Masuk
Senja merayap turun di pinggiran kota Milan ketika Rafael De Luca membuka pintu besi gudang yang berderit. Cahaya oranye yang redup menembus celah-celah atap yang berkarat, jatuh tepat di tengah ruangan seperti sorotan panggung untuk sesuatu yang harusnya tidak disaksikan manusia.
Rafael berjalan masuk dengan langkah tenang. Sepatunya memijak genangan air hujan bercampur oli, meninggalkan jejak gelap di lantai. Di belakangnya, dua pengawal membawa seorang pria dengan tangan terikat, wajah lebam, dan napas yang berat. Pria itu Marcello, dulu salah satu tangan kanan keluarga De Luca. Sekarang, ia hanya beban bernyawa yang diseret menuju akhir. “Kau membuatku kecewa,” kata Rafael pelan, suaranya datar. “Aku mempercayaimu.” Marcello terbatuk. “Aku … aku tidak bermaksud—” “Semua pengkhianat mengatakan seperti itu.” Rafael mendekat. Wajahnya masih muda, tetapi matanya dingin seperti baja yang menunggu ditempa. Gudang itu sunyi. Hanya suara tetesan air yang jatuh dari pipa pecah. Dua pengawal melemparkan Marcello ke kursi yang sudah disiapkan, kursi besi dengan tali yang kusut. Bukan pertama kali kursi itu dipakai. Marcello menggeliat, tetapi tubuhnya lemah. Ia tahu melawan hanya akan mempercepat ajalnya. Rafael mengeluarkan sarung tangan kulit dan mengenakannya perlahan. Tidak terburu-buru, seolah prosesi ini adalah ritual yang wajar. “Kau menjual informasi keluarga kepada polisi,” katanya. “Dan kau pikir aku tidak akan tahu?” “Aku … aku takut, Raf. Mereka menekanku. Aku tidak punya pilihan.” Rafael berhenti memasang sarung tangan. “Semua orang punya pilihan.” Ia menatap tajam. “Dan kau memilih yang salah.” Isyarat kecil dari dagunya membuat dua pengawal menahan bahu Marcello. Kursi bergoyang pelan, nafas Marcello memburu. Rafael mengambil sebuah alat dari meja. Tidak besar, tetapi cukup untuk membuat seseorang menjerit. “Aku akan membuatmu bicara,” katanya sambil mendekat. Marcello menggeleng cepat, panik. “Tidak, tidak, Rafael, aku sudah mengatakan yang sebenarnya!” “Oh, aku percaya,” ujarnya. “Tapi kau tetap harus membayar.” Suara pertama yang keluar bukan teriakan, lebih seperti hembusan napas yang tertahan, disusul erangan panjang. Gudang yang tadinya hanya dipenuhi bau oli kini bercampur bau lain. Aroma metalik yang tidak asing bagi Rafael. Ia tidak menikmati prosesnya, bukan juga membencinya. Ini tugas, warisan, dan identitas keluarga. Di luar, matahari hampir tenggelam. Warna merah senja merembes masuk dari atap gudang, seperti turut menyaksikan akhir hidup Marcello. Dan ketika suara itu akhirnya berhenti, Rafael melepaskan sarung tangannya yang kini kotor, lalu menjatuhkannya ke lantai. Pengawalnya membersihkan area tanpa ia perlu memerintah. Mereka sudah tahu prosedur. Rafael menarik napas, mengembuskannya perlahan, lalu menatap tubuh yang terkulai lemas di kursi. “Kau seharusnya tetap di sisi kami.” Ia membalikan badan, siap keluar dari gudang ketika salah satu pengawal berlari masuk. “Signor De Luca!” serunya terengah-engah. “Ada seseorang di luar. Sepertinya dia melihat semuanya!” Rafael menghentikan langkahnya. “Seorang pria?” “Tidak. Perempuan.” Alis Rafael terangkat tipis. “Perempuan?” “Dia lari ke arah pintu belakang gudang. Sepertinya dia berusaha kabur.” Rafael tidak berkata apa-apa. Hanya mengangguk pelan. Dan itu cukup bagi kedua pengawalnya untuk bergerak cepat. *** Elena berlari secepat yang ia bisa. Nafasnya terpotong-potong, dadanya sakit, tetapi kakinya menolak berhenti. Sepatu ketsnya menginjak bebatuan