Tanpa menunggu lama aku mencoba membuka kunci ponsel Mas Agung. Dan ... yess terbuka.
Mataku membelalak melihat chat dari Yuyun berada paling atas. Langsung aku buka, ternyata hanya ada satu chat dan belum di baca.[ oke. sampai besok ya, Mas ]Ini seperti pesan balasan. Berarti sebelumnya mereka saling berkirim pesan. Tapi sepertinya sudah dihapus lebih dulu oleh Mas Agung. Sungguh licik suamiku itu.Aku membuang nafas kasar. Kecurigaanku belum terbukti. Tapi aku tidak akan berhenti sampai disini. Aku akan bongkar semua kebohonganmu, Mas."Dek, matikan lampunya. Sudah malam."Aku terlonjak mendengar suara Mas Agung. Perlahan aku letakkan kembali ponselnya ketempat semula, lalu mematikan lampu. Aku pun berbaring di samping Mas Agung yang sepertinya sudah kembali berada di alam mimpi.-----Pagi ini seperti biasa kegiatan rutinku sudah menanti. Memasak, merapikan rumah, mengurus Giska dan Mas Agung.Mungkin mulai bulan depan aku akan mencari asisten rumah tangga. Agar ada yang lebih fokus untuk mengurus Giska. Aku tak mau sampai Giska tak terurus gara-gara aku terjun ke perusahaan. Setidaknya aku bisa bekerja lebih tenang di kantor jika Giska ada yang menemani dan memenuhi kebutuhannya.Aku mendengar ibu sedang berbincang dengan Mas Agung di ruang makan. Sepertinya sangat serius. Jiwa kekepoanku semakin meronta-ronta. Akhirnya aku mendekat dengan membawa nasi goreng saus tiram untuk mereka sarapan."Kamu masih ingat dengan tante Sania sahabat ibu yang di bandung, Gung?"" Ya bu. Ingat.""Anak perempuannya ternyata kerja di jakarta ini. Kemarin kost di dekat kantornya tidak betah. Tante Sania mau menitipkan anaknya di sini," jelas ibu kepada Mas Agung."Kalau aku terserah Ibu aja," sahut Mas Agung sambil terus mengunyah makanannya."Tapi kan tidak baik kalau ada perempuan tinggal di sini, Bu. Bukan muhrim dengan Mas Agung," sela aku keberatan."Eh, Sera, kamu kok bisa-bisanya ngomong begitu. Ini rumah Ibu dan Agung. Kamu tuh di sini cuma menantu yang numpang!" protes ibu tidak terima.Aku menghela napas panjang.Selalu saja begitu jawabannya. Mentang-mentang aku numpang di sini. Sebenarnya bisa saja aku segera pindah ke apartemen mewahku yang berada di lokasi segitiga emas kota ini. Tapi belum saatnya aku membuka siapa diriku sebenarnya."Lagian anaknya Tante Sania akan tinggal di paviliun samping. Bukan satu rumah dengan kita. Sore ini dia akan membawa barang-barangnya ke sini," jelas ibu lagi.Syukurlah kalau memang tinggalnya di paviliun. Namun entah kenapa, tetap saja perasaanku tidak enak. Firasatku mengatakan akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan."Ya bu. Nanti sore saya usahakan pulang lebih cepat," sahut Mas Agung."Buat apa pulang cepat, Mas?" tanyaku heran."Kamu kenapa sih, Dek? Curiga terus. Aku cuma mau temani ibu menerima tamu." Mas Agung nampak kesal. Matanya melotot menatapku.Ya sudah biar saja kalau dia mau pulang cepat. Justru bagus. Jadi tidak ada kesempatan untuk bertemu dengan Yuyun di luar."Dek, Giska sekarang naik jemputan, kenapa kamu tidak kompromi dulu denganku?" Tiba-tiba Mas Agung bertanya saat ia selesai sarapan."Oh, ya Mas. Mulai bulan depan aku akan bekerja. Lebih aman jika Giska pakai mobil antar jemput sekolah," jawabku, membuat Mas Agung menaikkan alisnya, seakan tak percaya dengan yang aku katakan."Sebenarnya aku mau membicarakannya padamu. Tapi akhir-akhir ini kamu selalu pulang larut malam," lanjutku."Halaahh sok-sok mau kerja segala. Kamu iri ya dengan Lastri? Kalau si Lastri wajar dia kerja. Dia pernah kursus setelah lulus SMK. Jadi bisa diterima di kantoran. Lah kamu? Nggak jelas lulusan apa? Gaya-gayaan mau kerja." Ibu dan Mas Agung tertawa terbahak-bahak.Silahkan tertawa yang puas kalian sekarang. Awal bulan depan kalian akan ternganga melihat siapa aku. Gemes aku."Terserah kamu, Dek. Asalkan kamu sendiri yang bayar ongkos antar jemput Giska nanti."Dasar! Jadi suami perhitungan banget."Aku berangkat dulu. Pamit ya, Bu." Mas Agung pun menaiki mobilnya dan berlalu.