Share

Elena: Luka Terindah
Elena: Luka Terindah
Author: Aqillah

Chapter 1

Author: Aqillah
last update Last Updated: 2025-09-27 11:36:32

Di balkon rumah besar milik keluarganya, ia berdiri tegak, jas hitamnya jatuh rapi, dasi sutra abu-abu tergantung dengan ketelitian yang nyaris obsesif. Di tangannya ada segelas anggur merah, warnanya nyaris serupa darah segar.

Matanya yang kelam menatap langit jingga. Ia menarik napas pelan, seakan sedang menghirup aroma kematian.

“Indah,” gumamnya lirih. “Indah seperti saat tubuh kehilangan panasnya.”

Di balik punggungnya, suara langkah-langkah berbaris rapi terdengar. Anak buahnya menunduk, membuka pintu besar yang mengarah ke ruang bawah tanah.

“Don Rafael,” suara salah satu anak buahnya parau, penuh rasa takut. “Kami sudah menyiapkan orangnya. Seperti yang Anda perintahkan.”

Rafael meletakkan gelas anggurnya di meja marmer, lalu menyalakan cerutu. Asap putih mengepul, menyelubungi wajahnya yang teduh sekaligus menyeramkan.

Ia berbalik. Senja di belakangnya menorehkan siluet, membuat sosoknya seperti malaikat kegelapan yang turun ke bumi.

“Bawa aku ke sana.”

•••

Ruang Bawah Tanah

Ruang bawah tanah keluarga De Luca bukan sekadar ruang penyimpanan. Itu adalah altar untuk pengkhianatan, tempat di mana darah menjadi doa, dan jeritan adalah musik pengiring.

Dindingnya terbuat dari bata tua, lembap, dan berlumut. Lampu-lampu redup menggantung, memberi cahaya kekuningan yang lebih mirip ruang penyiksaan abad pertengahan. Bau besi karat bercampur dengan bau tembakau, anggur, dan… daging terbakar.

Di tengah ruangan, seorang pria terikat di kursi besi. Tubuhnya gemetar, wajahnya lebam, bibirnya pecah-pecah. Nafasnya memburu, seakan paru-parunya menolak udara yang dingin menusuk.

Rafael melangkah masuk. Sepatunya berderap pelan, namun setiap dentuman terdengar seperti palu godam di telinga pria yang terikat itu. Semua anak buah menunduk, tidak ada yang berani menatap mata tuannya terlalu lama.

“Jangan berhenti gemetar,” kata Rafael, suaranya tenang, hampir menenangkan. “Aku suka melihat ketakutan menjalar di setiap pori manusia. Itu mengingatkanku bahwa pada akhirnya semua orang sama. Lemah.”

Pria yang terikat itu mencoba bicara, tapi suaranya parau.

“Do-Don Rafael… a-ampuni aku… Aku terpaksa…”

Rafael mengangkat tangan, menyuruhnya diam. Ia mendekat, menepuk-nepuk pipi pengkhianat itu dengan lembut, seperti seorang ayah menenangkan anak kecil.

“Terpaksa?” Senyum tipis mengembang di wajahnya. “Kau menjual informasi keluarga ini. Informasi yang kubangun dengan darah puluhan tahun. Kau memberikannya kepada musuh. Itu bukan terpaksa. Itu pilihan.”

Tangannya yang lain mengambil pisau kecil di meja. Kilau baja itu memantulkan cahaya lampu redup. Rafael mengangkatnya, menatapnya seperti seorang pelukis yang sedang menilai kuas terbaik untuk karya seni.

“Dan setiap pilihan ada harga yang harus dibayar.”

Pisau itu mendarat di tangan pria yang terikat. Rafael menekannya pelan pada jari kelingking.

“Lihat,” katanya sambil tersenyum samar. “Aku tidak akan membunuhmu cepat. Mati cepat itu hadiah. Kau hanya layak mati perlahan, sambil mencium bau dagingmu sendiri yang terbakar.”

Ia menyalakan cerutu lagi, lalu mendekatkan bara api ke ujung jari pria itu. Jeritan melengking memenuhi ruangan. Daging terbakar menguarkan bau menyengat.

Anak buah yang berdiri di belakangnya bergidik, beberapa memalingkan wajah. Tapi tidak ada yang berani mengeluarkan suara.

Pengkhianat itu menangis, air matanya bercampur dengan keringat dan darah. “A-ampun, Don… A-ampun, aku mohon…”

Rafael mengembuskan asap cerutu ke wajah pria itu, lalu tertawa lirih.

“Ampunan itu hanya milik Tuhan. Sayangnya, aku bukan Tuhan.”

