Share

Undangan Reuni SMP

Adzan awal berkumandang dari mesjid dekat rumahku, bergetar hatiku mendengarnya. Helai demi helai waktu bergulir tanpa permisi, aku menyesal melewatkan hari kemarin dengan kekhawatiran akan hari esok yang belum pasti datang. Setelah melakukan sholat qiyamul lail, aku tidak merasa khawatir lagi. Seolah perasaan itu hilang bersama debu-debu ketakutan akan masa depan, lalu semuanya berubah menjadi terang benderang. Aku mendapatkan kenikmatan ibadah yang luar biasa, dan itu merupakan rezeki yang amat besar. Detik ini, aku ingin sepenuhnya melakukan apa yang Alloh suka, ingin melakukan apa yang Alloh ridho meskipun ujian yang akan datang nantinya lebih besar. Tapi hidup di dunia bukankah sebenarnya adalah ujian? Aku ikhlas dengan ketentuanNya, termasuk dengan urusan jodoh. Semua sudah ada yang mengatur, aku hanya akan fokus mencari ilmu agama dan memperbaiki diri, bisa saja kematian datang menghampiriku terlebih dahulu sebelum jodoh itu sendiri. Lantas apa yang akan kubawa saat aku pulang nanti?

 Aku berjanji, aku akan memulai hari ini dengan hati gembira, tidak akan ada lagi wajah cemberut dengan senyum hanya semili. Aku akan melebarkan senyumku menjadi dua mili misalnya bahkan lebih dari itu.

“Gadis, ada surat undangan dari temanmu, Ibu simpan di atas televisi.” Kata Ibuku pagi harinya, ketika aku habis mencuci. Sebenarnya aku masih agak trauma dengan kata undangan, melihat bulan september adalah bulannya orang menikah. Tapi aku menegarkan hatiku, bahwa aku harus terbebas dari rasa takut dan khawatir yang menjadi belenggu di alam bawah sadarku dengan cara menghadapinya. Surat undangan itu berbeda dengan undangan pernikahan pada umumnya, tidak ada nama kedua mempelai disitu. Setelah kubaca, aku lega, ternyata itu bukan undangan pernikahan melainkan undangan reuni akbar SMP. Apa? Reuni?

Kembali rasa takut dan khawatir merajai alam bawah sadarku. Reuni, sebuah kata yang asing bagi orang introvert sepertiku. Yang kutahu, reuni adalah sebuah ajang pertukaran pertanyaan. Pertanyaan tentang gaji dan pekerjaan, tentang anak dan pernikahan, tentang kesuksesan dan kegagalan, tentang segalanya. Dan reuni adalah hal yang paling menakutkan untuk seseorang yang bukan apa-apa sepertiku. Reuni itu menyeramkan seperti Picolo, musuh bebuyutan Shun Go Ku di film kartun kesukaanku semasa kecil, Dragon Ball. Dan jelas, undangan reuni yang kuterima pagi itu lebih menakutkan daripada menghadiri seratus acara pernikahan.

“Bu, ada undangan reuni, aku datang tidak ya?” Tanyaku pada Ibu yang saat itu tengah membakar terasi.

“Datang saja, lagian diundang kok gak datang sih!” jawab Ibuku ketus, sudah beberapa hari ini Ibuku judes, setelah penolakanku berkali-kali tentang perjodohanku seminggu sebelumnya. Bahkan Ayahku, Pamanku, Bibiku, dan saudara-saudaraku yang lain secara terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya padaku yang mungkin tidak tahu diri karena masih melajang sampai saat ini. Kalau tidak ada iman di hati mungkin aku sudah lari ke rel kereta api.

