Share

Bab 2. Possessive stranger.

Tanisha akhirnya sampai di kantor, setelah satu jam berdesakan di dalam bus Trans Jakarta. Ini adalah rutinitasnya setiap hari dan dia sudah terbiasa. Sebagai pejuang rupiah yang berasal dari daerah, tentunya dia tidak punya banyak privilege. Tinggal di apartemen adalah satu-satunya hedonisme yang dia lakukan karena terpaksa. Pasalnya saat pertama kali sampai di ibu kota, dia kesulitan mencari kos-kosan yang cocok dengan kriterianya. Akhirnya memilih tinggal sementara di apartemen dengan harga yang menurutnya cukup terjangkau. Niat ingin pindah sejak dulu sudah ada, namun berhubung dia sudah nyaman di sana, rencananya selalu gagal dan gagal. Dan berujung betah sampai tiga tahun lamanya.

Gadis berusia dua puluh delapan itu bekerja sebagai seorang tele marketing di sebuah perusahaan asing yang sedang berkembang di Indonesia. BNC Furniture. Anak perusahaan dari BNC Group yang kantor pusatnya berada di Amerika Serikat. Tiga tahun bekerja di ibu kota, setelah pernah gagal dalam banyak hal di usianya yang ke dua puluh lima, Tanisha merasa kini hidupnya jauh lebih baik. Lebih tenang dan santai. Bukan karena gajinya tinggi dan dia bisa menabung, bukan. Melainkan karena dia jauh dari rumah. Jauh dari kedua orang tua serta masa lalunya yang terlalu menyakitkan. Jakarta dan BNC Furniture bagai sebuah lembaran baru baginya.

“Tanisha, kamu baru sampai?”

Baru juga mendudukkan bokongnya di kursi, suara cempreng itu sudah menyapa Tanisha. Seorang pria bertubuh tinggi, kurus –lebih ke ceking— berjalan menghampiri kubikelnya.

“Iya, Pak Ken. Saya baru banget sampai.” Tanisha menjawab dengan sopan. Pria itu adalah manajer divisinya. Kennedy Valery. Mahluk paling unik yang pernah Tanisha lihat.

“Nanti jam sepuluh ke ruangan saya ya. Berlima, sama tele yang lain. Kita mau bahas promo produk terbaru.”

Tanisha melihat meja di kiri dan kanannya memang masih kosong. Tele marketing yang lain belum pada datang. Pantes si pak Ken ngomong ke dia langsung.

“Baik, Pak Ken. Nanti saya info yang lain.”

Kennedy melangkah pergi setelah memastikan Tanisha mengerti instruksi darinya. Kemudian masuk ke ruangannya sendiri. Setelah bosnya pergi, Nisha menyalakan unit komputer yang ada di depan mata. Mengaktifkan line telepon karena jam operasional kantor akan segera dimulai. Biasanya ada saja pelanggan yang kerajinan menelepon sepagi ini. Yang kalau line telepon mereka belum aktif akan langsung marah-marah dan minta marketingnya ditegur. ‘Yakali jam sembilan belum mulai bekerja? Mau jadi apa?’ Kira-kira begitu komentarnya.

“Halo sayangku. Good morningg.” Akhirnya ada juga rekan kerjanya yang datang. Hana si tele marketing juga. Yang mejanya persis di sebelah Tanisha.

“Morninggg Hana cantik. Gimana mimpi kamu tadi malam? Ada pak Ken nggak?”

“Ish amit-amit! Aku nyeburin diri ke kolam aja kalau sampai ada!” Hana langsung bergidik membayangkan jika atasan mereka yang aneh itu singgah di dalam mimpinya.

Tanisha tertawa cekikikan.

“Eh, nanti jam sepuluh disuruh ke ruangan beliau. Katanya ada promo baru.”

“Promo baru terus. Nggak guna.” Hana mencibir. Gadis itu juga sedang mengatur perangkat tempurnya. Sama seperti yang dilakukan Tanisha tadi.

“Ya gitu deh. Promo promo terus. Tapi nggak terlalu menguntungkan buat customer. Siapa juga yang peduli? Padahal mulut sampai berbusa terus.”

Hana mengangguk, sepakat dengan tambahan keluhan dari Tanisha. Sudah bukan rahasia lagi kalau BNC Property sedang kalah saing sama kompetitor. Dan sekarang ini lagi pusing mikirin gimana caranya mengembalikan kejayaan mereka yang dulu. Alih-alih mengatur ulang harga, Head Marketing malah sibuk bikin promo-promo pembelian yang sama sekali tidak menarik. Misalkan ada yang beli lemari baju, dikasih bonus gantungan kain sebanyak-banyaknya. Kayak ... buat apa gitu loh? Belum tentu pembeli butuh gantungan bajunya juga. Apalagi sebanyak itu. Mendingan turunin harga lemarinya aja. Tanpa bonus item pun, customer pasti senang.

“Kita ikutin aja mau mereka. Toh bukan kita yang beli.” Hana berdecak. “Pusing-pusing mikirin strategi marketing perusahaan. Mending mikirin nanti malam jadinya nonton di mana. Fast and Furious sepuluh udah mulai tayang hari ini.”