-----Sejak siang tadi Ibu begitu repot mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut kedatangan tamunya. Aku diminta masak makanan lebih banyak. Juga membersihkan paviliun samping yang telah lama kosong.Beberapa macam masakan sudah siap aku hidangkan di meja makan. Tak lupa dua macam kue sebagai kudapan aku siapkan di dalam toples.Alas tempat tidur di paviliun pun sudah aku ganti dengan yang baru. Lantainya juga sudah aku pel dan wangi."Assalamualaikum."Sepertinya tamu yang di tunggu-tunggu ibu sudah datang.Aku masih di dapur mendengar ibu yang begitu senang menerima tamunya. Aku jadi penasaran. Perlahan aku ke depan dengan membawa dua gelas teh dan dua toples cemilan."Bagaimama kabar mama?""Alhamdulilah baik, Tante. Mama kirim salam buat Tante," sahut wanita itu.Kenapa Aku merasa sangat familyar dengan wajah wanita itu ? Seperti kenal. Tapi di mana?"Jangan panggi Tante. Panggil Ibu saja. Biar lebih akrab. Sera, kenalkan ini anak tante Sania. Namanya Yuyun."A-paaa ...? Yuyun ...? Pantas saja aku kok seperti pernah lihat."Kok malah diam kamu Sera? Nggak sopan banget kamu sama tamu !" Ujar Ibu kesal melihatku terdiam karena terkejut.Oke baiklah. Sepertinya aku harus lebih waspada menghadapi pelakor seperti Yuyun ini.Wajah Arnold dan Elena menegang melihat sang dokter berdiri di ambang pintu. "Bagaimana, Dok?" Elena pun tak sabar mendengar kondisi Ida dan bayinya. "Selamat, Pak. Anak Bapak perempuan dan sehat," ujar dokter wanita itu hingga Arnold dan Elena bernapas lega untuk sesaat. Namun wajah sepasang suami istri itu masih cemas karena belum mendengar bagaimana kondisi Ida. "Bagaimana kondisi ibunya, Dok?" tanya Arnold gemetar. "Bapak suaminya?" Sang dokter memandang intens pada Arnold. "Iy-iyyaa, Dok." Arnold tergagap merasa bersalah karena tidak pernah menemani Ida periksa ke rumah sakit. "Pak, kondisi Bu Ida saat ini ... kritis. Pendarahannya masih berusaha kita hentikan. Mohon bantu doa!" Arnold terhenyak setelah mendengar ucapan dokter. Ia tidak bisa bicara apapun hingga dokter itu berbalik meninggalkan dia dan Elena di ruang tunggu. "Ya Tuhan, suami macam apa aku ini. Elena ... Elena ... Ida kritis. Aku harus bagaimana?" Arnold mengguncang-guncangkan tubuh Elena. Ia tampak frus
"Ida, kamu baik-baik saja, kan? Apa Arnold mengurusmu dengan baik?" Tanya Elena panik ketika Ida menghubunginya. Suara Ida terdengar serak dan parau hingga Elena merasa khawatir. "Kak, kapan kak Elena kembali ke Indonesia? Aku ingin Kak Elena ada di sini saat aku melahirkan." "Loh, memangnya Arnold kemana? Apa dia masih nggak peduli sama kamu?" Elena makin cemas. Selama ini ia memang jarang sekali menerima panggilan dari Arnold, kecuali ada masalah kantor yang harus mereka bicarakan. "Bang Arnold ... katanya sangat sibuk dengan pekerjaannya, Kak." Elena menghela napas kasar. Dari suara Ida yang ia dengar, ia mendugaa adik madunya itu sedang dalam masalah. Tapi sepertinya wanita yang sedang hamil tua itu masih menutupinya. "Baiklah, Ida. Aku akan selesaikan pekerjaanku di sini. Aku usahakan secepatnya kembali sebelum kamu melahirkan. Kamu dan bayimu harus sehat, oke?" "Terima kasih, Kak. Terima kasih!" Setelah menutup panggilan dari Ida, Elena mengirim pesan pada Arnold agar su
