Share

3

Penulis: Mustacis
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-21 13:31:50

Aku melongo. Menahan rasa kecewa karena sayur itu belum sempat kumakan. Suasana meja makan yang berbentuk bundar dan berukuran kecil itu jadi semakin heboh. Mbak Yuli mengomel panjang dan memarahi anaknya bahkan sampai memukul tangan mungil anak itu. 

Fatur terdiam dengan bibir menekuk turun siap menangis, tapi terlihat takut karena Mbak Yuli memelototinya. Ah, kasihan sekali. Padahal dia tidak tahu apa-apa. 

“Kalau begini terus, kamu nggak Ibu kasih makan lagi! Makan aja tuh bubur yang udah tumpah!”

Aku meringis mendengar perkataan kasar itu. Ibu mertua pun tidak menegur. Dia mengambil alih Fatur yang sedang menangis hebat lalu membawanya keluar dari dapur. 

 

Setelah sang anak dibawa keluar, Mbak Yuli tak lantas berhenti mengomel. Ia mengisi piringnya dengan sayur yang sudah diremas-remas oleh Fatur lalu memakan semua sisa telur dadar yang ada di piring. Tak menyisakanku sedikit pun. 

Di balik wastafel, aku hanya bisa memandanginya dengan helaan napas kecewa dan perut yang berbunyi. Dalam keadaan kacau begitu, jika kutegur, maka dia akan mengamuk padaku. 

Wanita itu makan terburu-buru, bisa dibilang cukup rakus sampai menyuapkan tiga sendok nasi tanpa jeda ke mulutnya. Aku sudah hafal cara makan Mbak Yuli. Entah memang terburu-buru atau sangat kelaparan. 

Kulirik pennampilannya. Sama sekali tidak terurus. Rambut yang mengembang diikat asal-asalan sampai anak-anak rambutnya mencuat. Daster yang dipakai sejak dua hari lalu, dipenuhi bekas ingus dan keringat, serta tumpahan makanan. 

Badan berisi dan wajah kusam seolah tidak pernah dicuci. Setiap kali melihatnya, aku selalu menemukan jerawat baru di wajah kakak iparku itu. 

Namun, aku tidak pernah menghakimi ataupun merasa risih. Tidak sama sekali. Sebab aku tahu seberapa repot mengurus seorang anak. Seperti kata Lastri dan ibu-ibu di gerobak sayur tadi, mempunyai seorang anak berarti menyerahkan tubuh dan jiwa untuk menjadi seorang ibu. 

Aku tahu betul itu. 

Mbak Yuli belum selesai makan ketika terdengar raungan Fatur yang semakin menjadi. Wanita itu terburu-buru sampai melepaskan sendoknya dan meraup makanan dengan kelima jari lalu melesat keluar. Nasinya masih tersisa, tapi semua lauk dan sayur di atas meja sudah habis. 

Tak ada yang tersisa untukku. 

Ini sering terjadi. Mungkin mereka berpikir aku sudah makan bersama Mas Herman tadi. Padahal aku terburu-buru menyiapkan makanan dan menyuap suamiku. Mana sempat makan sendiri?

Ah ya sudahlah, nanti tinggal goreng telur saja. Masih ada sisa telur yang tadi kubeli. Yang penting nasinya masih ada. 

Selesai mencuci semua peralatan masak, aku menghampiri meja makan yang sangat berantakan. Piring bekas makan Ibu dan Mbak Yuli tak dibereskan, gelas dan wadah makanan pun masih memenuhi meja. Ditambah dengan mangkuk pecah beserta bubur yang tadi dijatuhkan Fatur.

Semua ini membuatku memejamkan mata sambil menahan diri untuk tidak merasa kesal. Sebab aku tahu Mbak Yuli tidak sempat membereskannya karena harus mengurusi Fatur yang rewel. Aku pun tak bisa menuntut mertuaku karena beliau sudah tua dan banyak penyakit. 

