“Arrrrghhhh!! Handuk aku manaaa?!” Untuk yang ke sekian kalinya hari ini, suara melengking itu kembali terdengar memecah keheningan di dalam sebuah unit apartemen. Itu adalah suara seorang gadis yang lagi-lagi merasa kesal lantaran handuk satu-satunya yang dia punya hilang begitu saja dari jemuran khusus handuk yang ada di sudut dapur. Namanya Tanisha. Tanisha Gabriella Kusuma.
Ini pasti kerjaan bule brengsek itu! Tanisha sudah bisa menebak. Tak perlu diragukan lagi. Memangnya siapa lagi orang yang ada di sini? Hanya ada mereka berdua.Gadis itu berjalan menuju kamar tersangka. Seorang bule yang selama satu bulan terakhir tinggal bersamanya. Ah, kalau diceritakan bagaimana awalnya, itu hanya akan membuat penyesalan yang tak kunjung usai dalam diri seorang Tanisha. Intinya semua berawal dari belas kasihan. Namun tak disangka orang yang dia tolong justru memanfaatkan sampai satu bulan lamanya. Ck!Tanisha menggedor pintu dengan malas. Sedikit emosi namun berusaha mengontrol tenaganya. Kalau pintu itu rusak, yang repot dia juga.“Yes?” Pintu terbuka dan seorang pria bermata biru muncul sambil menggosok rambutnya yang basah. Yang Tanisha tau namanya Ansell. Itu saja. Ngomong-ngomong handuk yang dia pakai sekarang jelas-jelas adalah handuk Tanisha dan pria itu sama sekali tidak merasa bersalah. Seakan teriakan kencang tadi sama sekali tidak mengusik gendang telinganya.“Itu handuk aku. Kenapa dipake sih? Kamu ‘kan punya handuk sendiri!”“Oh ... tadi jatuh di lantai kamar mandi. Jadi saya masukin mesin cuci.”Tanisha menarik napas dalam-dalam. Sabarrrr Nisha, sabaaarrr.“Trus, nanti yang cuci bakalan aku juga?” tanyanya protes. Kedua tangannya bersidekap di dada saking kesal minta ampun.“Ya iya lah. Saya mana tau makai alat begituan.”“Arrrghhhh!! Sini balikin nggak!! Aku mau mandi!!” Tanisha menarik paksa handuk itu dari kepala Ansell. Bodo amat dibilang kasar. Toh ini bule bukan siapa-siapanya dia.“Wohooo, calm down, Sweetie.” Bule itu memintanya untuk kalem dan santai.“Calm down pala lo! Dasar bule nggak tau diri!” Tanisha mengejek dengan suara yang pelan. Selama satu bulan hidup dengan Ansell, dia sadar kalau pria parasit ini cukup fasih berbahasa Indonesia. Tapi kalau lawan bicaranya sudah bicara memakai bahasa non formal, terkadang dia bingung sendiri. Makanya, urusan mencaci maki, Nisha selalu memakai bahasa gaul. Biar tau rasa!Gadis itu lalu masuk ke kamar mandi dengan berat hati. Huhh!! Ini handuk masih basah. Mana bekas si bule lagi! Aaarrghhh! Benar-benar! Tapi dia sudah tidak punya stok handuk. Yang satunya sudah dikasih pinjam ke Ansell sejak awal. Tapi malah dimasukin ke mesin cuci segala. Padahal mah dikeringin bentar juga bisa. Iya kalau dianya mau nyuci sendiri. Lah ini pasti ngandelin Tanisha lagi. Kan asem?!Akhirnya gadis itu mandi dengan hati yang tidak damai, sebelum hari semakin malam dan berpotensi membuatnya masuk angin. By the way fasilitas air hangat di apartemen ini sudah tidak berfungsi. Intinya sudah lama rusak dan pihak pengelola apartemen bilang harus bayar lagi kalau mau diperbaiki. Dari pada membuang uang untuk hal yang tidak terlalu urgent, gadis itu memilih untuk bersahabat dengan air dingin saja. Toh Jakarta ini panas. Malam hari juga tetap gerah. Air dingin memang sudah paling pas.