Share

2

Penulis: Mustacis
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-21 13:31:05

“Ya jelas, Farah ‘kan nggak mau berkorban, Bu-Ibu. Doi masih kepengin cantik dan berbody aduhai.”

“Sebaiknya punya anak aja, Neng. Jangan ditunda terlalu lama. Entar kalau umur udah lewat 30 udah susah lahiran. Anak adalah ladang rezeki buat orang tua.”

“Iya, Neng Farah. Lagian nunda-nunda punya anak begitu cuma buat orang kaya. Kita orang miskin nggak usah ikut-ikutan.” 

Bukankah sebaliknya? Keputusan untuk menunda atau tidak memiliki anak harusnya dipikirkan oleh orang miskin, sebab biaya tidak cukup untuk menghidupi maupun menyekolahkan anak.

Dadaku terasa semakin sesak mendengarkan omongan mereka yang terus dikompori oleh Lastri. Entah mengapa Lastri tidak menyukaiku. Mungkin karena sering mendengar curhatan Mbak Yuli tentangku. 

“Ini uangnya, Kang. Makasih, ya.” 

Kang Yur menatapku tidak enak sambil menerima uang.

“Saya permisi dulu, ya. Mesti masak.” 

“Cepat amat belanjanya, Farah. Kalau dikasih tahu sama orang tua ya kudu didengerin. Jangan kabur. Kepala batu juga, ya kamu.” 

Sebelum benar-benar memutar tubuh, aku melihat beberapa ibu-ibu yang mengangguk setuju atas omongan Lastri sambil melirikku sinis. Bagiku itu bukanlah nasihat, tapi penghakiman. Tanpa menghiraukan Lastri, aku melesat meninggalkan gerobak Kang Yur. 

Pagi ini mood-ku dibuat hancur oleh mereka. Harusnya aku belanja di pasar saja. Begitu banyak kalimat balasan yang ingin kulontarkan pada mereka, tapi jika kuladeni masalahnya akan semakin runyam. Mending masak sebelum ibu dan Mbak Yuli bangun dan protes lagi. Aku sedang tidak ingin mendengar drama atau omelan hari ini.

Setelah memasak, aku menyiapkan piring untuk Mas Herman lalu membawanya ke kamar. Setiap pagi dia selalu sibuk sampai tidak punya waktu makan di dapur, karena malamnya sering begadang mengerjakan laporan kantornya. 

“Makan dulu, Mas.” 

Mas Herman sedang memasukkan laptop ke dalam tasnya. Kemeja belum dikancing dan bagian ujung celananya tergulung. 

Aku meletakkan piring di meja kecil samping jendela, tempat biasanya Mas Herman menyimpan laptop dan buku-buku laporannya. Aku berjongkok  memperbaiki ujung celananya kemudian mengancingkan seluruh kancing kemeja pria yang usianya lebih tua dua tahun dariku itu. 

“Laporannya udah selesai, Mas?” 

“Udah, Dek. Mas tidur jam empat. Capek banget.”

“Tidurnya cuma tiga jam berarti?” 

“Iya, badan pegal semua.”

“Ya udah, makan dulu. Nanti pulang kantor aku pijitin.” Aku menuntun pria itu  duduk di tepi ranjang. Sembari dia memakai kaos kaki, aku menyuapinya. 

“Bentar lagi Mas gajian. Adek mau dibeliin apa?” tanyanya. 

Setiap kali Mas Herman bertanya seperti itu, aku selalu merasa berbunga. Aku adalah orang pertama yang diingatnya setiap kali hendak gajian. 

“Nggak usah, Mas. Ditabung aja.” 

Gaji Mas Herman bisa dibilang pas. Tidak kurang dan tidak lebih. Standar UMR. Umumnya 3,5 juta. Namun, terkadang dia diberi bonus lembur atau pesangon dari rekan kerjanya karena telah mengerjakan tugas mereka. 

Gaji segitu dialokasikan pada Ibu untuk belanja bulanan dan untukku membeli make up serta perawatan diri. Masing-masing mendapatkan 500 ribu. Mas Herman juga mengambil 500 ribu untuk membeli bensin dan rokok. 

Sisanya kami tabung. Bonus ataupun pesangon yang sering Mas Herman dapatkan biasanya dibagi dua untuk membeli hadiah buatku dan Ibu. 

Aku menyukai pernikahanku bersama Mas Herman. Dia pria yang tenang dan tidak menuntut banyak hal. Hanya saja tuntutan-tuntutan itu datang dari para tetangga dan keluarganya. 

“Mas tadi lewat toko. Ada sepatu cantik buat kamu. Nanti kalau ada bonus Mas beliin, ya?”

