"Kau baik-baik saja?" tanya Viora, Sekretarisku, dia adalah temanku juga saat masih kuliah dulu. Viora, ibu satu anak yang baik dan pekerja keras. Viora memiliki wajah yang manis, dengan kulit hitam manis dan tubuh tinggi semampai, selain menarik dia juga cerdas, itulah alasan kenapa aku menawarkannya bekerja denganku.
"Aku baik," sahutku memaksakan senyum. Setiap ada yang bertanya, aku selalu akan katakan, aku baik-baik saja.Kudengar ketukan sepatu Viora mendekat. Hal itu membuatku tak nyaman."Maaf, aku bukan mencampuri urusan pernikahanmu, tapi ... Aku sempat melihat berita tentang Avia ...."Aku menutup buku yang kubaca, kubetulkan letak kaca mataku, lalu melihat ke wajah Viora, wajahnya yang terlihat sedikit tidak enak."Sudah rahasia umum, tentang skandal Avia, bukan?"Viora mengangguk."Aku turut prihatin.""Tidak apa-apa, biasa saja. Semua telah berlalu."Aku kembali membuka buku yang kubaca tadi, walaupun ingatanku tak lagi ke sana. Fokusku terpecah, topik ini membuat mood-ku berubah."Maaf, aku tahu, kau sangat tersakiti, Ronald."Kututup lagi buku itu, sebenarnya, aku tak nyaman dengan sikap Viora yang ikut campur."Aku sudah melupakan semuanya, kau lihat, kan? Aku sudah di sini, tak lagi di sel tahanan."Viora tersenyum, mungkin merasa makin tidak enak."Avia wanita yang cantik dan pintar.""Kau berlebihan terlalu memujinya.""Kau pun sebenarnya gagah, hanya saja, tidak bergaya, jika kau bergaya, kau takkan kalah tampan dari selingkuhannya. Maaf ...." Viora tersenyum lagi."Tak perlu merasa tak enak, kau sudah lancang dari tadi. Oh, ya. Berkaitan dengan penampilan, aku tak tertarik ingin merubah diri. Aku tak berniat membuat Avia tertarik padaku."Kulihat Viora mengangguk, tapi masih kulihat, dia seperti belum akan mengakhiri pembicaraannya."Jika kau butuh teman bicara, aku akan mendengarkan dengan senang hati."Kubetulkan kembali letak kaca mataku yang melorot. Mungkin aku butuh kaca mata baru. Kutatap Viora serius."Aku baik-baik saja, tak ingin membicarakan apa pun. Jangan khawatir. Oke?"Viora akhirnya mengangguk, walaupun wajahnya tampak tak puas."Baiklah!""Kau pulang saja lebih dulu, aku akan lembur malam ini."Viora awalnya tak menjawab, tapi pada akhirnya mengangguk.Jam kantor usai, aku memesan makanan cepat saji untuk makan malam. Aku kira aku tengah sendiri, ternyata ruangan Avia masih terang benderang."Apakah kita menghabisinya saja?"Itu yang aku dengar, sebelum wanita itu menyadari diriku yang lewat di depan ruangannya yang pintunya terbuka, aku segera pergi.Tunggu, siapa yang diteleponnya, dan ... Siapa juga yang akan dihabisinya?***"Kau ... Kenapa masih di sini?" tanya Avia padaku, kami akhirnya bertemu di garasi kantor. Kulihat wajahnya sedikit panik.Kumasukkan tangan ke kantong celana, berjalan mendekati wanita itu, sementara Avia mundur dua langkah seakan merasa terancam."Kenapa mundur?" Aku memicingkan mataku, kalimat beberapa menit yang lalu masih terngiang, siapa yang akan dihabisi wanita ini?"Kau belum menjawab pertanyaan-ku.""Aku lembur, kau?"Avia tampak mengendurkan wajahnya. Seperti tengah menguasai dirinya kembali."Aku juga.""Bagus!"Avia tampak ingin mengucapkan sesuatu, tapi batal."Ada yang ingin kau tanyakan?""Ti ... Tidak.""Baiklah!" sahutku membuka pintu mobil."Tunggu!"Suara Avia menyentakku, aku menatapnya kembali."Kau ... Tidak lewat di depan ruanganku, bukan? Maksudku, tadi aku melihat sekilas, seseorang tengah melintas, walaupun tidak jelas. Bukan kau, kan?"Aku mengerutkan kening, kenapa Avia terlihat begitu panik. Mungkinkah pembahasan tentang menghabisi itu tak boleh kuketahui, aku makin penasaran."Kalau aku yang lewat, kenapa?""Ti ...tidak. Tidak apa-apa."Avia tampak gelisah. Aku baru saja ingin bertanya kembali, ketika Avia buru-buru masuk ke dalam mobilnya, dan kemudian membawa kendaraan itu pergi dengan cepat.Wanita itu, makin hari, menyembunyikan sesuatu padaku. Setelah merasa dibodohi dengan terbongkarnya perselingkuhannya, aku merasakan, bahwa aku terlalu bodoh selama ini.