Share

Chapter 2

Author: Aqillah
last update Last Updated: 2025-09-27 11:38:10

Rafael berjalan perlahan menyusuri lorong. Sepatunya berderap tenang di atas marmer putih.

Ia berhenti di depan sebuah pintu berukir tua, lalu mendorongnya dengan tenang. Ruangan itu remang, diterangi hanya oleh dua lampu meja di sudut. Tirai panjang menutup rapat jendela, menciptakan suasana seakan dunia di luar tidak ada.

Di ranjang king-size dengan sprei satin hitam, seorang perempuan cantik sudah menunggunya. Rambut panjangnya terurai, matanya berhias eyeliner pekat, bibirnya merah darah. Tubuhnya dibalut gaun tipis yang nyaris transparan, seolah memang dirancang hanya untuk dilepas.

Ia bangkit perlahan, menyambut Rafael dengan senyum yang dibuat-buat.

“Don Rafael,” ucapnya lembut, “aku sudah menunggu.”

Rafael hanya menatap, dingin, sebelum meneguk sisa anggur di gelasnya. Ia meletakkan gelas di meja samping, lalu melepaskan jas hitamnya. Gerakannya rapi, terukur, seakan melepas lapisan identitasnya satu per satu.

Perempuan itu mencoba meraih tangannya, tapi Rafael menahan gerakan itu dengan tatapan tajam.

“Diam saja,” katanya pelan tapi tegas, nadanya bagai perintah yang tidak bisa ditawar. “Tubuhmu dipakai untuk melayaniku, bukan untuk bicara.”

Perempuan itu terdiam, seakan jantungnya berhenti sesaat. Namun ia menunduk, patuh, lalu berbaring kembali di ranjang.

Rafael mendekat. Jemarinya yang dingin menyusuri lekuk wajah perempuan itu, kemudian turun ke leher, dada, hingga ke pinggang. Sentuhan yang bukan kelembutan seorang kekasih, melainkan milik algojo yang sedang memeriksa kualitas senjata.

Ciuman pertama mendarat di bibir perempuan itu, keras, panas, nyaris brutal. Perempuan itu menggigil, tapi matanya terpejam, membiarkan dirinya larut dalam arus gairah yang tak bisa ia kendalikan.

Bagi Rafael, bukan cinta yang lahir dari momen itu, melainkan pelampiasan, cara untuk membuang sisa adrenalin setelah darah tumpah di ruang bawah tanah. Ia tidak butuh kata-kata, tidak butuh emosi, hanya tubuh yang bisa ia gunakan hingga semua keresahan dalam dirinya larut.

Suara napas mereka memenuhi ruangan. Aroma anggur, asap cerutu yang masih menempel di tubuh Rafael, dan parfum mahal perempuan itu bercampur menjadi satu, menciptakan antara keintiman dan ancaman.

Sesekali perempuan itu berusaha mengeluarkan suara, tapi Rafael selalu menekannya dengan ciuman keras. Seolah ia ingin memastikan bahwa keheningan tetap jadi bagian dari kepuasannya.

Di balik semua itu, matanya sesekali kosong menatap tembus pandang, seakan tubuh yang ia peluk hanyalah cangkang. Yang sebenarnya menemaninya bukanlah perempuan itu, melainkan bayangan musuh, dan darah.

Perempuan itu mungkin menikmati. Namun satu hal yang pasti, ia hanyalah mainan. Boneka hidup yang dipakai Rafael untuk melampiaskan hasratnya.

•••

Setelah tubuh mereka sama-sama basah oleh peluh, Rafael bangkit. Ia mengambil rokok dari meja, menyalakannya dengan gerakan santai. Asap putih mengepul, memenuhi ruangan yang sudah pengap oleh hawa panas.

Perempuan itu masih berbaring, napasnya terengah. Ia mencoba tersenyum, berharap bisa memecah keheningan.

“Anda luar biasa, Don.”

Rafael hanya menghembuskan asap ke udara, lalu mengenakan kembali kemejanya tanpa menoleh.

“Kalau kau berharap lebih dari sekadar ini, kau salah,” katanya dingin.

Perempuan itu terdiam. Senyumnya perlahan luntur, menyisakan wajah kosong.

