"Mau apa kamu ke sini, Mas?" tanyaku setelah mendengkus kesal.
Di rumah hanya ada ibu karena Mas Dika dan ayah sudah pergi bekerja. Lelaki yang baru kemarin memutus lamaran datang bertamu ke rumah seorang diri setelah salat dzuhur, katanya kebetulan lewat dan ada niat untuk singgah.
"Hayolah, Yumna, jangan terlalu sensitif. Aku sudah menganggapmu teman dan tentu tidak ada salahnya menemuimu. Di rumah juga ada ibumu, 'kan?" Mas Ilham menjawab santai. Aku memalingkan wajah sekilas tanda tidak suka.
Dada bergemuruh hebat. Entah karena masih ada rasa atau faktor bawaan yang tidak terbiasa dikunjungi tamu lelaki. Wajah mungkin sudah seperti udang rebus akibat menahan amarah. Ya, aku masih marah pada Mas Ilham yang tindakannya melampaui batas.
Usaha untuk melupakan belum berhasil, dia malah sengaja datang ke rumah. Aku jadi curiga, ada motif tersembunyi di balik semua ini. Mungkinkah Mas Ilham itu sedang mencari tumbal? Huh, astagfirullah.
Sebenarnya Amel juga ada di sini karena ingin murajaah bersama, tetapi dia bersembunyi di kamar. Aku juga tidak tahu kenapa temanku itu sangat tidak mau melihat Mas Ilham dari dekat. Lagi, aku mendelik kesal ketika lelaki di depanku menyesap kopi seraya mengedipkan sebelah matanya.
"Apa Nurul tidak cemburu kalau kamu bertamu ke sini?"
"Tenang saja, dia santai. Katanya, dia sudah yakin kalau aku tidak akan berpaling ke lain hati." Mas Ilham menjawab sambil geleng-geleng kepala.
Lelaki di depanku tidak terlalu istimewa. Aku juga bingung kenapa mau menerima lamarannya. Bahkan jauh sebelum kami kenal, sudah ada sedikit rasa kagum. Itu dulu, semuanya berubah menjadi luka paling perih.
Ada sesuatu yang terbesit dalam hati. Tepatnya aku ingin menanyakan tentang Nurul yang menuduhku licik. Akan tetapi, sebaiknya nanti saja setelah keadaan sudah benar pulih. Pernikahan mereka kurang dari sebulan, aku harus kuat menerima kenyataan.
"Kalau aku menikah nanti, kamu datang ya. Jarak rumah kita gak terlalu jauh, jadi bisa dong? Kalau mau ajak teman, silakan!"
"Apa?" Aku merasa dipermainkan oleh Mas Ilham. Bisa-bisanya dia berucap itu padahal luka yang diukir dalam hatiku belum sembuh.
Mas Ilham melirik ponsel yang diletakkan di meja, lalu berdiri setelah meraihnya. "Aku harus pulang. Nurul menelepon. Tidak mungkin juga aku berlama-lama di sini, nanti tidak bisa pulang karena terpikat kecantikanmu."
"Benar, Mas. Harusnya kamu pulang, calon istrimu pasti sudah menunggu." Bibir menyunggingkan senyuman berusaha menyampaikan bahwa aku baik-baik saja tanpa ada cacat dalam jiwa.
Lelaki itu berdiri, lalu melenggang pergi dengan langkah cepat. Aku hanya bisa bersembunyi di balik tirai yang menutup jendela, memandangnya hingga lenyap. Tak berselang lama, Amel menepuk pundakku, menyadarkan dari lamunan yang hanya menyiksa batin.
"Aku baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan,"bisikku. Akan tetapi, mata tidak mampu berbohong. Ia basah oleh air mata yang sejak tadi terbendung.
***
"Benar kamu hamil, Yum?" tanya Andin, dia sepupuku yang tinggal tidak jauh dari warung Mpok Asih.
"Astagfirullahalazim, kata siapa?" Aku mengelus dada. Tiba-tiba teringat dengan kalimat Bu Wenda. Ada prasangka bahwa perempuan paruh baya itu yang menyebar berita bohong di kampung kami.
