Keheningan menebal. Pistol itu masih dingin di keningnya, tapi Rafael tidak menekan pelatuk. Bibirnya bergerak sedikit, seperti ingin tersenyum, tapi senyum itu tidak pernah terlihat. Ia hanya menatapnya lama, lalu menurunkan pistol. Tanpa berkata apa pun lagi, Rafael berbalik dan keluar ruangan. Elena tidak mengerti. Dia seharusnya sudah mati. Tapi pria itu membiarkannya hidup. Untuk alasan yang bahkan Rafael sendiri tak pahami. ••• Elena dilepaskan beberapa jam kemudian. Anak buah Rafael, atas perintah sang Don, mengantarnya pulang hingga ke depan pintu apartemennya. Ia tidak disakiti, tidak diancam, hanya ditinggalkan dengan rasa bingung yang menghantui. Ia duduk di ruang tamu, lampu redup, segelas teh dingin di tangan yang bergetar. Setiap kali ia memejamkan mata, ia kembali melihat percikan darah di lorong itu. Tapi yang lebih menghantui bukanlah darah, melainkan mata hitam itu. Mata pria yang seharusnya membunuhnya. “Kenapa dia tidak melakukannya?” gumam Elena pada dirinya sendiri. Ia tahu nama itu, De Luca. Keluarga mafia. Berita tentang mereka sering muncul dalam bisik-bisik kota. Orang-orang menyebut nama itu dengan nada takut, penuh kewaspadaan. Dan kini, Elena yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan dunia itu, justru menjadi saksi langsung. Dan entah kenapa, ia masih hidup. ••• Sementara itu, di rumah megahnya di pinggiran kota, Rafael duduk di ruang kerjanya. Segelas anggur merah ada di meja, tapi belum disentuh. Rokok menyala di antara jari-jarinya, asapnya berputar pelan di udara. Marco, berdiri di depan meja dengan map cokelat. “Kau benar-benar yakin membiarkan perempuan itu pergi?” tanyanya dengan hati-hati. Rafael tidak langsung menjawab. Ia menatap bara rokok, lalu menghembuskan asap. “Seharusnya aku menembaknya. Tapi aku tidak melakukannya.” “Kenapa?” Marco menekan. Rafael menggeleng pelan. “Aku juga tidak tahu.” Diam. Bagi Rafael, itu adalah hal yang langka. Tidak tahu. Ia selalu punya alasan untuk setiap langkahnya. Tapi kali ini, tatapan seorang perempuan membuat jarinya berhenti menarik pelatuk. Tatapan itu bukan sekadar berani, tapi seolah berkata, aku melihatmu, dan aku tidak takut. ••• Hari-hari berikutnya, Rafael kembali menjalankan rutinitasnya. Mengurus bisnis, menyingkirkan musuh, memastikan aliran uang berjalan. Tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang terus mengganggu pikirannya. Seorang perempuan bernama Elena Vetrova. Ia mencari tahu tentangnya. Seorang pianis, lulusan konservatori musik di Moskow, kini bekerja di beberapa hotel dan restoran elit di kota. Hidupnya sederhana, tidak pernah terlibat masalah. Orang tuanya sudah meninggal, ia tinggal sendirian di apartemen kecil. “Bersih,” lapor salah satu anak buahnya. “Tidak ada catatan kriminal. Hanya seniman biasa.” Rafael mendengarkan, lalu mengangguk. Bersih, ya. Itulah masalahnya. Dunia Rafael penuh darah, penuh noda, penuh pengkhianatan. Sedangkan perempuan itu seperti kertas putih yang tak sengaja terciprat tinta hitam. ••• Beberapa malam kemudian, Elena kembali tampil di hotel tempatnya bekerja. Piano grand putih berdiri di tengah ruangan, dan jari-jarinya menari di atas tuts, menciptakan melodi yang membuat para tamu terdiam. Musiknya penuh emosi, seolah setiap nada lahir dari luka yang tak bisa diucapkan. Di antara kerumunan, Elena merasakan ada tatapan yang sama tajam, berat, membekukan udara. Saat ia mengangkat kepala, matanya menangkap sosok pria itu. Rafael duduk di bar, segelas anggur di tangan, matanya tak pernah lepas darinya. Jari Elena nyaris salah menekan tuts. Napasnya tercekat. Tapi ia terus bermain, seolah tidak ada apa-apa. Hanya saja, setiap nada kini bergetar oleh kehadiran pria itu. ••• Setelah penampilan usai, Elena berjalan ke belakang panggung. Namun langkahnya terhenti ketika ia melihat Rafael sudah berdiri di sana, menunggunya. Ia terdiam. Jantungnya berdegup kencang. “Tuan,” ucapnya, berusaha terdengar tenang. Rafael menatapnya lama. “Kau seharusnya lari jauh dari kota ini.” “Dan kalau aku tidak?” Rafael mendekat, jarak mereka hanya sejengkal. Suaranya rendah, nyaris seperti bisikan. “Maka cepat atau lambat, dunia ini akan menelanmu