Mag-log inSaat kesadaran Elena perlahan kembali, kepalanya terasa berat dan lidahnya kering. Pandangannya buram beberapa detik sebelum akhirnya kembali fokus. Hal pertama yang disadarinya adalah dingin yang menusuk hingga ke tulang, seperti berada di dalam gua batu. Lalu ia menyadari hal berikutnya, kedua pergelangan tangannya diikat ke belakang kursi besi.
Elena langsung panik, ia mencoba bangkit, namun tali di pergelangan tangan menarik lengannya begitu kuat hingga kulit Elena terasa perih. Kakinya juga terikat pada kaki kursi, ia tidak bisa bergerak. “Mereka memindahkan aku,” bisiknya ketakutan. Bukan kamar tamu, bukan di villa itu lagi. Elena mengangkat kepalanya dan mengamati ruangan. Ruang bawah tanah jelas sekali, dindingnya batu tua, lembap, dan tanpa jendela. Cahaya redup dari lampu gantung tunggal di atasnya membuat bayangan panjang menari di lantai. Suara tetesan air bergaung pelan entah dari mana. Ruangan ini tidak seperti penjara biasa. Ada meja baja, rantai di dinding, lemari besi, dan alat-alat yang membuat tubuh Elena gemetar tanpa disentuh. Di tengah paniknya, suara pintu besi berderit, Elena menegang ketika melihat Rafael masuk. Pria itu mengenakan kemeja hitam, lengan digulung sampai siku, tanpa mantel. Tidak ada pengawal, tidak ada senjata yang terlihat, tetapi aura ancamannya jauh lebih mengerikan daripada siapa pun bersenjata. Pintu menutup sendiri di belakangnya, beberapa detik berlalu tanpa kata-kata. “Elena,” sapanya pelan, hampir seperti menegur seorang anak. Elena mencoba menyembunyikan ketakutannya, namun, suaranya gemetar. “Kau tidak perlu mengikatku kalau kau hanya ingin bicara.” Rafael berjalan pelan mengitari kursi, melewati punggung Elena, lalu kembali ke depan. Tidak ada suara selain langkahnya dan detak jantung Elena. “Kita butuh percakapan tanpa drama,” katanya dingin. “Drama? Kau mengikatku ke kursi!” Rafael menatapnya tanpa ekspresi. “Kalau kau dilepas, kau akan menyerang saya. Sudah terbukti.” Elena mendesis, “Karena kau menculikku!” Rafael mengabaikannya. Ia menarik kursi logam lain dan duduk tepat di depan Elena. Jarak mereka hanya dua meter. Sorot mata Rafael begitu tajam sampai Elena merasa seperti ditelanjangi. “Kita mulai.” “Mulai apa?!” Elena menggertakkan gigi. “Kau pikir saya punya informasi rahasia? Saya hanya saksi yang kebetulan lewat!” “Tidak ada yang kebetulan,” balas Rafael datar. Elena menggeleng keras. “Kau gila. Itu gambarannya.” Rafael tidak tersinggung, tidak ada kemarahan. Justru ia tampak semakin mengamati Elena, seolah menikmati menganalisis ketakutan pada perempuan itu. “Elena,” katanya pelan, “kau melihat sesuatu di gudang malam itu. Dan saya ingin tahu apa yang kau lihat.” “Apa maksudmu? Saya melihat kau membunuh orang itu! Itu saja!” “Tidak.” Rafael mencondongkan badan. “Kau melihat lebih dari itu.” Elena memejamkan mata. Adegan itu masih membayang, darah, jeritan, dinginnya senjata, wajah Rafael yang seperti iblis. “Saya tidak melihat apa-apa selain pembunuhan.” “Kau berbohong.” Rafael berdiri, berjalan ke lemari besi, mengambil sesuatu, kertas foto. “Ini orang yang kau lihat kubunuh.” Ia menjatuhkan foto