Share

5

POV Ronald

Hujan di luar sana membuat kaca mengembun. Kuusap kaca jendela, memperhatikan sosok yang tengah berjemur di bawah sana, di tepi kolam renang.

Semalam, aku ketiduran di kamar khusus milikku, setelah membaca buku selama berjam-jam. Pagi pagi sekali, aku mendapati Avia dengan wajahnya yang masam.

Apakah dia kesal? Aku tak peduli. Aku tak pernah peduli yang berkaitan dengan Avia. Kecuali hal yang sangat menganggu, harga diri dan pernikahan kami.

Sesaat, kulihat wanita itu bangkit, sementara aku menjauhi jendela kamar lalu keluar dari kamar ini, menuju kamar kami.

Di menit ke dua, pintu kamar terbuka, menampilkan wajah tak bersahabat milik Avia. Wajah itu, penuh beban, aku bisa melihat lingkar matanya yang hitam dan pipinya yang semakin kurus. Sefrustasi itu-kah dia? Ah, tentu saja, selingkuhannya baru kehilangan kaki.

"Aku rasa, kita sudah diajarkan untuk mengetuk pintu sebelum masuk," ucapku santai sambil mengambil sepasang baju dari walk in closet. Seperti biasa, pagi ini aku akan pergi bekerja. Dan sialnya, tempat yang sama dengan tempat bekerja Avia. Perusahaan kami.

"Ini kamarku, tak perlu mengetuk pintu." Dia menyahut dengan nada sinis. Dia mengikat rambutnya, dan mengambil handuk.

"Kamarku juga."

Tangan Avia berhenti bergerak, lalu menoleh padaku. Tentu saja dengan tatapan permusuhan.

"Kamar kita, kita berdua sama-sama berhak, jadi buat apa saling ketuk pintu, apa setelah menyakiti William kau memiliki aturan baru?"

Aku awalnya menanggapi biasa nada sarkas Avia. Tapi tidak setelah dia menyebut William di dalam kamar kami.

"Hentikan semua, Ronald! Jangan semakin jahat, tadi malam, dua orang datang dan kembali merusak toko kaset ayah William. Sejauh apa lagi kau ingin menyakitinya? Apakah dengan melenyapkan ke dua kakinya tidaklah cukup?"

Urat di kening Avia menegang, selanjutnya air mata turun di ke dua kelopak matanya.

Merusak toko ayah selingkuhannya, kapan? Aku bahkan menghabiskan malam di kamar gelap sendiri, tanpa memikirkan untuk membuat onar. Ada apa sebenarnya? Dan Avia terus saja menuduhku sebagai pelakunya.

"Aku tahu, kau jahat, Ronald! Tapi jangan lagi kau berbuat sejauh ini, jika tubuhku yang kau inginkan, aku akan memberikannya, dengan catatan jangan lukai William lagi." Avia menyatukan ke dua tangannya di depan wajah, air matanya turun deras.

Sementara aku, merasa semakin terinjak, seolah-olah akulah yang bersalah.

"Aku tak tertarik pada bekas orang lain, menyingkirkan! Aku yang akan mandi lebih dulu."

Kusingkirkan bahu Avia, wanita yang tak punya harga diri.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status