Begitu sampai di rumah, aku meletakkan garam dan uang kembalian di meja makan. Tanpa sepatah kata, aku langsung masuk ke kamar untuk menenangkan pikiran. Bisa-bisanya Bu Wenda berpikir aku ini hamil.
Astagfirullah, jangankan hamil, dekat dengan lelaki lain saja aku sampai gemetaran. Memang memakai jilbab tidak menjamin perempuan itu salihah, tetapi sungguh aku sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan yang bukan mahram. Saling bertegur sapa dengan teman sekolah saja malu. Ini fitnah!
Telepon berdering, itu dari Amel. Segera aku angkat dan menjawab salam. Sekarang sudah jam delapan pagi, tidak biasanya dia menelepon.
"Kamu gak berangkat ngaji? Ini aku sudah di rumah Ustaz Hasan."
"Astagfirullahalazim!" pekikku, "maaf, aku sampai lupa, Mel. Bisa jemput gak? Kalau jalan kaki takutnya telat."
"Kebiasaan. Oke, aku ke sana sekarang."
Setelah mematikan ponsel, aku buru-buru mengganti pakaian. Beruntung sehabis salat subuh tadi langsung mandi biar tidak mengantuk ketika murajaah hafalan. Hari ini kajian kitab Fathul Muin, aku hanya hadir sebagai pendengar saja karena belum menelaah kitab sendiri.
Sepuluh menit berlalu, aku sudah siap begitu pun dengan Amel yang stay di ruang tamu sejak tadi. "Maaf, ya, Amel merepotkan kamu."
"Tidak apa-apa. Yuk, berangkat!"
Dalam perjalanan menuju rumah Ustaz Hasan, aku tidak sengaja melihat Mas Ilham dan Nurul di toko kitab dekat perempatan. Biat apa mereka di sana? Apa sengaja memanas-manasi? Bukankah di tempat mereka ada toko kitab juga?
Heuh, aku mengembus napas berat karena kembali terbakar api cemburu meski sadar kami tidak ada hubungan apa-apa dan ini sangat tidak pantas. Terpaksa aku mengalihkan pandangan agar tidak ada air mata yang menggenang.
"Melihat Mas Ilham? Mau aku samperin?"
"Gak usah, Mel. Semoga saja dia tidak pernah merasakan luka sesakit ini."
"Huh, kesal aku!" geram Amel dan menambah kecepatan motornya. Aku hanya diam, sementara rumah Ustaz Hasan sudah dekat.
***
'Lelaki itu harus punya tanggung jawab. Jangan pernah datang mengetuk pintu hati seorang perempuan jika hanya membawa sekoper janji manis yang tidak pernah ada keinginan mewujudkan, sebut saja pemberi harapan palsu.
Kepastian itu sangat dibutuhkan. Lantas ketika janji sudah terucap untuk mempersunting, jangan pergi begitu saja. Perempuan itu punya hati dan sangat mudah terluka. Bagaimana denganmu, apakah tidak punya hati atau punya, tapi tidak digunakan?
Hubungan yang sudah melibatkan orang tua dan keluarga itu kalau mau diakhiri harus dengan cara yang baik. Aku kesal jika ada lelaki penakut. Berani memulai, tetapi takut mengakhiri dengan bertatap muka. Kata kasarnya; pecundang!
Memang tidak boleh berharap pada manusia, tetapi ketika sudah lebih jauh dan melibatkan orangtua tentu ada secuil harapan dalam hati. Aku yakin, kamu tidak akan mengerti bagaimana sesaknya hati diperlakukan seperti itu! Pecundang!
Untukmu yang sedang terluka, bersabarlah, lalu bersyukur karena Allah tidak menjodohkanmu dengannya yang sama sekali tidak punya tanggung jawab. Pasti ada yang jauh lebih baik~'
Seperti itulah story Whats*pp yang aku unggah dengan mengkhususkan pada Mas Ilham berharap dia tersindir sehingga mau meminta maaf dengan tulus. Berulang kali aku cek, tetapi belum juga dilihat.
Ilham : Menyindir? Kemarin kan sudah datang ke rumahmu minta maaf. Kamu kalau masih ngarep, mending berhenti. Sekarang itu, sakit hati sudah gak zaman.
Aku : Merasa tersindir, ya, Mas? Maaf banget, kalimat itu bukan untukmu.
"Tidak usah pura-pura, aku tahu kamu sakit hati karena lamaran batal. Ternyata benar kata Nurul, kamu itu baperan dan licik. Bisa jadi cuma ngincer harta keluargaku doang!" Mas Ilham mengirim pesan suara.
Kalau saja tidak berpegang pada kursi, mungkin aku sudah jatuh ke lantai. Kalimat yang begitu menusuk. Aku heran dengan perubahan sikap Mas Ilham. Apa pula maksud Nurul yang mengataiku cuma mengincar harta dan licik?
"Jadi, Nurul yang memfitnahku?" Aku balas mengirim pesan suara.
