Mag-log inVilla De Luca terletak di ketinggian pinggir kota Milan, tersembunyi dari jalan utama dan dikelilingi oleh pepohonan tua yang menjulang. Saat mobil hitam itu berhenti, Elena merasa perutnya terbalik. Bangunan besar bergaya Renaisans itu terlihat megah di kejauhan, tetapi atmosfernya gelap, seperti kandang bagi makhluk yang tidak bisa diberi nama.
Pintu mobil dibuka paksa. “Turun!” ujar salah satu pengawal. “Saya tidak mau masuk!” Elena menahan pintu dengan siku, tetapi tangan pengawal lain dengan kasar menyeretnya keluar. Elena meronta sekuat tenaga, tetapi lengannya terasa seperti ditarik oleh besi hidup. “Lepaskan saya! Kalian tidak punya hak!” “Tutup mulutmu,” hardik pengawal itu. Namun, sebelum Elena bisa menendang, suara langkah Rafael terdengar. “Cukup.” Semua langsung diam, bahkan angin malam pun seolah ikut berhenti. Rafael berdiri di depan villa, mantel hitamnya berkibar tipis ditiup angin. Sorot matanya gelap, tajam, lebih berbahaya dari di gudang tadi. “Bawa dia masuk,” katanya datar. Pengawalnya menyeret Elena menaiki tangga batu. Ia masih memberontak, menendang, menabrak, dan mencoba menggigit apa pun demi lolos. “Saya tidak melakukan apa-apa!” teriaknya. “Kalian tidak bisa memperlakukan perempuan seperti ini!” Rafael hanya mengamati tanpa bereaksi. Begitu memasuki lorong villa yang luas, Elena terus meronta. Namun, tiba-tiba Rafael mendekat. Gerakannya cepat, lebih cepat dari yang Elena duga. Ia meraih lengan Elena, mencengkeramnya kuat dan menariknya sehingga tubuh Elena terpental ke dinding marmer. “Berhenti,” ujar Rafael dengan suara rendah namun mengancam. Elena terkejut, napasnya terputus. Rafael mencondongkan tubuh, wajahnya dekat, terlalu dekat. “Kau terlalu berisik.” “Kau menculikku!” Elena balas menatapnya, meski matanya gemetar. “Apa kau pikir saya akan diam?” Rafael sedikit mendongak, menatapnya dari atas seolah mengukur ketahanan Elena. “Saya bisa membuatmu diam,” ucapnya pelan. Jantung Elena berdegup keras. “Kalau kau mau membunuhku, lakukan saja. Tapi jangan sentuh saya!” Rafael mengerutkan alis, seolah tersinggung. “Saya tidak menginginkan tubuhmu,” katanya dingin. “Kalau saya mau, saya bisa memaksamu sejak di mobil.” Elena menggigit bibirnya, ketakutan bercampur marah. “Lalu apa yang kau mau?!” Selama beberapa detik Rafael hanya menatapnya. Lalu ia melepas cengkeramannya sehingga Elena hampir jatuh. “Bawa dia ke kamar tamu,” kata Rafael kepada dua pengawal. Elena melotot. “Apa? Tidak! Jangan. Saya tidak mau dikurung!” “Kau bukan tahanan biasa,” jawab Rafael tanpa menoleh. “Kau saksi hidup.” Elena berusaha kabur, tetapi pengawal menarik rambutnya untuk menghentikan gerakannya. Elena menjerit dan menampar tangan itu. Pengawal balas akan memukulnya, namun Rafael mengangkat tangan. “Jangan sentuh wajahnya.” Nada perintah itu membuat seluruh ruangan membeku. Pengawal itu akhirnya menahan diri. Elena menggigil. “Apa yang kalian rencanakan?” Rafael berbalik, menatapnya seperti menilai sebuah objek. “Kau akan tinggal di sini sampai saya memutuskan nasibmu.” “Apa maksudmu?” “Entah saya akan melepasmu ….” Rafael berhenti, lalu pandangannya meruncing. "Atau membunuhmu.” Elena hampir pingsan mendengarnya. “Kau gila!” Rafael tidak menyangkal. Ia hanya mendekat lagi, lebih lambat kali ini, lebih terukur, seolah sedang menahan sesuatu dalam dirinya. “Saya seharusnya membunuhmu sejak tadi,” katanya pelan. “Tapi saya tidak bisa.” Elena terpaku. “Kenapa?” “Saya juga tidak tahu.” Setelah mengatakan itu, Rafael melangkah pergi. Namun, sebelum ia menghilang di balik lorong panjang villa, Rafael berkata tanpa melihat ke belakang: “Kuncinya ada di matamu.” *** Kamar tempat Elena dikurung lebih mirip penjara terselubung. Ukurannya besar, tetapi jendela dipasangi teralis. Dua pengawal menjaga di depan pintu. Elena menendang