Pov Vira
Mbak Nita pergi dari rumah, tidak membawa sedikit pun hartanya. Hanya membawa anak tiriku saja. Baguslah aku juga tidak menginginkannya. Lebih baik mengurus anak kandung sendiri. Siapa yang gak seneng, sebagai wanita kedua namun mampu memiliki suami seutuhnya, ditambah Mbak Nita tidak menuntut harta apa pun. Otomatis aku yang menguasainya, memang takdir baik ada pada diriku. Belakangan ini, Mas Duta hanya mengurung diri di kamar Mbak Nita, membuatku muak atas sikapnya. Dia seperti tidak menganggap aku ada. Isi otaknya hanya Nita, Nita, dan Nita. Rasanya aku seperti tidak dihargai. Walau bagaimanapun, aku ini juga istrinya, seharusnya dia memikirkan perasaanku juga, jangan hanya sibuk dengan mantan istrinya. Menyebalkan sekali, ingin rasanya menunjukkan sikap ketidaksukaan, tapi aku tahu diri, tidak mungkin menunjukkannya sekarang. Jenuh juga melihat sikap Mas Duta yang seperti itu.Aku mencoba mengetuk kamar Mba Nita untuk memanggil Mas Duta.
"Mas … keluar, makan dulu!" triaku di depan pintu. Namun, tidak ada jawaban. Aku mencobanya sekali lagi.
"Mas … keluar dong !" Masih tidak ada jawaban. Aku yang sudah malas akhirnya meninggalkanya.
Hih benci sekali rasanya, ingin kumaki suami itu, apalah daya, aku tidak mampu melakukan apapun.
Beginilah rasanya jadi istri kedua, tidak leluasa. Mengingat soal Mbak Nita, aku tidak pernah menyangka, dia bahkan tidak menyentuh apapun benda yang ada di rumah ini. Jika wanita lain, bercerai dari suaminya, pasti sang istri menuntut harta gono- gini. Namun berbeda dengan Mbak Nita, dia sama sekali tidak menuntut, bahakan semua barangnya masih utuh di rumah ini. Bodohnya Mbak Nita.Aku sadar telah menghancurkan rumah tangga seseorang, bahagia di atas penderitaannya. Namun, apalah dayaku, awal perkenalan, Mas Duta tidak pernah berbicara kalau dia telah memiliki seorang istri dan anak, hingga aku terbuai dalam rayuannya.
Sebenarnya ini bukan seratus persen salahku. Aku telah memberikan kehormatanku pada Mas Duta, karena dia berjanji akan menikahiku, yang aku lihat darinya selain berwibawa, dia juga pemilik perusahaan, perempuan mana yang tidak akan tergoda olehnya? Dari segi wajah tidak nampak kalau Mas Duta telah menikah. Ketika hubungan dengannya sudah semakin dekat, dan timbul rasa sayang juga takut kehilangan, baru Mas Duta jujur siapa jati dirinya."Vir … Mas ingin jujur padamu," ucapnya saat itu. Aku sedikit merasa tak enak, tetapi aku berkata, "Jujurlah, Mas."
"Mas, telah memiliki seorang istri, Mas sudah meminta ijin untuk menikah lagi, dan dia mengijinkannya." Ucapan Mas Duta seakan menusuk jantungku, setelah kuberikan semua, baru dia jujur.
Aku sendiri wanita, yang tidak mau merasa dirugikan, biar saja menjadi yang kedua, tidak peduli. Walaupun istri kedua, aku tidak serendah itu. Jika kembali mengingat saat awal perkenalan dengannya, aku pun tertipu olehnya. Dia mengaku single. Ketika aku sudah jatuh hati, baru dia mengaku telah menikah, pengakuannya sudah terlambat, aku sudah tidak bisa menolak. 'Maafkan aku Mbak Nita, ini salah suamimu yang telah berbohong. Namun, jujur dari hati yang terdalam, aku senang kalian bercerai, aku sendiri juga tidak mau berbagi suami. Aku terlanjur mencintai suamimu. Aku tidak akan melepaskannya. Aku yakin cepat atau lambat, hanya ada satu nama di hati Mas Duta. Dia akan mampu melupakan Mbak Nita, tugasku sekarang adalah membantu mantan suamimu melupakanmu, Mbak. Aku yakin cepat atau lambat, hidup kami akan normal kembali. Terima kasih Mbak Nita, telah rela melepaskan Mas Duta. Doaku untukmu semoga mendapat pengganti yang lebih baik dari Mas Duta. Ikhlaskan suamimu untukku ya, Mbak. Maafkan atas keegoisanku. Semoga Mbak Nita masih mau menjalin silaturahmi dengan kami.Ting … nong … Ting … nong
Suara bel membuyarkan lamunanku. Mungkin Mbak Nita. Aku sedang malas membuka pintu, biar saja Bi Eli yang membukanya."Bi …! Buka pintu ada tamu!" triaku.
