Hujan deras masih menuruni langit kota saat Rafael keluar dari gudang tua itu. Api yang melahap tubuh Lorenzo masih terlihat samar di balik kaca mobil hitam yang menunggunya. Bau asap bercampur darah menempel di udara, seolah menjadi dupa persembahan bagi kematian malam ini.
Pintu belakang mobil dibuka oleh Marco. Rafael masuk tanpa sepatah kata. Hanya bunyi korek api yang terdengar ketika ia menyalakan cerutunya. Asap perlahan memenuhi kabin, bercampur dengan aroma kulit mewah dari kursi mobil. “Ke mana, Don?” tanya Marco hati-hati. Rafael menghembuskan asapnya, menatap kosong ke arah jendela yang dipenuhi butiran hujan. “Ke klub. Aku butuh musik keras untuk menenggelamkan bau pengkhianat ini.” Mobil pun melaju menembus jalanan kota yang basah. Lampu neon dari bar, hotel, dan toko-toko tua memantul di aspal. Suasana malam terasa hidup, tapi bagi Rafael, semua hanya riuh tanpa arti. ••• The Black Orchid Klub malam milik Rafael yang terkenal paling eksklusif di kota. Dari luar, gedung itu tampak biasa, cat hitam dengan papan neon ungu bergambar anggrek. Tapi begitu melewati pintu, dunia berubah. Lampu sorot menari, dentuman bass menghentak, dan aroma alkohol, parfum mahal, serta keringat bercampur menjadi satu. Klub itu bukan hanya tempat hiburan. Itu adalah markas kedua Rafael. Di balik tawa dan tarian, transaksi gelap dilakukan, senjata diperdagangkan, dan uang haram mengalir deras. Saat Rafael masuk, musik tidak berhenti. Namun, aura ruangan berubah. Orang-orang yang mengenal wajahnya langsung memberi jalan, seperti laut yang terbelah. Para pelayan menunduk, para penjaga berdiri lebih tegak. Di lantai VIP, seorang perempuan berbaju merah menunduk hormat sambil menyodorkan segelas wine. Rafael hanya meliriknya, lalu mengambil gelas itu tanpa kata. Ia duduk di sofa kulit hitam, menatap panggung di mana penari-penari menggeliat mengikuti irama. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Seorang pria berbadan besar dengan jaket kulit murahan menyenggol salah satu pelayan hingga botol champagne jatuh pecah di lantai. Suara pecahannya membuat kepala banyak orang menoleh. Pria itu tidak tampak menyesal, malah tertawa keras sambil menunjuk pelayan yang ketakutan. “Bocah ini berani menabrakku! Apa kau tahu siapa aku?!” teriaknya, suaranya menenggelamkan musik sejenak. Beberapa pengunjung mulai berbisik. Mereka tahu tempat ini milik siapa. Berani membuat keributan di The Black Orchid sama saja dengan menandatangani surat kematian. Mata Rafael yang kelam perlahan beralih ke sumber suara. Ia meletakkan gelas wine di meja, berdiri, lalu melangkah pelan ke arah keributan itu. Orang-orang langsung menyingkir memberi jalan. Pria berjaket kulit itu tidak sadar. Ia terlalu sibuk menghina pelayan yang jatuh tersungkur. “Kau pikir aku bisa dipermalukan di depan orang banyak?!” Rafael berhenti tepat di hadapannya. Aura dingin langsung menusuk. Musik masih berdentum, tapi semua orang kini menahan napas. “Siapa kau?” suara Rafael rendah, nyaris berbisik. Pria itu mendengus, menatapnya dengan sombong. “Aku orang yang tidak bisa disentuh. Kau tahu siapa bosku? Marchetti. Dan aku...” Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Rafael meraih botol champagne dari meja terdekat. Dengan satu ayunan brutal, botol itu menghantam wajah pria tersebut. Suara kaca pecah bercampur dengan jeritan. Darah langsung mengalir dari pelipisnya. Kerumunan terkejut, tapi tidak ada yang berani bergerak. Rafael mencengkeram kerah jaket pria itu, menyeretnya hingga menabrak meja. Potongan kaca menempel di kulitnya, tapi Rafael tidak peduli. Dengan kecepatan kejam, ia menusukkan pecahan botol ke leher pria itu. Darah muncrat, membasahi meja dan lantai. Jeritan berubah menjadi suara ketakutan saat pria itu terkapar, tangannya berusaha menahan leher yang robek. Rafael mendekatkan mulutnya ke telinga pria itu, berbisik dengan suara yang lebih mengerikan daripada teriakan manapun. “Lihat baik-baik. Beginilah jadinya kalau kau menyentuh barang milikku.” Pria itu terjatuh, tubuhnya bergetar lalu perlahan kaku. Musik kembali terdengar jelas, tapi suasana berubah menjadi hening mencekam. ••• Marco segera mendekat, memberikan sapu tangan untuk membersihkan tangan Rafael yang berlumuran darah. Rafael menerimanya, mengelap tanpa ekspresi. “Bersihkan,” perintahnya singkat. Para anak buah segera bergerak. Dua penjaga menyeret tubuh pria malang itu ke pintu belakang. Pelayan yang tadi ketakutan masih gemetar di lantai, tapi Rafael meliriknya sekilas. “Bangun. Kau bekerja di bawahku,” katanya dingin. Pelayan itu menelan ludah, lalu berdiri meski lututnya gemetar. “Te-terima kasih, Don.” Rafael hanya melangkah pergi, kembali ke area VIP. Ia duduk, mengambil cerutu dari sakunya, lalu menyalakannya. Asap putih kembali mengepul, menutupi wajah dinginnya. Di matanya, apa yang baru terjadi bukanlah kekerasan. Itu sekadar pelajaran. Klub ini adalah wilayahnya. Marco mendekat, menunduk. “Don, pria tadi benar menyebut nama Marchetti.” Rafael menghembuskan asap panjang. “Biarkan. Jika benar orang Marchetti yang masuk ke wilayahku tanpa izin, itu hanya berarti satu hal, dia ingin perang.” “Apakah kita akan menyiapkan...” “Tidak sekarang,” potong Rafael. “Biarkan mereka berpikir aku hanya marah pada preman kecil. Tapi di balik itu, kita bergerak. Aku ingin tahu seberapa dalam tangan Marchetti masuk ke kota ini.” Marco mengangguk. “Saya akan turunkan orang-orang untuk menyelidiki.” “Lakukan diam-diam. Dan pastikan tidak ada satu pun yang lolos jika mereka bermain di belakangku.” Rafael menyandarkan tubuhnya ke sofa, meneguk kembali wine yang tersisa. Musik keras dan lampu sorot menari di sekelilingnya, tapi semua itu terasa jauh. “Don,” suaranya lirih, hampir tenggelam oleh dentuman bass dari panggung utama. “Ada orang yang ingin bicara. Katanya penting. Dia dari Marchetti.” Seisi ruangan tegang. Marco langsung meraih pistolnya, tapi Rafael mengangkat tangan, menahannya. Ia memandang perempuan itu dalam-dalam, lalu meletakkan gelasnya di meja. “Bawa masuk,” katanya datar. Tak lama kemudian, dua pria bersetelan abu-abu muncul. Gerak-gerik mereka bukan preman murahan. Mereka terlihat terlatih, langkahnya mantap, pandangan lurus. Salah satunya membawa koper hitam. Rafael menyilangkan kaki, menyalakan cerutu baru. “Katakan pada Don Marchetti,” ucapnya tanpa menoleh, “aku tidak suka tamu yang datang tanpa undangan. Apalagi yang meninggalkan mayat di lantai dansa.” Salah satu pria itu menunduk sedikit, suaranya tenang namun penuh tekanan. “Itu bukan perintah Don Marchetti. Orang bodoh yang tadi hanya serigala kecil yang mencoba mengatasnamakan