"Jee, lepass!!" pinta Femi, saat tangannya di tarik paksa oleh Jee
Jee terus saja menarik tangan Femi, hingga masuk kedalam kamar. Dilemparkannya Femi ke atas ranjang
"Ada hak apa Lo, berani dekat dengan laki laki lain selain gue?"
"Aku hanya ngobrol sebentar dengan David"
"Tanpa izin dari gue?"
"Sejak kapan aku harus meminta izin padamu?"
Jee terdiam. Masuk akal juga dengan pertanyaan Femi, Jee selama ini tidak pernah melarang Femi berbicara dengan orang lain.
Mereka saling terdiam. Femi mengelus tangannya yang ditarik paksa oleh Jee, sedangkan Jee hanya melihat pemandangan dari jendela kamar. Terjadilah kikuk diantara mereka.
"Tuan, ini sudah jam 9 malam" kata Femi.
Jee tak bergeming sedikitpun, membuat Femi semakin salah tingkah
"Ada apa?" tanya Jee, tanpa mau menatap matanya.
"Kapan?"
"Apa?"
"Kita,, ikkeh ikkeh kimochi"
Jee secepatnya menoleh ke arah Femi. Alisnya mengernyit, bingung atas pertanyaannya. Kenapa akhir akhir ini, Femi menggunakan bahasa aneh?
"Lupakan!" jawab Femi
Femi yang salah tingkah tersebut, memilih menepuk bantalnya. Mencari posisi ternyaman untuk segera berbaring.
"Ngapain?" tanya Jee, melihat Femi yang mulai rebahan
"Tuan, ini sudah malam. Saya mau tidur"
Jee memutar bola matanya malas. Segera menarik tangan Femi untuk segera bangun. Tidak lupa, memberinya jaket untuk segera dipakainya. Jee tak memberi kesempatan untuk Femi berbicara sedikitpun, bahkan ketika Femi berkali kali bertanya padanya, disaat mereka sudah memasuki mobil Crz putih milik Jee.
"Tuan mau membawa saya kemana?"
"...."
"Tuan mau menjual saya?"
"Gue bukan orang miskin, apalagi buat jual Lo. Paling lakunya cuman dikit, cuman cukup buat beli nasi bungkus" jawab Jee gamblang
Kedua bola mata Femi membulat, tak percaya kalau hinaan Jee begitu menyakitkan.
"Gini gini, ginjal saya mahal loh Tuan"
"Berisik!!"
Tibalah mereka di sebuah Mall terbesar di pusat kota. Femi terpana melihat gedung yang begitu besar ini, baru kali ini Femi masuk kedalamnya. Biasanya hanya di warung makan, itupun kadang di usir sama pemilik warung.
Jee tanpa sadar menggandeng tangan Femi, hingga orang orang memperhatikannya. Sampai akhirnya Jee tersadar, kalau Femi datang dengan pakaian piama Buluk dan sendal jepit jelek miliknya"
"Sejak kapan Lo pakai baju ini?" tunjuk Jee pada baju Femi.
Femi menunduk melihat pakaiannya. Apa yang salah?
"Tuan tadi yang tiba tiba menarik saya kesini, saya mana sempat ganti kostum"
Jee menghela nafasnya. Benar juga. Daripada Jee menahan malu, diajaknya Femi naik ke escalator.
"Lain kali, pakai baju yang pantas. Ketempat umum pakai piyama. Lo kira gue gak malu jalan sama Lo"
"..."
"Kalau gue ngomong tu, Lo nyaut. Budeg Lo?"
"..."
"Lo lemes apa gimana? Timbang ngomong aja susah. Bisu!!"
Jee merasa aneh, Femi tak menjawab sedikitpun omongannya. Saat dirinya menengok kebelakang, ternyata Femi sudah jauh tertinggal dibawah.
"Astaga!!" Umpat Jee menepuk dahinya
"Tuan, saya ketinggalan" teriak Femi melambaikan tangannya.
"Ngasih kerjaaan banget sih Lo"
Terpaksa Jee buru buru naik, lalu turun ke escalator menjemput Femi.
"Ngapain Lo masih disini, bodoh??!" Tanya Jee sampai di hadapan Femi
Wajah Femi begitu pucat. Tapi Jee tak perduli
Saat hendak menarik tangan Femi, Femi dengan keras menampik tangannya. Bahkan Femi menggeleng cepat, menolak perintah Jee."Buruan naik!!"