Rafael meneguk segelas anggur baru yang tadi ia bawa masuk, lalu berdiri di depan cermin besar di sudut ruangan. Bayangan dirinya tampak sempurna.

Ketukan pintu memecah keheningan. Suara Marco terdengar dari luar.

“Don Rafael, ada laporan baru. Penting.”

Rafael menatap sekali lagi ke arah perempuan itu, lalu mengambil jasnya. Ia meninggalkan rokok yang masih menyala di asbak, berjalan tenang menuju pintu.

Sebelum keluar, ia menoleh sekilas.

“Kau boleh pergi." Perempuan itu hanya mengangguk.

Rafael membuka pintu, menemukan Marco sudah berdiri kaku. Wajah tangan kanannya itu tegang, matanya menahan sesuatu yang berat.

“Ada apa?” tanya Rafael, suaranya rendah.

“Don, ada nama yang kami temukan.” Marco menelan ludah. “Salah satu orang dalam kita. Pengkhianat yang bekerja sama dengan Marchetti.”

Tatapan Rafael menggelap. Jemarinya mengepal pelan.

“Siapa?”

Marco menunduk lebih dalam.

“Orang itu adalah salah satu keluarga anda sendiri.”

Sejenak, hening terasa menyesakkan. Rafael tidak bergeming, hanya wajahnya yang menegan.

Ia menghela napas panjang, lalu melangkah keluar dari kamar.

“Kalau begitu, malam ini belum berakhir.”

Rafael berjalan di samping Marco, lorong panjang rumah itu seakan menelan keheningan mereka. Hanya suara sepatu yang beradu dengan marmer dingin yang terdengar. Di balik wajah tenangnya, pikirannya berputar.

Pengkhianat. Kata itu selalu menyalakan bara di dadanya. Baginya, tidak ada dosa yang lebih besar selain menghancurkan kesetiaan dalam keluarga. Maka, sekali ada yang mengkhianati, satu-satunya hukuman adalah kematian.

“Apa kau yakin dengan informasi ini?” Rafael akhirnya bertanya, suaranya datar.

Marco mengangguk. “Sumber kita bisa dipercaya. Dokumen, transaksi, bahkan rekaman percakapan semuanya menunjuk pada orang yang sama.”

Rafael tidak langsung menjawab. Ia menyalakan rokok baru, mengisap dalam, lalu menghembuskan asap ke udara. “Siapa pun dia, darahnya harus jadi peringatan. Tidak hanya untuk keluarga kita, tapi juga Marchetti.”

Mereka berhenti di depan ruang kerja Rafael. Marco membukakan pintu, dan Rafael melangkah masuk dengan tenang. Ruangan itu luas, dipenuhi rak buku tua, meja kayu mahoni besar, serta peta kota dengan tanda-tanda merah di beberapa titik.

Di atas meja, sudah ada berkas yang ditinggalkan anak buahnya. Rafael duduk, membuka lembar demi lembar dengan teliti. Foto-foto, catatan transfer, hingga salinan pesan yang sudah disadap.

Nama itu akhirnya muncul.

Lorenzo De Luca.

Sepupunya sendiri.

Rafael menutup berkas itu perlahan, lalu menatap kosong ke depan. Ekspresinya tetap dingin.

Rafael menyandarkan tubuh ke kursi, mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja. " Aku ingin dia merasa aman dulu. Biarkan dia percaya bahwa rencananya berjalan lancar.”

Marco mengangguk cepat. “Lalu?”

“Lalu kita jebak dia dengan permainannya sendiri.” Rafael menatap peta di depannya. “Atur pertemuan kecil. Buat seolah-olah aku tidak tahu. Aku ingin melihat wajahnya saat menyadari bahwa setiap langkahnya sudah kutentukan.”

Marco menunduk. “Siap, Don.”

•••

Malam semakin larut. Rafael meninggalkan rumahnya, diiringi dua mobil pengawal. Kota terlihat sunyi, lampu-lampu jalan menyinari aspal basah sisa hujan sore tadi. Di kursinya, Rafael hanya diam, matanya menatap keluar jendela.

Di kepalanya, satu nama terus terngiang. Lorenzo.

Sepupu yang dulu sering bermain bersamanya saat kecil. Yang dulu berlatih menembak bersamanya di halaman belakang villa keluarga. Yang dulu pernah bersumpah setia, memegang tangan Rafael di atas darah mereka sendiri.