***Aku baru saja hendak mematikan lampu kamar, saat pintu terbuka dan menampilkan Avia dengan wajahnya yang kusut. Dia tampak lelah dan tak bersemangat. Seharusnya dia sudah sampai di rumah sejak dua jam yang lalu. Akan tetapi dia baru sampai sekarang, saat jam menunjukkan pukul sepuluh malam."Baru pulang?" tanyaku sekedar basa basi, kami saling membenci, tapi tak bisa mengelak dengan kenyataan, bahwa kami terikat dalam ikatan pernikahan.Kulihat, Avia meletakkan tasnya, duduk di depan lemari rias dan menghapus sisa make-up yang ada di wajahnya."Tumben kau bertanya."Aku sudah mengira ini akan kudengar, Via selalu menjawab dengan kalimat yang akan memulai perdebatan."Jarak kantor dengan rumah hanya beberapa menit, tapi kau sampai setelah dua jam kemudian. Aku yakin kau singgah ke suatu tempat. Ke rumah selingkuhan-mu, Kah?"Via menatapku tajam dari pantulan cermin. Tatapan permusuhan."Dia bukan selingkuhan-ku, dia kekasihku."Aku mengulum senyum kecut. Siapa yang bodoh di sini? Aku atau dia?"Dia bukan selingkuhan-mu, menggelikan, lalu apa namanya, ada pria lain saat kau sudah menikah."Entah kenapa, aku ingin berdebat dengannya malam ini."Yang tak dicintai, layak disebut sebagai orang ketiga, sebagai pihak yang paling jahat menghancurkan dua orang yang saling mencintai."Via menoleh, menampilkan senyum miring.***POV RonaldSetelah menempuh perjalanan selama dua jam lebih menggunakan pesawat kelas bisnis, akhirnya kami sampai di salah satu bandara di Kalimantan Utara. Mobil Pajero Sport keluaran tahun 2022 sudah menunggu di bandara dan kami saat ini sedang bersiap-siap menuju salah satu desa yang cukup jauh dari Kecamatan.Sepanjang perjalanan, baik aku dan Avia, sama-sama tak mengeluarkan suara. Hanya Wulan yang bertanya sesekali kepada Via, menanyakan apa yang wanita itu butuhkan.Tampaknya, indahnya pemandangan itu tidak membuat Avia terlihat tergugah untuk menikmatinya, dia seperti mayat yang tidak lagi merasakan perasaan bahagia, sedih atau pun terpukau dengan pemandangan yang telah dibuat oleh Sang Pencipta itu.Menuju kecamatan, jalan yang dilalui masih cukup bagus untuk dilalui oleh kendaraan roda empat, walaupun beraspal kasar tapi tak ada kendala berarti. Setelah lepas dari kecamatan, kami menemui jalan tanah yang licin dan berlumpur.Tak bisa dihitung berapa kali roda mobil tergelin
Sesampai di ruang kerjaku, aku terkekeh dengan apa yang baru saja terjadi. Apa yang terjadi? mencium wanita bekas pria lain yang bahkan tidak layak untuk disentuh.Kenapa aku tidak bisa mengendalikan diri membungkam mulut kurang ajar itu? yang selalu handal dalam memaki dan menghina orang lain. Apa karena dia wanita dan aku tak bisa memukulnya?Aku tahu wanita itu marah besar, karena selalu menguasai dirinya. Dengan kondisinya yang sudah tidak lagi seperti dulu, dia pasti sangat membenci semua orang yang berada di sekelilingnya. Termasuk orang tuanya sendiri yang telah mengatur kepindahan kami ke Kalimantan.Akhirnya, aku mengganti bajuku yang diludahi oleh Avia. Wanita itu memang handal dalam menjatuhkan martabat siapa pun, yang menganggap diriku adalah abu yang bisa dia injak-injak dengan sandalnya yang kotor. Wanita itu sama sekali tidak mencerminkan watak normal seperti wanita yang lain. Jangan tanyakan apakah di hatinya memiliki kasih sayang? tidak ... yang ada dalam dirinya adal