"Saya takut, Tuan"
Jee tertegun, jaman sekarang masih ada yang takut naik escalator. Bikin malu!!
Orang orang semakin banyak yang memperhatikan mereka, terpaksa Jee menggendong Femi naik ke atas escalator. Bahkan di depan butik ternama."Pilih baju yang Lo suka!" titah Jee, duduk di tempat antrian.
Femi melihat sekeliling, menelan ludahnya kasar. Bagaimana dia bisa memilih pakaian yang kurang bahan seperti ini?
"Buruan!!" perintah Jee, merudak lamunan Femi
"Tapi, disini bajunya minim sekali Tuan. Saya takut masuk angin"
Jee begitu geram dengan sikap Femi. Femi begitu polos, membuat Jee gemas sendiri kepadanya.
"Ambil saja, buruan. Ganti baju Lo yang dirumah dengan baju baru. Sumpek gue ngeliatnya"
Sebenarnya Femi hendak menolak, tapi karna Jee menggunakan tatapan tajamnya. Dia lebih baik mengurungkan niatnya.
1 jam, Femi memilih pakaian. Dress rumahan berwarna pink dengan panjang selutut."Lo cuman beli segini setelah ngabisin waktu sejam? Are you seriously?" tanya Jee tak percaya.
"Saya harus ambil berapa tuan?"
"Ambil 2 lusin"
"24 lembar?"
"Terserah lo, yang sekiranya cukup buat gonta ganti dirumah"
Femi menelan ludahnya. Pasalnya, baju yang dia pilih saat ini berharga 500 ribu. Bagaimana kalau disuruh ambil banyak? itupun Femi mengambil yang paling murah.
"Gak usah perduliin dengan harga" Kata Jee sambil memainkan ponselnya
"Ambil yang ko suka. Kalau mau, sekalian baju buat pergi pergi" kata Jee lagi.
Femi mengangguk dengan senyuman kecilnya. Ternyata dibalik sikap dinginnya. Jee begitu baik.
Femi dengan penuh antusias mengambil baju yang di sukainya. Termasuk Gaun merah dengan tali spaghetti yang tergantung di manekin. Begitu cantik. Dicobanya gaun tersebut, lalu dipamerkan pada Jee
"Tuan, aku pantas gak pakai ini?" tanya Femi menghampiri Jee yang sibuk memainkan ponselnya.
Jee mendongak melihat Femi. Pipinya tersemu merah melihatnya. Femi begitu cantik. Ada rasa berdebar di dadanya saat melihat Femi.
"Bagus" jawab Jee datar, kembali memainkan ponselnya.
Femi berdecak sebal. 'Singkat sekali jawabannya' batin Femi.
Setelah memilih baju yang disukainya, dibawanya semua pakaian tersebut ke meja kasir. Melihat Femi yang sudah di depan kasir, Jee lantas menghampirinya. Dikeluarkannya kartu ATM di dalam dompet kulitnya"Semua total 900 juta" kata Petugas kasir tersebut.
Femi melongo, tak percaya dengan total belanjaannya. Seumur umur, baru kali ini dia berbelanja dengan total sefantastis itu.
Merasa tak enak, Femi menarik lagi baju yang hendak di bungkus petugas kasir."Maaf mba, saya gak..."
"Biarkan!!" potong Jee.
"Cukup sekali Lo bikin malu pas di escalator tadi. Atau Lo, gak bakal bisa pulang malam ini juga" ancam Jee yang membuat Femi sudah ketakutan.
Femi mengangguk, menyetujui perintahnya. Sambil membawa paperbag barang belanjaannya, Mereka melewati butik yang berisi pakaian batik. Femi terhenti sesaat, melihatnya dari luar
"Kenapa Lo?"
"Boleh saya menukar salah satu baju tadi dengan baju yang ada di dalam, Tuan?" tanya Femi ragu ragu.
Jee gusar, kenapa Femi harus membuat penawaran seperti ini?