“Ah iyaa! Kita belum booked tiket ‘kan ya? Aku cek dulu ya di aplikasi? Takut keburu full booked.” Tanisha meraih gawainya yang sejak tadi tergeletak di atas meja. Membuka satu aplikasi bioskop tanah air untuk mencari tiket film yang Hana maksud. Kemarin mereka memang sudah janjian untuk nonton bareng. Berlima. Jadi sekarang Tanisha akan membeli lima tiket sekaligus, yang biasanya akan langsung diganti teman-temannya kalau sudah pada datang.

“Masih ada, Na! Di baris B. Aku book aja ya? Aku talangin dulu.”

“Oke, Darling. Invoice-nya kirim aja ke grup. Aku langsung transfer sekarang.” Hana juga langsung bersiap memegang ponselnya. Mereka memang sekompak itu kalau sudah soal jalan. Soalnya jarang-jarang bisa hang out bareng. Karena dari berlima, dua dari antaranya sudah menikah dan punya anak. Yang satunya lagi udah punya pacar dan pacarnya posesif minta ampun. Tersisa Tanisha dan Hana yang masih singgel, alias available. Sepakat untuk nonton bareng malam ini adalah salah satu hal yang begitu langka. Jadi tidak boleh disia-siakan.

Waktu bergulir dengan cepat. Ruang marketing itu tau-tau sudah penuh oleh karyawan. Tiga teman Tanisha juga sudah hadir dan stand by di meja masing-masing. Jam sepuluh, seperti pesan Ken tadi, kelimanya beranjak dan memasuki ruang sang manajer.

“Jadi setelah kemarin rapat dengan head marketing dan sales manajer, kita punya promo baru lagi ya, Ladies.” Ken berdiri dari kursinya, mendekati white board berukuran 1 x 1 meter yang menempel di tembok ruangan. Di sana sudah ada spidol yang akan dia gunakan untuk menulis.

“Jadi, untuk setiap pembelian semua produk yang berbahan HDF, akan mendapat voucher belanja sebesar dua juta rupiah untuk pembelian produk berbahan PB.” Kennedy menerangkan sambil menulis ulang ucapannya di permukaan white board.

HDF (High Density Fiberboard) adalah jenis panel yang terbuat dari kayu yang dihancurkan sampai membentuk bubur halus, kemudian dicampur dengan perekat bahan kimia, dikompres, dan dikeringkan dalam suhu yang sangat tinggi. Sedangkan PB (Particle Board), adalah papan yang terbuat dari serbuk kayu yang dipadatkan dengan mesin. Secara kualitas, produk berbahan HDF jelas lebih bagus dari produk-produk berbahan PB.

And as usual, promo yang dirancang itu selalu tidak masuk akal. Perusahaan tidak pernah mau rugi. Setiap promo yang diberikan tujuannya tetap wajib menambah omset. Ngasihnya selalu voucher belanja. Hampir tidak pernah ada potongan harga. Karena kalau pelanggan berniat pakai voucher belanja-nya, otomatis menambah omset perusahaan lagi. Simpelnya begitu.

“Ada pertanyaan?”

Kelima perempuan berseragam di depan Kennedy saling bertukar pandang. Sepertinya tidak ada yang berminat untuk bertanya. Karena semuanya sudah sangat jelas. Jelas ini hanya omong kosong. Di saat kompetitor dengan berani memberikan potongan harga secara langsung, BNC masih saja jalan di tempat. Masih setia dengan prinsip jadulnya bahwa mereka adalah perusahaan furnitur terbaik di nusantara. Padahal jelas-jelas di luaran sana para kompetitor sudah semakin menanjak naik.

“Loh? Sudah pada paham? Tanisha sudah paham?”

“Sudah, Pak.”

“Coba? Paham gimana?”

“Setiap pelanggan yang membeli produk berbahan HDF, secara otomatis akan mendapat voucher belanja senilai dua juta rupiah yang mana voucher tersebut hanya bisa dipergunakan untuk pembelian produk berbahan PB.” Tanisha menjawab dengan lancar dan tenang. Bukti dia memang sudah paham dengan promo terbaru itu.

“Oke, bagus . Mulai hari ini sudah bisa diinfo ke mitra toko kita. Sekalian ke pelanggan langsung.”

“Pak, mau tanya.” Keisya mengangkat tangan.

“Akhirnya ada yang bertanya juga. Ya Keisya?”

“Itu dua juta nggak dikit banget ya, Pak? Harga produk HDF kan lumayan, Pak. Kayaknya kurang sepadan ya kalau hanya dapat voucher segitu.”

“Kamu mau nambahin?”

Keisya otomatis kicep. Gitu deh tiap kali kasih masukan. Makanya mereka sangat malas setiap kali ada rapat yang bertujuan untuk membahas promo atau policy begini. Nggak guna.

“Ada lagi yang mau bertanya?”

Semua geleng-geleng. Lebih cepat selesai lebih baik. Mana telepon di luar sudah berbunyi silih berganti.

“Ya sudah. Langsung action ya. Nanti sore saya tunggu feed back dari customer.”

Urrggghh! Kalau harus sekalian bikin report feed back customer, itu artinya mereka harus benar-benar menelepon semua customer hari ini. Satu per satu. Ketahui lah, itu melelahkan!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status