“What’s for dinner?” Saat baru saja keluar dari kamar mandi, Tanisha melihat Ansell sudah duduk di sofa dan menonton serial N*****x sembari bertanya akan makan apa malam ini. Ah, ngomong-ngomong tentang N*****x, ingatkan dia untuk tidak memperpanjang langganan layanan itu bulan depan. Enak aja dia yang bayar tapi yang seharian nonton malah si brengsek ini.Kembali ke pertanyaan laki-laki itu tadi. Tentang akan makan apa. Pertanyaan tak beradab yang dia lontarkan setiap hari. Seakan-akan Tanisha ini adalah ibunya. Yang bertanggung jawab atas apa yang dia makan. Atas apa yang dia pakai. Defenisi bule tapi miskin. Tanisha benar-benar kesusahan karena harus memakai uang tabungannya demi meng-cover hidup pria itu juga.“Aku sudah makan di luar.” Kali ini gadis itu memutuskan untuk tidak makan malam saja dari pada harus mengeluarkan uang dobel lagi. Biarlah kelaparan. Toh sebentar lagi akan tidur. Dia meninggalkan Ansell di ruang tamu dan masuk ke dalam kamar. Dengan sengaja mengunci pintu, supaya pria itu tau bahwa dia tidak akan keluar lagi.***Kesokan paginya dia keluar dari kamar untuk mandi. Ansell sepertinya masih tidur. Kalau bisa, sebaiknya dia tidak perlu bangun sampai Nisha berangkat kerja. Agar tidak perlu ada basa-basi tentang meminjam uang untuk makan seperti biasanya. Ya. Ansell itu selalu bilang ‘pinjam’ karena suatu saat dia akan menggantinya. Entah kapan, Nisha tidak tau pasti. Bukan hanya untuk makan. Untuk paket data, untuk beli sabun mandi, untuk beli keperluan dia sebagai laki-laki. Bayangkan, mereka sudah seperti suami istri saja. Tanisha yang bekerja, Ansell yang jaga rumah. Sungguh jalan cerita yang membangongkan.“Morning.”Hah! Kenapa sudah bangun sih? Keluh Tanisha dalam hati. Baru juga keluar dari kamar mandi, sudah bertatap muka lagi dengan pria brewokan itu. Sebenarnya kalau bicara soal fisik, Ansell ini tergolong cakep. Postur tubuhnya ya seperti ciri khas bule aja. Tinggi dan besar. Kulitnya juga putih bersih. Hanya saja terlalu banyak bulu di wajahnya. Rambutnya gondrong seperti sudah tidak dicukur selama satu tahun. Dan sialnya, itu adalah alasan Tanisha merasa iba padanya dulu. Nisha mengira dia adalah bule yang tersesat di Jakarta. Mana waktu itu tidurnya ngemper di trotoar persis di dekat pintu masuk apartemen. Kan kasian yah?“M.” Gadis itu melintas dari hadapan Ansell tanpa menoleh.“Tadi malam kita sudah tidak makan. Apakah hari ini kamu juga akan membiarkan saya kelaparan?”Tanisha menutup pintu dengan keras. Mood-nya langsung anjlok kalau sudah berhubungan dengan uang. Sungguh dia sudah tidak sanggup. Mana gajian masih seminggu lagi. Uang di rekeningnya sudah semakin menipis.Cepat-cepat dia berganti pakaian. Berdandan seadanya, lalu meraih tas kerja. Diambilnya dompet dari dalam sana dan mengecek isinya. Masih ada tiga lembar uang seratus ribuan. Kalau dia harus bersedekah ke Ansell lagi, itu artinya dia harus mengorbankan dua dari tiga lembaran tersebut. Iya. Ansell itu kalau makan nggak kira-kira. Namanya juga bule. Makannya fast food terus. Untuk makan tiga kali, jelas seratus ribu nggak cukup. Sekarang kalian tau ‘kan gimana rasanya jadi Tanisha? Jika ada hal yang akan dia sesali seumur hidup, mungkin itu adalah keputusan membawa Ansell masuk