Dan kini, orang itu menjual kesetiaan demi Marchetti.

“Pengkhianat selalu memilih alasan yang sama,” gumam Rafael, lirih. “Uang, dan kuasa. Tapi apapun alasannya, akhir mereka selalu sama, mati!"

Mobil berhenti di sebuah gudang tua di pinggiran kota. Tempat itu sepi, hanya diterangi lampu redup. Di dalam, beberapa orang sudah menunggu.

Begitu Rafael masuk, semua menunduk hormat.

“Don,” ucap salah satu.

Rafael hanya mengangguk, lalu duduk di kursi yang sudah disiapkan. Ia menyalakan cerutu, mengisap perlahan, menikmati rasa pahit yang membakar tenggorokan.

Marco maju, menyodorkan ponsel dengan rekaman suara Lorenzo yang berbicara dengan salah satu orang Marchetti.

“Besok malam, aku akan berikan lokasi penyimpanan senjata De Luca. Dengan itu, Marchetti bisa menyerang tanpa perlawanan,” suara Lorenzo terdengar jelas, penuh keyakinan.

Rafael mendengarkan tanpa perubahan wajah. Hanya matanya yang semakin dingin.

“Besok malam,” katanya akhirnya. “Kita biarkan dia datang. Biarkan dia percaya bahwa ia sudah menang.”

Ia mematikan cerutunya di asbak besi, lalu berdiri. “Dan saat itu tiba, aku sendiri yang akan mengakhiri pengkhianat itu.”

“Don,” ujar Marco ragu, “Anda yakin ingin menghadapi Lorenzo sendiri? Saya bisa mengatur eksekusi cepat, tanpa perlu risiko.”

Rafael menoleh, matanya tajam. “Kematian cepat adalah hadiah. Kau tahu itu, Marco.”

Marco menunduk, tak berani menatap lagi.

Rafael berjalan ke jendela gudang, menatap hujan yang mulai turun tipis. Butir-butir air memantulkan cahaya lampu, seolah langit ikut menangis.

“Dia keluarga,” katanya pelan. “Dan pengkhianatan dari keluarga harus dibayar lebih mahal daripada yang lain.”

Ia menghela napas, lalu berbalik. “Besok malam, Marco. Pastikan semuanya siap. Tak boleh ada kesalahan.”

Marco menunduk lagi. “Ya, Don.”

•••

Malam berikutnya datang dengan cepat. Hujan deras sejak sore membuat jalanan licin, udara dingin menusuk. Di kejauhan, kilatan petir memecah langit hitam.

Gudang tua di pelabuhan sudah disiapkan. Pintu-pintu besi terbuka, seolah menyambut tamu terhormat.

Di dalam, Rafael duduk di kursi besi yang diposisikan di tengah ruangan. Tenang. Jas hitamnya licin terkena cahaya lampu, wajahnya tanpa ekspresi.

Pintu berderit. Lorenzo masuk, diikuti tiga orang anak buahnya. Salah satunya, seorang pria bernama Vittorio, membawa koper kecil.

“Sepupu,” sapa Lorenzo dengan senyum lebar. “Aku senang kau mau datang. Tidak mudah membuatmu keluar dari sarangmu, tahu?”

Rafael hanya mengangguk, lalu menyalakan cerutu. “Kalau soal keluarga, aku selalu datang.”

Lorenzo tertawa kecil. “Kau tahu kenapa aku memintamu bertemu? Karena aku masih menghargai kenangan masa kecil kita.”

Asap keluar dari bibir Rafael, perlahan menari di udara. “Kalau begitu, kenapa kau duduk di kursi musuhku?”

Lorenzo mencondongkan tubuh. “Karena musuhku bisa jadi masa depanku. Kau keras kepala, Rafael. Kau pikir De Luca bisa bertahan selamanya? Marchetti lebih pintar, lebih kaya, lebih modern. Aku hanya memilih sisi yang tepat.”

“Dengan menjualku?” Rafael balik bertanya, tenang.

Lorenzo mengangkat bahu. “Ini bisnis. Kau juga akan melakukan hal yang sama bila di posisiku.”

Suasana hening. Hanya suara hujan deras di luar dan detak jam tua di dinding.

