Mendengar nama itu disebut, sungguh membuat Zissy kesal. Perasaannya jadi tak karuan. Namun ia tak ingin mengacau di kesempatan seperti ini. Ia menahan perasaannya, namun ia tubuhnya tak dapat berbohong. Hasratnya tiba-tiba saja lenyap. Ia sadar bahwa tidak ada ruang bagi dirinya dalam hati lelaki itu. Walaupun raganya bisa dimilikinya, namun tidak dengan hatinya. Ia hanya mendapatkan cangkang tanpa jiwa. Marco menghujamkan batangnya yang mengeras ke bagian intim wanita itu. Cairan hangat meleleh dari sudut mata wanitanya. Zissy merasakan sakit, bukan hanya di bagian intimnya, tetapi juga di dalam hatinya. Ia merasa semua perjuangannya sia-sia, namun tak ingin melepaskan lelaki yang disukainya itu. Marco tetap memejamkan matanya, sengaja membiarkan fantasi liarnya terpuaskan. Ia terus mengayunkan pinggangnya dengan ritme yang sama, sengaja melepaskan hasrat yang terpendam cukup lama. Namun suara rintihan Zissy membuyarkan fantasinya. “Menjauhlah, jika ada perempuan lain di dekat
“Bapak tidak punya kuasa untuk ikut campur dalam hal ini,” ucap lelaki tua itu. “Mungkin justru teman-teman mereka yang lebih paham tentang hubungan mereka.” Sekali lagi Marco hanya menganggukkan kepalanya. Ia tak tahu lagi bagaimana lagi untuk mencari tahu kebenaran yang terjadi dua puluh tahun silam. Semua fakta benar-benar tertutup rapat. Bahkan ingatannya tentang semua hal yang menyangkut Irfan, sama sekali tak berguna. Ia terlalu acuh pada kakaknya saat itu. Ia terlalu sibuk dengan urusannya sendiri dan mengabaikan semua urusan orang dewasa yang sama sekali tak dipahaminya saat itu. “Mungkin Bapak bisa memberikan beberapa alamat teman seangkatan Kak Irfan? Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan pada mereka.” Marco masih menyimpan sebuah harapan bahwa semua data lama sekolah ini masih lengkap dan tertata rapi.“Ada … ada! Sebentar saya ambilkan,” sahut lelaki tua itu sembari berdiri dari kursinya.Namun harapan itu langsung sirna saat Pak Munir membawa sebuah buku tulis ber
Cassandra tersenyum lebar. Dengan langkah yang mantap, ia memasuki Riverside Garden Apartemen, yang merupakan rumah baru baginya saat ini. Gadis itu menautkan tangannya di lengan Marco, seolah tak ingin lagi terpisah dari pamannya itu. Ruang apartemen dengan gaya minimalis itu, masih terlihat sama seperti saat ditinggalkannya dulu. Masih tetap rapi, seolah tak ada seorangpun yang tinggal di tempat senyaman ini. Cassandra menatap sekelilingnya dan mata itu masih sama, tetap terpaku melihat keindahan pemandangan di balik jendela besar kamar itu. Tiba-tiba terdengar suara lirih terdengar.Marco mengerutkan keningnya. “Kamu … lapar, ya?” Gadis itu menganggukkan kepalanya. “Aku belum makan dari pagi tadi.” “Sudah … sudah.” Marco mendorong tubuh mungil keponakannya masuk ke dalam kamar. “Kamu mandi dulu. Sementara pakai saja apapun yang ada di dalam sana.”Cassandra mencengkram daun pintu, menahan dirinya untuk masuk ke dalam satu-satunya kamar tidur di tempat itu. “Lalu Om mau kemana?