Dengan satu gerakan cepat, ia mengiris jari kelingking itu hingga putus. Darah muncrat, menodai lantai. Jeritan kembali menggema.

Rafael menatap jari yang tergeletak di lantai, lalu menendangnya ke arah anak buah yang berdiri di sudut ruangan.

“Buang itu. Jangan sampai mengotori tempatku.”

Pisau kembali diangkat, kali ini ke jari manis.

“Empat lagi,” katanya tenang. “Setiap jari adalah pengingat bahwa kau pernah memiliki kesempatan untuk setia. Dan setiap jari yang hilang adalah bukti bahwa kau memilih sebaliknya.”

Setiap jeritan pengkhianat itu seperti doa kematian yang membuat semua orang di ruangan semakin tercekam. Beberapa anak buah merasa perut mereka mual, tapi wajah mereka tetap menunduk.

Rafael berjalan perlahan, menyeruput anggurnya yang baru dibawakan oleh seorang pelayan. Wajahnya tetap elegan, seakan ia sedang mendengarkan orkestra, bukan jeritan manusia.

“Kalian semua lihat,” katanya dingin. “Inilah nasib orang yang mencoba mengkhianati keluarga De Luca. Tidak ada yang berakhir indah. Tidak ada jalan keluar.”

Matanya melirik tajam, dan seketika semua anak buah semakin menunduk dalam-dalam. Tak seorang pun berani berkedip.

Rafael kembali pada pria yang terikat, lalu dengan tenang memotong jari berikutnya. Darah menetes, membentuk genangan kecil.

“Cantik,” bisiknya, menatap lantai. “Merah adalah warna paling jujur.”

Setelah semua jari tangan kiri terpotong, pria itu sudah nyaris pingsan. Nafasnya tersengal, tubuhnya menggeliat tak berdaya.

Rafael jongkok, menatap langsung ke matanya.

“Kau tahu hal paling menyedihkan dari pengkhianatan?” suaranya begitu pelan, nyaris intim. “Bukan karena kau melawan keluargamu. Tapi karena pada akhirnya, kau hanya pion kecil yang akan dilupakan. Kau mati sia-sia.”

Ia berdiri, menghunus pistol perak dari pinggangnya.

“Sayangnya, aku tidak bisa membiarkanmu hidup terlalu lama. Kau sudah cukup jadi hiburan malam ini.”

Satu tembakan. Suara keras menggema di ruang bawah tanah. Kepala pria itu terhuyung, darahnya mengalir deras, menodai bajunya sendiri.

Sunyi.

Rafael menghela napas, seakan baru saja menyelesaikan ritual keagamaan. Ia menepuk-nepuk bahunya sendiri, lalu menatap anak buahnya.

“Bersihkan ini. Jangan biarkan ada jejak. Dunia luar hanya boleh tahu bahwa ia menghilang.”

Anak buah serentak menjawab, “Siap, Don Rafael.”

Rafael menyalakan cerutu lagi, lalu berjalan keluar dari ruang bawah tanah. Asap menari-nari di belakangnya, menutupi bau kematian yang masih pekat.

•••

Rafael menaiki anak tangga dari ruang bawah tanah dengan langkah tenang. Setiap pijakan sepatunya terdengar mantap, seperti dentuman palu hakim yang sudah menjatuhkan vonis. Di belakangnya, suara bergegas para anak buah yang sibuk membersihkan jejak bergema samar. Bau besi, darah, dan daging terbakar masih menempel di pakaiannya, tapi ia tidak terganggu.

Bagi Rafael De Luca, kematian hanyalah rutinitas.

Ketika ia sampai di lorong panjang menuju ruang tamu utama, udara berubah, lebih segar, tapi dingin. Lukisan-lukisan tua bergaya Renaissance tergantung di dinding, menampilkan adegan perang dan pengkhianatan yang tak kalah kejam. Entah kebetulan atau tidak, rumah keluarga De Luca seolah dirancang untuk selalu mengingatkan siapa pun bahwa kekuasaan dibangun dengan darah.

Seorang pelayan tua menunduk dalam-dalam begitu Rafael lewat.

“Anggur baru sudah disiapkan, Don.”

Rafael mengangguk singkat, lalu melangkah ke ruang tamu luas yang diterangi cahaya chandelier kristal. Di atas meja panjang, sebotol anggur merah dengan label tua sudah terbuka. Aromanya kuat, menyinggung indra penciuman dengan tajam.