kami. Kami datang membawa klarifikasi.” Rafael menyipitkan mata. Ia mengisyaratkan dengan jarinya, dan musik di seluruh klub perlahan berhenti. Dentuman bass mereda, lampu sorot padam, menyisakan keheningan mencekam. Semua mata tertuju ke area VIP. “Kalau benar begitu,” ujar Rafael, “mengapa aku harus percaya?” Pria itu menaruh koper di meja, membuka perlahan. Di dalamnya, terhampar uang tunai rapi, berikat, setebal puluhan ribu dolar. Di sampingnya, sebuah kalung emas dengan lambang keluarga Marchetti. “Sebagai tanda itikad baik. Dan pesan Don Marchetti, ia tidak ingin perang. Dia ingin aliansi.” Ruangan mendadak bergetar oleh tawa rendah Rafael. Bukan tawa bahagia, melainkan tawa yang membuat bulu kuduk berdiri. Ia menepuk lututnya pelan, lalu menatap pria itu dengan tatapan membunuh. “Aliansi? Setelah sepupuku mencoba menggorok leherku di belakang, setelah orang-orangmu menjejakkan kaki kotor di klubku, setelah darahku ditumpahkan di meja perundingan? Kau pikir aku butuh aliansi?” Pria itu terdiam, tapi tatapannya tetap kokoh. "Polisi mulai menekan jalur perdagangan kita. Tanpa kerjasama, kita akan...” “Cukup,” potong Rafael. Ia berdiri, melangkah mendekat, bayangan tubuhnya menelan dua utusan itu. “Bawa kembali koper ini pada Marchetti. Katakan padanya, satu-satunya aliansi yang akan kita buat adalah saat aku menancapkan pisau ke dadanya, dan darahnya menyatu dengan tanah yang sama yang ia rampas dariku.” Suara Rafael begitu datar, tapi ruangan terasa seolah baru saja dijatuhi vonis mati. Pria itu terdiam sejenak, lalu menutup koper. “Baik, Don. Pesan Anda akan kami sampaikan.” Mereka berdua berbalik, berjalan keluar dengan langkah tenang. Tidak ada yang mencoba menghentikan. Semua orang tahu, jika Rafael membiarkan mereka pergi, itu bukan karena belas kasihan, melainkan karena ia ingin pesan itu sampai dengan jelas. Setelah pintu menutup, Marco mendekat. “Don, apakah tidak salah membiarkan mereka hidup? Mereka bisa melaporkan kelemahan kita.” Rafael meneguk wine, lalu menatapnya dingin. “Kelemahan? Tidak, Marco. Mereka hanya melihat keberanian. Jika aku membunuh mereka di sini, Marchetti akan mengira aku ketakutan. Tapi jika aku biarkan mereka pulang membawa pesan, itu akan membuatnya gelisah sepanjang malam. Dia akan bertanya-tanya kapan serangan datang? Dari mana? Dengan siapa?” Ia meletakkan gelasnya. “Dan ketakutan itu lebih berguna daripada seribu peluru.” ••• Jam bergulir. Klub kembali hidup, musik kembali menghentak, tapi aura ketegangan tetap menggantung. Rafael duduk di balkon VIP, mengawasi kerumunan di bawahnya menari dan bersorak, seolah darah yang tadi muncrat hanyalah bagian dari hiburan. Di sudut ruangan, seorang lelaki tua mendekat, membawa map cokelat. Namanya Carlo, salah satu akuntan yang paling dipercaya. Wajahnya pucat, keringat dingin menetes di pelipis. “Don,” ia membuka map dengan tangan gemetar. “Laporan keuangan minggu ini. Ada kebocoran.” Alis Rafael terangkat tipis. “Berapa besar?” “Seratus ribu dolar. Jalur dari pelabuhan timur. Orang-orang kita mengatakan ada kontainer yang seharusnya berisi senjata, tapi saat tiba, kosong.” Rafael mengisap cerutunya dalam-dalam. “Kosong? Jadi ada tangan yang bermain di dalam.” Carlo mengangguk cepat. “Saya curiga...” “Tidak perlu curiga,” potong Rafael. “Kebocoran seratus ribu