“Alhamdulillah kalau gitu ya, tapi kulihat-lihat kamu rada murung begitu. Ada masalah di rumah mertuamu?” Aku terdiam. Padahal aku tak menunjukkan wajah yang murung. Dari tadi aku tersenyum. Aku belum sempat menjawab ketika anak sulung Mbak Keke yang berusia empat tahun berlari dari dalam kamar sembari memegang mainan senapan yang besar dan disusul dengan adiknya yang baru berumur dua tahun. Pasti sangat repot mengurus kedua anak laki-laki itu setiap hari. Mereka juga sangat aktif. “Jangan lari-lari. Nanti Kakak sama Adek jatoh!” Sudah biasa bagiku mendengar suara keras Mbak Keke yang memperingati anaknya. “Suami Mbak shift pagi, ya?” Aku mengalihkan topik, malas membahas masalah di rumah. “Iya, aku juga gak ada job selama seminggu ini. Jadi, dia ambil shift pagi.” Suami Mbak Keke bekerja sebagai kasir supermarket besar yang jaraknya cukup jauh dari sini. Setiap hari suaminya mesti menempuh perjalanan berangkat dan pulang kira-kira tiga sampai empat jam.Mbak Keke adalah seorang
Aku mulai bekerja hari ini. Ada job di kampung sebelah. Pagi-pagi sekali aku berangkat setelah membangunkan Mas Herman. “Nasinya udah ada di meja, Mas. Pakaiannya juga udah aku siapkan. Maaf aku buru-buru.” Entah pria itu mendengarkan atau tidak, dia hanya bergumam asal sembari terduduk dan terkantuk-kantuk di atas ranjang. Aku bangun pukul tiga subuh dan membersihkan rumah, membereskan dapur sembari memasak dan mencuci. Pokoknya semua sudah beres. Aku langsung bergegas ke rumah Mbak Keke dan membantunya bersiap-siap. Ternyata akulah asisten yang datang paling awal. “Pagi bener kamu datangnya, Far. Lina yang rumahnya deket aja belum kelihatan batang hidungnya.” “Harus semangat di hari pertama kerja, Mbak. Sini biar aku aja yang siapin tas make up-nya.” Aku cukup terampil soal riasan. Dulu aku sekolah di SMK dengan jurusan tata rias. Impianku memang menjadi tukang rias. Kerjaan ini sempat kulakoni selama tiga tahun sebelum akhirnya menikah dengan Mas Herman. Meskipun memiliki e
Bulan ini banyak orang yang menikah. Mungkin karena sebentar lagi Ramadhan, jadi mereka buru-buru mengadakan resepsi. Alhasil, Mbak Keke full job sampai menyewa ART dadakan. Karena suaminya tidak sanggup bekerja semalaman penuh lalu harus menjaga anak dan membereskan rumah di siang hari selama sebulan penuh. Aku pun mesti ikut dengannya. Awalnya aku selalu menyiapkan makanan sebelum berangkat ke rumah Mbak Keke. Namun, karena intensitas pekerjaan yang semakin bertambah, aku sampai harus menginap di rumah Mbak Keke. Kadang juga tidak sempat mengerjakan pekerjaan rumah. Upah yang dihasilkan pun semakin besar. Kata Mbak keke aku bisa menjadi asisten tetapnya. “Mau langsung pulang, Far?” “Kan aku ke rumah Mbak dulu.”Setelah menginap selama dua malam di rumah pengantin wanita, kami akhirnya pulang juga. Mata sudah kuyu, rambut acak-acakan, baju terkena noda riasan di mana-mana dan badan yang selalu dibanjiri keringat. “Nggak usah. Kamu langsung pulang aja. Jarak dari sini ke rumahmu
Mas Herman tidur nyenyak ketika aku masuk ke kamar. Waktu menunjukkan pukul setengah satu tengah malam. Biasanya di jam segini pria itu masih duduk di depan laptop. Ah, besok hari Minggu. Setelah membersihkan diri, aku langsung berbaring di sampingnya dan secepat kilat menuruti kantuk yang sejak tadi bersarang di pelupuk mata. Besoknya saat terbangun, jendela kamar sudah terbuka dan cahaya yang terang telah memenuhi ruangan. Saat kuraba ranjang di sampingku, tak kudapati Mas Herman. Aku berusaha bangun sembari menahan rasa pening di kepala. Semenjak bekerja sebagai asisten Mbak Keke, tidurku menjadi tidak teratur. Jam berapa sekarang? Kutengok jam di ponsel. “Jam sepuluh.” Aku mengusap wajah sebelum bangun dan mengambil handuk ke kamar mandi. “Oh, Tuan putri udah bangun? Pasti capek ya habis kerja selama dua malam di luar rumah?” Aku menghentikan langkah, serta merta menengok ke ruang tengah di mana Mbak Yuli, Ibu, dan Mas Herman duduk di sofa dengan tiga kotak bubur tergeletak