"Tadi siang katanya mantan tunangan kamu datang marah-marah karena Mas Dika mendesaknya untuk menikahimu." Aku memicingkan mata, lalu Andin melanjutkan seakan mengerti, "Bu Wenda yang bilang. Terus pagi tadi aku lihat dia berdiri di depan rumah kamu dengan seorang perempuan yang memakai jilbab. Sengaja pura-pura lewat dan mendengar Bu Wenda bilang kalau kamu itu hamil, eh perempuan itu malah mengiyakan mengaku kamu curhat sama dia."
"Perempuan pakai jilbab? Aku curhat sama dia? Terus kenapa Bu Wenda cerita ke perempuan itu?" Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres.
"Iya, aku gak tahu namanya. Kayaknya bukan asli sini, deh. Mungkin perempuan itu mengaku teman kamu makanya Bu Wenda cerita kalau kamu lagi hamil. Aku juga gak tahu, cuma mendengar sekilas." Andin tersenyum kaku, dia pasti merasa tidak enak terpancar dari raut wajahnya.
Aku mengklarifikasi bahwa tadi siang Mas Ilham memang singgah ke sini, alasannya hanya ingin saja sebagai teman dan tidak ada kejadian marah-marah apalagi menyangkut tentang Mas Dika. Aku juga memberitahu Andin kalau berita kehamilan itu hanya fitnah, dan menyuruhnya tutup mulut jangan sampai ayah dan ibu tahu.
Dia mengangguk. Aku pun tidak boleh terlalu percaya pada cerita yang setengah-setengah apalagi sebelah pihak. Tentang perempuan itu, aku juga ikut penasaran. Mungkin baiknya aku tanyakan pada Bu Wenda langsung jika saja pernah bertemu.
Apa pun resikonya aku siap karena memang tidak sedang hamil. Mas Ilham yang memutuskan lamaran, aku pula tersiksa karena gosip tetangga. Huh, semoga Allah memberiku kesabaran hingga tiba waktunya kebenaran terungkap.
"Oh iya, tadi kamu mau ke mana?"
"Sengaja ke sini karena kepo, Yum," jawab Andin. Matanya melihat ke perutku yang rata. Aku tahu, dia terlampau penasaran. "Lagian juga tadi aku dengar Bu Wenda dan teman-temannya gosipin kamu terus sampai Mpok Asih marah-marah. Ada apa sebenarnya?"
"Masalah Mas Ilham memutuskan lamaran itu karena pilihannya, Andin. Aku juga tidak bisa memaksakan kehendak karena jodoh sudah diatur sama Allah. Kalau takdirnya begini, mau bagaimana lagi? Tidak mungkin aku nyosor maksa dinikahin karena tidak merasa dirugikan juga." Aku menjawab dengan tenang.
Andin tersenyum, dia mengibaskan rambut sebahunya. Setelah itu, pamit pulang karena hari sudah semakin sore. Semoga saja sepupuku itu percaya kalau memang di rahimku tidak ada janin dan Bu Wenda hanya menyebar fitnah. Namun, siapa perempuan yang mengaku tempat curhatku? Tidak mungkin Amel.
Jangan-jangan Nurul?
Astagfirullah, tidak mungkin. Sekalipun ada keraguan juga karena dia memfitnahku licik ke Mas Ilham, tetapi perempuan itu terlihat polos. Bisa jadi Mas Ilham cari pembelaan hingga melibatkan Nurul tanpa sepengetahuannya. Secara dia lelaki yang tidak bertanggungjawab.
"Bu Wenda bilang apa, Yum?" tanya ibu mengagetkanku.
"Apa, Bu?" Aku segera bangkit dari kursi, lalu melangkah mendekatinya. Memang tadi aku dan Andin mengobrol di ruang tamu dan sangat tidak aman.
"Ibu dengar semuanya. Bu Wenda bilang kamu hamil, 'kan? Kenapa tidak cerita sama ibu?"