pintu sejak detik pertama. “LEPASKAN SAYA!” teriaknya. “Percuma,” jawab pengawal. “Bos tidak mau mendengarmu.” “Terserah! Saya tidak akan diam!” Ia menendang lagi, kali ini lebih keras, dan lebih kuat. Tiba-tiba suara tumit sepatu menghentikan aksi itu. Rafael berdiri di ambang pintu. “Sudah selesai?” tanyanya tenang. Elena tercekat. “Buka pintu. Sekarang!” Rafael mengamati Elena begitu lama, tatapannya tidak goyah sedikit pun. “Kenapa? Supaya kau bisa pergi ke polisi?” “Saya tidak akan ke polisi. Saya hanya ingin pulang!” Rafael berjalan masuk. Pengawal menutup pintu di belakangnya. Kali ini Rafael berdiri sangat dekat, membuat Elena harus menegakkan dagunya untuk menatapnya. “Pulang?” Rafael mengulang pelan. “Setelah kau melihat apa yang terjadi di gudang?” “Itu bukan salahku! Saya cuma lewat!” “Dan itu,” Rafael menyipitkan mata, “kesalahanmu.” “Kau gila! Kau tidak bisa menyalahkan orang yang tidak sengaja lewat!” “Saya bisa.” Suaranya berubah dingin. “Dan saya sudah melakukannya.” Elena mencoba meninju Rafael, tetapi lelaki itu menangkap tangannya dalam satu gerakan cepat. Ia memiting pergelangan Elena, membuat gadis itu mengerang. “Lepaskan!” Elena mencoba memukul dengan tangan satunya, tetapi Rafael menahannya juga. Sekarang kedua tangan Elena terkunci di belakang punggung, dipegang dengan satu tangan Rafael. “Tenagamu kecil,” ejek Rafael. “Setidaknya saya melawan!” Elena balas sambil menahan napas. “Tidak seperti orang yang hanya bisa membunuh dan kasar terhadap perempuan!” Wajah Rafael berubah. Bukan marah, tetapi ada sesuatu yang menegang di rahangnya. Ia mendorong Elena ke dinding, namun tidak keras. Lebih seperti peringatan. “Saya tidak menyukai kata-kata itu,” ujarnya dingin. “Saya tidak peduli!” Elena membalas berani. “Kalau kau mau membunuhku, lakukan sekarang. Hentikan permainanmu!” Rafael mendekat sampai hidung mereka hampir bersentuhan. “Masalahnya …” Rafael berbisik. "Saya tidak mau memilikimu sebagai mayat.” Elena membelalakkan mata. “K-kau mau apa dariku?” Rafael tidak menjawab. Ia melepas kedua tangan Elena dan mundur satu langkah. “Kau akan makan, kau akan mandi, kau akan tidur.” Rafael menatapnya lama. “Dan kau tidak akan melarikan diri.” “Kalau saya tetap mencoba?” “Kalau kau kabur,” Rafael menaikkan dagu, “saya akan mematahkan kakimu, bukan membunuhmu.” Elena menelan ludah. Ancaman itu lebih menakutkan dari kematian. Rafael berbalik hendak pergi. Namun, sebelum pintu terbuka, Elena berkata lirih. “Mengapa kau berhenti tadi? Kenapa kau tidak membunuhku di gudang?” Rafael berhenti, ia tidak menoleh saat menjawab, suaranya rendah dan kacau, seolah bukan dirinya sendiri. “Karena kau membuatku ragu. Dan saya membenci itu.” Kemudian pintu tertutup. Jam-jam setelah itu terasa panjang bagi Elena. Ia duduk di pojok ruangan, memeluk lututnya, mencoba memikirkan cara melarikan diri. Setiap langkah pengawal terdengar di luar pintu. Setiap suara membuatnya melompat. Tiba-tiba pintu dibuka. Rafael masuk sendirian. “Makan,” katanya sambil meletakkan nampan di meja kecil. Elena tidak bergerak. “Kalau kau pikir saya akan meracunimu,” Rafael duduk di kursi, “kau salah. Saya tidak butuh racun.” “Sangat meyakinkan,” Elena mendesis. Rafael tidak tersinggung. “Kau harus makan. Kalau kau mati kelaparan di sini, saya akan terlihat seperti majikan yang ceroboh.” Elena menggeleng. “Saya tidak percaya padamu.” Rafael berdiri, mendekat, lalu tanpa peringatan menarik dagu Elena agar menatap ke arahnya. “Kau tidak perlu percaya,” bisiknya. “Kau hanya perlu patuh.” Elena mendorong tangan Rafael dan menjauhinya. “Kenapa kau melakukan ini?” tanya Elena, suaranya serak. “Kau bahkan tidak mengenalku.” Rafael menatapnya lama. “Saya lebih mengenal manusia dari yang mereka kira.” “Kau mengenal sisi jahat mereka.” “Sisi jahat yang jujur,” jawab Rafael. Elena