Mas Ilham hanya membaca tanpa membalas. Tiba-tiba ada notifikasi status, aku mengecek dan rupanya milik Mas Ilham. Ada foto seorang perempuan yang membelakang, bisa ditebak itu Nurul karena ketahuan dari caption yang mengatakan, 'Tidak ada perempuan yang sesalihah kamu, Ukhti N. Aku tidak sabar ingin menjadikanmu halal bagiku. Masa lalu tidak usah kita kenang karena kamulah masa depanku.'
Aku tertawa kecil. Ya, semua untuk menutupi luka. Mas Ilham begitu pandai melukai hati seorang perempuan. "Aku menyesal pernah mengenalmu, Mas!" gerutuku pada diri sendiri.
"Mau apa kamu ke sini, Mas?" tanyaku setelah mendengkus kesal. Di rumah hanya ada ibu karena Mas Dika dan ayah sudah pergi bekerja. Lelaki yang baru kemarin memutus lamaran datang bertamu ke rumah seorang diri setelah salat dzuhur, katanya kebetulan lewat dan ada niat untuk singgah. "Hayolah, Yumna, jangan terlalu sensitif. Aku sudah menganggapmu teman dan tentu tidak ada salahnya menemuimu. Di rumah juga ada ibumu, 'kan?" Mas Ilham menjawab santai. Aku memalingkan wajah sekilas tanda tidak suka. Dada bergemuruh hebat. Entah karena masih ada rasa atau faktor bawaan yang tidak terbiasa dikunjungi tamu lelaki. Wajah mungkin sudah seperti udang rebus akibat menahan amarah. Ya, aku masih marah pada Mas Ilham yang tindakannya melampaui batas. Usaha untuk melupakan belum berhasil, dia malah sengaja datang ke rumah. Aku jadi curiga, ada motif tersembunyi di balik semua ini. Mungkinkah Mas Ilham itu sedang mencari tumbal? Huh, astagfirullah. Sebenarnya Amel juga ada di sini karena ingin m
Saat makan malam, aku hanya diam. Tidak ada obrolan hangat seperti yang biasa kami lakukan. Misalnya saja candaan ayah atau tingkah konyol Mas Dika yang bahkan bukan lagi anak kecil. Dulu sebelum lamaran dibatalkan, rumah ini berhias senyum dan kebahagiaan. "Jadi, apa yang akan kamu lakukan sekarang, Yum? Kuliah sudah berhenti, keahlian untuk bekerja juga tidak ada." Mas Dika bertanya seraya menyendokkan nasi ke dalam mulut. "Di rumah menunggu takdir baik sambil fokus ziyadah juga, Mas. Lagi pula aku malu kalau melanjutkan kuliah, teman-teman bisa saja mengejekku." Tetap saja ada rasa menyesal karena meninggalkan bangku kuliah. Padahal ayah dan ibu berharap kedua anaknya bisa meraih gelar sarjana. Minimal Strata 1 dan aku memupuskan harapan itu. Beruntung selama kuliah ada beasiswa, jadi tidak terlalu merugikan pihak keluarga. Aku hanya bisa mengembus napas kasar sambil menatap nanar nasi yang belum tersentuh sama sekali. Sendok hanya berputar mengeliringi nasi putih yang tidak lagi
Kuejakan sebaris asa dalam lantunan doaDari relung jiwa menggambarkan keinginanMencairkan napas yang tertahan di bening hatiMenepiskan kegamangan dalam perjalanan fanakuSekian waktu kumengembara dalam alam-MuMeniti langkah mencari kisah indah yang hakikiMenanti tanpa letih sebentuk karunia-MuYang akan membawaku pada kesempurnaan diriBerderet kisah indah yang telah kutemuiBerjuta kata bermakna puitis telah kusimakPenggalan bait-bait merujuk dan merayukuLelah dan jemu atas pengagungan sebuah lahiriahBila kelak datang sebentuk cinta atas karunia-MuJauhkanlah dari cinta yang mengagumi lahiriah semataTetapkanlah sebentuk cinta pada jalan rida IlahiYang terbungkus rapi dalam balutan fitrah IlahiMerenyuhkan hati pada sebening asa yang tersiratMerengkuh memeluk sebentuk berkah dari kisah indahMendampingiku dalam menyempurnakan akhlakBerjamaah mendekatkan diri pada rengku
"Yumna?" Panggilan ibu diiringi ketukan di pintu membuatku terperanjat. Mungkin beliau ingin memanggil makan lagi karena memang seharian belum mengisi perut seperti yang dikatakan Amel tadi. "Iya, Bu, ada apa?" sahutku tanpa membuka pintu kamar. "Buka pintunya, ibu mau masuk!" Dengan langkah gontai aku terpaksa membuka pintu kamar. Ibu sudah berdiri dengan membawa makanan. Aku sama sekali tidak berselera sekalipun cacing sudah meronta sejak siang tadi. Perempuan tua yang teramat penyayang itu masuk kamarku dan meletakkan makanan di nakas. Aku hanya bisa menghela napas panjang karena jika sudah begini, beliau pasti marah kalau makanan itu tidak habis. "Makanannya jangan ada yang disisain, oke?" "Iya, Bu. Aku usahain." Aku menjawab malas. Tepatnya karena keadaan lemah gemetaran. Setelah mendengar itu, ibu melangkah ke luar. Mau tidak mau aku meraih piring itu dan menghabiskan isinya dengan lahap. Ketika sedang meneguk air,
