Perkataan Jessy yang terdengar berani membuat Terry marah. Pria itu mengepalkan tangannya seraya menatap gadis berwajah boneka itu dengan tatapan tajam dan mengintimidasi.
"Kau berani melawanku, boneka kecil?" Tanya Terry setengah menggeram marah dengan nada rendah, merasa terusik dengan perkataan Jessy yang terlalu berani.
"Ya, saya berani melawan anda. Anda tak memiliki hak untuk menahan saya disini!"
Jessy berteriak sekuat yang ia bisa, berusaha memberanikan diri untuk melawan pria itu, mengabaikan kakinya yang tampak gemetar. Raut wajahnya ia buat segarang mungkin agar tak diremehkan oleh Terry.
Terry tertawa kencang untuk kedua kalinya mendengar perlawanan Jessy. Ia melempar rokok yang tersisa setengah ke lantai lalu menginjaknya dengan kasar, membuat para pria yang merupakan bawahannya meneguk ludah paksa melihat bosnya yang kini sedang dalam kondisi tak baik.
"Oh, kau berani menyahutiku rupanya. Bukankah barusan kau terlihat ketakutan? Kenapa sekarang mendadak menjadi berani, huh? Kau mau menjadi pahlawan?" Tanya Terry dengan nada sarkastik seraya menyilangkan tangan didepan dadanya, menatap Jessy tajam layaknya predator yang mengintai mangsa. Sejujurnya, Jessy gugup dan takut. Akan tetapi, ia memaksakan diri untuk menyembunyikan perasaan itu karena sudah terlanjur melawan Terry.
"Saya berani melawan anda karena saya mempertahankan hak saya untuk hidup dengan bebas. Jadi lebih baik lepaskan saya!"
Nada suara Jessy kian meninggi seiring dengan pembicaraan mereka yang kian memanas. Kedua belah pihak tetap mempertahankan pendapat masing masing dan tak ada satupun dari mereka yang mau mengalah.
"Oh, boneka kecilku marah karena aku tak membiarkannya pulang. Ini sungguh menarik,"
"Berhenti memanggilku boneka kecil. Aku muak mendengarnya!" Bentak Jessy yang untuk pertama kalinya marah pada orang lain, membuat teman temannya kaget bukan main.
Mereka tak menyangka jika gadis selembut Jessy bisa menjadi mengerikan saat dirinya merasa marah dan terancam. Padahal sebelumnya, Jessy tampak seperti anak kucing yang terperangkap di sarang predator, terlihat begitu lemah dan tak berdaya. Apa yang Jessy pikirkan hingga berani menentang sang ketua Mafia yang terkenal kejam dan sadis, kira kira itulah pikiran mereka.
"Kau berani membentakku?!" Tanya Terry dengan amarahnya yang kembali naik ke permukaan. Ia ingin sekali meninju kepala Jessy saat ini, mengingat nada bicara gadis itu membuat harga dirinya terusik.
Selama hidupnya, belum pernah satupun gadis yang berani menaikkan nada suaranya pada Terry, bahkan ibunya sendiri. Kebanyakan dari mereka akan menuruti perintahnya tanpa berbicara dua kali. Tapi gadis ini, ia berhasil membuatnya naik pitam dan itu sangat tidak bagus untuk rencananya.
"Ya! Saya berani membentak anda karena anda keterlaluan. Lepaskan saya sekarang juga sebelum saya melapor polisi!"
Terry tertawa kecil saat mendengar ancaman Jessy. Ia mengelus rambut Jessy dengan perlahan seraya berbisik ditelinga gadis itu dengan mata menggelap penuh amarah.
"Silahkan laporkan perbuatanku ke polisi, itupun jika kau bisa melepaskan dirimu sendiri dari ikatan tali itu, boneka kecil," tantang Terry dengan nada sarkastik. Ia memutari tubuh Jessy yang terikat satu kali lalu tersenyum miring penuh kemenangan.
