Share

Bab 7

Begitu sampai di rumah, aku meletakkan garam dan uang kembalian di meja makan. Tanpa sepatah kata, aku langsung masuk ke kamar untuk menenangkan pikiran. Bisa-bisanya Bu Wenda berpikir aku ini hamil.

Astagfirullah, jangankan hamil, dekat dengan lelaki lain saja aku sampai gemetaran. Memang memakai jilbab tidak menjamin perempuan itu salihah, tetapi sungguh aku sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan yang bukan mahram. Saling bertegur sapa dengan teman sekolah saja malu. Ini fitnah!

Telepon berdering, itu dari Amel. Segera aku angkat dan menjawab salam. Sekarang sudah jam delapan pagi, tidak biasanya dia menelepon.

"Kamu gak berangkat ngaji? Ini aku sudah di rumah Ustaz Hasan."

"Astagfirullahalazim!" pekikku, "maaf, aku sampai lupa, Mel. Bisa jemput gak? Kalau jalan kaki takutnya telat."

"Kebiasaan. Oke, aku ke sana sekarang."

Setelah mematikan ponsel, aku buru-buru mengganti pakaian. Beruntung sehabis salat subuh tadi langsung mandi biar tidak mengantuk ketika murajaah hafalan. Hari ini kajian kitab Fathul Muin, aku hanya hadir sebagai pendengar saja karena belum menelaah kitab sendiri.

Sepuluh menit berlalu, aku sudah siap begitu pun dengan Amel yang stay di ruang tamu sejak tadi. "Maaf, ya, Amel merepotkan kamu."

"Tidak apa-apa. Yuk, berangkat!"

Dalam perjalanan menuju rumah Ustaz Hasan, aku tidak sengaja melihat Mas Ilham dan Nurul di toko kitab dekat perempatan. Biat apa mereka di sana? Apa sengaja memanas-manasi? Bukankah di tempat mereka ada toko kitab juga?

Heuh, aku mengembus napas berat karena kembali terbakar api cemburu meski sadar kami tidak ada hubungan apa-apa dan ini sangat tidak pantas. Terpaksa aku mengalihkan pandangan agar tidak ada air mata yang menggenang.

"Melihat Mas Ilham? Mau aku samperin?" 

"Gak usah, Mel. Semoga saja dia tidak pernah merasakan luka sesakit ini."

"Huh, kesal aku!" geram Amel dan menambah kecepatan motornya. Aku hanya diam, sementara rumah Ustaz Hasan sudah dekat.

***

'Lelaki itu harus punya tanggung jawab. Jangan pernah datang mengetuk pintu hati seorang perempuan jika hanya membawa sekoper janji manis yang tidak pernah ada keinginan mewujudkan, sebut saja pemberi harapan palsu.

Kepastian itu sangat dibutuhkan. Lantas ketika janji sudah terucap untuk mempersunting, jangan pergi begitu saja. Perempuan itu punya hati dan sangat mudah terluka. Bagaimana denganmu, apakah tidak punya hati atau punya, tapi tidak digunakan?

Hubungan yang sudah melibatkan orang tua dan keluarga itu kalau mau diakhiri harus dengan cara yang baik. Aku kesal jika ada lelaki penakut. Berani memulai, tetapi takut mengakhiri dengan bertatap muka. Kata kasarnya; pecundang!

Memang tidak boleh berharap pada manusia, tetapi ketika sudah lebih jauh dan melibatkan orangtua tentu ada secuil harapan dalam hati. Aku yakin, kamu tidak akan mengerti bagaimana sesaknya hati diperlakukan seperti itu! Pecundang!

Untukmu yang sedang terluka, bersabarlah, lalu bersyukur karena Allah tidak menjodohkanmu dengannya yang sama sekali tidak punya tanggung jawab. Pasti ada yang jauh lebih baik~'

Seperti itulah story Whats*pp yang aku unggah dengan mengkhususkan pada Mas Ilham berharap dia tersindir sehingga mau meminta maaf dengan tulus. Berulang kali aku cek, tetapi belum juga dilihat.

Ilham : Menyindir? Kemarin kan sudah datang ke rumahmu minta maaf. Kamu kalau masih ngarep, mending berhenti. Sekarang itu, sakit hati sudah gak zaman.

Aku : Merasa tersindir, ya, Mas? Maaf banget, kalimat itu bukan untukmu.

"Tidak usah pura-pura, aku tahu kamu sakit hati karena lamaran batal. Ternyata benar kata Nurul, kamu itu baperan dan licik. Bisa jadi cuma ngincer harta keluargaku doang!" Mas Ilham mengirim pesan suara.

Kalau saja tidak berpegang pada kursi, mungkin aku sudah jatuh ke lantai. Kalimat yang begitu menusuk. Aku heran dengan perubahan sikap Mas Ilham. Apa pula maksud Nurul yang mengataiku cuma mengincar harta dan licik?

"Jadi, Nurul yang memfitnahku?" Aku balas mengirim pesan suara.

Mas Ilham hanya membaca tanpa membalas. Tiba-tiba ada notifikasi status, aku mengecek dan rupanya milik Mas Ilham. Ada foto seorang perempuan yang membelakang, bisa ditebak itu Nurul karena ketahuan dari caption yang mengatakan, 'Tidak ada perempuan yang sesalihah kamu, Ukhti N. Aku tidak sabar ingin menjadikanmu halal bagiku. Masa lalu tidak usah kita kenang karena kamulah masa depanku.'

Aku tertawa kecil. Ya, semua untuk menutupi luka. Mas Ilham begitu pandai melukai hati seorang perempuan. "Aku menyesal pernah mengenalmu, Mas!" gerutuku pada diri sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status