"Nurul?" sapaku. Perempuan anggun yang memakai jilbab baby pink itu menoleh lantas tersenyum. "Maaf, kalian siapa, ya?" "Bukan siapa-siapa. Lagian kita salah orang, kirain Nurul Madinah tadi makanya nyapa." Amel yang menjawab dengan nada tidak suka. Aku jadi merasa tidak enak. "Tidak usah pura-pura." Mas Ilham tiba-tiba mengagetkan kami. Dia berdiri di sisi Nurul dengan gagahnya. "Kalian ngapain ke sini? Ngikutin kami?" "Maaf, ya. Kita ke sini itu gak ada niat ngikutin kalian. Emang kalian siapa, artis juga buka apalagi ulama." Amel menjawab ketus, kemudian memutar bola mata malas. Aku yang tidak ingin memperkeruh keadaan—karena tahu wataknya—langsung meninggalkan mereka berdua. Ternyata sefrekuensi, pantas saja Allah jodohkan. Aku menarik senyum sinis sekalipun hati tetap terbakar api cemburu. Amel terus mengomel dengan suara pelan takut pemilik toko mengusir kami. Dengan kejadian mengesalkan ini, aku jadi berpikir dua kalo untuk memberi mereka kado, mungkin diuangkan lebih baik
Waktu bergulir begitu cepat seakan ada yang meminta agar pernikahannya segera dilangsungkan. Sekarang hari sabtu dan besok Mas Ilham yang pernah melamarku akan mengucapkan ijab qabul menyebut nama Nurul Hafizah. Masya Allah, beruntungnya perempuan itu hendak menjadi istri Mas Ilham. Aku sampai iri dan terus bertanya-tanya kenapa bukan diri ini yang ditakdirkan bersanding dengannya? Notifikasi W******p mengusik sejak tadi, aku pun meraih ponsel yang sedang di-charger. Amel : Aku sudah menemukan kado yang pas untuk mereka. Insya Allah, memilihnya bukan karena benci atau dendam. Aku : Alhamdulillah, terimakasih, Sahabatku. Besok jangan lupa dibawa, ya sekalian aku pinjam jilbab abu silvermu. Amel : Boleh. Sama-sama. "Yumna, ke sini sebentar!" titah Mas Dika yang berdirindi beranda pintu. Aku pun beranjak dan menghampirinya. "Ada apa, Mas?" Mas Dika tersenyum dan menyeretku keluar kamar katanya minta ditemani makan di luar.
Pelaminan yang sangat megah berdiri di halaman rumah Mas Ilham. Aku baru tahu kalau ternyata di sinilah tepatnya tempat aku akan menjadi menantu dulu. Dekorasi warna merah muda berpadu silver glamour pasti sesuai pilihan Nurul. Aku begitu takjub. Banyak tamu undangan yang hadir. Sayang sekali kami melewatkan acara inti karena Amel harus mengantar tantenya tadi. Mas Dika? Tentu saja dia ikut dan kini berdiri di sampingku dengan jas ala-ala Korea yang warnanya senada dengan pakaianku. Aku jadi penasaran kapan jas itu dibelinya. Tampan. "Masuk, yuk!" ajak Amel membuyarkan lamunanku. "Malu, kalian aja, deh. Aku nunggu di sini," responku kaku yang langsung ditarik Mas Dika. Dia bahkan menggenggam tanganku hingga masuk pelaminan. Aku sampai lupa menjelaskan kalau Amel juga membawa adiknya yang hampir setinggi Mas Dika karena tidak ingin terlihat seperti obat nyamuk. Beberapa pasang mata memandang ke arah kami. Mas Dika yang usil malah memaksaku melingkarkan tangan di lengannya. Memalukan
"Mau ke mana?" tanya Mas Dika ketika aku berjalan buru-buru sambil memasang peniti di jilbab rabbani hitam."Mau ke warung Mpok Asih, Mas. Disuruh ibu beli telur.""O," jawabnya sangat singkat. Aku sampai memanyunkan bibir.Cuaca sedikit mendung walau tetap saja merasa panas. Aku melangkah dengan jurus kaki seribu dan hanya beberapa menit sudah sampai. Parahnya komplotan ibu-ibu ada di sana padahal siang gini harusnya mereka tidur di rumah atau mengajari anak PR lah.Terutama perempuan yang memakai daster mustard itu. Namanya Bu Wenda, ibu-ibu yang menfitnahku hamil bahkan tidak segan menguping pembicaraan. Dia memang seperti itu, suka menyebar berita bohong. Semoga saja anaknya tidak mendapat balasan setimpal."Eh, ada Yumna. Mau beli apa, nih?" sapa Mpok Asih begitu melihatku."Telur 20 ribu, Mpok." Aku tersenyum."Pasti senyumnya palsu," sindir Bu Hany."Iyalah, orang tadi Ilham sudah menikah. Belum jadi istri saja sudah did