hidup-hidup.” Elena menatap balik, matanya kembali berani. “Atau mungkin, aku hanya menunggu untuk melihat apa yang kau lakukan selanjutnya.” Keheningan panjang. Hanya detak jantung keduanya yang terasa memenuhi ruang. Rafael menunduk sedikit, menatap dalam-dalam mata biru itu. Ada sesuatu di sana sebuah keberanian, atau mungkin kebodohan. ••• Malam itu, Rafael meninggalkan Elena tanpa sepatah kata. Elena mulai melihat sosok pria itu di sudut-sudut kota. Di bar, di restoran, bahkan di jalan ketika ia pulang. Tidak pernah terlalu dekat, tapi cukup untuk ia tahu bahwa Rafael selalu ada. ••• Malam terakhir bulan itu, Elena berdiri di balkon apartemennya, memandang langit malam. Angin dingin menyapu rambutnya. Ia tahu ia sedang diawasi, ia bisa merasakannya. Di seberang jalan, Rafael berdiri di bawah bayangan lampu jalan, rokok di tangannya menyala merah. Ia menatap Elena dari kejauhan, lalu berbalik, menghilang dalam gelap. “Apa yang kau inginkan dariku, De Luca?” bisiknya. Sementara Rafael berjalan ke mobilnya, pikirannya tak berhenti berputar. Seharusnya ia sudah menghapus saksi itu. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Rafael De Luca tidak menuruti logika.Waktu berjalan cepat, tapi bukan berarti Rafael berhenti. Sudah dua minggu sejak pencurian itu.Dan sejauh ini, nihil. Tak ada jejak. Tak ada nama.Semua anak buahnya seperti menabrak dinding yang tak terlihat.Rafael berdiri di ruang bawah tanah miliknya, memandang lampu-lampu yang berkelap-kelip. Asap rokok di tangannya menari, tipis, lalu menghilang diterpa angin. Di depan pintu, dua orang anak buahnya sedang menyeret seorang pria bertubuh gemuk ke tengah ruangan. Mulut pria itu ditutup lakban, tangannya diikat dengan tali plastik. Tubuhnya penuh debu dan keringat.“Buka,” kata Rafael datar.Salah satu anak buahnya merobek lakban itu. Pria gemuk itu langsung terbatuk, hampir tersedak udara.“Don Rafael, saya—”“Diam,” potong Rafael.Nada suaranya pelan, tapi mengandung sesuatu yang membuat semua orang di ruangan itu menelan ludah.Rafael menurunkan tubuhnya sedikit, menatap langsung ke mata pria itu. Tatapannya dingin. Datar. Tak ada amarah, tapi justru itulah yang paling menakutka
Malam itu vila Rafael di tepi pantai Amalfi berkilau seperti istana para dewa. Lampu kristal bergantung di langit-langit tinggi, cahaya keemasan memantul di dinding kaca, sementara musik elektronik berdenyut menembus udara. Lantai marmer dingin dipenuhi jejak langkah tangannya. Model, bintang televisi, pengusaha yang haus sensasi, dan wanita-wanita muda yang datang hanya untuk menjadi bagian dari pesta sang Don.Di halaman belakang, kolam renang memantulkan cahaya bulan. Alkohol mengalir seperti sungai. Sampanye, bourbon, vodka, semua dituang tanpa henti. Tawa keras bercampur dengan desahan, tubuh-tubuh menempel, dan aroma parfum bercampur dengan bau tembakau mahal.Namun di tengah kegaduhan itu, Rafael duduk di kursi kulit hitam di ruang utama vila. Wajahnya tetap dingin, matanya kelam, menatap kerumunan tanpa benar-benar melihat. Ia menyalakan cerutu, mengisapnya dalam-dalam, lalu membuang asapnya dengan gerakan lambat.Semua ini seharusnya menghiburnya.Tapi tidak.Sejak malam di k
Dua hari berikutnya, anak buah Rafael turun ke pelabuhan timur. Kepala-kepala kecil di sana sudah digiring, ditanya, dipukul, kuku dicabut, tulang dipatahkan, wajah disetrum dengan kabel listrik. Namun hasilnya nihil. Semua bersumpah tidak tahu. Rafael duduk di sebuah ruangan yang ia gunakan untuk interogasi. Dindingnya bercat putih tapi kini ternodai bercak merah yang tak pernah hilang meski sudah disikat. Di hadapannya, Marco melaporkan hasil penyelidikan. “Don, kami sudah tanya semua mandor di dermaga. Tidak ada yang mengaku. Mereka ketakutan, tapi... sepertinya mereka benar-benar tidak tahu.” “Tidak mungkin kontainer sebesar itu hilang tanpa ada yang sadar,” ucapnya dingin. “Ada seseorang yang menutup mulut mereka. Ada yang lebih besar dari sekadar mandor dermaga.” Marco menunduk. “Ada satu nama yang disebut beberapa kali, tapi, dia licin. Tidak ada catatan resmi. Bahkan kepolisian tidak punya data lengkap. Mereka hanya menyebutnya The Ghost.” Alis Rafael terangkat tipis.