"Kalau Lo mau, ambil yang mana Lo suka"
tawar Jee sembari memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana.Femi mengangguk senang, segera berlari masuk kedalam. Memilih kemeja batik dengan motif warna emas. Kemeja model pria
"Lo mau pakai kemeja kakek kakek?" tanya Jee saat di meja kasir"Ohh, bukan Tuan. Ini buat Ayah saya" Senyum Femi.
Jee mengangguk paham, membiarkan Femi dengan kesenangannya.
Setelah selesai, mereka beranjak pulang kerumah."Terima kasih banyak, Tuan" kata Femi saat sudah sampai dirumah
Jee tak menanggapi. Dia berjalan cepat menuju kamar, ditinggalkannya Femi yang masih ada dibelakang
Di sisi lain, Monica ternyata melihat Femi yang membawa banyak barang belanjaan, apalagi bersama dengan Jee. Semakin bertambah pula kebenciannya pada sosok Femi. Kedua tangannya mengepal keras, dengan mata yang memerah menahan marah
"Awas saja Lo gadis miskin" dendam Monica
"Hooaaaamm" Femi terbangun dari tidurnya, setelah kecapaian dari jalan jalan dengan Jee semalam "Ini bau apa?" tanya Femi mengendus enduskan hidungnya.Penasaran dengan bau terbakar yang menyengat, Femi melangkahkan kakinya ke balkon belakang. Matanya membelalak, Ada Monica sedang membakar sesuatu yang tidak asing dimatanya, dihalaman rumah. Dengan bergegas, Femi segera turun ke bawah. Benar saja, Monica membakar semua pakaian yang dibelinya tadi malam bersama Jee. Termasuk baju batik untuk ayahnya. "Monica, ini masih baru!" kata Femi, seolah mengerti kalau Monica mengira itu hanyalah baju bekas yang sengaja dibakarnya "Gue tau" "Kenapa kamu bakar, Monica?" "Mending baju Lo, daripada diri Lo yang gue bakar." jawab Monica santai Femi tertegun, selama ini emang benar benar Monica membencinya. Tapi, kenapa dia harus membakar baju baju miliknya? "Dengar ya cewek udik, Lo gak pantas jadi istrinya Jeremy. Lo miskin,
Mobil melaju, mengarah ke rumah Jee. Sedangkan Femi samar samar mulai membuka matanya. Kepalanya terasa pusing, pandangannya sedikit berputar. Saat sadar dia sudah berada di dalam mobil, dengan David sebagai sopir "Sudah bangun?" tanya David menyadari Femi sudah tersadar. Femi mengangguk pelan, memperbaiki posisi tidurnya. "Aku tadi kenapa?" "Kamu hampir diperkosa" Mata Femi membulat, bagaimana bisa dia hampir di perkosa sedangkan seingatnya dia terakhir bersama Monica? "Lain kali, kalau diajak Monica harus hati hati. Monica punya ide licik buat nyakitin kamu" "Maaf. Terima kasih, sudah berkali kali kamu nolongin aku" "Tak masalah" senyum David, menoleh sebentar kearah Femi *** Di tempat lain, Jee mengamuk buru buru pulang setelah mendapatkan beberapa foto Femi dengan seorang Pria tak dikenal dari Monica "Dimana gadis bodoh itu?" "Tenang Jee, wanita jalang itu pas
Setelah seharian berkeliling, akhirnya mereka pulang kerumah. Tentunya, 4 pasang mata yang melihat kedatangan mereka sangat tidak suka. Melihat itu, Monica pergi ke kamarnya di susul Ibu Widya "Hei, gak usah galau" "Oma, aku lebih baik kembali ke Sidney. Ada tawaran job model disana. Setidaknya, aku juga bisa move on dari Jee" kata Monica sambil berlinangan air mata Mendengar hal itu, ada rasa tak enak dihati Ibu Widya. Dia tau betul bagaimana Monica sangat menyukai Jee Sedari dulu. "Kamu gak usah galau begitu, perlahan kita akan membuat gadis miskin itu gak betah dirumah ini" Monica mengangguk. Berharap apa yang dikatakan Omanya benar. "Aku mau ke dapur dulu" "untuk apa?" "buatin kamu nasi goreng spesial" Femi membuatkannya nasi goreng putih dengan bumbu seadanya khas nasi goreng jaman