"Iya, Bu." Bi Eli berlari membuka pintu untuk tamunya. Kemudian Bi Eli menghampriku.
"Siapa, Bi? Kenapa gak disuruh masuk?" tanyaku penasaran.
"Enggak tau, Bu, mencari, Bapak katanya."
Deg hatiku sedikit tersentak. Siapa ya tamunya."Oke, Bi. Biar saya yang panggil Bapak," ucapku lalu bergegas Menghampiri Mas Duta yang masih mengurung diri di kamar Mbak Nita.
"Mas, ada tamu. Nyariin Mas!" ucapku."Siapa?" jawab Mas Duta. Syukur dia sudah bersuara.
"Enggak tau, Mas. Dia ingin bertemu denganmu."
Tidak lama Mas Duta keluar dengan mata yang sembab, sepertinya suamiku telah menangis sepanjang hari, bahkan dia sampai tidak pergi ke kantor hari ini.Kulihat Mas Duta, tergesa-gesa menemui tamunya. Siapa yang datang kira-kira? Tumben sekali, biasa urusan kantor diselesaikan di kantor. Aku akan meminta Mas Duta untuk pindah ke kamar utama. Kamar yang pernah di pakai oleh Mbak Nita dan Mas Duta, Sepertinya lebih nyaman, karena lebih besar dari kamarku. Nanti setelah Mas Duta menerima tamu, aku akan meminta izin untuk menepati kamar Mbak Nita.Tak lama, Mas Duta kembali masuk, tetapi tak menyuruh tamunya singgah. Kulihat wajahnya lunglai setelah kepergian sang tamu. Ada berkas coklat di tangannya, entah apa isinya.
Niat untuk pindah ke kamar Mbak Nita kuurungkan. Melihat ekspresi wajah yang tak memungkinkan. Mas Duta duduk di sofa, kemudian kembali masuk ke kamar Mbak Nita dan menutup pintu. Lagi-lagi aku diabaikan.
'Ada apa denganmu Mas? Murung lagi dan lagi. 'Sabar Vira sabar ….'Beberapa tahun kemudian.Allhamdullillah aku kini sedang mengandung anak keduaku dengan suamiku tercinta, Brata Atmaja. Kini aku sudah menjadi Ibu dari tiga orang anak walaupun yang satu masih dalam kandungan. Kehidupanku sangat bahagia.Bang Adnan sekarang sedang kuliah di luar negeri, tepatnya di Amerika. Semakin dewasa Adnan semakin tampan dan sangat mirip dengan Papanya dan berlesung Pipit seperti Ibunya. Sebentar lagi dia akan kembali ke Indonesia untuk berlibur. Hati ini rasanya sangat rindu dan tidak sabar menyambut kedatangannya. Putraku kini sudah besar dan berhasil menyelesaikan pendidikannya.Gama dan Nanda kini mereka sudah menikah. Nanda sendiri sedang mengandung anak pertamanya. Nanda ikut Gama tinggal di Bali mengurus hotelku di sana. Hotel itu
POV NitaAkhirnya aku bisa menikah dengan orang yang benar-benar luar biasa. Baik dan penyayang. Semoga Allah menjaga pernikahan ini, dihindari dari yang namanya godaan wanita. Walau bagaimanapun aku pernah gagal, aku tidak mau gagal untuk kedua kalinya. Rasa trauma bekas penghianatan kemaren jujur masih terngiang dan menjadi ketakutan tersendiri. Memang tidak semua laki-laki sama. Namun, tetap saja masih ada rasa trauma. Terauma jika suamiku akan diambil perempuan lain."Ma … kasian, Papa," ucap anakku."Kenapa, Sayang?" Brata melirik kearahku."Papa sekarang tinggal di tempat Nenek. Tadi Adnan nelpon Papa, terus Papa bilang kalau