Andai saja Mas Herman menyetujui saranku untuk keluar dari rumah ini, maka pembicaraan seperti ini tidak akan pernah ada di antara kami.“Apa betul semalam kamu dibencong oleh laki-laki?”“Iya, tapi–”“Kalau begitu kamu nggak perlu berbicara seperti itu di depan Mbak Yuli.”“Dia sudah menuduhku sembarangan, Mas. Sudah seharusnya aku membela diri.” “Tapi yang dia katakan benar, ‘kan? Kamu pulang dibonceng oleh laki-laki lain.” Aku melihat kemarahan di dalam mata pria itu. “Kamu nggak tanya alasannya?” Lelaki itu diam. Menciptakan keheningan yang menyiksa. “Mobil Mbak Keke ada di bengkel. Kami baru selesai saat hampir tengah malam dan ragu akan ada ojol yang bisa dipesan. Itu pun harus menunggu lama. Jadi, Mbak Keke meminta tolong pada kerabat mempelai perempuan untuk mengantarkan kami ke rumah. Mbak Keke menyuruhku langsung pulang karena mengkhawatirkanku yang harus menempuh jalan yang jauh dari rumahnya ke sini. Karena kami hampir tidak pernah tidur selama dua malam. Kepalaku u
Suasana menjadi sangat heboh. Aku tak peduli lagi soal kesopanan atau apa pun itu. Mereka semua bahkan seenaknya mengomentariku tanpa peduli aku bisa mendengar omongan mereka. Mereka yang tidak sopan padaku lebih dulu. “LEPAS! AKU LAPORIN KAMU KE POLISI!” Lasti menjeritkan berbagai umpatan sembari terus menendang-nendang ke arahku. Namun, aku tak sudi melepas jambakanku begitu saja. Seandainya aku habis mengulek sambal, maka akan kumandikan mulutnya dengan cabe. “Kalau begitu aku juga bakal tuntut kamu dengan pencemaran nama baik.” Dalam sekali entakan, kulepaskan rambutnya hingga Lastri terpental jauth ke sofa. Ibu-ibu yang lain dengan panik menangkapnya. “Memangnya kamu lihat aku menjajakan diri? Lihat tempat kerjaku? Urusin aja hidup kalian! Udah bener belum? Anak udah dididik dengan baik nggak? Denger, ya, Ibu-Ibu. Omongan jelek itu bakal balik ke diri sendiri. Yang punya anak perempuan, cucu perempuan, menantu perempuan jagain baik-baik. Nggak usah ngurusin hidup saya!”It
“Sudah apa?! Lastri bilang aku menjajakan diri di luar dan bekerja di tempat kotor! Gimana aku bisa diam saja?!” Desah napas yang keras meluncur dari mulut Mas Herman. “Aku bakal kasih tahu dia besok.” “Memangnya apa untungnya? Dia nggak bakal berhenti cuma karena kamu kasih tahu.” “Apa kamu nggak berpikiran kalau anggapan mereka itu karena kamu yang selalu pulang malam, bahkan sampai diantar oleh laki-laki? Mereka nggak mau tahu kebenarannya, yang penting itu bisa jadi bahan gosip yang menyenangkan hati mereka.” “Jadi, kamu berpikir akulah yang salah?” “Bukan begitu, Farah. Berhentilah bekerja, maka masalah ini juga bakal selesai.” Kupendam kekecewaan itu dalam-dalam. Baru kali ini pandangan kami benar-benar berbeda. Pendapat yang dulunya selalu bisa ditemukan jalan tengahnya, sekarang seolah menemui jalan buntu. “Aku cari duit itu halal, Mas. Kenapa harus berhenti cuma gara-gara omongan mereka?” Kenapa aku harus menghentikan pekerjaanku hanya karean mulut kotor mereka? Merek
Hati ini tercabik-cabik. Kedatangan Ibu ke kamar bagaikan pisau yang dilumuri garam, menggores hatiku semakin dalam. Sekian lama aku berbakti di rumah ini, mengerjakan semua pekerjaan rumah dan masih dikatakan tidak becus. Semua kelelahanku setiap hari sama sekali tidak dihargai. Tak ada satu pun orang yang memihakku. Kamar yang lengang selepas kepergian mertua benar-benar terasa dingin menusuk dada. Air mata meleleh di pipi. Tiba-tiba saja kusesali pilihanku dulu. Andai aku setuju memiliki anak sejak awal pernikahan, Mas Herman tidak akan memberikan syarat untuk tinggal di rumah orang tuanya. Mungkin ini semua memang salahku. Aku mulai meragukan keyakinan sendiri. Barangkali masalahnya berakar di situ. Besoknya aku ke rumah sakit, menemui dokter yang dulu memasangkan IUD padaku lalu memintanya melepasnya. “Sudah berubah pikiran, Mbak?” tanya dokter wanita yang sepertinya seumuran dengan Mbak Keke itu. Namanya Dokter Rena. “Iya, Dok. Nggak ada salahnya mencoba.” Dokter Rena