Rafael akhirnya tersenyum tipis. “Kau benar. Aku akan melakukan hal yang sama. Bedanya,” ia mencondongkan tubuhnya, menatap Lorenzo, “aku tidak pernah kalah dalam permainan.”

Lorenzo mengernyit, merasakan sesuatu yang tidak beres. Ia memberi kode pada anak buahnya. Vittorio membuka koper, memperlihatkan beberapa jenis senjata api dan beberapa dokumen.

“Ini hanya awal,” kata Lorenzo. “Kalau kau mau berunding dengan Marchetti, kau bisa punya lebih banyak daripada yang kau bayangkan. Atau kau bisa menolak, dan malam ini jadi akhir untukmu.”

Suara klik terdengar. Dua anak buah Lorenzo langsung mengarahkan pistol ke kepala Rafael.

Namun Rafael tidak bergeming. Ia hanya menghembuskan asap cerutunya, lalu menoleh sebentar ke arah Vittorio.

Dan di situlah wajah Lorenzo berubah pucat. Karena Vittorio, orang kepercayaannya sendiri, justru mengarahkan pistolnya ke pelipis Lorenzo.

“Apa yang kau lakukan, Vittorio?!” teriak Lorenzo, panik.

Vittorio menunduk hormat ke Rafael. “Don, seperti yang sudah kita sepakati.”

Rafael akhirnya berdiri. “Kau kira aku akan datang ke sini tanpa memastikan setiap bidak di papan sudah pada tempatnya?”

Lorenzo memutar kepala ke sana kemari, keringat bercucuran. “Tidak, tidak mungkin. Vittorio, aku yang menyelamatkanmu waktu polisi hampir menangkap kau di Milan!”

Vittorio menatapnya datar. “Benar. Dan Don Rafael yang menyelamatkan keluargaku."

Lorenzo mulai bergetar. Tangannya gemetar mencoba meraih pistol, tapi terlalu lambat. Dua anak buah lain yang tadi mengancam Rafael kini sudah dilumpuhkan oleh sniper tersembunyi. Satu peluru di tangan, satu lagi di kaki. Jeritan mereka pecah. Kini hanya tersisa Lorenzo.

Rafael berjalan mendekat pelan, sepatu kulitnya berderap berat di lantai besi. “Kau lihat, Lorenzo? Kau pikir kau sedang bermain catur. Tapi kenyataannya, kau hanyalah seekor anjing yang kubiarkan melangkah agar aku bisa mematahkanmu di akhir.”

Lorenzo mundur, menabrak meja. “Kau tidak akan berani membunuhku!”

Rafael mendekat begitu dekat, wajahnya hanya sejengkal dari Lorenzo. “Dan justru karena itu, kematianmu harus jadi peringatan paling indah.”

Dengan gerakan cepat, Rafael meraih kepala Lorenzo, menghantamkannya ke meja besi. Darah muncrat dari pelipis. Jeritan menggema.

Rafael mengambil pisaunya, lalu menusuk tangan Lorenzo hingga menancap di meja. Lorenzo menjerit, tubuhnya bergetar menahan sakit.

“Rasanya bagaimana?” bisik Rafael. “Tangan yang dulu kau gunakan untuk bersumpah setia padaku kini terpaku karena pengkhianatanmu.”

Ia lalu meraih lengan satunya, mengiris perlahan sepanjang kulit, darah menetes ke lantai. “Dulu kita berlatih menembak bersama. Kau tahu senjata? Itu terlalu singkat. Aku ingin kau merasakan setiap detik kepergianmu.”

Lorenzo menangis, air mata bercampur darah. “Rafael, ampun. Aku salah, aku yang salah.”

Rafael mendekatkan wajahnya. “Kesalahanmu adalah percaya bahwa aku masih bisa mengenal kata ampun.”

Pisau itu menembus perut Lorenzo, ditarik perlahan ke samping, membuat darah dan isi tubuh mulai keluar. Jeritan Lorenzo berubah jadi raungan putus asa.

Rafael menahan bahunya, memaksanya tetap menatap. “Buka matamu! Kau mati menatapku, bukan menatap tanah. Kau harus tahu wajah siapa yang mengantarmu ke neraka.”

Darah Lorenzo merembes dari mulutnya. “Kita keluarga.”

“Keluarga?” Rafael menyeringai dingin. “Kau hanya sampah yang menjual darahnya sendiri.”