ke dalam apartemennya.Gadis itu akhirnya keluar dari kamar. Tangannya sudah menggenggam dua lembar uang berwarna pink tua tersebut. Iya, hati kecilnya tetap menyuruh dia untuk berbuat baik. Sekalipun harus setengah hati. Entah sampai kapan dia harus begini. Bukan sekali dua kali dia sengaja mengabaikan Ansell agar laki-laki itu tau diri pergi dari apartemennya. Namun Tanisha tetap saja melihatnya duduk dengan santai di depan TV. Sama sekali tidak terusik dengan sekeliling. The real orang bebal alias muka tembok.“Kalau bisa mulai ngirit. Tabungan aku udah nggak banyak. Kalau masih mau tinggal di sini, tolong ngertiin keadaan aku.” Diletakkannya uang itu di atas nakas. Untuk berbicara dengan nada rendah minim emosi seperti ini diperlukan kesabaran yang cukup tinggi. Dan Nisha mendapatkan itu setelah berulang kali melakukan tarik napas-buang napas di dalam kamarnya. Kalau dia sudah uring-uringan dari apartemen, nggak jarang akan terbawa-bawa sampai ke kantor. Dia tidak menginginkan itu.“I’m sorry. Saya janji akan mengembalikan uang kamu,” jawab Ansell seperti biasanya. Tanisha hanya mengangguk, tidak berselera untuk menjawab. Sudah terlalu banyak janji yang dia dengar. Mungkin kalau ditotal-total, Ansell sudah berhutang sebanyak lima juta kepadanya selama satu bulan ada di sini. Bagi Tanisha yang hanyalah rakyat kecil, juga hanya karyawan kantor biasa, itu termasuk uang yang cukup besar. Itu setara gaji satu bulan untuknya. Jika dihabiskan untuk keperluan yang jelas sih nggak masalah. Tapi ini untuk mengisi perut orang asing yang bahkan tidak dia kenal. Sangat disayangkan.Setelah itu Tanisha mengambil sepatunya, lalu keluar. Tidak berpamitan lagi pada laki-laki yang masih memandanginya dengan tatapan penuh arti dari sofa.***Tanisha akhirnya sampai di kantor, setelah satu jam berdesakan di dalam bus Trans Jakarta. Ini adalah rutinitasnya setiap hari dan dia sudah terbiasa. Sebagai pejuang rupiah yang berasal dari daerah, tentunya dia tidak punya banyak privilege. Tinggal di apartemen adalah satu-satunya hedonisme yang dia lakukan karena terpaksa. Pasalnya saat pertama kali sampai di ibu kota, dia kesulitan mencari kos-kosan yang cocok dengan kriterianya. Akhirnya memilih tinggal sementara di apartemen dengan harga yang menurutnya cukup terjangkau. Niat ingin pindah sejak dulu sudah ada, namun berhubung dia sudah nyaman di sana, rencananya selalu gagal dan gagal. Dan berujung betah sampai tiga tahun lamanya. Gadis berusia dua puluh delapan itu bekerja sebagai seorang tele marketing di sebuah perusahaan asing yang sedang berkembang di Indonesia. BNC Furniture. Anak perusahaan dari BNC Group yang kantor pusatnya berada di Amerika Serikat. Tiga tahun bekerja di ibu kota, setelah pernah gagal dalam banyak hal
Kembali ke meja masing-masing, Tanisha dan kawan-kawan langsung melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. Menjawab semua telepon sambil menginformasikan promo baru. Saking banyaknya customer yang harus dihubungi, orang-orang itu sampai merelakan kehilangan jam makan siangnya. Lembur bukanlah sebuah pilihan karena Nisha sudah memesan tiket bioskop. Bunyi nyaring terdengar dari gawai yang tersimpan dalam laci meja Tanisha. Mengira itu adalah customer yang biasa menghubunginya