Serani kembali memekik saat tiba-tiba saja tubuhnya telah melayang karana diangkat oleh Pras. Kedua tangan kokoh suaminya itu menggendongnya ala bridal menuju sebuah ranjang berukuran sangat luas. Ranjang cantik itu dikelilingi kelambu tipis namun indah, serta taburan kelopak bunga mawar yang mengeluarkan aroma harum semerbak pada kamar itu. "Dokter bilang, kita sudah boleh ..., ehm jadi ... boleh, kan?" Pras membaringkan tubuh Serani perlahan di atas pembaringan yang begitu mewah dan nyaman. Sera tersenyum dengan wajah bersemu kemerahan saat pras sudah berada di atasnya. Wajah pria itu begitu dekat dengannya. "Aku juga rindu, Pras!" Wanita cantik itu mengalungkan kedua tangannya pada leher Pras, hingga pria itu tak lagi bisa menunggu. Ia pun mulai memberikan kecupan demi kecupan pada wajah Serani. Hingga kecupan itu berlanjut menjadi lumatan dan sesapan pada bibir Sera yang telah membuatnya candu. Entah siapa yang memulainya lebih dulu, beberapa menit kemudian keduanya telah mele
"Sayang, sudah bangun?" Pras membelai wajah Sera. Istrinya itu mengerjap karena baru saja terjaga dari tidurnya. Sera memiringkan tubuhnya menghadap pada Pras. "Sudah pukul berapa, Pras?" "Pukul enam pagi. Kita jadi ke kantor, kan hari ini? Sera pun bangkit. "Tentu, Pras. Kamu juga mulai ke kantor, kan?" "Ya, Sayang. Oh ya, bagaiman stok ASI baby Raja? Apa sudah cukup?" "Lebih dari cukup," sahut Sera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Diam-diam Pras menyusul Sera ke kamar mandi yang ternyata memang tidak dikunci. Sera sepertinya lupa, karena sejak setelah melahirkan Raja, Sera selalu tak lupa mengunci pintu. "Praaass ...!" Sera memekik melihat Pras sudah berdiri di belakangnya, sementara ia baru saja melepaskan seluruh pakaiannya. Jantung Pras berdebar melihat tubuh polos istrinya yang hampir dua bulan tidak ia sentuh. Pagi ini Pras memberanikan diri mendekati Sera setelah sore kemarin dokter mengatakan bahwa Sera telah pulih. Istrinya itu juga telah melewati mas
"Abang, kita pulang sekarang?" Ida duduk di atas brankar. Jarum infus di tangannya baru saja dilepas. Wajah wanita itu masih terlihat pucat. "Sebentar!" Jawaban singkat dan tanpa menoleh dari Arnold lagi-lagi membuat Ida harus menarik napas panjang, guna menghalau rasa nyeri yang terus menderanya. Sejak kepergian Elena tadi, Ida melihat Arnold bolak balik mencoba menghubungi seseorang lewat ponselnya. Ia menduga. Arnold mencoba menghubungi Elena tapi wanita itu tidak mengangkatnya. Ida hanya diam menunggu Arnold yang masih mondar-mandir di depannya. Tiur yang berjanji akan datang lagi ternyata tidak jadi kembali. "Ya sudah, ayo kita pulang. Kamu bisa jalan, kan?" Arnold hanya memandangi Ida yang sedang berusaha turun dari brankar dengan tubuh yang lemah. "Permisi, Bu Ida pakai kursi roda ini saja. Tubuhnya masih sangat lemah." Seorang petugas UGD menyodorkan sebuah kursi roda. Ida yang sudah berdiri di tepi brankar perlahan duduk di kursi roda itu. Lalu petugas itu mendorong kurs
"Ya, Sekali lagi selamat atas kehamilan istri Bapak. Sore ini pasien boleh pulang setelah hasil observasi bagus." Arnold hanya mengangguk mendengar penjelasan dokter. Ia masih terdiam hingga dokter yang memeriksa Ida kembali ke ruangannya. Apa yang barusan ia dengar sungguh diluar dugaannya. "B-baang. Apa Abang tidak suka aku hamil?" tanya Ida dengan suara parau. Dadanya sesak karena tidak menemukan sedikitpun kebahagian di wajah Arnold setelah mendengar kehamilannya. Ia justru melihat Arnold bingung dan terkejut. Ida mencoba menekan rasa sedih dan kecewa yang ia rasakan. "Apa karena bukan Kak Elena yang hamil?" tanya Ida lagi. Kali ini ia berusaha lebih kuat untuk mendengar jawaban dari Arnold. "Sudahlah, jangan pikir macam-macam. Mamak dan bapak pasti senang. Aku ke depan dulu." Arnol pun meninggalkan Ida menuju ruang tunggu yang berada di depan UGD. "Hanya mamak dan bapak yang senang. Bang Arnold tidak." Ida menekan dadanya yang terasa penuh sesak. Berusaha agar air matanya tid