POV Vira"Mas kamu bener-bener Kelewatan," ucapku pada Mas Damar tapi dengan tawa jahat.Aku dan dia berjalan- jalan menggunakan mobil baru. Masih belum terfikir kami mau kabur ke mana, sebab kalau bandara pasti di jaga polisi. Secara Mas Duta pasti sudah melapor polisi."Biar si bodoh itu tau rasa!" Beraninya dia menyia-nyiakan kamu!" ucapnya."Tadinya aku kira kamu tidak akan mengajaku pergi. Kamu tidak pernah datang ke rumah Duta, semenjak dia menikah denganku," lirihku."Iya aku gak bisa dong liat kamu dengan orang lain! Jika kamu bahagia dengan mereka mungkin aku akan mengikhlaskan kamu. Nyatanya mereka seenaknya sendiri memperlakukan kamu." Entah ben
Dita kembali menelponku dia bilang ada kekacauan di kantor. Aku langsung bergagas ke sana. Kunyalakan mesin mobil dan kupacu secepat mungkin. Kalau untuk mengebut aku memang ahlinya bahkan aku mampu menempuh perjalanan dari rumah ke kantor hanya dalam waktu 15 menit.Aku melihat terjadi kericuhan di sana. Para karyawan berdemo meminta gajih bulanan mereka yang belum dibayarkan. Padahal masalah gajih sudah kuserahkan semua pada Damar. Dengan kesal aku mencari keberadaan Damar. Namun, tak kusangka Dita bilang Damar telah pergi."Brengsek Damar!""Dita kamu tenangkan dulu karyawan yang lain. Bilang saya akan membayar gajih mereka.""Siap, Pak"Aku bergegas ke ruangan Damar mencari apa pun yang dapat kutemukan. Namun, nihil, tidak ada yang kudapatkan. Akan tetapi ada sepucuk surat yang diletakan di meja. Dengan cepat aku membuka amp
"Sudah rapi?" tanyaku pada Vira. Dia terus memegangi perutnya."Serius ini mau di bawa pulang?" tanya Damar."Dokter bilang bisa dirawat di rumah, Mar. Lo tau sendiri keuangan gue lagi gimana sekarang."Makanya cari istri jangan yang malah nyusahin, sial kan kamu nikah sama pelakor ini," cetus Ibu. Entah kapan Ibu datang tidak ada kabar berita kedatangannya tiba-tiba saja Ibu muncul sepagi ini."Sudah, Bu Nengsih, ini rumah sakit tidak enak ribut-ribut," ucap Damar."Halah ini kan ruang VIP, tidak ada yang dengar," sanggah Ibu. "Udah si, cerain aja istri begini bikin sial aja."Damar hanya menggeleng kepala. Pusing juga dengar Ibu ngomong cerai tiap hari."Bagus lah, Bu. Kalau Mas Duta mau cerain saya, suatu keberuntungan untuk saya," sahut Vira kesal.
Setelah beberapa menit kami sudah sampai di rumah sakit. Aku langsung menuju ke ruangan Vira. Sedangkan Damar mampir ke kantin untuk membeli makanan. Sesampainya di depan pintu aku mendengar anakku menangis kencang. Langsung saja aku masuk. Kok tidak ada orang? Di mana Ibu? Mungkin Ibu sedang membeli makanan. Lalu, kenapa anakku berada di kasur Ibunya bukan di tempat bayi? "Cup … cup … cup, Sayang …" Aku langsung menggendong dan mendiamkannya. Sepertinya dia pup, jadi dia menangis. "Vir … !" panggilku. "Iya, Mas. Syukur Alhamdulillah Mas Duta sudah kembali," jawabnya terseok-seok keluar dari kamar mandi dan memegangi perutnya. "Masih sakit?" "Sedikit, Mas ... mungki efek triak-triak kemaren." "Ibu kemana?"