via WhasApp, Nisha mengeluarkan benda itu dari dalam sana. Namun ketika dilihatnya nama yang tertera di layar, dia langsung mencelos. ‘Stranger’. Ya, begitulah dia menamai Ansell di kontak ponselnya. Stranger alias orang asing. Sekalipun mereka sudah bersama selama satu bulan, itu sama sekali tidak berarti apa-apa. Bagi Tanisha, Ansell tetaplah seorang asing yang kebetulan menumpang hidup kepadanya. Yang menguras isi rekeningnya hingga nyaris collaps seperti sekarang. Selain persoalan uang, ada lagi yang memb
Apartmen Tanisha yang sederhana itu menjadi saksi kegelisahan Ansell ketika dia harus menunggu sampai empat jam lamanya. Seperti sengaja tidak memegang ponselnya, semua pesan dan panggilan yang Ansell kirim kepada gadis itu sama sekali tidak ada respon. Ansell geram, marah dan hampir saja melampiaskan emosi itu pada barang-barang yang sama sekali tidak bersalah. Apalagi jam estetik yang menggantung di tembok ruang tamu, yang selalu bergerak tak kenal lelah. Dia bagai mengolok-olok Ansell yang sejak tadi berharap Tanisha muncul di angka-angka tertentu yang ada di tubuh benda kecil itu.Ya, walau akhirnya doanya terjawab saat tangan pendek benda sialan itu menunjuk ke angka sebelas dan tangan panjangnya di angka satu. Tepatnya jam sebelas malam lewat lima menit, suara berisik dari kuncian pintu pun terdengar. Ansell yang sejak tadi berbaring di atas sofa spontan berdiri. Darahnya langsung mendidih dan naik ke ubun-ubun.Gadis yang biasanya sudah sampai di apartemen setiap jam tujuh mala
Efek belum pernah mendapat hukuman seperti ini, Tanisha merasa sangat down. Apalagi ini langsung mendapat SP 3. Anggapannya dia sudah melakukan sebuah kesalahan yang sangat fatal. Padahal itu hanya perkara mengirim report. Setelah kembali ke kubikelnya, gadis itu tidak berhenti menangis dalam diam. Teman-temannya silih berganti datang untuk menghibur dan memberinya penguatan. Hanya dengan pelukan. Tidak dengan kata-kata. Karena, kalau posisinya lagi down seperti ini, terkadang tidak ada kata yang cukup baik untuk diucapkan. Karena bisa jadi itu hanya akan menambah nelangsa di hati orang yang sedang bersedih.Pekerjaan Tanisha jadi sedikit terbengkalai? Jelas. Karena tidak mungkin dia menelepon mitra toko ataupun customer dalam keadaan seperti ini. Itu bukanlah sesuatu hal yang akan dia lakukan. Dia tidak ingin dicap sebagai karyawan yang tidak profesional. Ujung-ujungnya dia memilih untuk lembur. Segala report harian yang seharusnya meluncur ke email Kennedy tepat jam lima sore, hari
Tanisha terbangun karena suhu air conditioner yang terasa menembus permukaan kulitnya. Kenapa dingin sekali? Perasaan suhu AC di kamarnya tidak pernah sedingin ini. Kelopak mata wanita itu terbuka secara perlahan. Rasanya berat sekali. Apakah dia tidur seharian? Tapi tidak mungkin. Dia masih ingat kalau tadi malam dia lembur di kantor perkara kena SP 3 dari Kennedy. “Ssssshhhh.” Gadis itu memegangi kepalanya. Kenapa dia bisa sampai se pusing ini? Seperti ada bom aktif yang akan meledak di dalam sana. Wait wait wait! Kenapa seperti ada yang aneh? MANA PAKAIANNYA?! Jarum penunjuk kesadaran Tanisha seakan melompat dari angka terendah ke angka tertinggi. Semua sakit kepala itu mendadak hilang karena menyadari kalau dirinya sedang telanjang. TELANJANG!! SHITTT! Gadis itu refleks terduduk di atas kasur dengan selimut yang membalut tubuh hingga sebatas dada. Dia juga baru menyadari kalau ini bukan kamarnya.Di mana ini?Jantung Tanisha tiba-tiba saja memukul dua kali lebih cepat. Dia t