Dan dengan satu gerakan kejam, Rafael menancapkan pisau itu ke jantung Lorenzo. Tubuh sepupunya terhentak, lalu lemas.

Hening.

Vittorio melepaskan pistolnya, lalu menunduk. “Don, perintah selanjutnya?”

Rafael menatap tubuh tak bernyawa di meja, lalu berkata datar. “Bakar. Biarkan hujan membawa abunya ke laut. Dan kabarkan pada Marchetti. Satu lagi pengkhianatnya sudah berakhir.”

Ia berjalan keluar, tidak menoleh lagi. Api segera menyala di belakang, menelan tubuh Lorenzo yang terikat. Bau daging terbakar bercampur darah memenuhi gudang.

Di luar, hujan deras membasahi wajah Rafael. Tapi ia tidak peduli. Satu cerutu baru dinyalakan, dan ia melangkah menuju mobil.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Elena: Luka Terindah   Chapter 6

    Waktu berjalan cepat, tapi bukan berarti Rafael berhenti. Sudah dua minggu sejak pencurian itu.Dan sejauh ini, nihil. Tak ada jejak. Tak ada nama.Semua anak buahnya seperti menabrak dinding yang tak terlihat.Rafael berdiri di ruang bawah tanah miliknya, memandang lampu-lampu yang berkelap-kelip. Asap rokok di tangannya menari, tipis, lalu menghilang diterpa angin. Di depan pintu, dua orang anak buahnya sedang menyeret seorang pria bertubuh gemuk ke tengah ruangan. Mulut pria itu ditutup lakban, tangannya diikat dengan tali plastik. Tubuhnya penuh debu dan keringat.“Buka,” kata Rafael datar.Salah satu anak buahnya merobek lakban itu. Pria gemuk itu langsung terbatuk, hampir tersedak udara.“Don Rafael, saya—”“Diam,” potong Rafael.Nada suaranya pelan, tapi mengandung sesuatu yang membuat semua orang di ruangan itu menelan ludah.Rafael menurunkan tubuhnya sedikit, menatap langsung ke mata pria itu. Tatapannya dingin. Datar. Tak ada amarah, tapi justru itulah yang paling menakutka

  • Elena: Luka Terindah   Chapter 5

    Malam itu vila Rafael di tepi pantai Amalfi berkilau seperti istana para dewa. Lampu kristal bergantung di langit-langit tinggi, cahaya keemasan memantul di dinding kaca, sementara musik elektronik berdenyut menembus udara. Lantai marmer dingin dipenuhi jejak langkah tangannya. Model, bintang televisi, pengusaha yang haus sensasi, dan wanita-wanita muda yang datang hanya untuk menjadi bagian dari pesta sang Don.Di halaman belakang, kolam renang memantulkan cahaya bulan. Alkohol mengalir seperti sungai. Sampanye, bourbon, vodka, semua dituang tanpa henti. Tawa keras bercampur dengan desahan, tubuh-tubuh menempel, dan aroma parfum bercampur dengan bau tembakau mahal.Namun di tengah kegaduhan itu, Rafael duduk di kursi kulit hitam di ruang utama vila. Wajahnya tetap dingin, matanya kelam, menatap kerumunan tanpa benar-benar melihat. Ia menyalakan cerutu, mengisapnya dalam-dalam, lalu membuang asapnya dengan gerakan lambat.Semua ini seharusnya menghiburnya.Tapi tidak.Sejak malam di k

  • Elena: Luka Terindah   Chapter 4

    Dua hari berikutnya, anak buah Rafael turun ke pelabuhan timur. Kepala-kepala kecil di sana sudah digiring, ditanya, dipukul, kuku dicabut, tulang dipatahkan, wajah disetrum dengan kabel listrik. Namun hasilnya nihil. Semua bersumpah tidak tahu. Rafael duduk di sebuah ruangan yang ia gunakan untuk interogasi. Dindingnya bercat putih tapi kini ternodai bercak merah yang tak pernah hilang meski sudah disikat. Di hadapannya, Marco melaporkan hasil penyelidikan. “Don, kami sudah tanya semua mandor di dermaga. Tidak ada yang mengaku. Mereka ketakutan, tapi... sepertinya mereka benar-benar tidak tahu.” “Tidak mungkin kontainer sebesar itu hilang tanpa ada yang sadar,” ucapnya dingin. “Ada seseorang yang menutup mulut mereka. Ada yang lebih besar dari sekadar mandor dermaga.” Marco menunduk. “Ada satu nama yang disebut beberapa kali, tapi, dia licin. Tidak ada catatan resmi. Bahkan kepolisian tidak punya data lengkap. Mereka hanya menyebutnya The Ghost.” Alis Rafael terangkat tipis.