Terpaksa aku yang harus membereskan semua kekacauan itu. Ini sudah seperti ritual pagi yang melelahkan.

Aku kembali mandi sebelum sholat Dzuhur, sebab badan berbau bumbu dan bawang, serta daster yang basah karena habis membersihkan kekacauan di dapur. Aku harus mencuci piring-piring bekas makan yang menumpuk lagi. Ditambah membersihkan seluruh rumah yang dibuat berantakan oleh Fatur. 

Sebelum menghadap kepada Tuhan, aku harus lebih bersih dan wangi dibanding ketika menghadapkan diri kepada manusia. Karena aku yakin Allah akan lebih menyukai sholatku yang bersungguh-sungguh dalam persiapannya meski tidak yakin ibadahku akan diterima. 

Sekejap setelah keluar dari kamar mandi, Mbak Yuli menghadangku dengan penampilannya yang awut-awutan dan masih sama dengan tadi pagi. Belek bahkan masih menempel di sudut matanya.

 

“Ibu lagi tidur siang, bantu jagain Fatur bentar, ya. Aku mau mandi nih. Udah lengket banget.”

Aku tersenyum canggung. “Aku sholat dulu kalau gitu ya, Mbak.”

“Aduh, bentar aja. Aku nggak lama kok mandinya. Udah gerah ini.” 

Melihat tampilan Mbak Yuli, aku jadi kasihan. Ada lingkaran hitam di bawah mata yang menandakan iparku itu sering kali begadang di malam hari.

“Ya udah deh, tapi jangan lama-lama, ya. Nanti waktu Dzuhur lewat.”

“Iya iya. Bentar doang, kok.” Mbak Yuli tak lupa mendecak. “Pinjam handukmu dong.”

 

“Eh, tapi ini masih basah, Mbak.” 

“Nggak masalah. Nanti kujemurin.” 

Aku memberikannya dengan ragu. Bagiku handuk adalah salah satu benda pribadi yang tidak boleh dicampur pakai dengan orang lain, karena kain itu sangat rawan ditempati banyak bakteri. Apa Mbak Yuli tidak merasa risih dengan bekas handuk yang sudah kupakai?

Wanita itu menyelonong masuk ke kamar mandi. Membuatku heran mengapa ia juga tak membawa peralatan mandi. Apa salahnya kembali ke kamar dan mengambil sabun dan pasta gigi?

Lalu aku teringat jika sering kali wanita itu memakai sabun dan pasta gigi milikku, juga sabun muka serta segelintir alat mandi lainnya seperti shampo dan yang lainnya. Aku meringis. Jika aku mengetuk pintu kamar mandi dan meminta alat mandiku, maka dia pasti akan tersinggung. 

Ah, untuk kali ini aku akan membiarkannya. Nanti setelah Mbak Yuli selesai mandi, aku akan mengamankan semua alat mandi itu. 

Terpaksa aku harus menahan diri lagi. 

Aku beranjak ke kamar Mbak Yuli. Menemukan Fatur yang sedang duduk di atas ranjang yang dipenuhi pakaian entah pakaian kotor atau bersih. Bantal berserakan di bawah ranjang, membuatku harus berhati-hati melangkah agar tak menginjaknya. 

Lantai kamar wanita itu lengket. Bau pesing menusuk-nusuk hidungku ketika aku sampai di ranjang. “Fatur pipis, ya?” Kuperiksa celana anak itu. “Nggak kok.” 

Aku melongok ke lantai untuk mencari-cari mana tahu ada bekas pipis yang lupa dibersihkan. Tak sengaja kakiku menyenggol sesuatu yang basah di bawah ranjang. Saat kulihat, aku langsung berjengit. Ada banyak celana basah bekas pipis serta popok bekas yang belum dibuang. 