Setelah itu, Terry memegang bahu sempit Jessy dan menekannya kebawah untuk memaksa sang gadis dalam posisi berlutut. Jessy merasa kesakitan saat bahunya ditekan sekuat itu oleh Terry. Tak kuat dengan rasa sakitnya membuat kaki yang sudah merasa lemas sejak tadi pun jatuh hingga membuat posisi berlutut layaknya tersangka kejahatan.
"Aku tak pernah bertemu dengan gadis yang pernah melawanku sebelumnya. Kau adalah gadis pertama yang berhasil memancing emosiku,"
Terry berucap dengan nada sedingin es dan tatapan matanya yang kian menajam layaknya pedang. Rahang pemuda itu mengerat hingga membuat suasana tampak mencekam.
Jessy merasa kesulitan bernapas saat suasananya berubah menjadi menakutkan ketika ia berani menentang pria itu.
Jantungnya berdetak lebih kencang daripada sebelumnya dengan keringat dingin sebesar biji jagung menetes dari pelipisnya. Pupil mata hijau milik gadis itu mengecil seraya melirik ke arah lain, tak berani bertatapan dengan Terry yang tampak menakutkan saat ini.
"Kau memiliki keberanian yang patut ku apresiasi, boneka kecil. Hanya saja, keberanianmu justru membuatku marah," Terry mencengkeram kembali dagu Jessy dengan cukup kuat seolah hendak menghancurkan bagian itu. Jessy meringis kesakitan seraya memejamkan matanya saat rasa sakit kembali menghampiri tubuhnya.
"Aku tak suka gadis yang keras kepala dan pembangkang sepertimu. Jadi, lebih baik tutup mulutmu sebelum aku merobeknya,"
Aura dominan menguar begitu kuat dari tubuh Terry, membuat siapapun merasa sesak napas saat berada didekat pria itu.
"T-tuan, tolong lepaskan cekalan tanganmu. Ini sangat menyakitkan," pinta Jessy dengan nada memohon. Nadanya turun dan sedikit melembut, sama seperti saat Jessy berbicara pada Terry untuk pertama kalinya, ketika pria itu menghampirinya.
Ringisan kecil terus keluar dari bibir cherry miliknya karena tekanan yang ia dapat di dagunya semakin kuat dari menit ke menit. Terry suka melihat Jessy yang begitu lemah dan tak berdaya dibawah kuasanya, layaknya seorang gadis submissive yang bisa ia kendalikan sesuka hati.
Terry melepaskan cekalan kuat di dagu Jessy lalu tersenyum sinis saat melihat memar keunguan yang tercetak jelas di kulit susu milik Jessy, yang begitu kontras dengan warna kulitnya.
"Bersyukurlah aku masih berbaik hati melepaskan cekalanku, boneka kecil. Jika tidak, aku bisa saja melemparmu kandang singa peliharaanku untuk dijadikan pengganti daging yang sudah habis,"
Kata kata Terry berhasil membuat Jessy ketakutan. Pupil matanya melebar dengan tubuh yang bergetar hebat dalam posisi berlututnya. Tubuhnya terasa lemas dan jantungnya seolah berhenti berdetak saat itu juga.
"T-tuan, anda tak serius kan?"
Jessy bertanya dengan nada pelan. Suaranya terdengar bergetar ketakutan. Keberaniannya yang barusan muncul menghilang entah kemana. Yang ada hanyalah wajah horor penuh tekanan. Terry berhasil menekan Jessy agar gadis itu berhenti melawannya.
"Tentu saja aku serius , boneka kecil. Jika kau masih berusaha melawanku, maka aku akan mempersingkat hidupmu dengan caraku. Kau bisa memilih, mau dilempar ke kandang singa atau ditembak tepat didepan teman temanmu?" Terry tersenyum miring saat berhasil membalik keadaan, memanipulasi pikiran gadis lugu dihadapannya. Oh, ini semakin menarik.