dan puing gudang yang berserakan, membuat langkahnya sempoyongan. “Bodoh,” gumamnya sambil terus berlari. “Kenapa aku harus lewat sini?” Ia hanya berniat memotong jalan menuju halte bus. Gudang tua itu biasanya kosong. Tidak ada aktivitas sejak bertahun-tahun lalu. Tetapi sore ini, ia melihat sesuatu yang seharusnya tidak pernah ia lihat. Dan kini nyawanya taruhannya. Suara langkah kaki berat terdengar dari belakangnya. Elena panik. “Ya Tuhan, ya Tuhan.” Ia menoleh sekilas. Dua pria besar mendekat cepat. Sudah terlalu dekat. Elena berlari ke arah pagar kawat tua yang setengah roboh. Tangannya gemetar meraih bagian yang renggang dan mencoba memanjat, tetapi kawatnya kasar dan menusuk kulitnya. “Aduh!” Ia mengerang, tetapi tetap memaksa. Saat ia hampir melewati sisi atas pagar, sebuah tangan besar menarik pergelangan kakinya. “Ketemu!” suara rendah itu bergema. Elena menjerit saat tubuhnya terhempas ke tanah. Debu mengepul. Punggungnya sakit, tetapi ia langsung merangkak mundur, berusaha bangkit. “Lepaskan! Saya tidak lihat apa-apa!” teriaknya. Salah satu pria menertawakannya. “Sayang, itu alasan yang paling basi.” Elena menendang, tetapi kakinya ditahan. Tiba-tiba, langkah sepatu lain terdengar. Lebih ringan, dan lebih teratur. Pria-pria itu spontan memberi ruang. Rafael De Luca muncul di hadapan Elena dengan wajah tanpa ekspresi. Cahaya senja terakhir memantul di matanya yang gelap. Saat pandangan Elena bertemu dengan matanya, ketakutan Elena memuncak. Mata pria itu tajam, dingin, dan jelas-jelas terbiasa melihat kematian. “Apa kau melihat sesuatu?” tanya Rafael, suaranya rendah dan stabil. Elena menggeleng cepat. “T-tidak! Saya cuma lewat! Saya bahkan tidak tahu itu apa!” Pengawal di kanan menyeringai. “Dia berbohong, bos. Tadi dia meliat semuanya. Dia bahkan sempat berteriak.” Rafael berjongkok di depan Elena sehingga wajah mereka sejajar. Elena mundur sedikit, tetapi Rafael menahan dagunya dengan dua jari, memaksanya menatap. “Kalau kau tidak melihat apa-apa,” katanya tenang, “kenapa kau lari?” Elena menggigit bibir, tangannya gemetar. “S-saya takut, tempat itu … suara tadi .…” “Kau tidak perlu berbohong,” kata Rafael pelan. "Saya bisa melihat dari matamu.” Elena terdiam, matanya memerah menahan tangis. Rafael melepaskan dagunya. Ia berdiri perlahan, menatap pengawalnya. “Bawa dia ke dalam.” “Tunggu! Jangan! Tolong!” Elena meronta, tetapi kedua pria itu mencengkeram lengannya dengan kuat dan menyeretnya kembali menuju gudang. Tubuhnya bergetar hebat. Ia berusaha menggali tenaga terakhir untuk melawan. “Tolong! Saya janji tidak akan mengatakan apa-apa! Saya tidak akan melapor! Sayabtahu siapa kalian!” Rafael menyusul dari belakang dengan langkah santai. “Tentu saja tidak,” ujarnya. “Karena kalau kau mati, kau tidak bisa mengatakan apa-apa.” Elena membeku, pria itu terlalu serius. Benar-benar serius. Air mata Elena jatuh tanpa bisa ia tahan. “Kenapa kalian melakukan ini? Saya tidak sengaja! Saya cuma lewat!” Rafael menatapnya sebentar. Ada jeda singkat. Seolah ia mempertimbangkan sesuatu. “Kau tahu apa masalahku?” katanya akhirnya. “Saya tidak bisa meninggalkan saksi.” Rafael mengangkat tangan sedikit sebagai kode. Pengawalnya mulai mengeluarkan senjata. Elena menahan napas.m, hanya beberapa detik lagi, hanya beberapa detik. Rafael menatap Elena sekali lagi, lebih lama dari seharusnya. Mata gadis itu besar, penuh ketakutan, tetapi ada sesuatu yang lain. Entah apa, tetapi cukup membuat Rafael terhenti. Ia mengangkat tangannya