**

           Kuputuskan untuk datang saja ke acara reuni, daripada aku menjadi bulan-bulanan keluargaku di rumah. Toh, ini acara reuni akbar, semua angkatan ada disitu, dari mulai angkatan 70an sampai angkatan sekarang. Aku yakin, teman-teman seangkatanku tidak akan menemukanku, lagipula aku bukan anggota osis, bukan pula pasukan cheerleaders dengan tarian khasnya. Aku hanya murid kutu buku yang sebagian waktu istirahatnya dihabiskan di perpustakaan.

           Tak kutemukan wajah-wajah yang kukenal, selain teman sebangkuku Nuri yang kini sudah memiliki dua orang putra yang lucu-lucu. Aku bersyukur. Setidaknya aku bisa bernostalgia dengan Nuri mengenang masa-masa ABG kami tanpa dicecar dengan beragam pertanyaan yang menusuk hati. Saat sedang asyik-asyiknya bernostalgia kami berpapasan dengan beberapa teman yang ternyata satu angkatan dengan kami. Meskipun sebenarnya aku lupa. Hal yang kutakutkan tidak terjadi, mereka ternyata hanya bertanya sekedarnya saja, bahkan beberapa dari mereka senasib denganku. Aku juga bertemu dengan kakak kelasku yang dulu sama-sama aktif di ekskul mading sekolah, Arya Dirgantara. Dia adalah pemimpin redaksi sedangkan aku adalah editornya, dulu kami begitu dekat, dan aku juga sempat menyukainya karena kami memiliki banyak kesamaan. Kudengar bahwa dia kini sudah berstatus duda beranak satu, istrinya meninggal ketika melahirkan anaknya. Aku melihat bahwa Arya yang dulu dan sekarang sangat berbeda, dulu dia ramah dan mudah tersenyum tapi sekarang dia terlihat dingin dan menusuk. Aku tahu sepertinya dia telah menjalani hidup yang tidak mudah. Tapi semua itu adalah masa lalu dan aku tidak berpikir untuk memiliki perasaan seperti dulu padanya. Lagi pula aku juga memiliki kriteriaku sendiri. Aku bercengkrama lagi dengan Nuri dan beberapa teman perempuan yang lain, sedangkan Arya yang tak sengaja melihatku itu tak kupedulikan, toh dia berbeda angkatan denganku.

"Bagaimana menurutmu?" tanya Nuri padaku ketika dia memberikan selembar foto laki-laki padaku. 

"Kelihatannya dia orang baik, boleh kok, aku akan mencoba berkenalan dengannya." jawabku pada Nuri, sebelumnya Nuri mencoba untuk mencomblangkanku dengan salah satu sepupu suaminya yang masih lajang. Aku sih mau-mau saja tapi apakah dia juga padaku? Terkadang aku takut mengalami penolakan lagi seperti yang dulu-dulu, tapi berulang kali Nuri mengatakan kalau Andri adalah yang baik, dia meyakiniku bahwa Nuri sudah menceritakan latar belakangku padanya dan dia menerimanya. Aku pun bersemangat kembali dan mencoba untuk membuka hatiku pada orang baru setelah beberapa bulan menjeda hati.

**

Beberapa hari setelah Nuri mengenalkanku pada Andri, aku pun intens chating dan telepon dengannya, ternyata dia orangnya seru dan senang bercanda, kami pun janjian untuk ketemuan di sebuah cafe di daerah tempat tinggalku. Selepas subuh aku sudah mandi dan mematut-matutkan diriku di depan cermin, karena hari ini aku akan bertemu dengan Andri. Jadi penampilanku harus bagus untuk menarik di kesan pertama kami nanti, semoga Andri tidak kecewa dengan penampilanku.

Sudah hampir pukul dua belas siang aku menunggu di cafe, tempat aku dan Andri melakukan janji temu, namun Andri tak menampakkan diri, aku pun sudah berulangkali mengirim pesan chat tapi hanya ceklis satu, ditelepon pun tidak tersambung. Aku semakin gelisah, apakah janji temu kami gagal? Padahal kami berdua sudah sepakat akan bertemu pukul sepuluh di cafe ini. Adzan dhuhur berkumandang dan aku pun memutuskan untuk pulang karena sudah dua jam menunggu.

