Share

10

Esoknya Mas Herman mendiamkanku. Ia menolak kusuapi dan berangkat ke kantor lebih pagi. Aku masih berada di dalam kamar, enggan keluar dan mengerjakan semua pekerjaan rumah yang sudah seperti rutinitas bagiku itu.

Aku hanya ke dapur untuk membuat teh buat kubawa ke kamar. Rencananya untuk santai dan menikmati waktu sendirian. Kulihat toples gula kosong. Keningku mengerut, melirik air yang kupanaskan di atas kompor.

Kebetulan Ibu datang. Sebenarnya aku malas berbicara dengannya, tapi mau bagaimana lagi. “Gula habis, Bu?” tanyaku.

“Iya,” jawab Ibu singkat.

“Loh, kok habis? Kemarin pagi bukannya Ibu ke pasar, ya?”

“Yo aku ndak beli gula.” Ibu memeriksa magicom lalu cuek bebek saat tidak mendapati nasi di dalamnya.

“Kok nggak beli? Aku ‘kan udah setor biaya bulanan sama Ibu.” Aku berusaha berbicara dengan nada yang rendah, tak ingin dianggap pembangkang lagi.

“Uangnya kubeliin emas. Malu sama yang lain kalau ke kondangan gak pake emas.”

Allahu Akbar. Dadaku langsung terasa panas.
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status