lagi, kali ini memberi sinyal untuk stop. Pengawal langsung membeku. Elena memejamkan mata, menunggu rasa sakit yang tidak kunjung datang. Ketika ia membuka mata, Rafael sudah berdiri sangat dekat. Wajah tegasnya hanya beberapa centimeter dari wajah Elena. Rafael menatapnya lama, lalu ia berkata pelan, hampir seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri: “Aku tidak tahu kenapa, tapi aku tidak ingin membunuhmu.” Elena terpaku. Pengawalnya saling menatap, bingung. “Boss?” salah satunya bertanya. Rafael tidak menjawab. Ia hanya menatap Elena dengan pandangan yang sulit dibaca, antara campuran rasa ingin tahu, kebingungan, dan sesuatu yang bahkan tidak ia pahami sendiri. “Bawa dia,” kata Rafael akhirnya. “Tapi jangan sakiti dia.” Pengawal mengangguk. “Lalu kita mau bawa ke mana?” Rafael menatap Elena sekali lagi. “Kita bawa dia ke villa.” Elena terperanjat. “Apa?! Tidak! Jangan! Saya—” “Diam,” kata Rafael pelan, tapi tegas. “Mulai sekarang, hidupmu ada di tanganku.” Elena ingin menjerit, tetapi ketakutan membungkam lidahnya.Ruangan itu kembali sunyi setelah pintu menutup, sepi yang bukan sekadar ketiadaan suara, melainkan sejenis pengosongan yang menempel pada dinding dan lantai. The Ghost berdiri beberapa saat di ambang pintu, tangan masih menjari gagang, lalu melangkah kembali ke meja. Ia menatap gelas bourbon yang selama ini tidak tersentuh. Jejak jarinya di bibir gelas itu tampak samar dalam gelap, seperti tanda yang menunggu untuk diartikan. The Ghost mengangkat gelas itu perlahan, bukan untuk menenggaknya, kebiasaan, atau ritual kecil untuk memastikan bahwa pilihan masih ada, lalu meletakkannya kembali. Di dalam sakunya ada sesuatu yang lebih penting, sebuah paket kecil yang ia tarik keluar dengan gerakan halus. Bungkusan kertas cokelat, pita hitam, tak ada label, hanya bau keringat manusia dan minyak mesin yang menempel sebagai kesaksian hidupnya yang berkelana di lorong-lorong gelap kota.Ia duduk. Meja baja memantulkan sedikit senyumannya yang kering. Dengan teliti The Ghost
Ruangan itu seperti perut malam yang menelan cahaya. Dinding-dindingnya hitam, bukan sekadar warna cat, tapi seperti menelan segala pantulan, membuat udara terasa berat. Di tengah ruangan, hanya ada meja baja tanpa pantulan dan dua kursi. Di atas meja, segelas bourbon yang belum disentuh, dingin seperti niat di balik pertemuan ini.Suara langkah muncul dari lorong panjang. Tak terburu-buru, tapi juga tidak malas, ritme terukur dari seseorang yang tahu betul siapa dirinya. The Ghost duduk, menunggu. Tubuhnya condong sedikit ke depan, jari-jari mengetuk pelan permukaan logam. Ketika pintu terbuka, cahaya dari luar hanya menampakkan siluet seseorang sebelum segera tertelan gelap lagi.“Sudah lama,” suara itu berat, datar, tapi penuh nada sindiran halus.“Belum cukup lama,” jawab The Ghost tanpa menoleh. “Waktu di dunia ini terlalu murah untuk disebut lama.”Orang misterius itu tertawa pendek. “Kau masih sama. Dingin. Sok tahu. Dan selalu berbicara seolah dunia ini di bawah kakimu.”“Buka