"Tidak apa-apa, Bu. Itu hanya fitnah dan sebentar lagi akan mereka lupakan. Lagian aku tidak hamil, jadi apa gunanya marah. Sekarang sudah mau magrib, mandi dulu, ya, Bu," jawabku, lalu melangkah cepat ke kamar dengan raut wajah tegang karena ketahuan ibu.
Aku memang butuh teman untuk bercerita, terutama ke ibu. Hanya saja akan menambah masalah jika ibu marah ke Bu Wenda. Tetangga yang suka menggibah itu tidak pernah kapok, dia malah semakin menggila jika ditegur. Kedatangan Mas Ilham hanya menimbulkan fitnah. Aku menyesal mengenalnya.
.
Bersambung...
.
"Ibu, apa lamaran Gus Hanan ditolak saja?" tanyaku ragu-ragu.Selama ini sibuk menimbang hingga sekarang masih belum menemukan jawaban padahal ba'da dzuhur mereka akan datang sesuai janji Gus Qabil malam tadi. Jejak kenangan terus tereja dalam memori sejak waktu terasa tak berdetak begitu Mas Dika menyampaikan unek-uneknya."Apa alasanmu menolak lamaran Gus Hanan? Dia baik agama dan akhlaknya. Lantas tidak takut jika kelak musibah menimpa kamu? Beliau akan datang bersama Kyai Sholeh, apa berani menolak?"Aku diam, semua yang dikatakan ibu ada benarnya. Namun, bagaimana dengan Mas Dika yang kehilangan cahayanya? Apakah ditakdirkan hidup sebagai mentari redup?"Bu, aku belum mencintai Gus Hanan dan malu pada keluarganya yang semua orang berilmu. Coba Ibu bayangkan dilamar putra kyai yang sangat disegani. Semua orang akan mengira aku bodoh, tetapi memang sulit menjalaninya," lirihku."Apa maksudmu menolak lamaran Gus Hanan?" Pertanyaan Mas Dika berhasil meluruhkan air mata yang sejak tadi
"Maaf, Mas. Haram melamar pinangan orang lain," gumamku berhasil membuat Mas Ilham membisu.Selama ini aku tidak pernah menduga akan dilamar untuk kali ketiga. Padahal sudah banyak waktu terlewat menuai luka yang begitu dalam.Aku menunduk, tidak sanggup menatap wajah yang penuh kedukaan apalagi jika melihat mata Mas Ilham. Pasti ada perih yang seketika membelenggunya. Aku memejamkan mata berusaha menenangkan diri."Carilah perempuan lain, Ham. Yumna sudah dilamar Gus Hanan. Jawabannya sudah ada hanya belum menyampaikan.""Tapi aku cinta ....""Cinta saja tidak cukup. Takdir yang menentukan sementara kita menjalani. Tiada cinta tanpa pengorbanan. Mungkin memang ini yang sudah menjadi takdirmu. Terima saja walau perih merajai hati." Penjelasan Mas Dika cukup bisa membungkam lelaki itu.Masalah kesungguhan hati, aku bjsa merasakannya. Dia memeriksakan diri, kemudian kembali dengan sejuta harapan berujung nestapa. Kejujuran memang a
"Diamlah! Cinta adalah sebutir permata yang tak bisa kaulemparkan sembarangan umpama sebutir batu." –Jalaluddin Rumi.***"Mas, janji loh ya temani ke toko jilbab. Aku tuh mau pakai jilbab baru saat menerima lamaran!" teriakku sambil mengetuk pintu kamar Mas Dika.Tidak ada sahutan padahal sudah puku sepuluh siang. Kalau terus-terusan begini lebih baik pergi sendiri. Aku meminai sekliling rumah mencoba menemukan kunci motor. Nihil."Mas, kunci motor ada di kamu?" teriakku kesal.Bukannya menjawab, Mas Dika malah tertawa jahat. Aku semakin kesal sampai menendang daun pintu tersebut. Rengekanku tidak berarti lagi, Mas Dika kekeuh menutup pintu.Sialnya karena ayah ibu tidak ada di sini, jadi dia bebas berulah. Berulang kali aku memutar otak agar bisa menemukan cara, tetap gagal. Memang ada satu lagi, tetapi tidak meyakinkan.'Coba saja! Kalau gagal, gak apa!', bisik hati nuraniku.Pintu kamar kembali kuketuk. "Ya udah, engg