Ia menuang segelas penuh, lalu berjalan ke jendela besar yang terbuka lebar. Senja telah hampir hilang, berganti malam yang pekat. Kota di bawah sana menyala dengan lampu-lampu, tapi bagi Rafael, kilauan cahaya itu tak lebih dari ilusi rapuh.

“Manusia selalu menipu dirinya sendiri dengan cahaya,” gumamnya lirih. “Padahal gelaplah yang selalu menang pada akhirnya.”

Tak lama, pintu ruang tamu berderit. Seorang tangan kanan sekaligus orang kepercayaannya, Marco, masuk dengan langkah hati-hati.

Marco berusia awal empat puluhan, berwajah keras dengan bekas luka panjang di pipinya. Bekas masa lalu yang penuh pertempuran. Namun di hadapan Rafael, pria itu tetap menunduk, menjaga jarak seolah tahu garis tak kasat mata yang tidak boleh ia lewati.

“Don Rafael,” ucap Marco pelan, “ada kabar dari Sisilia. Pengiriman senjata kita dibocorkan sebelum sampai ke pelabuhan. Beberapa peti hilang.”

Rafael tidak langsung menoleh. Ia hanya memutar gelas anggurnya, menatap cairan merah yang berputar pelan.

“Berapa banyak?” tanyanya, tenang.

“Tiga peti. Kalashnikov dan amunisi. Tidak besar, tapi… cukup untuk jadi masalah bila jatuh ke tangan musuh.”

Keheningan menyelimuti ruangan beberapa detik. Jam antik di sudut ruangan berdetak pelan, seakan ikut menghitung waktu.

Rafael akhirnya menyesap anggurnya, lalu berbalik. Matanya menatap Marco, dalam dan menusuk.

“Siapa yang kau curigai?”

Marco menelan ludah. “Kami masih menelusuri. Tapi, kemungkinan ada lebih dari satu orang dalam lingkaran kita yang terlibat. Yang tadi di bawah tanah hanyalah permulaan.”

Senyum dingin muncul di bibir Rafael.

“Pengkhianatan itu menular, Marco. Sekali satu orang berani melakukannya, yang lain mulai berpikir mereka juga bisa. Seperti penyakit yang menjalar dari luka kecil.”

Ia berjalan mendekat, meletakkan tangannya di bahu Marco. Sentuhannya lembut, tapi berat seperti ancaman.

“Cari tahu siapa saja yang terinfeksi penyakit itu. Aku ingin nama, wajah, dan bukti. Dan aku ingin mereka masih bernyawa saat dibawa padaku.”

Marco menunduk lebih dalam. “Siap, Don.”

Rafael melepas bahunya, kembali menyalakan cerutu. Asap memenuhi ruangan, membuat bayangan wajahnya tampak semakin kelam.

“Tiga peti senjata hilang. Itu artinya ada tangan luar yang ikut bermain. Dan aku tahu hanya satu keluarga yang berani mencoba ini.”

Marco mengangguk. “Keluarga Marchetti.”

Nama itu membuat rahangnya mengeras. Keluarga Marchetti adalah saingan lama De Luca. Hubungan mereka seperti dua ular yang saling melingkar, menunggu waktu untuk saling menggigit.

Rafael tersenyum samar. “Mereka sudah mulai bosan hidup rupanya.”

Ia menyesap anggur lagi, lalu berjalan ke piano hitam yang berdiri di sudut ruangan. Jari-jarinya yang baru saja berlumuran darah menyentuh tuts putih. Ia menekan satu nada, lalu nada lain. Suara piano bergema lembut, kontras dengan kebrutalan yang baru saja ia lakukan.

“Musuh berpikir mereka bisa mencuri dan bersembunyi. Tapi kita bukan keluarga yang mudah dilupakan. Aku akan ajarkan pada mereka bahwa setiap tetes darah yang mereka ambil dari kita, akan dibayar seribu kali lipat.”

Nada piano yang ia mainkan semakin cepat, membentuk melodi gelap, seakan menggambarkan badai yang akan datang. Marco tetap berdiri kaku, tak berani mengganggu.

•••

Malam itu, pesta kecil diadakan di rumah besar De Luca. Para sekutu, pengusaha yang berafiliasi, dan beberapa politisi bayangan hadir. Musik lembut mengalun, gelas-gelas beradu, dan senyum palsu bertebaran.

Namun di balik semua kemewahan itu, atmosfer terbungkus ketegangan yang sulit dijelaskan. Semua orang tahu jika Don Rafael mengadakan jamuan setelah menghukum seorang pengkhianat, berarti badai besar sedang mendekat.

Rafael berdiri di tengah keramaian, anggurnya tidak pernah jauh dari tangan. Setiap langkahnya diperhatikan, setiap kata yang keluar dari bibirnya disimak, seolah ia adalah raja yang bahkan napasnya adalah hukum.