Rafael keluar dari mobilnya, mantel panjangnya berkibar ditiup angin malam. Marco berjalan di belakang, masih dengan perban di pelipis. Setelah pertemuannya dengan Marchetti, ia memutuskan ke klub malam miliknya. “Sudah lama kau tidak datang ke sini, Don,” ucap Marco. Rafael hanya menjawab dengan anggukan pelan. Asap rokoknya terhembus, memudar di udara. Di dalam, klub itu tidak seramai biasanya. Musik lembut dari piano mengalun, samar di antara percakapan pelan dan gelas-gelas yang saling beradu. Lampu-lampu gantung menyorot lembut, memantulkan cahaya ke dinding. Rafael melangkah masuk. Semua mata langsung menunduk. Para pelayan yang mengenalinya bergerak cepat, satu mengambil mantel, satu lagi menuntunnya ke meja pribadi di lantai atas, tempat biasa ia duduk. Namun langkahnya terhenti sebelum sampai ke tangga. Di panggung kecil di ujung ruangan, di bawah sorot cahaya biru muda, seorang wanita duduk di depan piano. Elena. Jari-jarinya menari di atas tuts, lembut nam
Di luar, pelabuhan sudah dikepung orang-orangnya. Puluhan pria berpakaian gelap bergerak tanpa suara, menyebar di antara peti-peti kontainer seperti bayangan yang sedang berburu. “Pastikan tidak ada yang keluar hidup-hidup,” ucapnya datar. Salah satu anak buahnya pun menjawab, “Siap, Don.” Rafael menatap ke luar. Dari kejauhan, api kecil menyala, lalu meledak. Kontainer pertama terbakar, disusul ledakan kedua di sisi kiri dermaga. Suara tembakan mulai terdengar, bersahut-sahutan, memantul di antara dinding logam. Ia tersenyum kecil. “Sudah dimulai.” Marco duduk di belakang, kepalanya masih mengeluarkan darah segar, tapi matanya tajam. “Mereka pikir bisa menyentuh pelabuhan kita begitu saja.” “Tidak,” jawab Rafael. “Mereka pikir aku akan diam.” Di tangan kirinya, ia memegang pistol kecil. Di tangan kanan, sebatang rokok yang masih menyala. Asapnya menari-nari di udara dingin. Dua orang anak buahnya mendekat. “Don, mereka bersembunyi di gudang tiga. Sekitar delapan orang.
Waktu berjalan cepat, tapi bukan berarti Rafael berhenti. Sudah dua minggu sejak pencurian itu.Dan sejauh ini, nihil. Tak ada jejak. Tak ada nama.Semua anak buahnya seperti menabrak dinding yang tak terlihat.Rafael berdiri di ruang bawah tanah miliknya, memandang lampu-lampu yang berkelap-kelip. Asap rokok di tangannya menari, tipis, lalu menghilang diterpa angin. Di depan pintu, dua orang anak buahnya sedang menyeret seorang pria bertubuh gemuk ke tengah ruangan. Mulut pria itu ditutup lakban, tangannya diikat dengan tali plastik. Tubuhnya penuh debu dan keringat.“Buka,” kata Rafael datar.Salah satu anak buahnya merobek lakban itu. Pria gemuk itu langsung terbatuk, hampir tersedak udara.“Don Rafael, saya—”“Diam,” potong Rafael.Nada suaranya pelan, tapi mengandung sesuatu yang membuat semua orang di ruangan itu menelan ludah.Rafael menurunkan tubuhnya sedikit, menatap langsung ke mata pria itu. Tatapannya dingin. Datar. Tak ada amarah, tapi justru itulah yang paling menakutka
Malam itu vila Rafael di tepi pantai Amalfi berkilau seperti istana para dewa. Lampu kristal bergantung di langit-langit tinggi, cahaya keemasan memantul di dinding kaca, sementara musik elektronik berdenyut menembus udara. Lantai marmer dingin dipenuhi jejak langkah tangannya. Model, bintang televisi, pengusaha yang haus sensasi, dan wanita-wanita muda yang datang hanya untuk menjadi bagian dari pesta sang Don.Di halaman belakang, kolam renang memantulkan cahaya bulan. Alkohol mengalir seperti sungai. Sampanye, bourbon, vodka, semua dituang tanpa henti. Tawa keras bercampur dengan desahan, tubuh-tubuh menempel, dan aroma parfum bercampur dengan bau tembakau mahal.Namun di tengah kegaduhan itu, Rafael duduk di kursi kulit hitam di ruang utama vila. Wajahnya tetap dingin, matanya kelam, menatap kerumunan tanpa benar-benar melihat. Ia menyalakan cerutu, mengisapnya dalam-dalam, lalu membuang asapnya dengan gerakan lambat.Semua ini seharusnya menghiburnya.Tapi tidak.Sejak malam di k