Aku mengangguk sembari memasang senyum paling manis. Berharap Mas Herman tidak akan pernah bosan dengan senyumku ini. Ia membalas senyumku. Meski berkulit gelap, ia kelihatan manis dan tidak membosankan walaupun tidak setampan mantan-mantanku sebelum menikah dengannya. 

Setelah pria itu berangkat ke kantor, aku melanjutkan urusanku di dapur. Kebetulan Ibu sudah bangun dan sedang makan bersama Mbak Yuli yang  kerepotan menyuapi anaknya. 

Aku tidak lantas bergabung dan mereka pun tidak repot-repot menawariku makan. Itu sudah biasa bagiku. Aku mencuci bekas peralatan masak terlebih dahulu karena setelah makan akan banyak piring bekas. Nanti semakin merepotkan. 

“Aduh, nggak usah mainin sayur! Makan buburnya, Tur!” 

Sudah menjadi hal lumrah mendengar Mbak Yuli berteriak menegur anaknya. Aku mengernyit memandangi tangan Fatur yang masuk ke wadah sayur dan meremas-remas labu. 

Fatur yang tampaknya sudah cukup sembuh dari demamnya mulai aktif lagi. Ia meraih-raih sendok bubur sampai mangkuknya terjatuh ke lantai. Pecah berserakan berikut dengan wadah sayur. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Enggan Punya Anak   34 (End)

    Sesampainya di ruangan mempelai pria, aku dihadapkan pada Mas Herman yang memamerkan sorot gelisahnya. Aku duduk di kursi, berdampingan dengannya. Sebab aku tahu pria itu tidak ingin didandani. “Apa kabar, Dek, maksudku Farah?” Aku mengangguk. “Baik. Hanif juga begitu. Sekarang dijaga oleh Emak dan Bapak.” Sejak kepulanganku ke rumah Emak, beberapa kali Mas Herman ingin berkunjung, apalagi setelah mendengar kabar aku sudah melahirkan. Namun, aku melarangnya dan hanya mengizinkan melihat anak kami lewat panggilan video atau telepon saja. “Aku nggak tahu kalau kamu yang jadi MUA-nya.” “Itu nggak penting, Mas. Ini pekerjaanku, aku harus profesional.” “Maaf. Aku nggak bermaksud–” “Nggak usah merasa bersalah. Meski merasa nggak nyaman, tapi aku tidak membencimu. Kamu tidak perlu khawatir.” “Dia rekan kerja. Setiap hari membantu pekerjaanku. Setelah kamu pergi, suatu hari Ibu melihatku berboncengan dengannya–aku cuma memberikan tumpangan seperti waktu itu–lalu berniat mendekatkan

  • Enggan Punya Anak   33

    Tiga tahun kemudian.“Kali ini kamu kerjanya di mana, Far?” Emak sedang duduk di kursi rotan sambil memangku putraku yang berumur dua tahun. Hanif namanya. Berkulit putih dengan tubuh yang sedang, tak kurus juga tidak gembul. Bagaimanapun keadaannya, aku tetap mencintainya.Sementara aku duduk di lantai sambil melipat pakaian. “Itu, keponakannya Pak Salim. Rumahnya agak jauh. Mesti tempuh dua jam perjalanan.”Pak Salim adalah ketua RT di kampung ini. Beliau khusus memintaku untuk jadi MUA di pernikahan keponakannya. “Oalah, keponakan yang selalu dia banggakan itu, ya? Yang katanya sarjana dan kerja kantoran?”“Iya, Mak. Katanya nikah sama teman sekantornya.”“Perjaka apa duda?”Aku menertawai kekepoan Emak. “Katanya duda.”“Oalah. Ndak papa itu, yang penting orangnya baik, keluarganya juga baik.” “Semoga aja, Mak.”Hanif tampak tenang dalam pangkuan Emak sambil memainkan kalung emas neneknya. “Nikah itu bukan cuma nikahin orangnya, tapi juga nikahin keluarganya. Kita juga mesti co

