Share

Enggan Punya Anak
Enggan Punya Anak
Penulis: Mustacis

1

“Yuurrrrr~ sayuurrrrrr~”

Senandung panjang seperti bunyi mesin motor itu membuatku bergegas keluar  rumah. Dengan daster kuning bermotif bunga sebatas lutut dan rambut yang terikat rapi, aku mendekat ke tukang sayur gerobak yang biasanya memang selalu hadir di pagi hari. 

“Ada apa aja, Kang Yur?” tanyaku pada tukang sayur yang sebenarnya bernama Yudi itu, dipanggil Kang Yur karena teriakan sayurnya yang khas.

“Biasa, Mbak, dipilih aja. Semua sayur ada kok itu. Masih pres!” 

Aku melongokkan kepala mencari-cari sayur apa yang enak dimasak hari ini. Jari menunjuk beberapa sayuran yang tergantung di gerobak.

“Labu sama kacang hijau aja, Mbak. Enak tuh dimasak ama santan. Behhh muantapp!” 

Sepertinya itu memang perpaduan yang enak. Membayangkannya saja membuat perut berbunyi. Aku memasang senyum tipis. “Mertuaku asam urat, Kang. Gak boleh makan kacang-kacangan.” Kusembunyikan helaan napas kecewa. Padahal kepengin sekali makan kacang panjang.

“Perhatian kali kamu, Farah. Jadi, selama ini kamu nggak pernah masak kacang hijau?” 

Aku menoleh pada Bu Endang yang baru datang dan langsung menarik bungkusan tempe yang tergantung. “Banyak yang nggak bisa dimasak, Bu. Kangkung, bayam, yang bersantan-santan juga nggak karena Ibu kolestrol. Palingan sawi dan jagung aja.” 

“Waduh, bosan ya kalau gitu,” timpal Bu Inggis yang datang bersama Bu Sri. 

Lama-lama gerobak ini mulai dipenuhi oleh ibu-ibu. Di antara mereka akulah yang paling muda. Di pukul tujuh pagi ini Ibu belum bangun, jadi aku yang sering kali untuk membeli sayuran. Kehadiran gerobak sayur Kang Yur sangat membantu sehingga kami tidak perlu repot-repot ke pasar lagi. 

“Biasa kalau sudah tua banyak penyakit, ya. Saya juga gitu punya darah tinggi, jadi sayurnya nggak boleh asin-asin.” 

Aku tersenyum menanggapi ucapan Bu Isti yang usianya sepantaran dengan mertuaku. Ibu punya banyak penyakit. Hipertensi, asam urat, kolestrol dan maag. Mau tak mau aku harus menyesuaikan dengan penyakitnya. Hanya boleh masak sayur bening yang tidak berminyak dan tidak asin. Itu pun cuma sawi, jagung, dan wortel. 

Selama memilih sayuran dan lauk, mereka terus mengobrol dan sesekali menanyaiku. Aku hanya menjawab seadanya sambil memasang senyum agar tak dikira sombong. Sebab aku memang tidak suka banyak bicara, takut keceplosan perihal urusan pribadi. 

“Yuli gimana kabarnya sekarang, Farah? Jarang keluar rumah, ya akhir-akhir ini?”

Selagi memilih-milih telur yang sekiranya berukuran besar, aku berusaha tetap tersenyum. “Lagi sibuk, Bu. Anaknya sakit.” 

“Oalah, si Fatur sakit?”

Aku mengangguk. Mbak Yuli adalah kakak suamiku yang tinggal bersama di rumah Ibu. Suaminya perantau dan ia punya anak balita berumur satu tahun bernama Fatur. 

“Iya, sudah dua hari.” Aku mulai merogoh kantong daster. 

“Ehhhh~ Farah~ belanja sayur juga?” 

Aku menahan helaan napas. Kedatangan Lastri adalah hal yang paling kuhindari setiap kali belanja sayuran. Makanya aku selalu yang paling pertama berlari jika Kang Yur datang. Karena terus ditanyai oleh ibu-ibu yang lain, aku jadi tinggal cukup lama. 

“Rapi amat pagi ini. Sudah mandi, Far?” 

Aku sudah menduga pertanyaan itu. Lastri adalah teman Mbak Yuli. Setiap kali bertemu, dia akan menyindir atau bertanya sarkas. 

“Farah ‘kan emang selalu mandi tiap pagi sebelum belanja, Las. Nggak kayak kita-kita masih dekil dan belekan. Baru bangun udah langsung lari.”

“Ya beda dong, Bu Endang. Kita udah tua ngapain dandan dan rapi-rapi. Ditambah makin tua makin malas makin banyak penyakit. Farah ‘kan masih muda, jadi mesti rajin merawat diri dan ngurus rumah.” 

“Halah, bukan soal rajin dan mudanya, Bu Sri. Farah nggak punya anak. Palingan cuma nyapu ama cuci baju sendiri. Kita mah mesti cuciin baju anak, mandiin anak, bikinin susu, bubur, jagain, belum lagi suami yang mau berangkat kerja. Rumah selalu berantakan gegara anak. Tiap jam mesti diberesin. Mana sempat kita mandi pagi sama dandan. Bisa pakai daster nggak terbalik aja udah syukur, Bu.”

Inilah yang tidak kusukai jika bertemu Lastri di gerobak sayur. Cepat-cepat aku mengambil tempe dan tahu lalu mulai menghitung uang seribuan untuk diberikan pada Kang Yur. 

“Giliran anak udah besar, kitanya yang udah peyot. Bener itu, Lastri. Pokoknya kalau punya anak mah badan sampe hancur-hancuran. Tampilan udah kayak kuntilanak, badan gembrot, jerawatan. Nggak ada yang sedap dipandang.”

“Belum lagi bau minyak gosok sama minyak telon.” Ibu-ibu yang lain ikut menimpali. 

Aku ingin segera pergi dari sini. Rasanya seperti berada di bawah siraman air terjun yang menampar-nampar tubuhku. 

“Farah mah boro-boro bau minyak gosok.” Lastri melirik-lirik sinis padaku sembari menaik turunkan bibir tipisnya yang dipenuhi lipstik nude, dipakai melewati garis bibir sampai mulutnya terlihat tebal dan berwarna alami. “Dia tiap pagi wangi parfum sama handbody mahal. Kita apa atuh emak-emak yang mesti berkorban segalanya untuk melahirkan dan mengurus anak.”

Telingaku seperti ditusuk puluhan jarum mendengarnya. 

“Pantas Neng Farah nggak mau punya anak, ya.”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Siti Asih
huuuuh mulutnya minta dijejelin bonggol jagung niiiih.. zzzZzzz
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status