memandangnya tajam. “Kau ingin membunuhku. Apa itu jujur juga?” Rafael tidak langsung menjawab. “Ada dua bagian dalam diriku,” katanya datar. “Satu ingin menghabisimu. Satu lagi … tidak.” Elena tercekat. “Dan bagian mana yang akan menang?” Rafael tersenyum, senyum yang sama sekali tidak menenangkan. “Itu bagian yang belum kuputuskan.” *** Malam semakin larut, Elena tidak bisa tidur. Suara ketukan tiba-tiba terdengar di pintu, Elena menegang. Pintu terbuka perlahan. Rafael muncul, lagi. Ia berjalan masuk tanpa kata. Elena bangkit, dan mundur ke sudut. “Apa lagi?” Elena berbisik. “Saya memikirkan sesuatu.” Elena menahan napas. Rafael menatapnya dengan cara yang tidak bisa Elena baca, campuran kebingungan, marah pada dirinya sendiri, dan sesuatu yang nyaris seperti penasaran. “Saya ingin tahu,” katanya pelan. “Apa yang membuatku menghentikanku tadi.” Elena menelan ludah. “Sayatidak tahu.” “Saya tahu.” Rafael mendekat. “Kau takut, tetapi tidak menyerah. Kau gemetar, tapi kau tetap menatapku.” Rafael berhenti tepat di depan Elena, tatapannya menusuk. “Kau menantangku. Dan saya tidak terbiasa ditantang oleh seseorang yang seharusnya saya bunuh.” Padahal, Elena tidak berniat menantangnya. Ia hanya panik. Namun, bagi Rafael, itu adalah sesuatu yang lain. Rafael lalu berkata pelan. “Kau tidak seharusnya hidup.” Elena membeku. “Tapi saya tidak bisa membunuhmu.” Ia tampak frustasi, benar-benar frustasi. Elena memberanikan diri. “Kalau begitu lepaskan saya sekarang.” “Tidak.” “Kenapa?” Rafael menatapnya lama, lalu berkata. “Karena saya membutuhkan waktu untuk memutuskan apakah kau berharga untuk hidup .…” ia mendekat, suaranya rendah, "atau berbahaya untuk dibiarkan.”Ruangan itu kembali sunyi setelah pintu menutup, sepi yang bukan sekadar ketiadaan suara, melainkan sejenis pengosongan yang menempel pada dinding dan lantai. The Ghost berdiri beberapa saat di ambang pintu, tangan masih menjari gagang, lalu melangkah kembali ke meja. Ia menatap gelas bourbon yang selama ini tidak tersentuh. Jejak jarinya di bibir gelas itu tampak samar dalam gelap, seperti tanda yang menunggu untuk diartikan. The Ghost mengangkat gelas itu perlahan, bukan untuk menenggaknya, kebiasaan, atau ritual kecil untuk memastikan bahwa pilihan masih ada, lalu meletakkannya kembali. Di dalam sakunya ada sesuatu yang lebih penting, sebuah paket kecil yang ia tarik keluar dengan gerakan halus. Bungkusan kertas cokelat, pita hitam, tak ada label, hanya bau keringat manusia dan minyak mesin yang menempel sebagai kesaksian hidupnya yang berkelana di lorong-lorong gelap kota.Ia duduk. Meja baja memantulkan sedikit senyumannya yang kering. Dengan teliti The Ghost
Ruangan itu seperti perut malam yang menelan cahaya. Dinding-dindingnya hitam, bukan sekadar warna cat, tapi seperti menelan segala pantulan, membuat udara terasa berat. Di tengah ruangan, hanya ada meja baja tanpa pantulan dan dua kursi. Di atas meja, segelas bourbon yang belum disentuh, dingin seperti niat di balik pertemuan ini.Suara langkah muncul dari lorong panjang. Tak terburu-buru, tapi juga tidak malas, ritme terukur dari seseorang yang tahu betul siapa dirinya. The Ghost duduk, menunggu. Tubuhnya condong sedikit ke depan, jari-jari mengetuk pelan permukaan logam. Ketika pintu terbuka, cahaya dari luar hanya menampakkan siluet seseorang sebelum segera tertelan gelap lagi.“Sudah lama,” suara itu berat, datar, tapi penuh nada sindiran halus.“Belum cukup lama,” jawab The Ghost tanpa menoleh. “Waktu di dunia ini terlalu murah untuk disebut lama.”Orang misterius itu tertawa pendek. “Kau masih sama. Dingin. Sok tahu. Dan selalu berbicara seolah dunia ini di bawah kakimu.”“Buka