Kali ini aku tidak menahan ringisan jijikku sama sekali. Aku menelan ludah. Betapa berantakannya. Apakah merawat satu orang anak memang membuat kamar seberantakan dan sebau ini? 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Siti Asih
aduuuuhhhh.. kasian Farah..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Enggan Punya Anak   34 (End)

    Sesampainya di ruangan mempelai pria, aku dihadapkan pada Mas Herman yang memamerkan sorot gelisahnya. Aku duduk di kursi, berdampingan dengannya. Sebab aku tahu pria itu tidak ingin didandani. “Apa kabar, Dek, maksudku Farah?” Aku mengangguk. “Baik. Hanif juga begitu. Sekarang dijaga oleh Emak dan Bapak.” Sejak kepulanganku ke rumah Emak, beberapa kali Mas Herman ingin berkunjung, apalagi setelah mendengar kabar aku sudah melahirkan. Namun, aku melarangnya dan hanya mengizinkan melihat anak kami lewat panggilan video atau telepon saja. “Aku nggak tahu kalau kamu yang jadi MUA-nya.” “Itu nggak penting, Mas. Ini pekerjaanku, aku harus profesional.” “Maaf. Aku nggak bermaksud–” “Nggak usah merasa bersalah. Meski merasa nggak nyaman, tapi aku tidak membencimu. Kamu tidak perlu khawatir.” “Dia rekan kerja. Setiap hari membantu pekerjaanku. Setelah kamu pergi, suatu hari Ibu melihatku berboncengan dengannya–aku cuma memberikan tumpangan seperti waktu itu–lalu berniat mendekatkan

  • Enggan Punya Anak   33

    Tiga tahun kemudian.“Kali ini kamu kerjanya di mana, Far?” Emak sedang duduk di kursi rotan sambil memangku putraku yang berumur dua tahun. Hanif namanya. Berkulit putih dengan tubuh yang sedang, tak kurus juga tidak gembul. Bagaimanapun keadaannya, aku tetap mencintainya.Sementara aku duduk di lantai sambil melipat pakaian. “Itu, keponakannya Pak Salim. Rumahnya agak jauh. Mesti tempuh dua jam perjalanan.”Pak Salim adalah ketua RT di kampung ini. Beliau khusus memintaku untuk jadi MUA di pernikahan keponakannya. “Oalah, keponakan yang selalu dia banggakan itu, ya? Yang katanya sarjana dan kerja kantoran?”“Iya, Mak. Katanya nikah sama teman sekantornya.”“Perjaka apa duda?”Aku menertawai kekepoan Emak. “Katanya duda.”“Oalah. Ndak papa itu, yang penting orangnya baik, keluarganya juga baik.” “Semoga aja, Mak.”Hanif tampak tenang dalam pangkuan Emak sambil memainkan kalung emas neneknya. “Nikah itu bukan cuma nikahin orangnya, tapi juga nikahin keluarganya. Kita juga mesti co

  • Enggan Punya Anak   32

    “Bapak ndak liat suamimu. Sendiri kamu, Nak?”Betapa berat mulutku terbuka untuk memberitahu mereka. Sementara Farel berjalan ke arah kami sambil membawa semua tasku. Bibirnya tersenyum ramah lalu menyalami Bapak dan Emak. “Ini siapa, Nak? Kok ndak datang sama suamimu? Masih bertengkar kalian? Dia ndak datang menjemputmu?”Farel melemparkan tatapan canggung padaku. “Anu, Pak. Bisa nggak bantuin Farel nurunin motorku? Aku mau masukin barang-barang.”“Ah, iya.” Kening Bapak mengerut bingung, tapi tetap menuruti permintaanku. Sementara Emak mengekor masuk dan membantu mengangkat tas besar milikku. Ia lalu berdiri diam dengan pandangan menerawang. “Barangmu banyak begini, ditambah dengan bawa motor, pulang bersama orang lain. Sepertinya masalah dengan suamimu memang sangat besar.”Aku menarik napas sebisaku. Melihat raut Emak yang tiba-tiba menjadi murung menambah rasa sesak di dadaku. “Nanti akan Farah ceritakan, Mak. Bisa nggak Farah ajak teman Farah masuk dulu minum teh? Dia pasti