Seorang wanita cantik, tamu dari Moskow, mencoba mendekat, tersenyum penuh pesona.

“Don Rafael,” katanya dengan aksen Rusia yang kental, “Anda terlihat berbeda malam ini. Ada sesuatu yang mengganggu?”

Rafael menatapnya sebentar, lalu tersenyum tipis. Senyum yang lebih menyeramkan daripada menenangkan.

“Yang mengganggu hanyalah manusia yang lupa siapa majikannya. Tapi jangan khawatir. Aku selalu punya cara untuk membuat mereka mengingat kembali.”

Wanita itu bergidik, buru-buru meneguk sampanye di tangannya.

•••

Ketika pesta mulai mereda, Rafael keluar ke balkon lagi. Malam telah sempurna. Bulan separuh menggantung, cahayanya pucat, menorehkan bayangan panjang di halaman.

Ia berdiri tegak, cerutu di tangan, matanya menatap jauh ke kota.

Di kejauhan, ia tahu musuh-musuhnya juga sedang merencanakan langkah. Tapi tak seorang pun bisa mengalahkan ketenangan yang ia miliki.

Karena bagi Rafael De Luca, permainan ini bukan soal cepat atau lambat. Ini soal siapa yang bisa membuat lawan menunggu lebih lama dalam ketakutan.

Ia mengangkat gelas anggur, berbisik seakan berbicara pada malam itu sendiri.

“Perang sudah dimulai.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Elena: Luka Terindah   Chapter 6

    Waktu berjalan cepat, tapi bukan berarti Rafael berhenti. Sudah dua minggu sejak pencurian itu.Dan sejauh ini, nihil. Tak ada jejak. Tak ada nama.Semua anak buahnya seperti menabrak dinding yang tak terlihat.Rafael berdiri di ruang bawah tanah miliknya, memandang lampu-lampu yang berkelap-kelip. Asap rokok di tangannya menari, tipis, lalu menghilang diterpa angin. Di depan pintu, dua orang anak buahnya sedang menyeret seorang pria bertubuh gemuk ke tengah ruangan. Mulut pria itu ditutup lakban, tangannya diikat dengan tali plastik. Tubuhnya penuh debu dan keringat.“Buka,” kata Rafael datar.Salah satu anak buahnya merobek lakban itu. Pria gemuk itu langsung terbatuk, hampir tersedak udara.“Don Rafael, saya—”“Diam,” potong Rafael.Nada suaranya pelan, tapi mengandung sesuatu yang membuat semua orang di ruangan itu menelan ludah.Rafael menurunkan tubuhnya sedikit, menatap langsung ke mata pria itu. Tatapannya dingin. Datar. Tak ada amarah, tapi justru itulah yang paling menakutka

  • Elena: Luka Terindah   Chapter 5

    Malam itu vila Rafael di tepi pantai Amalfi berkilau seperti istana para dewa. Lampu kristal bergantung di langit-langit tinggi, cahaya keemasan memantul di dinding kaca, sementara musik elektronik berdenyut menembus udara. Lantai marmer dingin dipenuhi jejak langkah tangannya. Model, bintang televisi, pengusaha yang haus sensasi, dan wanita-wanita muda yang datang hanya untuk menjadi bagian dari pesta sang Don.Di halaman belakang, kolam renang memantulkan cahaya bulan. Alkohol mengalir seperti sungai. Sampanye, bourbon, vodka, semua dituang tanpa henti. Tawa keras bercampur dengan desahan, tubuh-tubuh menempel, dan aroma parfum bercampur dengan bau tembakau mahal.Namun di tengah kegaduhan itu, Rafael duduk di kursi kulit hitam di ruang utama vila. Wajahnya tetap dingin, matanya kelam, menatap kerumunan tanpa benar-benar melihat. Ia menyalakan cerutu, mengisapnya dalam-dalam, lalu membuang asapnya dengan gerakan lambat.Semua ini seharusnya menghiburnya.Tapi tidak.Sejak malam di k