ke pangkuan Elena. Elena melihat foto itu, dan wajahnya memucat. Pria yang terbunuh di gudang, tetapi foto itu berbeda. Tidak ada darah, hanya foto formal, rapi, dan terhormat. “Namanya Marcello,” ujar Rafael tanpa emosi. “Pengkhianat.” Elena ternganga. “P-pengkhianat?!” “Ya.” Rafael kembali duduk. “Pengkhianat harus dibunuh. Itu hukum kami.” Elena meronta dalam ikatan. “Saya tidak peduli urusan mafia kalian! Lepaskan!” Rafael menatapnya seperti mempelajari sesuatu. “Itu masalahnya, kau bukan sekadar saksi, kau menyaksikan sesuatu yang tidak boleh diketahui siapa pun di luar lingkaran keluarga De Luca.” “Saya tidak tahu apa-apa!” “Kau melihat dia menyerahkan sesuatu pada saya sebelum mati.” Elena terdiam, ia ingat detik terakhir sebelum Rafael menembak Marcello. Pria itu menyelipkan sesuatu, secarik kertas? Kode? Foto? ke tangan Rafael. Elena tidak bisa melihat jelas apa itu. Tetapi dia melihat gerakannya, dan Rafael tahu itu. “Kau ingat,” Rafael menyimpulkan. Elena menggeleng. “Tidak. Saya tidak yakin, saya hanya panik, dan saya tidak tahu apa yang saya lihat!” Rafael menatapnya terlalu lama sampai Elena menunduk. “Ketakutanmu nyata,” katanya akhirnya. “Tapi kebohonganmu juga nyata.” “Kau tidak percaya apa pun yang kukatakan!” “Karena setiap orang yang melihat sesuatu berharga selalu memilih untuk berbohong agar selamat. Kau tidak berbeda.” Elena berteriak, frustrasi. “Kalau kau ingin saya bicara, maka lepaskan!” “Tidak.” Rafael berdiri, mendekati Elena dengan langkah perlahan. Ia memegang wajah Elena, bukan lembut, tidak juga kasar, tetapi menghalangi Elena menghindar. “Kau boleh membenciku,” bisiknya. “Kau boleh takut padaku. Tapi kau tidak boleh membohongiku.” Elena menahan napas, menolak mengalihkan pandangannya. “Apa yang kau pikir saya tahu?” Elena memaksa diri bicara tegas. “Kalau saya mengingat apa pun, saya akan mengatakan! Saya tidak ingin mati!” Rafael mengerutkan alis. “Justru itu, kau menginginkan hidupmu. Manusia yang ingin hidup adalah pembohong terbaik.” Elena mengertakkan gigi dan menahan air mata. Rafael melepaskan wajahnya, menarik kursi lebih dekat dari sebelumnya. “Saya tanyakan sekali lagi.” Suaranya dingin, nyaris tidak manusiawi. “Apa yang kau lihat?” Elena menghisap napas cepat. “Marcello … menyerahkan sesuatu padamu, tapi saya tidak tahu apa. Saya tidak tahu!” Rafael menatapnya beberapa detik, lalu, hal yang tidak terduga, ia tersenyum tipis. “Kita maju satu langkah.” Elena bingung. “Tapi saya tidak mengatakan apa-apa!” “Kau mengakui kau melihat sesuatu. Itu berarti kau berbohong sebelumnya.” Ruangan terasa semakin sempit. Rafael berdiri, berjalan ke meja baja dan membuka laci. Elena menahan napas, mengira ia akan mengambil pisau atau pistol, tetapi yang ia keluarkan adalah jam pasir kecil. Rafael meletakkannya di atas meja, membalikkannya. Pasir mulai turun perlahan. “Saya membenci permainan!” Elena memekik. Rafael kembali duduk. “Jam pasir ini butuh 20 menit untuk habis. Setelah itu, saya akan memutuskan nasibmu.” Elena menegang. “N-nasibku?” “Apakah kau akan hidup atau tidak.” Elena gemetar. “Kau tidak punya hak mengambil nyawa orang begitu