Share

Gadis Incaran Bule CEO Tampan
Gadis Incaran Bule CEO Tampan
Author: Sweet Ramen

Bba 1. Living with a stranger.

“Arrrrghhhh!! Handuk aku manaaa?!” Untuk yang ke sekian kalinya hari ini, suara melengking itu kembali terdengar memecah keheningan di dalam sebuah unit apartemen. Itu adalah suara seorang gadis yang lagi-lagi merasa kesal lantaran handuk satu-satunya yang dia punya hilang begitu saja dari jemuran khusus handuk yang ada di sudut dapur. Namanya Tanisha. Tanisha Gabriella Kusuma.

Ini pasti kerjaan bule brengsek itu! Tanisha sudah bisa menebak. Tak perlu diragukan lagi. Memangnya siapa lagi orang yang ada di sini? Hanya ada mereka berdua.

Gadis itu berjalan menuju kamar tersangka. Seorang bule yang selama satu bulan terakhir tinggal bersamanya. Ah, kalau diceritakan bagaimana awalnya, itu hanya akan membuat penyesalan yang tak kunjung usai dalam diri seorang Tanisha. Intinya semua berawal dari belas kasihan. Namun tak disangka orang yang dia tolong justru memanfaatkan sampai satu bulan lamanya. Ck!

Tanisha menggedor pintu dengan malas. Sedikit emosi namun berusaha mengontrol tenaganya. Kalau pintu itu rusak, yang repot dia juga.

“Yes?” Pintu terbuka dan seorang pria bermata biru muncul sambil menggosok rambutnya yang basah. Yang Tanisha tau namanya Ansell. Itu saja. Ngomong-ngomong handuk yang dia pakai sekarang jelas-jelas adalah handuk Tanisha dan pria itu sama sekali tidak merasa bersalah. Seakan teriakan kencang tadi sama sekali tidak mengusik gendang telinganya.

“Itu handuk aku. Kenapa dipake sih? Kamu ‘kan punya handuk sendiri!”

“Oh ... tadi jatuh di lantai kamar mandi. Jadi saya masukin mesin cuci.”

Tanisha menarik napas dalam-dalam. Sabarrrr Nisha, sabaaarrr.

“Trus, nanti yang cuci bakalan aku juga?” tanyanya protes. Kedua tangannya bersidekap di dada saking kesal minta ampun.

“Ya iya lah. Saya mana tau makai alat begituan.”

“Arrrghhhh!! Sini balikin nggak!! Aku mau mandi!!” Tanisha menarik paksa handuk itu dari kepala Ansell. Bodo amat dibilang kasar. Toh ini bule bukan siapa-siapanya dia.

“Wohooo, calm down, Sweetie.” Bule itu memintanya untuk kalem dan santai.

“Calm down pala lo! Dasar bule nggak tau diri!” Tanisha mengejek dengan suara yang pelan. Selama satu bulan hidup dengan Ansell, dia sadar kalau pria parasit ini cukup fasih berbahasa Indonesia. Tapi kalau lawan bicaranya sudah bicara memakai bahasa non formal, terkadang dia bingung sendiri. Makanya, urusan mencaci maki, Nisha selalu memakai bahasa gaul. Biar tau rasa!

Gadis itu lalu masuk ke kamar mandi dengan berat hati. Huhh!! Ini handuk masih basah. Mana bekas si bule lagi! Aaarrghhh! Benar-benar! Tapi dia sudah tidak punya stok handuk. Yang satunya sudah dikasih pinjam ke Ansell sejak awal. Tapi malah dimasukin ke mesin cuci segala. Padahal mah dikeringin bentar juga bisa. Iya kalau dianya mau nyuci sendiri. Lah ini pasti ngandelin Tanisha lagi. Kan asem?!

Akhirnya gadis itu mandi dengan hati yang tidak damai, sebelum hari semakin malam dan berpotensi membuatnya masuk angin. By the way fasilitas air hangat di apartemen ini sudah tidak berfungsi. Intinya sudah lama rusak dan pihak pengelola apartemen bilang harus bayar lagi kalau mau diperbaiki. Dari pada membuang uang untuk hal yang tidak terlalu urgent, gadis itu memilih untuk bersahabat dengan air dingin saja. Toh Jakarta ini panas. Malam hari juga tetap gerah. Air dingin memang sudah paling pas.

“What’s for dinner?” Saat baru saja keluar dari kamar mandi, Tanisha melihat Ansell sudah duduk di sofa dan menonton serial N*****x sembari bertanya akan makan apa malam ini. Ah, ngomong-ngomong tentang N*****x, ingatkan dia untuk tidak memperpanjang langganan layanan itu bulan depan. Enak aja dia yang bayar tapi yang seharian nonton malah si brengsek ini.

Kembali ke pertanyaan laki-laki itu tadi. Tentang akan makan apa. Pertanyaan tak beradab yang dia lontarkan setiap hari. Seakan-akan Tanisha ini adalah ibunya. Yang bertanggung jawab atas apa yang dia makan. Atas apa yang dia pakai. Defenisi bule tapi miskin. Tanisha benar-benar kesusahan karena harus memakai uang tabungannya demi meng-cover hidup pria itu juga.