Setibanya di rumah, Nuri tiba-tiba mengirim pesan chat padaku, dan mengatakan permohonan maafnya karena Andri tidak bisa menemui janji temunya denganku, tanpa alasan. Aku sudah menduganya, meskipun aku tidak berharap banyak tentang hubungan jangka panjang dengan Andri, namun aku tetaplah perempuan biasa yang lemah, aku tak kuasa menahan tangis karena kegagalanku, lagi. Ternyata usut punya usut, Nuri bilang kalau Andri sebenarnya datang ke cafe, namun begitu melihatku dia mengurungkan niatnya untuk bertemu. Meskipun Nuri tidak mengatakan alasannya, namun aku berasumsi bahwa Andri mungkin kecewa dengan penampilan fisikku yang kurang good looking di matanya. Aku hanya tersenyum mencoba menegarkan diri sekuat tenaga.

Terkadang aku merasa kenapa nasibku bisa sampai seperti ini, dan bertanya-tanya adakah yang mau denganku? Aku merasa insecure gara-gara kejadian ini. Semalaman aku menangis di kamar sampai akhirnya tertidur.

**

Aku mendapatkan notifikasi di aplikasi W******p milikku, aku ditambahkan ke dalam grup alumni SMP angkatan 2006 kelas 3F, di sana sudah ada sekitar 20 orang, Allyssa sebagai admin grup kembali memasuk-masukkan lagi teman-teman sekelas yang lain. Aku tidak terlalu antusias karena merasa malas jika nanti teman-teman SMPku mengadakan acara di luar. Aku segera menutup ponselku namun terdengar bunyi pesan chat, kulihat di profil tertera nama Arya Dirgantara! aku bingung kenapa Arya mengirim pesan chat padaku, dan tahu dari mana dia nomor teleponku? aku hanya adik kelasnya yang tidak terlalu populer. Tapi segera kubaca dan isinya yang ternyata hanya menyapa saja, ah, aku terlalu hiperbolis. Karena risih, jadi aku membalas singkat saja dan segera pergi dari kamar menuju dapur.

Beberapa hari ini, Arya begitu intens mengirim pesan chat padaku, awalnya hanya menyapa tapi lama kelamaan menjadi pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya privasi, seperti 'aku dengar dari Irwan, kamu belum menikah, kenapa belum menikah?' Irwan itu adalah teman sekelasku yang sama-sama anggota mading, atau 'apa kegiatanmu sekarang?' 'berapa gajimu menjadi komikus?', tentunya pertanyaan-pertanyaan itu membuatku merasa jengah, aku sudah muak menjawab semua pertanyaan kurang kerjaan itu sebenarnya, apalagi ini ditanyakan oleh Arya, yang notabene dia adalah laki-laki yang berubah menjadi dingin ditambah lagi seorang single parent, tentunya hal itu membuatku menjadi tidak nyaman. Karena ingin segera menyelesaikan obrolan di chat, aku tidak membalas pesan chatnya dan mengubah pengaturan dengan menonaktifkan tombol centang biru agar dia tidak tahu pesannya sudah dibaca atau belum. Huh, ada-ada saja!

Aku kaget ketika keesokan harinya, aku menerima pesan chat dari Arya, yang isinya adalah dia akan main ke rumahku. Sontak aku menjadi gugup dan juga cemas, untuk apa dia datang ke rumahku? Katanya, dia sudah tahu alamat rumahku dari Nuri dan hari ini dia akan datang ke rumahku. Aku menanyakan alasan dia datang ke rumahku, namun dia menjawab hanya ingin bersilaturahmi saja. Karena aku tidak memiliki alasan untuk menolak, ya sudah kubiarkan saja dia datang, toh hanya silaturahmi sajakan, tidak masalah.

*** 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status