saja!” “Itu dunia saya.” “Dan saya bukan bagian dari duniamu!” “Sekarang kau bagian dari itu.” Elena mencoba bernapas teratur, namun dadanya tercekik. “Kau tidak harus membunuhku! Saya tidak akan bicara soal ini kepada siapa pun! Saya bersumpah!” “Sumpah manusia sangat murah,” Rafael bergumam. Elena berteriak kesal dan ketakutan. “Kalau begitu apa yang harus saya lakukan untuk membuktikan kalau saya tidak berbahaya?!” Jawaban Rafael perlahan menghancurkan sisa harapan dalam dirinya. “Tidak ada.” Mata Elena berkaca-kaca. “Kau benar-benar monster!” Rafael tidak membantah. Ia hanya memandangi jam pasir, bukan Elena. Seakan membiarkan waktu memutuskan. Menit berjalan seperti jarum yang menancap di kulit. Hening panjang menekan dada Elena. Nafasnya pendek, dan tubuhnya gemetar. Rafael tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya menatap butiran pasir jatuh satu demi satu, seolah setiap detiknya adalah ritual. “Kenapa kau melakukan semua ini?” Elena akhirnya berbisik. “Apa gunanya mengikatku dan menakutiku seperti ini?” Anehnya, Rafael menjawab. “Karena ketakutan membuka kebenaran.” “Saya tidak punya kebenaran!” Elena menangis putus asa. “Saya hanya ingin pulang.” Untuk pertama kalinya, Rafael tampak ragu, tetapi hanya sebentar, seperti bayangan yang lewat. “Kalau saya membiarkanmu pulang, hidupmu tidak akan sama. Kau akan tidur ketakutan setiap hari. Kau akan menunggu seseorang datang menjemputmu untuk membungkam mulutmu. Kau akan ketakutan seumur hidup.” “Saya tidak peduli,” katanya nyaris putus suara. “Lebih baik hidup ketakutan daripada mati di sini.” Rafael mengalihkan tatapannya ke Elena. “Elena, orang-orang yang menyaksikan rahasia keluarga De Luca hanya punya dua pilihan, hidup sebagai bagian dari kami, atau mati di luar.” Elena menegang. “Bagian dari kalian? Apa maksudmu jadi kaki tangan mafia?! Tidak mungkin!” Rafael tidak tersenyum. “Saya tidak mengatakan jadi kaki tangan, tapi saya mempertimbangkan opsi lain.” “Pilihan apa?” “Menjadikanmu milikku.” Elena membeku. “Kau ... kau tidak bisa ... kau gila.” “Saya tidak menginginkan tubuhmu,” potong Rafael tajam. “Kalau saya mau, saya bisa memaksamu kapan pun.” Elena tercekat. “Saya mengatakan menjadikanmu milikku berarti kau akan berada di bawah perlindungan keluargaku. Tidak ada yang boleh menyentuhmu kecuali saya. Tidak ada yang boleh menghabisimu, tidak ada yang boleh memanfaatkanku untuk menjatuhkanku melalui dirimu.” Elena tercengang. “Itu bukan perlindungan. Itu penjara!” Rafael tidak menyangkal. Jam pasir hampir habis. Pasir terakhir turun seperti vonis. Rafael berdiri, mendekati kursi Elena, sangat dekat, Rafael menunduk sehingga wajahnya sejajar dengan wajah Elena. “Sudah waktunya,” katanya nyaris berbisik. Elena menutup mata kuat, giginya gemeretak, tubuhnya gemetar hebat. “Tolong … jangan.” Beberapa detik berlalu, tidak ada rasa sakit, tidak ada sentuhan. Elena membuka matanya. Rafael berdiri tegak di depannya, tatapannya bukan lagi dingin—melainkan tajam seperti seseorang yang mengambil keputusan baru. “Saya belum selesai menilai apakah kau layak hidup atau tidak.” Elena mengeluarkan napas gemetar, antara