Monica menangis sesenggukan, hendak mengadu Pada ibu Widya. Ibu Widya yang saat itu sedang maskeran, panik melihat Monica menangis masuk ke kamarnya "Loh, ada apa?" "Aku ditinggal sendirian di Klinik, Oma!!" "Emangnya Jee kemana?" "Gak tau, kan dari awal emang Jee gak suka sama Monica. Gak ikhlas Anter Monica" Ibu Widya mengangguk paham, di elusnya punggung Monica agar lebih tenang. "Sabar, kita harus cari rencana biar Jee suka sama kamu!" "Gimana caranya Oma?" "Pokoknya ada lah! Nah sekarang kamu tidur. Besok ikut Oma ke suatu tempat" Monica mengangguk, dan berjalan keluar dari kamarnya Ibu Widya ** Ke esokkan harinya, karna Ibu Widya sudah janji. Dia akan mengajak Monica ke sebuah kampung terpencil &nb
"Tolong jangan hancurkan dagangan saya" Pinta seorang pria tua kepada bodygoard yang tengah ngobrak Abrik meja dagangannya. "Makanya bayar hutangmu, kalau gak bisa bayar. Kami hancurkan sekalian rumahmu" Pak Budi, nama pria itu. Dengan tubuh gemetaran, akhirnya pulang kerumah seorang diri dengan wajah babak belur. "Nduk, Femi. Ini ayah nak!!" Panggil Pak Budi, sembari mengetok pintu rumahnya meski tertatih. "
Jee mencari sosok Femi, yang kata David sudah berada dirumahnya"Ana, mana perempuan tadi?""Perempuan tadi?" Tanya balik ana dengan dahi berkerut"Ah maksud saya, Femi. Feminin"Ana, anak pembantu yang bekerja dirumah Jee, merasa bingung dengan yang dimaksud Tuannya itu."Capek ngomong sama Lo"Dengan perasaan jengkel, Jee meninggalkan Ana dengan wajah penuh tanda tanya."Femi, Feminin... Fem!!"Saat memasuki taman, terlihat dari belakang Femi sedang duduk. Geram, dicariin dari tadi ternyata yang dicari malah santai di belakang. Gegas Jee menghampiri Femi."Ngapain Lo disini tolol? Gue cariin dari tadi""Anu tuan, saya"Jee menarik paksa tangan Femi menuju kamar tamu. Di lemparkannya Femi sampai jatuh kelantai"Lo cuman pelacur. Lo tau pelacur? Gue
"maaf, Tuan. Nyonya besar menunggu anda di di teras depan" terang Ina, seorang pelayanJee hanya mengangguk, mendengar laporan itu. Lalu menoleh ke arah Femi.Seperginya Ina. Jee terduduk dengan wajah gusar. Bagaimana bisa dia menemui nenek tua itu, Ibu dari mendiang ayahnya. Nenek yang sudah membuat ibunya bunuh diri, karena ulahnya."Ada apa, Tuan? Tuan terlihat sangat gelisah sekali" tanya Femi"Oma ku sudah menunggu, ikut aku sekarang"Femi hanya mengangguk patuh, mendengar perintah tuannya. Dipilihnya baju yang pantas, untuk menemui sang nyonya besar. Jaga jaga kalau si Nyonya lebih galak dibanding tuannya itu."Cucuku, kamu apa kabar? Kenapa tidak pernah menelfon Oma?" tanya Nenek itu"Sibuk""Lalu siapa perempuan dibelakangmu itu?""Femi"Femi tercengang mendengar jawabannya Jee. 'Singkat sekali
"Feminin Moudi, Saya mengambil engkau menjadi istri saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya. Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan"Begitulah yang di ucapkan 'Jeremy Nicholas' dihadapan Pendeta dan para tamu. Bahkan Jee juga mengecup bibir Femi membuat Femi terkejut. Tidak mungkin, hanya dalam semalam. Pernikahan ini terwujud. Jee tidak pernah main main dengan ucapannya.Banyak sekali keluarga besar, kolega, teman teman jee, dan para tamu yang menghadiri pernikahannya. Hingga Femi merasa lelah berdiri, melayani mereka.Femi melihat sekelilingnya, latar pernikahan impiannya pun terlaksana. Ada berbanyak bunga mawar putih, layaknya pernikahan dalam dongeng. Namun sayang, impian itu tidak terlaksana sepenuhnya. Bukan Jee, suami idaman nya. 's