"T-tuan.." raut wajah Jessy tampak kosong mendengar ancaman itu. Air mata menggenang di pelupuk matanya, bersiap untuk jatuh. Bibir mungil miliknya tampak bergetar saat akan berkata.
"Saya tak mau keduanya," sambung Jessy lagi seraya menundukkan kepalanya.
"Maka dari itu menurutlah padaku, boneka kecil. Jangan pernah memancing emosiku jika kau tak mau berakhir mati mengenaskan ditanganku,"
Terry mengangkat wajah Jessy dan menangkupnya dengan sebelah tangan. Tangan lainnya mengelus pipi lembut dan chubby milik Jessy dengan perlahan. Mata coklat pria itu menelisik wajah Jessy, memindainya dari atas sampai bawah dengan teliti.
"Kau harus ingat ini dalam kepalamu. Terry Walter tak akan pernah melepaskan buruannya sekalipun mangsanya melawan. Ingat itu,"
Jessy menolehkan kepalanya pada sumber suara, yakni Terry yang saat ini menatap tajam ke arahnya. Jessy merasa ciut dan ketakutan melihatnya, hingga ia memeluk Alfred kembali dengan sangat erat sembari menyembunyikan wajahnya. Gadis itu merasa terintimidasi dengan tatapan Terry yang terlihat sangat mematikan."Jessy, aku sedang bicara padamu. Tolong lihat aku,"Terry berkata dengan nada tegas dan juga dominan, membuat jiwa submissive Jessy keluar begitu saja. Jessy membalikkan tubuhnya hingga kini berhadapan dengan pria berambut pirang itu.Gadis itu menundukkan kepalanya hingga poni miliknya yang sudah memanjang menutupi wajahnya. Gadis itu memegang erat ujung baju yang ia kenakan, pertanda jika tengah takut dan juga gugup. Terry menghela napas kasar lalu mengangkat dagu Jessy dengan jari telunjuknya agar gadis itu bisa bertatapan dengannya.Tatapan keduanya bertemu. Mata doe hijau milik Jessy yang saat ini memerah karena sedang menangis kini bertatapan dengan manik coklat milik Terr
"Apa ini semacam taruhan?" Terry menggelengkan kepalanya, lalu segera mendekati Jessy yang saat ini tengah memiringkan kepalanya, tak mengerti dengan pembicaraan diantara dua pria berbeda generasi itu.Begitu sampai di hadapan Jessy, Terry meletakkan salah satu tangannya di perut milik gadis itu, lalu mengusapnya dengan cara melingkar. Pria itu memejamkan mata seolah menikmati kegiatan yang ia lakukan.Jessy tentu saja kaget mendapat perlakuan lembut seperti itu. Terry memang baik padanya, tapi dia pasti selalu memiliki niat terselubung. Makanya ia curiga jika Terry tengah merencanakan sesuatu padanya.Akan tetapi, sekalipun Jesy tengah mencurigai Terry, Jessy tak menepis tangan milik Terry dari perutnya dan membiarkan Terry berbuat sesukanya, selama masih berada di batas wajar. Entah kenapa, ada rasa senang yang hinggap di hatinya. Seperti ada kupu kupu yang berterbangan dalam perutnya, menimbulkan sensasi menyenangkan yang tak diketahui sebabnya. Apakah ia senang dengan usapan itu
"Apa maksudmu jika Jessy tengah hamil?" Alfred kini menatap Terry dengan tatapan tajam.Pria bermata hijau itu tak terima jika Terry mengatakan hal yang tidak tidak pada Jessy yang baru saja siuman. Terry tersenyum, lalu menolehkan kepalanya pada Jessy yang saat ini menatapnya penuh kebingungan.Mata gadis itu tampak mengerjap lucu dengan bibir mengerucut lucu karena tak mengerti alasan Terry malah membahas "hal itu". Kepalanya terlihat dimiringkan yang membuat Jessy tampak begitu