Rafael keluar dari mobilnya, mantel panjangnya berkibar ditiup angin malam. Marco berjalan di belakang, masih dengan perban di pelipis. Setelah pertemuannya dengan Marchetti, ia memutuskan ke klub malam miliknya. “Sudah lama kau tidak datang ke sini, Don,” ucap Marco. Rafael hanya menjawab dengan anggukan pelan. Asap rokoknya terhembus, memudar di udara. Di dalam, klub itu tidak seramai biasanya. Musik lembut dari piano mengalun, samar di antara percakapan pelan dan gelas-gelas yang saling beradu. Lampu-lampu gantung menyorot lembut, memantulkan cahaya ke dinding. Rafael melangkah masuk. Semua mata langsung menunduk. Para pelayan yang mengenalinya bergerak cepat, satu mengambil mantel, satu lagi menuntunnya ke meja pribadi di lantai atas, tempat biasa ia duduk. Namun langkahnya terhenti sebelum sampai ke tangga. Di panggung kecil di ujung ruangan, di bawah sorot cahaya biru muda, seorang wanita duduk di depan piano. Elena. Jari-jarinya menari di atas tuts, lembut nam
Di luar, pelabuhan sudah dikepung orang-orangnya. Puluhan pria berpakaian gelap bergerak tanpa suara, menyebar di antara peti-peti kontainer seperti bayangan yang sedang berburu. “Pastikan tidak ada yang keluar hidup-hidup,” ucapnya datar. Salah satu anak buahnya pun menjawab, “Siap, Don.” Rafael menatap ke luar. Dari kejauhan, api kecil menyala, lalu meledak. Kontainer pertama terbakar, disusul ledakan kedua di sisi kiri dermaga. Suara tembakan mulai terdengar, bersahut-sahutan, memantul di antara dinding logam. Ia tersenyum kecil. “Sudah dimulai.” Marco duduk di belakang, kepalanya masih mengeluarkan darah segar, tapi matanya tajam. “Mereka pikir bisa menyentuh pelabuhan kita begitu saja.” “Tidak,” jawab Rafael. “Mereka pikir aku akan diam.” Di tangan kirinya, ia memegang pistol kecil. Di tangan kanan, sebatang rokok yang masih menyala. Asapnya menari-nari di udara dingin. Dua orang anak buahnya mendekat. “Don, mereka bersembunyi di gudang tiga. Sekitar delapan orang.
Waktu berjalan cepat, tapi bukan berarti Rafael berhenti. Sudah dua minggu sejak pencurian itu.Dan sejauh ini, nihil. Tak ada jejak. Tak ada nama.Semua anak buahnya seperti menabrak dinding yang tak terlihat.Rafael berdiri di ruang bawah tanah miliknya, memandang lampu-lampu yang berkelap-kelip. Asap rokok di tangannya menari, tipis, lalu menghilang diterpa angin. Di depan pintu, dua orang anak buahnya sedang menyeret seorang pria bertubuh gemuk ke tengah ruangan. Mulut pria itu ditutup lakban, tangannya diikat dengan tali plastik. Tubuhnya penuh debu dan keringat.“Buka,” kata Rafael datar.Salah satu anak buahnya merobek lakban itu. Pria gemuk itu langsung terbatuk, hampir tersedak udara.“Don Rafael, saya—”“Diam,” potong Rafael.Nada suaranya pelan, tapi mengandung sesuatu yang membuat semua orang di ruangan itu menelan ludah.Rafael menurunkan tubuhnya sedikit, menatap langsung ke mata pria itu. Tatapannya dingin. Datar. Tak ada amarah, tapi justru itulah yang paling menakutka
Malam itu vila Rafael di tepi pantai Amalfi berkilau seperti istana para dewa. Lampu kristal bergantung di langit-langit tinggi, cahaya keemasan memantul di dinding kaca, sementara musik elektronik berdenyut menembus udara. Lantai marmer dingin dipenuhi jejak langkah tangannya. Model, bintang televisi, pengusaha yang haus sensasi, dan wanita-wanita muda yang datang hanya untuk menjadi bagian dari pesta sang Don.Di halaman belakang, kolam renang memantulkan cahaya bulan. Alkohol mengalir seperti sungai. Sampanye, bourbon, vodka, semua dituang tanpa henti. Tawa keras bercampur dengan desahan, tubuh-tubuh menempel, dan aroma parfum bercampur dengan bau tembakau mahal.Namun di tengah kegaduhan itu, Rafael duduk di kursi kulit hitam di ruang utama vila. Wajahnya tetap dingin, matanya kelam, menatap kerumunan tanpa benar-benar melihat. Ia menyalakan cerutu, mengisapnya dalam-dalam, lalu membuang asapnya dengan gerakan lambat.Semua ini seharusnya menghiburnya.Tapi tidak.Sejak malam di k







