Share

2

“Ya jelas, Farah ‘kan nggak mau berkorban, Bu-Ibu. Doi masih kepengin cantik dan berbody aduhai.”

“Sebaiknya punya anak aja, Neng. Jangan ditunda terlalu lama. Entar kalau umur udah lewat 30 udah susah lahiran. Anak adalah ladang rezeki buat orang tua.”

“Iya, Neng Farah. Lagian nunda-nunda punya anak begitu cuma buat orang kaya. Kita orang miskin nggak usah ikut-ikutan.” 

Bukankah sebaliknya? Keputusan untuk menunda atau tidak memiliki anak harusnya dipikirkan oleh orang miskin, sebab biaya tidak cukup untuk menghidupi maupun menyekolahkan anak.

Dadaku terasa semakin sesak mendengarkan omongan mereka yang terus dikompori oleh Lastri. Entah mengapa Lastri tidak menyukaiku. Mungkin karena sering mendengar curhatan Mbak Yuli tentangku. 

“Ini uangnya, Kang. Makasih, ya.” 

Kang Yur menatapku tidak enak sambil menerima uang.

“Saya permisi dulu, ya. Mesti masak.” 

“Cepat amat belanjanya, Farah. Kalau dikasih tahu sama orang tua ya kudu didengerin. Jangan kabur. Kepala batu juga, ya kamu.” 

Sebelum benar-benar memutar tubuh, aku melihat beberapa ibu-ibu yang mengangguk setuju atas omongan Lastri sambil melirikku sinis. Bagiku itu bukanlah nasihat, tapi penghakiman. Tanpa menghiraukan Lastri, aku melesat meninggalkan gerobak Kang Yur. 

Pagi ini mood-ku dibuat hancur oleh mereka. Harusnya aku belanja di pasar saja. Begitu banyak kalimat balasan yang ingin kulontarkan pada mereka, tapi jika kuladeni masalahnya akan semakin runyam. Mending masak sebelum ibu dan Mbak Yuli bangun dan protes lagi. Aku sedang tidak ingin mendengar drama atau omelan hari ini.

Setelah memasak, aku menyiapkan piring untuk Mas Herman lalu membawanya ke kamar. Setiap pagi dia selalu sibuk sampai tidak punya waktu makan di dapur, karena malamnya sering begadang mengerjakan laporan kantornya. 

“Makan dulu, Mas.” 

Mas Herman sedang memasukkan laptop ke dalam tasnya. Kemeja belum dikancing dan bagian ujung celananya tergulung. 

Aku meletakkan piring di meja kecil samping jendela, tempat biasanya Mas Herman menyimpan laptop dan buku-buku laporannya. Aku berjongkok  memperbaiki ujung celananya kemudian mengancingkan seluruh kancing kemeja pria yang usianya lebih tua dua tahun dariku itu. 

“Laporannya udah selesai, Mas?” 

“Udah, Dek. Mas tidur jam empat. Capek banget.”

“Tidurnya cuma tiga jam berarti?” 

“Iya, badan pegal semua.”

“Ya udah, makan dulu. Nanti pulang kantor aku pijitin.” Aku menuntun pria itu  duduk di tepi ranjang. Sembari dia memakai kaos kaki, aku menyuapinya. 

“Bentar lagi Mas gajian. Adek mau dibeliin apa?” tanyanya. 

Setiap kali Mas Herman bertanya seperti itu, aku selalu merasa berbunga. Aku adalah orang pertama yang diingatnya setiap kali hendak gajian. 

“Nggak usah, Mas. Ditabung aja.” 

Gaji Mas Herman bisa dibilang pas. Tidak kurang dan tidak lebih. Standar UMR. Umumnya 3,5 juta. Namun, terkadang dia diberi bonus lembur atau pesangon dari rekan kerjanya karena telah mengerjakan tugas mereka. 

Gaji segitu dialokasikan pada Ibu untuk belanja bulanan dan untukku membeli make up serta perawatan diri. Masing-masing mendapatkan 500 ribu. Mas Herman juga mengambil 500 ribu untuk membeli bensin dan rokok. 

Sisanya kami tabung. Bonus ataupun pesangon yang sering Mas Herman dapatkan biasanya dibagi dua untuk membeli hadiah buatku dan Ibu. 

Aku menyukai pernikahanku bersama Mas Herman. Dia pria yang tenang dan tidak menuntut banyak hal. Hanya saja tuntutan-tuntutan itu datang dari para tetangga dan keluarganya. 

“Mas tadi lewat toko. Ada sepatu cantik buat kamu. Nanti kalau ada bonus Mas beliin, ya?”

Aku mengangguk sembari memasang senyum paling manis. Berharap Mas Herman tidak akan pernah bosan dengan senyumku ini. Ia membalas senyumku. Meski berkulit gelap, ia kelihatan manis dan tidak membosankan walaupun tidak setampan mantan-mantanku sebelum menikah dengannya. 

Setelah pria itu berangkat ke kantor, aku melanjutkan urusanku di dapur. Kebetulan Ibu sudah bangun dan sedang makan bersama Mbak Yuli yang  kerepotan menyuapi anaknya. 

Aku tidak lantas bergabung dan mereka pun tidak repot-repot menawariku makan. Itu sudah biasa bagiku. Aku mencuci bekas peralatan masak terlebih dahulu karena setelah makan akan banyak piring bekas. Nanti semakin merepotkan. 

“Aduh, nggak usah mainin sayur! Makan buburnya, Tur!” 

Sudah menjadi hal lumrah mendengar Mbak Yuli berteriak menegur anaknya. Aku mengernyit memandangi tangan Fatur yang masuk ke wadah sayur dan meremas-remas labu. 

Fatur yang tampaknya sudah cukup sembuh dari demamnya mulai aktif lagi. Ia meraih-raih sendok bubur sampai mangkuknya terjatuh ke lantai. Pecah berserakan berikut dengan wadah sayur. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status