lega dan ketakutan yang baru. Rafael membalik jam pasir lagi. “Babak berikutnya dimulai.” Elena memandangnya ngeri. “Hentikan, saya tidak kuat lagi.” Rafael mendekat, tangannya menyentuh kursi di belakang Elena, membungkuk hingga bibirnya hampir menyentuh telinganya. “Sayangnya, Elena, saya belum selesai denganmu.”Ruangan itu kembali sunyi setelah pintu menutup, sepi yang bukan sekadar ketiadaan suara, melainkan sejenis pengosongan yang menempel pada dinding dan lantai. The Ghost berdiri beberapa saat di ambang pintu, tangan masih menjari gagang, lalu melangkah kembali ke meja. Ia menatap gelas bourbon yang selama ini tidak tersentuh. Jejak jarinya di bibir gelas itu tampak samar dalam gelap, seperti tanda yang menunggu untuk diartikan. The Ghost mengangkat gelas itu perlahan, bukan untuk menenggaknya, kebiasaan, atau ritual kecil untuk memastikan bahwa pilihan masih ada, lalu meletakkannya kembali. Di dalam sakunya ada sesuatu yang lebih penting, sebuah paket kecil yang ia tarik keluar dengan gerakan halus. Bungkusan kertas cokelat, pita hitam, tak ada label, hanya bau keringat manusia dan minyak mesin yang menempel sebagai kesaksian hidupnya yang berkelana di lorong-lorong gelap kota.Ia duduk. Meja baja memantulkan sedikit senyumannya yang kering. Dengan teliti The Ghost
Ruangan itu seperti perut malam yang menelan cahaya. Dinding-dindingnya hitam, bukan sekadar warna cat, tapi seperti menelan segala pantulan, membuat udara terasa berat. Di tengah ruangan, hanya ada meja baja tanpa pantulan dan dua kursi. Di atas meja, segelas bourbon yang belum disentuh, dingin seperti niat di balik pertemuan ini.Suara langkah muncul dari lorong panjang. Tak terburu-buru, tapi juga tidak malas, ritme terukur dari seseorang yang tahu betul siapa dirinya. The Ghost duduk, menunggu. Tubuhnya condong sedikit ke depan, jari-jari mengetuk pelan permukaan logam. Ketika pintu terbuka, cahaya dari luar hanya menampakkan siluet seseorang sebelum segera tertelan gelap lagi.“Sudah lama,” suara itu berat, datar, tapi penuh nada sindiran halus.“Belum cukup lama,” jawab The Ghost tanpa menoleh. “Waktu di dunia ini terlalu murah untuk disebut lama.”Orang misterius itu tertawa pendek. “Kau masih sama. Dingin. Sok tahu. Dan selalu berbicara seolah dunia ini di bawah kakimu.”“Buka
Rafael keluar dari mobilnya, mantel panjangnya berkibar ditiup angin malam. Marco berjalan di belakang, masih dengan perban di pelipis. Setelah pertemuannya dengan Marchetti, ia memutuskan ke klub malam miliknya. “Sudah lama kau tidak datang ke sini, Don,” ucap Marco. Rafael hanya menjawab dengan anggukan pelan. Asap rokoknya terhembus, memudar di udara. Di dalam, klub itu tidak seramai biasanya. Musik lembut dari piano mengalun, samar di antara percakapan pelan dan gelas-gelas yang saling beradu. Lampu-lampu gantung menyorot lembut, memantulkan cahaya ke dinding. Rafael melangkah masuk. Semua mata langsung menunduk. Para pelayan yang mengenalinya bergerak cepat, satu mengambil mantel, satu lagi menuntunnya ke meja pribadi di lantai atas, tempat biasa ia duduk. Namun langkahnya terhenti sebelum sampai ke tangga. Di panggung kecil di ujung ruangan, di bawah sorot cahaya biru muda, seorang wanita duduk di depan piano. Elena. Jari-jarinya menari di atas tuts, lembut nam