bukan kerjaan kecil. Itu berarti ada tikus besar.” Ia berdiri, memandang lantai dansa di bawah. Orang-orang tertawa, minum, bercinta dengan musik keras. Rafael menoleh pada Marco. “Turunkan orang kita ke pelabuhan timur. Periksa semua kepala. Jika ada yang mencoba bermain-main, potong lehernya, gantung di dermaga sebagai pesan.”Waktu berjalan cepat, tapi bukan berarti Rafael berhenti. Sudah dua minggu sejak pencurian itu.Dan sejauh ini, nihil. Tak ada jejak. Tak ada nama.Semua anak buahnya seperti menabrak dinding yang tak terlihat.Rafael berdiri di ruang bawah tanah miliknya, memandang lampu-lampu yang berkelap-kelip. Asap rokok di tangannya menari, tipis, lalu menghilang diterpa angin. Di depan pintu, dua orang anak buahnya sedang menyeret seorang pria bertubuh gemuk ke tengah ruangan. Mulut pria itu ditutup lakban, tangannya diikat dengan tali plastik. Tubuhnya penuh debu dan keringat.“Buka,” kata Rafael datar.Salah satu anak buahnya merobek lakban itu. Pria gemuk itu langsung terbatuk, hampir tersedak udara.“Don Rafael, saya—”“Diam,” potong Rafael.Nada suaranya pelan, tapi mengandung sesuatu yang membuat semua orang di ruangan itu menelan ludah.Rafael menurunkan tubuhnya sedikit, menatap langsung ke mata pria itu. Tatapannya dingin. Datar. Tak ada amarah, tapi justru itulah yang paling menakutka
Malam itu vila Rafael di tepi pantai Amalfi berkilau seperti istana para dewa. Lampu kristal bergantung di langit-langit tinggi, cahaya keemasan memantul di dinding kaca, sementara musik elektronik berdenyut menembus udara. Lantai marmer dingin dipenuhi jejak langkah tangannya. Model, bintang televisi, pengusaha yang haus sensasi, dan wanita-wanita muda yang datang hanya untuk menjadi bagian dari pesta sang Don.Di halaman belakang, kolam renang memantulkan cahaya bulan. Alkohol mengalir seperti sungai. Sampanye, bourbon, vodka, semua dituang tanpa henti. Tawa keras bercampur dengan desahan, tubuh-tubuh menempel, dan aroma parfum bercampur dengan bau tembakau mahal.Namun di tengah kegaduhan itu, Rafael duduk di kursi kulit hitam di ruang utama vila. Wajahnya tetap dingin, matanya kelam, menatap kerumunan tanpa benar-benar melihat. Ia menyalakan cerutu, mengisapnya dalam-dalam, lalu membuang asapnya dengan gerakan lambat.Semua ini seharusnya menghiburnya.Tapi tidak.Sejak malam di k
Dua hari berikutnya, anak buah Rafael turun ke pelabuhan timur. Kepala-kepala kecil di sana sudah digiring, ditanya, dipukul, kuku dicabut, tulang dipatahkan, wajah disetrum dengan kabel listrik. Namun hasilnya nihil. Semua bersumpah tidak tahu. Rafael duduk di sebuah ruangan yang ia gunakan untuk interogasi. Dindingnya bercat putih tapi kini ternodai bercak merah yang tak pernah hilang meski sudah disikat. Di hadapannya, Marco melaporkan hasil penyelidikan. “Don, kami sudah tanya semua mandor di dermaga. Tidak ada yang mengaku. Mereka ketakutan, tapi... sepertinya mereka benar-benar tidak tahu.” “Tidak mungkin kontainer sebesar itu hilang tanpa ada yang sadar,” ucapnya dingin. “Ada seseorang yang menutup mulut mereka. Ada yang lebih besar dari sekadar mandor dermaga.” Marco menunduk. “Ada satu nama yang disebut beberapa kali, tapi, dia licin. Tidak ada catatan resmi. Bahkan kepolisian tidak punya data lengkap. Mereka hanya menyebutnya The Ghost.” Alis Rafael terangkat tipis.