Tanisha memutuskan untuk makan dulu. Dia lapar. Entah sebanyak apa tenaga yang dia keluarkan tadi malam sampai keroncongan parah se pagi ini. Dan lagi, si Tuan Besar itu ... dia benar-benar pengecut. Apakah dia sudah terbiasa meniduri perempuan lalu meninggalkannya saat matahari terbit? Cuih! Pecundang!Makanan ini sungguh enak. Atau pengaruh Nisha sedang kelaparan saja? Entahlah. Padahal ini hanya krim sup jagung biasa, ditambah ayam siram jamur. Bukan menu aneh-aneh yang sama sekali tidak pernah dia makan. Fix tadi malam dia terlalu kelelahan. Apa saja yang sudah dia lakukan bersama laki-laki berotot liat itu?Hah?Sepertinya Tanisha mulai mengingat tentang malam erotis kemarin, walau hanya sedikit. Ya itu, soal otot-otot six pack yang sering menjadi sasaran telapak tangan Tanisha. Gadis itu sampai memejamkan kedua matanya hanya untuk mengingat lebih detail lagi.“Ansel? Kenapa kemarin aku menyebutkan namanya?” Kunyahan Tanisha berhenti ketika samar-samar lenguhannya kemarin kembali
Tanisha memutuskan untuk segera pulang ke apartemen. Ponsel Ansell sudah tidak aktif dan hatinya sama sekali tidak tenang. Ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri kalau laki-laki itu sudah benar-benar pergi. Setengah hatinya berharap itu tidak benar. Berharap Ansell hanya ingin menggertak dia perihal jam pulang kantor. Soalnya pria itu sama sekali tidak punya tempat untuk pulang. Mustahil dia nekat meninggalkan apartemen Tanisha yang menjadi zona nyamannya selama satu bulan terakhir.Namun kunci apartemen cadangan yang selama ini ada pada Ansell, benar-benar Nisha temukan tertinggal di resepsionis. Wanita itu seketika lemas. Tidak mungkin kuncinya ada di sini kalau orangnya masih ada di dalam ‘kan? Atau dia hanya sedang keluar untuk cari angin? Bisa aja ‘kan?“Mba Yul, maaf, mau tanya ... tadi, bule yang kasih kunci ini, ada nitip pesan nggak ke Mba? Entah apa tapi yang harus disampaikan ke saya? Misal tentang dia akan pergi ke mana?”“Nggak ada, Mba Nisha. Kenapa gitu, Mba?” S
Tiga puluh menit perjalanan, akhirnya taksi itu berhenti di depan sebuah tempat, yang kalau dilihat dari luar saja sudah sangat besar dan megah. Itu adalah club yang akan mereka masuki sebentar lagi. “Kamu yakin kita bisa masuk ke sana, Beb?” Nisha mendadak tidak yakin. Secara mereka masih pakai seragam kantor. Takut dipandang sebelah mata.“Yakinnn. Asal udah di atas dua puluh, bisa kok. Yuk?” Hana menarik tangan Tanisha setelah urusan dengan driver taksi selesai. Sepertinya gadis itu sudah tidak sabaran ingin masuk ke tempat bising dan minim cahaya itu.Seperti janjinya tadi, Hana mengenal salah satu security yang selalu berjaga di pintu masuk. Hanya dengan satu kedipan genit, dia dan Tanisha langsung lolos tanpa perlu mengecek kartu identitas.“Beb! Kamu kenal dia dari mana? Bahaya banget ih!” Melihat itu tentu saja Tanisha jadi khawatir. Jangan-jangan Hana dan petugas security itu ada ‘sesuatu’?“Aku ‘kan udah beberapa kali ke sini, Nisha sayang. Tenang aja.”Ah, kenapa juga dia