Di luar, pelabuhan sudah dikepung orang-orangnya. Puluhan pria berpakaian gelap bergerak tanpa suara, menyebar di antara peti-peti kontainer seperti bayangan yang sedang berburu. “Pastikan tidak ada yang keluar hidup-hidup,” ucapnya datar. Salah satu anak buahnya pun menjawab, “Siap, Don.” Rafael menatap ke luar. Dari kejauhan, api kecil menyala, lalu meledak. Kontainer pertama terbakar, disusul ledakan kedua di sisi kiri dermaga. Suara tembakan mulai terdengar, bersahut-sahutan, memantul di antara dinding logam. Ia tersenyum kecil. “Sudah dimulai.” Marco duduk di belakang, kepalanya masih mengeluarkan darah segar, tapi matanya tajam. “Mereka pikir bisa menyentuh pelabuhan kita begitu saja.” “Tidak,” jawab Rafael. “Mereka pikir aku akan diam.” Di tangan kirinya, ia memegang pistol kecil. Di tangan kanan, sebatang rokok yang masih menyala. Asapnya menari-nari di udara dingin. Dua orang anak buahnya mendekat. “Don, mereka bersembunyi di gudang tiga. Sekitar delapan orang.
Waktu berjalan cepat, tapi bukan berarti Rafael berhenti. Sudah dua minggu sejak pencurian itu.Dan sejauh ini, nihil. Tak ada jejak. Tak ada nama.Semua anak buahnya seperti menabrak dinding yang tak terlihat.Rafael berdiri di ruang bawah tanah miliknya, memandang lampu-lampu yang berkelap-kelip. Asap rokok di tangannya menari, tipis, lalu menghilang diterpa angin. Di depan pintu, dua orang anak buahnya sedang menyeret seorang pria bertubuh gemuk ke tengah ruangan. Mulut pria itu ditutup lakban, tangannya diikat dengan tali plastik. Tubuhnya penuh debu dan keringat.“Buka,” kata Rafael datar.Salah satu anak buahnya merobek lakban itu. Pria gemuk itu langsung terbatuk, hampir tersedak udara.“Don Rafael, saya—”“Diam,” potong Rafael.Nada suaranya pelan, tapi mengandung sesuatu yang membuat semua orang di ruangan itu menelan ludah.Rafael menurunkan tubuhnya sedikit, menatap langsung ke mata pria itu. Tatapannya dingin. Datar. Tak ada amarah, tapi justru itulah yang paling menakutka
Malam itu vila Rafael di tepi pantai Amalfi berkilau seperti istana para dewa. Lampu kristal bergantung di langit-langit tinggi, cahaya keemasan memantul di dinding kaca, sementara musik elektronik berdenyut menembus udara. Lantai marmer dingin dipenuhi jejak langkah tangannya. Model, bintang televisi, pengusaha yang haus sensasi, dan wanita-wanita muda yang datang hanya untuk menjadi bagian dari pesta sang Don.Di halaman belakang, kolam renang memantulkan cahaya bulan. Alkohol mengalir seperti sungai. Sampanye, bourbon, vodka, semua dituang tanpa henti. Tawa keras bercampur dengan desahan, tubuh-tubuh menempel, dan aroma parfum bercampur dengan bau tembakau mahal.Namun di tengah kegaduhan itu, Rafael duduk di kursi kulit hitam di ruang utama vila. Wajahnya tetap dingin, matanya kelam, menatap kerumunan tanpa benar-benar melihat. Ia menyalakan cerutu, mengisapnya dalam-dalam, lalu membuang asapnya dengan gerakan lambat.Semua ini seharusnya menghiburnya.Tapi tidak.Sejak malam di k