Hujan deras masih menuruni langit kota saat Rafael keluar dari gudang tua itu. Api yang melahap tubuh Lorenzo masih terlihat samar di balik kaca mobil hitam yang menunggunya. Bau asap bercampur darah menempel di udara, seolah menjadi dupa persembahan bagi kematian malam ini.Pintu belakang mobil dibuka oleh Marco. Rafael masuk tanpa sepatah kata. Hanya bunyi korek api yang terdengar ketika ia menyalakan cerutunya. Asap perlahan memenuhi kabin, bercampur dengan aroma kulit mewah dari kursi mobil.“Ke mana, Don?” tanya Marco hati-hati.Rafael menghembuskan asapnya, menatap kosong ke arah jendela yang dipenuhi butiran hujan. “Ke klub. Aku butuh musik keras untuk menenggelamkan bau pengkhianat ini.”Mobil pun melaju menembus jalanan kota yang basah. Lampu neon dari bar, hotel, dan toko-toko tua memantul di aspal. Suasana malam terasa hidup, tapi bagi Rafael, semua hanya riuh tanpa arti.•••The Black OrchidKlub malam milik Rafael yang terkenal paling eksklusif di kota. Dari luar, gedung
Rafael berjalan perlahan menyusuri lorong. Sepatunya berderap tenang di atas marmer putih.Ia berhenti di depan sebuah pintu berukir tua, lalu mendorongnya dengan tenang. Ruangan itu remang, diterangi hanya oleh dua lampu meja di sudut. Tirai panjang menutup rapat jendela, menciptakan suasana seakan dunia di luar tidak ada.Di ranjang king-size dengan sprei satin hitam, seorang perempuan cantik sudah menunggunya. Rambut panjangnya terurai, matanya berhias eyeliner pekat, bibirnya merah darah. Tubuhnya dibalut gaun tipis yang nyaris transparan, seolah memang dirancang hanya untuk dilepas.Ia bangkit perlahan, menyambut Rafael dengan senyum yang dibuat-buat.“Don Rafael,” ucapnya lembut, “aku sudah menunggu.”Rafael hanya menatap, dingin, sebelum meneguk sisa anggur di gelasnya. Ia meletakkan gelas di meja samping, lalu melepaskan jas hitamnya. Gerakannya rapi, terukur, seakan melepas lapisan identitasnya satu per satu.Perempuan itu mencoba meraih tangannya, tapi Rafael menahan gerakan
Di balkon rumah besar milik keluarganya, ia berdiri tegak, jas hitamnya jatuh rapi, dasi sutra abu-abu tergantung dengan ketelitian yang nyaris obsesif. Di tangannya ada segelas anggur merah, warnanya nyaris serupa darah segar. Matanya yang kelam menatap langit jingga. Ia menarik napas pelan, seakan sedang menghirup aroma kematian. “Indah,” gumamnya lirih. “Indah seperti saat tubuh kehilangan panasnya.” Di balik punggungnya, suara langkah-langkah berbaris rapi terdengar. Anak buahnya menunduk, membuka pintu besar yang mengarah ke ruang bawah tanah. “Don Rafael,” suara salah satu anak buahnya parau, penuh rasa takut. “Kami sudah menyiapkan orangnya. Seperti yang Anda perintahkan.” Rafael meletakkan gelas anggurnya di meja marmer, lalu menyalakan cerutu. Asap putih mengepul, menyelubungi wajahnya yang teduh sekaligus menyeramkan. Ia berbalik. Senja di belakangnya menorehkan siluet, membuat sosoknya seperti malaikat kegelapan yang turun ke bumi. “Bawa aku ke sana.” ••• Ruang Baw