  • Enggan Punya Anak   32

    “Bapak ndak liat suamimu. Sendiri kamu, Nak?”Betapa berat mulutku terbuka untuk memberitahu mereka. Sementara Farel berjalan ke arah kami sambil membawa semua tasku. Bibirnya tersenyum ramah lalu menyalami Bapak dan Emak. “Ini siapa, Nak? Kok ndak datang sama suamimu? Masih bertengkar kalian? Dia ndak datang menjemputmu?”Farel melemparkan tatapan canggung padaku. “Anu, Pak. Bisa nggak bantuin Farel nurunin motorku? Aku mau masukin barang-barang.”“Ah, iya.” Kening Bapak mengerut bingung, tapi tetap menuruti permintaanku. Sementara Emak mengekor masuk dan membantu mengangkat tas besar milikku. Ia lalu berdiri diam dengan pandangan menerawang. “Barangmu banyak begini, ditambah dengan bawa motor, pulang bersama orang lain. Sepertinya masalah dengan suamimu memang sangat besar.”Aku menarik napas sebisaku. Melihat raut Emak yang tiba-tiba menjadi murung menambah rasa sesak di dadaku. “Nanti akan Farah ceritakan, Mak. Bisa nggak Farah ajak teman Farah masuk dulu minum teh? Dia pasti

  • Enggan Punya Anak   31

    Akhirnya aku menerima tawaran Farel. Duduk di sampingnya dan diam selama perjalanan. Kami menaiki mobil pick up. Karena Farel bersikeras ingin mengangkut motorku juga. “Sepertinya Mbak berniat menetap.”Aku hanya menoleh sekilas sekalian memberikan senyum tipis sebagai jawaban. “Aku nggak mau ikut campur. Mbak ada masalah dengan suaminya, ya?”Kali ini aku tetap menatap ke luar jendela. “Tahu dari mana kosku?” Lalu mengalihkan pembicaraan. “Dari Mbak Keke. Kebetulan ketemu dan sekalian tanya-tanya soal Mbak.”Lalu suasana di antara kami kembali disisipi keheningan. Tak ada pembicaraan lagi selama satu jam perjalanan. Farel menghentikan mobil dan masuk ke dalam minimarket. Kembali membawa sekantong camilan dan air mineral. “Minum dulu, Mbak.” Ia membukakan tutup botol lalu mengulurkannya padaku. Sembari meneguk air mineral, aku tahu Farel sedang menatapku. Sorotnya dipenuhi rasa penasaran. “Aku boleh tanya tentang suami Mbak?” Aku menutup kembali botol yang tersisa setengah itu.

  • Enggan Punya Anak   30

    “Mas nggak pernah menyangka kamu akan membuatku memilih antara istri atau keluarga. Keduanya sama-sama penting, Farah.”“Memangnya aku bukan keluargamu? Aku nggak menyuruhmu memilih. Kita pindah dan menengok ibumu sesering mungkin. Aku nggak masalah memasak banyak setiap hari dan membawakan ke rumah mereka.”Ada kegelisahan yang sangat dalam pada kedua mata lelaki itu. Ia tidak menjawab. Matanya sibuk menerawang. “Buka amplop yang satunya.” Tangan Mas Herman gemetar membuka amplop yang kecil. Ia terpaku diam ketika mengeluarkan alat test pack bergaris dua itu. “Ini ….”“Aku hamil,” lirihku. Biar bagaimanapun Mas Herman perlu tahu. Mata lelaki itu membulat bersama bibirnya yang terbuka. “Kamu hamil?!”Aku melirik ke sekitar dan merasa malu ketika orang-orang mulai memperhatikan kami. “Ibu pasti akan senang kalau dengar ini. Ayo kita pulang, Dek." Mas Herman sangat antusias, bangkit dari duduknya dan bersiap menarik tanganku. “Maaf, Mas. Sepertinya kamu salah paham.”“Apa?” Mulut

  • Enggan Punya Anak   29

    ‘Aku mau ketemu, Mas.’Pesan itu kukirimkan pada Mas Herman. Lima detik kemudian, pria itu menelepon. Namun, aku menghiraukan dan mengirimkan alamat di mana kami harus bertemu. Rasanya sia-sia saja mengganti nomor ponsel dan memblokir pria itu. Esoknya aku berangkat ke tempat perjanjian kami di kafe dekat kantor pria itu. Aku menunggu agak lama. Tidak begitu keberatan karena bisa memiliki waktu yang cukup banyak untuk merenung dan mempersiapkan diri. Pintu kafe terbuka cukup keras. Aku melihat Mas Herman yang mengedarkan pandangan ke seluruh kafe lalu berlari ketika melihatku. Napasnya terengah-engah ketika sampai di mejaku. Aku melihat kegelisahan dari sorot matanya. Kemeja yang penuh keringat dan kancing yang dipasang asal-asalan. Rambutnya juga tidak serapi dulu. Lelaki ini cukup berantakan. “Kamu dari mana aja, Sayang? Mas kangen banget sama kamu.” Tangannya terulur seperti hendak memelukku. Namun, aku menepis. Membuang muka dan menunjuk kursi di hadapanku. “Duduk dulu, Mas.”

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status