POV Ronald Seminggu pasca operasi patah tulang, akhirnya dia diperbolehkan kembali ke rumah. Wanita itu masih seperti biasa, terlihat tertutup dan menjengkelkan. Ayahku bahkan sudah menyiapkan segalanya, termasuk seorang wanita yang ditugaskan menjadi perawat pribadi untuk Avia, mengurus wanita itu secara khusus, karena wanita itu sama sekali tidak berdaya dengan kakinya yang patah."Perkenalkan nama saya Wulan," kata wanita itu kepada kami. Hari ini, dia langsung diutus oleh Ayahku untuk menemui dengan kami secara langsung. Dia adalah wanita dengan berperawakan tinggi dan tubuh yang langsing, kulit yang cerah dan wajah yang cukup cantik. Aku memperkirakan umurnya berkisar mendekati tiga puluh. Dia terlihat ramah tapi tegas, dia memiliki tatapan yang penuh percaya diri dan tak gentar dengan lawan bicaranya. Ayahku pasti sudah memperhitungkan, wanita seperti apa yang bisa dijadikan sebagai perawat Avia yang keras kepala dan tidak bisa diberi nasehat."Saya akan melayani Mbak Avia den
"Apakah Mama mengetahui rencana dari ayahnya Ronald yang memindahkan kami ke Kalimantan?"Wanita cantik yang sudah tidak muda lagi itu hanya bisa mengangguk pasrah."Itu adalah kesepakatan dua keluarga.""Dan Mama sama sekali tidak menolaknya?""Kau tau pasti, Mama tak bisa bersuara terhadap apa pun keputusan Ayah Ronald dan Papamu."Aku menghela napas panjang."Sebegitu inginnya kalian menyingkirkanku?""Ini bukan perkara menyingkirkan. Suamimu, Ronald adalah pria yang harus kau dampingi kemana pun." "Kalimantan? itu tidak masuk akal!Bagaimana mungkin aku harus pindah ke sebuah daerah yang sama sekali berbeda dengan ibu kota? Kadang aku berfikir, siapa sebenarnya diriku? Aku mewarisi semua kecantikanmu tapi sama sekali tidak ada kedekatan di antara kita!" Aku berbicara dengan hati yang luka."Mama akan mengatakan sebuah rahasia besar kepadamu, tapi kita tunggu, sampai kondisimu membaik.""Rahasia seperti apa yang akan Mama katakan kepadaku? karena terlalu banyak rahasia di keluarga
POV AviaPria itu sudah pergi, pria yang menjadi sumber kesialan di dalam hidupku itu sudah meninggalkan ruangan ini beberapa menit yang lalu. Apa yang baru saja dikatakannya? pindah ke Kalimantan bersamanya? apa dia berpikir aku akan menjadi orang primitif dengan hidup berdua dengan pria tidak waras seperti Ronald? tidak! aku tidak akan melakukan itu sama sekali.Ronald adalah musuh terbesar yang harus dilenyapkan. Semua kekacauan yang terjadi adalah karena dirinya. Rasanya sangat menyesakkan dada, ketika aku tidak bisa mengendalikan hidupku sendiri, aku terjajah ... bahkan tidak bisa memilih dengan siapa aku ingin bahagia.Lalu bagaimana setelah ini? aku akan bergantung dengan kursi roda selama beberapa bulan. Kenapa tak langsung mati saja? "Sial!" amarah amat besar kurasakan. sebuah gejolak rasa frustasi yang tak ada batas. aku benci semua takdir ini. benci semuanya.Perasaan sesak dan sedih itu tidak bisa kutahan, rasa membara meletup di dalam dada. Aku begitu marah terhadap tak
"Apa yang kau harapkan dariku, Ronald?" kata Avia menatapku dengan mata berkaca-kaca. Setelah sama-sama hening dalam beberapa saat, akhirnya wanita itu memulai percakapannya denganku.Apa yang kuharapkan dari Avia? tidak ada. Aku sama sekali tidak mengharapkan apa pun darinya. Andaikan boleh memilih, aku tidak akan pernah melanjutkan pernikahan ini dengan wanita itu, apa yang bisa aku harapkan dari seorang wanita murahan yang telah melemparkan dirinya ke ranjang pria lain secara cuma-cuma?"Apa kau berpikir aku menaruh harapan kepadamu, Avia? kau salah besar!""Dengan sikapmu yang seperti ini, seolah-olah ini menunjukkan kepadaku, bahwa kau adalah suami yang baik ... Gila!"Aku mengerutkan kening, setelah mendengar apa yang dikatakan oleh wanita itu."Suami yang baik?""Kau bertahan di sini selama beberapa jam. Apa tujuanmu di sini? apa kau ingin menemaniku di sini? seolah-olah kau inginkan menunjukkan kau adalah pahlawan?""Sudahlah, Avia! tidak perlu menjadi pahlawan untuk wanita se