Hujan deras masih menuruni langit kota saat Rafael keluar dari gudang tua itu. Api yang melahap tubuh Lorenzo masih terlihat samar di balik kaca mobil hitam yang menunggunya. Bau asap bercampur darah menempel di udara, seolah menjadi dupa persembahan bagi kematian malam ini.Pintu belakang mobil dibuka oleh Marco. Rafael masuk tanpa sepatah kata. Hanya bunyi korek api yang terdengar ketika ia menyalakan cerutunya. Asap perlahan memenuhi kabin, bercampur dengan aroma kulit mewah dari kursi mobil.“Ke mana, Don?” tanya Marco hati-hati.Rafael menghembuskan asapnya, menatap kosong ke arah jendela yang dipenuhi butiran hujan. “Ke klub. Aku butuh musik keras untuk menenggelamkan bau pengkhianat ini.”Mobil pun melaju menembus jalanan kota yang basah. Lampu neon dari bar, hotel, dan toko-toko tua memantul di aspal. Suasana malam terasa hidup, tapi bagi Rafael, semua hanya riuh tanpa arti.•••The Black OrchidKlub malam milik Rafael yang terkenal paling eksklusif di kota. Dari luar, gedung
Rafael berjalan perlahan menyusuri lorong. Sepatunya berderap tenang di atas marmer putih.Ia berhenti di depan sebuah pintu berukir tua, lalu mendorongnya dengan tenang. Ruangan itu remang, diterangi hanya oleh dua lampu meja di sudut. Tirai panjang menutup rapat jendela, menciptakan suasana seakan dunia di luar tidak ada.Di ranjang king-size dengan sprei satin hitam, seorang perempuan cantik sudah menunggunya. Rambut panjangnya terurai, matanya berhias eyeliner pekat, bibirnya merah darah. Tubuhnya dibalut gaun tipis yang nyaris transparan, seolah memang dirancang hanya untuk dilepas.Ia bangkit perlahan, menyambut Rafael dengan senyum yang dibuat-buat.“Don Rafael,” ucapnya lembut, “aku sudah menunggu.”Rafael hanya menatap, dingin, sebelum meneguk sisa anggur di gelasnya. Ia meletakkan gelas di meja samping, lalu melepaskan jas hitamnya. Gerakannya rapi, terukur, seakan melepas lapisan identitasnya satu per satu.Perempuan itu mencoba meraih tangannya, tapi Rafael menahan gerakan
Di balkon rumah besar milik keluarganya, ia berdiri tegak, jas hitamnya jatuh rapi, dasi sutra abu-abu tergantung dengan ketelitian yang nyaris obsesif. Di tangannya ada segelas anggur merah, warnanya nyaris serupa darah segar. Matanya yang kelam menatap langit jingga. Ia menarik napas pelan, seakan sedang menghirup aroma kematian. “Indah,” gumamnya lirih. “Indah seperti saat tubuh kehilangan panasnya.” Di balik punggungnya, suara langkah-langkah berbaris rapi terdengar. Anak buahnya menunduk, membuka pintu besar yang mengarah ke ruang bawah tanah. “Don Rafael,” suara salah satu anak buahnya parau, penuh rasa takut. “Kami sudah menyiapkan orangnya. Seperti yang Anda perintahkan.” Rafael meletakkan gelas anggurnya di meja marmer, lalu menyalakan cerutu. Asap putih mengepul, menyelubungi wajahnya yang teduh sekaligus menyeramkan. Ia berbalik. Senja di belakangnya menorehkan siluet, membuat sosoknya seperti malaikat kegelapan yang turun ke bumi. “Bawa aku ke sana.” ••• Ruang Baw