Ada pesan What$app dari Nurul yang izin bertamu jam dua siang. Sebenarnya it's okay, hanya saja nanti Mas Dika marah. Permintaannya ditolak, tetapi tetap juga datang.Sekarang dia ada di depanku. Mas Dika yang mendengar kabar kedatangan Nurul buru-buru masuk kamar dengan membanting pintu kasar. Aku sampai terperanjat dan mengelus dada."Aku mau ke Amerika minggu depan, Yum. Sebelum ke sana, tolong maafkan aku. Sampaikan pada Mas Dika juga ibu dan ayahmu." Nurul memulai percakapan dengan mimik datar."Serius?" tanyaku kaget.Dia mengangguk. "Sebelum ke Amerika, aku sudah harus selesai mengunjungi semua orang yang pernah kubuat sakit hati. Aku ingin memulai lembaran baru, maka harus meninggalkan Indonesia.""Mas Ilham sudah tahu?" Walau mereka sudah cerai, aku tidak tahu kenapa menanyakan itu. Nurul menggeleng lemah."Di sana nanti sama siapa?""Saudaranya mendiang ibu." Setelah itu Nurul menyodorkan sebuah surat. Katanya buat Mas Dika.
Sepulang dari belanja, aku kaget melihat banyak ibu-ibu kumpul di depan rumah seperti acara bagi sembako. Kali ini masih dipimpin Bu Wenda dan Bu Arin. Mereka selalu berulah seperti akan sekarat jika sehari belum menggibah atau fitnah orang lain. Andin ikut singgah dengan beberapa belanjaan dan itu mengundang perhatian mereka sambil berbisik-bisik. Aku hanya bisa diam karena belum tahu duduk masalahnya. "Mas Dika mana, Bu?" tanyaku setelah menyadari ibu menghadapi mereka semua sendirian. "Masmu lagi ke luar beli ... ibu lupa." "Jawab dong, Bu kenapa sampai cerai sama ayah Dika?" Mataku membulat sempurna mendengar mereka. Pantas saja kumpul seperti orang unjuk rasa, ternyata kepo tingkat dewa. "Wah, Yumna langsung belanja banyak setelah menerima uang dari ayah Dika. Baru pertama seumur hidup ya?" Aku tidak tahu siapa yang melempar pertanyaan itu. Hati mendadak panas, aku meremas gamis sendiri agar bisa menguasai diri. Mereka semua sudah kelewat batas. Semua belanjaan kuserahkan
"Mas, kamu mau ngerebut ayah, kan?" tuduh Nurul yang sengaja bertamu ke rumah kami"Apa katamu? Aku ngerebut ayah?" Mas Dika terkekeh pelan dengan tatapan nyalang. "Ayahku cuma satu dan sedang bekerja. Mentang Pak Fajar itu orang kaya lantas aku akan merebutnya? Sorry, aku gak matre kayak kamu!"Tetangga ada yang melihat kami dari kejauhan, mungkin penasaran apa yang sedang terjadi. Ya, kabar Nurul sebagai adik Mas Dika belum menyebar, aku suka itu.Katanya Mas Dika ingin merebut ayahnya? Ambil saja Pak Fajar-mu itu! batinku kesal."Lalu, kenapa kamu menerima uang sepuluh juta dan ATM itu. Aku saja gak dikasih!" protes Nurul. Aku pikir dia benar berubah kemarin atau karena uang, makanya marah?Mas Dika hendak masuk rumah, mungkin mau mengembalikan apa yang diterimanya kemarin, tetapi aku mencekal sekuat tenaga. Setelah itu, melirik pada Nurul. "Mas Dika punya hak, bahkan lebih daripada kamu!" tegasku."Ibumu dicerai hidup, tetapi ibuku dicer