menggemaskan. Terry tertawa kecil melihat tingkah Jessy yang begitu menghibur dirinya. Setelah itu, Terry memusatkan kembali perhatiannya pada Alfred yang menunggu jawabannya. Percakapan diantara keduanya tampak begitu intens seolah ini adalah meja perang (meja debat)."Kurasa anda tak terlalu bodoh untuk mengerti arti ucapan saya, tuan," ujar Terry dengan senyuman tipis yang terpatri di wajah tampannya.Nada suara setenang air itu sedikitnya mengusik hati Alfred. Apa pria di depannya itu tak merasa bersala
Terry kini sudah tiba di depan rumah sakit yang kabarnya tempat Jessy dirawat. Pria berambut pirang itu segera turun dari mobil dan melangkah dengan gagah menuju ke depan gerbang rumah sakit, diikuti oleh para anggotanya yang lain yang mengikuti dari belakang.Saat berada di depan gerbang, langkah Terry harus terhenti karena seorang pria berpakaian serba merah dengan aksen lambang harimau putih mencegahnya masuk. Terry menatap tajam orang itu dengan mata cokelatnya, karena perjalanannya harus tertunda. Ini sama artinya dengan membuang waktunya yang berharga untuk mencari Jessy."Mengapa aku dihentikan seperti ini, heh?""Maaf, Tuan. Tapi anda tak diizinkan masuk ke wilayah ini," ujar pria yang tengah mengenakan kacamata itu dengan suara berat.Terry tersenyum miring. Ia yang tak terima dengan perkataan itu langsung merogoh saku celananya dan menodongkan pistol tepat di dahi pria itu. Bisa dilihat jika salah satu anak buah dari kelompok White Tiger yang berhadapan dengannya meneguk lu
Alfred menghela napas melihat reaksi yang Jessy berikan padanya. Gadis itu tak merasa senang ataupun gembira dengan berita ini, tapi malah menunjukkan sikap ketidak percayaan dan juga ragu.Hal ini tentu saja menggores hari Alfred. Wajah pria itu tampak menyendu dengan alis mata yang terlihat turun. Raut wajah Alfred terlihat murung dengan tubuh terkulai lemas seolah tak memiliki tenaga.Jessy menggaruk pipinya yang tak terasa gatal, bingung harus melakukan apa di situasi sekarang ini. Rasa canggung menyergap keduanya, membuat Jessy tampak tak nyaman. Tangan mungilnya dengan ragu menyentuh wajah Alfred yang kini tengah melihat ke tanah. Merasakan sentuhan kecil dan halus itu, Alfred mendongakkan kepala, kembali menatap wajah Jessy dengan tatapan sedih. Bibir pria itu terlihat terkunci dengan mata sayu yang membuat kondisi Alfred terlihat begitu menyedihkan."Apa bisa anda jelaskan lagi padaku apa yang anda katakan sebelumnya?" Tanya Jessy dengan nada sehalus sutera sembari mengusap
"Ayah yang menculik anak Alfred?" Tanya Terry lagi memastikan, takut jika ia salah mendengar."Benar, tuan. Selain itu, ayah anda hampir melecehkan Rosemary saat wanita itu tengah mengandung. Maka dari itu, tuan Alfred murka besar dan berakibat memusuhi kelompok Black Panther sampai sekarang," jawab Adiaz lagi yang membuat Terry tampak tercengang.Pria itu hampir saja menjatuhkan ponselnya ke bawah andai tak diraih oleh Daniel. Dengan sigap, tangan milik pria berdarah Korea itu menangkap ponsel yang saat ini masih tersambung.Ia ingin tahu mengapa sedari dulu kelompok White Tiger selalu membuat masalah dengan kelompok Black Panther. Tak mungkin jika hanya alasan itu saja yang menjadi pemicunya."Lalu, apa ada hal lain yang ingin kau laporkan pada kami?""Ada. Kelompok Black Panther yang waktu itu dipimpin oleh ayah anda adalah pengacau sekaligus pengkhianat di masa lalu saat kelompok White Tiger masih berjaya. Tuan Barbara membuat fitnah bahwa kelompok White Tiger adalah kelompok yan