  • Enggan Punya Anak   31

    Akhirnya aku menerima tawaran Farel. Duduk di sampingnya dan diam selama perjalanan. Kami menaiki mobil pick up. Karena Farel bersikeras ingin mengangkut motorku juga. “Sepertinya Mbak berniat menetap.”Aku hanya menoleh sekilas sekalian memberikan senyum tipis sebagai jawaban. “Aku nggak mau ikut campur. Mbak ada masalah dengan suaminya, ya?”Kali ini aku tetap menatap ke luar jendela. “Tahu dari mana kosku?” Lalu mengalihkan pembicaraan. “Dari Mbak Keke. Kebetulan ketemu dan sekalian tanya-tanya soal Mbak.”Lalu suasana di antara kami kembali disisipi keheningan. Tak ada pembicaraan lagi selama satu jam perjalanan. Farel menghentikan mobil dan masuk ke dalam minimarket. Kembali membawa sekantong camilan dan air mineral. “Minum dulu, Mbak.” Ia membukakan tutup botol lalu mengulurkannya padaku. Sembari meneguk air mineral, aku tahu Farel sedang menatapku. Sorotnya dipenuhi rasa penasaran. “Aku boleh tanya tentang suami Mbak?” Aku menutup kembali botol yang tersisa setengah itu.

  • Enggan Punya Anak   30

    “Mas nggak pernah menyangka kamu akan membuatku memilih antara istri atau keluarga. Keduanya sama-sama penting, Farah.”“Memangnya aku bukan keluargamu? Aku nggak menyuruhmu memilih. Kita pindah dan menengok ibumu sesering mungkin. Aku nggak masalah memasak banyak setiap hari dan membawakan ke rumah mereka.”Ada kegelisahan yang sangat dalam pada kedua mata lelaki itu. Ia tidak menjawab. Matanya sibuk menerawang. “Buka amplop yang satunya.” Tangan Mas Herman gemetar membuka amplop yang kecil. Ia terpaku diam ketika mengeluarkan alat test pack bergaris dua itu. “Ini ….”“Aku hamil,” lirihku. Biar bagaimanapun Mas Herman perlu tahu. Mata lelaki itu membulat bersama bibirnya yang terbuka. “Kamu hamil?!”Aku melirik ke sekitar dan merasa malu ketika orang-orang mulai memperhatikan kami. “Ibu pasti akan senang kalau dengar ini. Ayo kita pulang, Dek." Mas Herman sangat antusias, bangkit dari duduknya dan bersiap menarik tanganku. “Maaf, Mas. Sepertinya kamu salah paham.”“Apa?” Mulut

  • Enggan Punya Anak   29

    ‘Aku mau ketemu, Mas.’Pesan itu kukirimkan pada Mas Herman. Lima detik kemudian, pria itu menelepon. Namun, aku menghiraukan dan mengirimkan alamat di mana kami harus bertemu. Rasanya sia-sia saja mengganti nomor ponsel dan memblokir pria itu. Esoknya aku berangkat ke tempat perjanjian kami di kafe dekat kantor pria itu. Aku menunggu agak lama. Tidak begitu keberatan karena bisa memiliki waktu yang cukup banyak untuk merenung dan mempersiapkan diri. Pintu kafe terbuka cukup keras. Aku melihat Mas Herman yang mengedarkan pandangan ke seluruh kafe lalu berlari ketika melihatku. Napasnya terengah-engah ketika sampai di mejaku. Aku melihat kegelisahan dari sorot matanya. Kemeja yang penuh keringat dan kancing yang dipasang asal-asalan. Rambutnya juga tidak serapi dulu. Lelaki ini cukup berantakan. “Kamu dari mana aja, Sayang? Mas kangen banget sama kamu.” Tangannya terulur seperti hendak memelukku. Namun, aku menepis. Membuang muka dan menunjuk kursi di hadapanku. “Duduk dulu, Mas.”

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status