“Aku sudah makan di luar.” Kali ini gadis itu memutuskan untuk tidak makan malam saja dari pada harus mengeluarkan uang dobel lagi. Biarlah kelaparan. Toh sebentar lagi akan tidur. Dia meninggalkan Ansell di ruang tamu dan masuk ke dalam kamar. Dengan sengaja mengunci pintu, supaya pria itu tau bahwa dia tidak akan keluar lagi.

***

Kesokan paginya dia keluar dari kamar untuk mandi. Ansell sepertinya masih tidur. Kalau bisa, sebaiknya dia tidak perlu bangun sampai Nisha berangkat kerja. Agar tidak perlu ada basa-basi tentang meminjam uang untuk makan seperti biasanya. Ya. Ansell itu selalu bilang ‘pinjam’ karena suatu saat dia akan menggantinya. Entah kapan, Nisha tidak tau pasti. Bukan hanya untuk makan. Untuk paket data, untuk beli sabun mandi, untuk beli keperluan dia sebagai laki-laki. Bayangkan, mereka sudah seperti suami istri saja. Tanisha yang bekerja, Ansell yang jaga rumah. Sungguh jalan cerita yang membangongkan.

“Morning.”

Hah! Kenapa sudah bangun sih? Keluh Tanisha dalam hati. Baru juga keluar dari kamar mandi, sudah bertatap muka lagi dengan pria brewokan itu. Sebenarnya kalau bicara soal fisik, Ansell ini tergolong cakep. Postur tubuhnya ya seperti ciri khas bule aja. Tinggi dan besar. Kulitnya juga putih bersih. Hanya saja terlalu banyak bulu di wajahnya. Rambutnya gondrong seperti sudah tidak dicukur selama satu tahun. Dan sialnya, itu adalah alasan Tanisha merasa iba padanya dulu. Nisha mengira dia adalah bule yang tersesat di Jakarta. Mana waktu itu tidurnya ngemper di trotoar persis di dekat pintu masuk apartemen. Kan kasian yah?

“M.” Gadis itu melintas dari hadapan Ansell tanpa menoleh.

“Tadi malam kita sudah tidak makan. Apakah hari ini kamu juga akan membiarkan saya kelaparan?”

Tanisha menutup pintu dengan keras. Mood-nya langsung anjlok kalau sudah berhubungan dengan uang. Sungguh dia sudah tidak sanggup. Mana gajian masih seminggu lagi. Uang di rekeningnya sudah semakin menipis.

Cepat-cepat dia berganti pakaian. Berdandan seadanya, lalu meraih tas kerja. Diambilnya dompet dari dalam sana dan mengecek isinya. Masih ada tiga lembar uang seratus ribuan. Kalau dia harus bersedekah ke Ansell lagi, itu artinya dia harus mengorbankan dua dari tiga lembaran tersebut. Iya. Ansell itu kalau makan nggak kira-kira. Namanya juga bule. Makannya fast food terus. Untuk makan tiga kali, jelas seratus ribu nggak cukup. Sekarang kalian tau ‘kan gimana rasanya jadi Tanisha? Jika ada hal yang akan dia sesali seumur hidup, mungkin itu adalah keputusan membawa Ansell masuk ke dalam apartemennya.

Gadis itu akhirnya keluar dari kamar. Tangannya sudah menggenggam dua lembar uang berwarna pink tua tersebut. Iya, hati kecilnya tetap menyuruh dia untuk berbuat baik. Sekalipun harus setengah hati. Entah sampai kapan dia harus begini. Bukan sekali dua kali dia sengaja mengabaikan Ansell agar laki-laki itu tau diri pergi dari apartemennya. Namun Tanisha tetap saja melihatnya duduk dengan santai di depan TV. Sama sekali tidak terusik dengan sekeliling. The real orang bebal alias muka tembok.

“Kalau bisa mulai ngirit. Tabungan aku udah nggak banyak. Kalau masih mau tinggal di sini, tolong ngertiin keadaan aku.” Diletakkannya uang itu di atas nakas. Untuk berbicara dengan nada rendah minim emosi seperti ini diperlukan kesabaran yang cukup tinggi. Dan Nisha mendapatkan itu setelah berulang kali melakukan tarik napas-buang napas di dalam kamarnya. Kalau dia sudah uring-uringan dari apartemen, nggak jarang akan terbawa-bawa sampai ke kantor. Dia tidak menginginkan itu.

“I’m sorry. Saya janji akan mengembalikan uang kamu,” jawab Ansell seperti biasanya. Tanisha hanya mengangguk, tidak berselera untuk menjawab. Sudah terlalu banyak janji yang dia dengar. Mungkin kalau ditotal-total, Ansell sudah berhutang sebanyak lima juta kepadanya selama satu bulan ada di sini. Bagi Tanisha yang hanyalah rakyat kecil, juga hanya karyawan kantor biasa, itu termasuk uang yang cukup besar. Itu setara gaji satu bulan untuknya. Jika dihabiskan untuk keperluan yang jelas sih nggak masalah. Tapi ini untuk mengisi perut orang asing yang bahkan tidak dia kenal. Sangat disayangkan.

Setelah itu Tanisha mengambil sepatunya, lalu keluar. Tidak berpamitan lagi pada laki-laki yang masih memandanginya dengan tatapan penuh arti dari sofa.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status