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih tiga jam untuk pergi ke Las Vegas menggunakan pesawat, Terry segera memerintahkan anak buahnya yang berada disana untuk segera menjemputnya dan beberapa orang yang ia bawa dari Washington, termasuk Daniel.Selama menunggu kira kira setengah jam, mobil yang di pesan oleh Terry pun datang. Ia dan Daniel langsung masuk ke dalam mobil itu, sementara para anak buahnya yang lain menaiki mobil yang berbeda. Mobil pun meninggalkan kawasan bandara menuju rumah sakit tempat Jessy di rawat."Kau yakin jika Jessy ada disana? Bisa saja ini adalah trik murahan yang digunakan oleh kelompok White Tiger untuk mengecoh kita semua," Terry yang sedang memeriksa beberapa file yang masuk di ponselnya pun menolehkan kepala pada sang lawan bicara. Dirinya tertegun dalam sesaat.Benar juga, karena panik dan merasa senang karena Jessy telah ditemukan membuatnya membuat keputusan bodoh dengan langsung datang ke Las Vegas tanpa mencari tahu terlebih dahulu apakah
"Hah? Apa maksud anda?" Tanya Jessy yang saat ini tengah membulatkan mata mendengar fakta yang baru saja ia dengar.Janet Fransisca? Rasanya ia pernah mendengar nama itu sebelumnya. Keningnya berkerut dalam mencoba mengingat nama itu. Matanya ya menyipit lucu dengan ekspresi yang begitu menggemaskan.Akan tetapi, seberapa keras usaha Jessy untuk mengingatnya, ingatan itu tak muncul di kepalanya. Jessy mengerang kesal sekaligus frustrasi karena tak bisa mengingat informasi yang terbilang cukup penting untuk keadaan sekarang.Gadis itu menatap Alfred dengan tatapan polos miliknya karena ia tak mengingat nama yang terasa familiar itu, seolah meminta bantuan pada Alfred. Alfred terkekeh pelan, lalu menyendokkan satu sendok bubur pada mulut Jessy yang terbuka agar gadis itu bisa makan.Jessy tentu saja kesal karena Alfred memasukan makanan ke dalam mulutnya tanpa permisi. Dengan terpaksa, gadis itu pun menelan bubur yang disodorkan tanpa mengunyahnya karena bubur yang ia makan sangatlah lem
"Terry," panggil Daniel yang baru saja masuk ke ruangan milik sang pria berambut pirang yang kini tengah berkutat dengan laptopnya. Terry tampak begitu serius, terlihat dari keningnya yang berkerut dalam dan beberapa kali mengeluarkan umpatan kecil yang tak jelas.Mendengar ada yang memanggil namanya, Terry menolehkan kepala pada sumber suara, mengabaikan sejenak laptop yang ada di depannya dan memusatkan seluruh atensinya pada Daniel yang saat ini tengah memasang wajah lelah.Wajah pria berdarah Korea itu tampak sangat berantakan, dengan kantung mata hitam yang melingkar jelas di wajahnya. Selain itu, wajah Daniel tampak begitu kusam, menandakan jika ia kurang istirahat selama beberapa hari terakhir."Ada apa Daniel?" Tanya Terry singkat, padat dan jelas dengan nada suara dinginnya.Daniel menghela napas panjang, lalu menyodorkan sebuah file yang berisi tentang beberapa kerja sama yang harus Terry periksa. Bagaimanapun, Terry adalah orang yang berkuasa disini. "Ada beberapa kerja sa