  • Elena: Luka Terindah   Chapter 3

    Hujan deras masih menuruni langit kota saat Rafael keluar dari gudang tua itu. Api yang melahap tubuh Lorenzo masih terlihat samar di balik kaca mobil hitam yang menunggunya. Bau asap bercampur darah menempel di udara, seolah menjadi dupa persembahan bagi kematian malam ini.Pintu belakang mobil dibuka oleh Marco. Rafael masuk tanpa sepatah kata. Hanya bunyi korek api yang terdengar ketika ia menyalakan cerutunya. Asap perlahan memenuhi kabin, bercampur dengan aroma kulit mewah dari kursi mobil.“Ke mana, Don?” tanya Marco hati-hati.Rafael menghembuskan asapnya, menatap kosong ke arah jendela yang dipenuhi butiran hujan. “Ke klub. Aku butuh musik keras untuk menenggelamkan bau pengkhianat ini.”Mobil pun melaju menembus jalanan kota yang basah. Lampu neon dari bar, hotel, dan toko-toko tua memantul di aspal. Suasana malam terasa hidup, tapi bagi Rafael, semua hanya riuh tanpa arti.•••The Black OrchidKlub malam milik Rafael yang terkenal paling eksklusif di kota. Dari luar, gedung

  • Elena: Luka Terindah   Chapter 2

    Rafael berjalan perlahan menyusuri lorong. Sepatunya berderap tenang di atas marmer putih.Ia berhenti di depan sebuah pintu berukir tua, lalu mendorongnya dengan tenang. Ruangan itu remang, diterangi hanya oleh dua lampu meja di sudut. Tirai panjang menutup rapat jendela, menciptakan suasana seakan dunia di luar tidak ada.Di ranjang king-size dengan sprei satin hitam, seorang perempuan cantik sudah menunggunya. Rambut panjangnya terurai, matanya berhias eyeliner pekat, bibirnya merah darah. Tubuhnya dibalut gaun tipis yang nyaris transparan, seolah memang dirancang hanya untuk dilepas.Ia bangkit perlahan, menyambut Rafael dengan senyum yang dibuat-buat.“Don Rafael,” ucapnya lembut, “aku sudah menunggu.”Rafael hanya menatap, dingin, sebelum meneguk sisa anggur di gelasnya. Ia meletakkan gelas di meja samping, lalu melepaskan jas hitamnya. Gerakannya rapi, terukur, seakan melepas lapisan identitasnya satu per satu.Perempuan itu mencoba meraih tangannya, tapi Rafael menahan gerakan

  • Elena: Luka Terindah   Chapter 1

    Di balkon rumah besar milik keluarganya, ia berdiri tegak, jas hitamnya jatuh rapi, dasi sutra abu-abu tergantung dengan ketelitian yang nyaris obsesif. Di tangannya ada segelas anggur merah, warnanya nyaris serupa darah segar. Matanya yang kelam menatap langit jingga. Ia menarik napas pelan, seakan sedang menghirup aroma kematian. “Indah,” gumamnya lirih. “Indah seperti saat tubuh kehilangan panasnya.” Di balik punggungnya, suara langkah-langkah berbaris rapi terdengar. Anak buahnya menunduk, membuka pintu besar yang mengarah ke ruang bawah tanah. “Don Rafael,” suara salah satu anak buahnya parau, penuh rasa takut. “Kami sudah menyiapkan orangnya. Seperti yang Anda perintahkan.” Rafael meletakkan gelas anggurnya di meja marmer, lalu menyalakan cerutu. Asap putih mengepul, menyelubungi wajahnya yang teduh sekaligus menyeramkan. Ia berbalik. Senja di belakangnya menorehkan siluet, membuat sosoknya seperti malaikat kegelapan yang turun ke bumi. “Bawa aku ke sana.” ••• Ruang Baw

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status