  • Elena: Luka Terindah   Chapter 4

    Dua hari berikutnya, anak buah Rafael turun ke pelabuhan timur. Kepala-kepala kecil di sana sudah digiring, ditanya, dipukul, kuku dicabut, tulang dipatahkan, wajah disetrum dengan kabel listrik. Namun hasilnya nihil. Semua bersumpah tidak tahu. Rafael duduk di sebuah ruangan yang ia gunakan untuk interogasi. Dindingnya bercat putih tapi kini ternodai bercak merah yang tak pernah hilang meski sudah disikat. Di hadapannya, Marco melaporkan hasil penyelidikan. “Don, kami sudah tanya semua mandor di dermaga. Tidak ada yang mengaku. Mereka ketakutan, tapi... sepertinya mereka benar-benar tidak tahu.” “Tidak mungkin kontainer sebesar itu hilang tanpa ada yang sadar,” ucapnya dingin. “Ada seseorang yang menutup mulut mereka. Ada yang lebih besar dari sekadar mandor dermaga.” Marco menunduk. “Ada satu nama yang disebut beberapa kali, tapi, dia licin. Tidak ada catatan resmi. Bahkan kepolisian tidak punya data lengkap. Mereka hanya menyebutnya The Ghost.” Alis Rafael terangkat tipis.

  • Elena: Luka Terindah   Chapter 3

    Hujan deras masih menuruni langit kota saat Rafael keluar dari gudang tua itu. Api yang melahap tubuh Lorenzo masih terlihat samar di balik kaca mobil hitam yang menunggunya. Bau asap bercampur darah menempel di udara, seolah menjadi dupa persembahan bagi kematian malam ini.Pintu belakang mobil dibuka oleh Marco. Rafael masuk tanpa sepatah kata. Hanya bunyi korek api yang terdengar ketika ia menyalakan cerutunya. Asap perlahan memenuhi kabin, bercampur dengan aroma kulit mewah dari kursi mobil.“Ke mana, Don?” tanya Marco hati-hati.Rafael menghembuskan asapnya, menatap kosong ke arah jendela yang dipenuhi butiran hujan. “Ke klub. Aku butuh musik keras untuk menenggelamkan bau pengkhianat ini.”Mobil pun melaju menembus jalanan kota yang basah. Lampu neon dari bar, hotel, dan toko-toko tua memantul di aspal. Suasana malam terasa hidup, tapi bagi Rafael, semua hanya riuh tanpa arti.•••The Black OrchidKlub malam milik Rafael yang terkenal paling eksklusif di kota. Dari luar, gedung

  • Elena: Luka Terindah   Chapter 2

    Rafael berjalan perlahan menyusuri lorong. Sepatunya berderap tenang di atas marmer putih.Ia berhenti di depan sebuah pintu berukir tua, lalu mendorongnya dengan tenang. Ruangan itu remang, diterangi hanya oleh dua lampu meja di sudut. Tirai panjang menutup rapat jendela, menciptakan suasana seakan dunia di luar tidak ada.Di ranjang king-size dengan sprei satin hitam, seorang perempuan cantik sudah menunggunya. Rambut panjangnya terurai, matanya berhias eyeliner pekat, bibirnya merah darah. Tubuhnya dibalut gaun tipis yang nyaris transparan, seolah memang dirancang hanya untuk dilepas.Ia bangkit perlahan, menyambut Rafael dengan senyum yang dibuat-buat.“Don Rafael,” ucapnya lembut, “aku sudah menunggu.”Rafael hanya menatap, dingin, sebelum meneguk sisa anggur di gelasnya. Ia meletakkan gelas di meja samping, lalu melepaskan jas hitamnya. Gerakannya rapi, terukur, seakan melepas lapisan identitasnya satu per satu.Perempuan itu mencoba meraih tangannya, tapi Rafael menahan gerakan

  • Elena: Luka Terindah   Chapter 1

    Di balkon rumah besar milik keluarganya, ia berdiri tegak, jas hitamnya jatuh rapi, dasi sutra abu-abu tergantung dengan ketelitian yang nyaris obsesif. Di tangannya ada segelas anggur merah, warnanya nyaris serupa darah segar. Matanya yang kelam menatap langit jingga. Ia menarik napas pelan, seakan sedang menghirup aroma kematian. “Indah,” gumamnya lirih. “Indah seperti saat tubuh kehilangan panasnya.” Di balik punggungnya, suara langkah-langkah berbaris rapi terdengar. Anak buahnya menunduk, membuka pintu besar yang mengarah ke ruang bawah tanah. “Don Rafael,” suara salah satu anak buahnya parau, penuh rasa takut. “Kami sudah menyiapkan orangnya. Seperti yang Anda perintahkan.” Rafael meletakkan gelas anggurnya di meja marmer, lalu menyalakan cerutu. Asap putih mengepul, menyelubungi wajahnya yang teduh sekaligus menyeramkan. Ia berbalik. Senja di belakangnya menorehkan siluet, membuat sosoknya seperti malaikat kegelapan yang turun ke bumi. “Bawa aku ke sana.” ••• Ruang Baw

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status