Zissy menatap gadis dihadapannya tanpa berkedip. Ia sama sekali tak menduga akan bertemu dengan salah satu siswanya di apartemen calon suaminya. Ia sangat terkejut, apalagi saat ia melihat gadis itu memakai kemeja pria yang bisa ditebak dengan mudah siapa pemiliknya. Zissy merasakan sakit di dadanya. Ia merasa Marco telah mengkhianatinya. Marco telah mempermainkan perasaannya. Bukankah dia sudah berjanji untuk menikahinya. Cassandra tidak kalah terkejutnya. Ia tak mengira jika dosennya itu bakal berkunjung ke apartemen pamannya. Walau ia tahu itu bukan yang pertama kalinya, tapi ia tidak menduga bahwa ia akan muncul kali ini.“Kenapa kamu ada di sini? Dan … baju itu, kenapa kamu pakai bajunya?” teriak Zissy penuh amarah. “Apa yang sudah kalian berdua lakukan?” Mendengar keributan itu, Marco pun keluar dari kamarnya. Lelaki itu masih menggunakan kimononya dengan satu tangan memegang handuk untuk mengeringkan rambutnya. “Zissy? Kenapa kamu kemari?” tanya Marco yang juga terkejut. La
“Mona Salimar!” ucap Marco. Tangannya mengetuk sebuah foto yang tertera pada yearbook di hadapannya. Sederetan wajah dalam pasfoto berwarna hitam putih itu menjadi pusat perhatiannya saat ini. “Jadi … sekarang kamu mencurigai kakak kamu bukan ayah kandung Cassandra?” tanya Rexy. “Aku rasa yang diucapkannya saat itu hanya kalimat yang didasari oleh emosi sesaatnya.”“Aku masih tidak yakin,” ungkap Marco. “Biasanya sesuatu yang terucap dengan emosi, adalah sebuah kebenaran.”Rexy berdiri dari kursinya dan melangkah menuju jendela besar di belakang meja kerja Marco. “Sekarang coba kamu pikir. Bagaimana mungkin Irfan akan membesarkan Cassandra seandainya ia bukan putri kandungnya? Kenapa ia tidak mengirim gadis itu ke panti asuhan saja?”“Tapi faktanya, Irfan membesarkannya sendiri tanpa Marini, istrinya,” lanjut Rexy. “Terlepas dari kesibukannya, dia tetap memperhatikan gadis itu hingga ia beranjak dewasa.”Marco tetap mengetuk-ngetukkan penanya ke satu wajah di dalam buku itu. Ia terli
Membayangkan atap rumah pemukiman yang terlihat dari balkon kamar apartemennya, membuat Cassandra kesal. Bibirnya masih manyun saat Marco menyerahkan kunci rumah barunya itu. “Kita akan isi tempat itu dengan semua barang yang kamu butuhkan. Besok, kamu bisa memakai kartuku untuk berbelanja semua kebutuhanmu.” Cassandra diam saja. Ia menyilangkan kedua tangannya, bersedekap di dada. Ia merasa tak nyaman karena harus tinggal sendiri dan ini adalah pengalaman pertamanya. “Kenapa?” tanya Marco. Lelaki itu melihat perubahan air muka keponakannya. “Aku takut tinggal sendirian,” sahutnya pelan. “Walau aku terbiasa sendirian, tapi … setidaknya aku di rumahku sendiri.”“Sandra, bukankah aku sudah berjanji untuk datang kapanpun kamu memanggilku? Bahkan jarak antara apartemen kamu dan tempat tinggalku tidak terlalu jauh.” Cassandra menghela napas. Ia merasa tak bersemangat. Memang lokasi apartemennya hanya beda lantai dengan milik Marco. Dan karena alasan itulah Cassandra menyetujui untuk m
“Jadi … kali ini aku menang taruhan, kan?” Marco memamerkan senyum tipisnya. “Ah … curang! Om curangnya kebangetan!” seru gadis itu. “Ngapain juga pake pesen cola segede gaban! Mana ruangannya sedingin kutub pula.” “Eit … nggak bisa gitu. Namanya taruhan, segala cara boleh dipake, kok,” kelit Marco. “Kamu juga bisa pake cara apapun supaya aku keluar duluan dari tempat itu.” Marco tertawa terkekeh. Ditutupnya kembali pintu apartemennya setelah Cassandra masuk. “Jadi gimana? Kamu mau peluk Om semalaman?” godanya. Cassandra mencebikkan bibirnya. Gadis itu melangkah mendekati sofa yang menghadap ke jendela kaca besar apartemen itu. Dihempaskannya pantatnya ke atas dudukannya yang empuk. “Nggak ah, karena banyak kecurangan yang ditemukan. Maka taruhan tidak sah,” sahutnya dengan kesal. Marco tersenyum. Ia melangkah mendekati gadis itu dan duduk di sisinya. “Makasih ya.” Ucapan Marco berhasil membuat gadis itu berpaling dari jendela itu. “Terima kasih? Untuk apa?” tanyanya kebingu
“Siapa dia?” tanya Rexy. Lelaki itu duduk di kursi yang baru saja ditinggalkan oleh seorang lelaki yang baru saja ditemui oleh Marco. Marco menepiskan tangannya, seolah itu adalah suatu hal tak penting yang tak perlu dibicarakan mereka. Suara denting terdengar di gawainya. Cepat lelaki itu memeriksa pesan yang baru saja masuk. Dilihatnya sebuah notifikasi pembelanjaan dari salah satu kartunya. Ia tersenyum dan menutupnya kembali. “Kenapa? Kamu kelihatan aneh hari ini. Menemui seorang laki-laki misterius, tersenyum pada benda mati itu,” papar Rexy. “Seperti ada gangguan di otakmu.”“Apa salahnya jika aku bahagia?” sahut Marco dengan senyum mengejek. “Kamu nggak seharusnya bahagia jika tahu apa yang akan terjadi,” ucap Rexy. Lelaki itu menumpangkan satu kakinya ke atas kakinya yang lain. “Aku berhasil memindahkan keponakanku dari apartemenku. Aku membeli sebuah tempat tinggal yang nyaman untuknya.” Marco meraih cangkir kopinya dan menyesap minuman panas itu perlahan.“Tapi kamu tid