"Valdi sayang cium gue, please…" bisiknya dengan putus asa, suaranya hampir tak terdengar di tengah desahannya yang semakin intens. Bibir mereka bertemu lagi, dan dalam sekejap, Valdi membalas ciuman itu dengan penuh gairah, mendalam dan panas. Ciuman mereka serasa membakar, napas mereka bercampur, tubuh mereka terus bergerak bersama, hingga akhirnya Celine tak bisa lagi menahan ledakan yang sudah lama ia rasakan.
Tubuhnya melengkung, suara kenikmatan keluar dari bibirnya tanpa henti, sementara Valdi terus menghantam, membawanya melewati batas tertinggi dari kenikmatan itu.
Celine terbaring dengan napas yang masih terengah-engah, tubuhnya bergetar halus di antara sisa-sisa kenikmatan yang baru saja ia capai. Matanya terpejam, merasakan denyut pelan di sekujur tubuhnya yang masih dipenuhi dengan sensasi luar biasa. Batang Valdi masih berada di dalam luban
Valdi, yang tadinya ambruk menindihnya, perlahan menggulingkan tubuhnya ke samping, namun sebagian lengannya masih menimpa pinggang Celine, menahannya di tempat. Perlahan, tangannya bergerak ke arah wajah Celine. Ibu jarinya yang hangat menyapu lembut air mata yang masih basah di pipi wanita itu. Kemudian, Valdi menundukkan wajahnya, mendekat, dan mengecup singkat bibir Celine."Thank you, Cel..." bisiknya, suaranya serak karena kelelahan dan emosi yang baru saja terluapkan.Celine mengerjap perlahan, menatap langit-langit, lalu mengalihkan pandangannya pada Valdi. Ada campuran kemarahan, penyesalan, dan kebingungan di mata indahnya."Fuck you, Val," suaranya parau, penuh kepedihan. "Fuck you."Kata-kata itu meluncur begitu saja, tajam dan menyakitkan. Namun, di sudut te
Valdi mengubah posisi lagi, membalikkan Celine, mendudukkannya di tepi shower yang dingin, mengangkat kedua kaki Celine ke pundaknya, membuka tubuh wanita itu lebar-lebar, dan kembali melesakkan kejantanannya masuk dengan brutal. Setiap lesakan menghantam dalam, mengenai titik-titik sensitif yang membuat Celine melengkungkan punggung, lehernya tertekuk ke belakang di bawah guyuran shower. Valdi mencondongkan tubuh ke depan, mencengkeram pinggul Celine, mengendalikan ritme yang semakin menggila."Vall… ahh… ahhh… please… too much…" Celine merintih, namun Valdi tak berhenti. Dia tahu dia sedang membawa Celine ke tepi.Dorongan terakhir yang begitu dalam dan
"Celine... please," Valdi sekali lagi memohon, suaranya yang memelas membuat Celine terentak dari pusaran pikirannya yang sedang berkecamuk. Meskipun tubuhnya masih memberontak di bawah cengkeraman Valdi, goncangan batin yang memilukan bercampur dengan ketakutan."Gue nggak tahu harus gimana lagi kalau lo nggak bantu gue, Cel. Gue bisa lebih gila dari sekarang," lanjut Valdi, nada suaranya kini mengandung getaran ancaman yang terselubung di balik keputusasaan.Celine terdiam. Perlahan, kekuatan yang menopang tubuhnya runtuh. Pemberontakannya mereda, badannya melemas dalam cengkeraman Valdi. Dia mengangguk pasrah, setetes air mata meluncur turun membasahi pipinya yang dingin.Tok tok tok
“Jadi gimana? Gue harus telanjang dulu gitu baru boleh masuk?” Celine mengulang, kali ini dengan sedikit penekanan, menanti reaksinya.Valdi tersenyum miring, senyum mesum yang tadi dicela Celine kini terpampang nyata. “Yaaa… ga usah telanjang juga gapapa sih,” jawabnya pelan, suaranya serak, matanya tak lepas dari Celine. “Tapi… kalo loe mau… gada yang larang juga,” lanjutnya, nadanya menggantung penuh makna terselubung.“Dasar mesum…!!” Celine mendesis, namun ada gairah yang terpantul di matanya, gairah yang bercampur tantangan. Dia berdiri, lalu mundur dua langkah dari ranjang Valdi, menatap Valdi dengan tatapan nakal yang memancing.Perlahan, gerakannya disengaja, menghipnotis. Dia membuka kancing celana jeansnya satu per satu. Jari-jari
Di tengah kekalutan dan kebingungan dengan apa yang barusan terjadi, pandangan Mayang perlahan beralih pada Valdi. Pria itu masih terbaring, memejamkan mata, tapi anehnya... wajahnya kini terlihat begitu tenang. Senyum tipis tersungging di bibirnya, seolah beban berat yang selama ini dilihat Mayang di wajah itu, kini telah terangkat.Melihat Valdi yang tampak begitu damai seketika menorehkan perasaan aneh di hati Mayang. Ada... kepuasan? Perasaan bahwa ia berhasil mengurangi penderitaan Valdi, menenangkannya. Dan anehnya, perasaan itu juga menenangkan Mayang, meredakan sedikit kepanikannya.Dengan tangan masih sedikit gemetar, Mayang meraih handuk kecil dari baskom di dekat ranjang. Ia mulai membersihkan noda hangat lengket itu dari telapak tangannya, mengusap di antara jemarinya, lalu dengan hati-hati membersihkan bagian yang terkena noda di tubuh Valdi.Valdi merasakan sentuhan lembut lagi. Matanya terbuka sedikit, menatap Mayang yang sedang membersihkan noda dengan tekun dan tulus.
“Kamu… ngapain?” Suara Valdi serak, terdengar penuh pertanyaan, tapi mata yang baru terbuka separuh itu memancarkan sesuatu yang lain. Bukan marah, bukan kaget, melainkan… pengamatan yang dingin.Mayang menarik tangannya seolah tersengat listrik. Wajahnya masih memerah, napasnya sedikit terengah. “Ma-maaf, Om!” Ia tergagap. “Mayang… Mayang nggak sengaja…”Ia menatap Valdi dengan mata penuh penyesalan. “Mayang cuma… heran ini apa. Keras di dalam tapi lembek di luar. Tadi waktu Mayang pegang… kok tiba-tiba tegang sendiri. Mayang pikir… sakit.”Valdi mengamati ekspresi Màyang yang masih dipenuhi kebingungan. Ada sedikit keanehan, kegugupan yang halus yang mulai muncul di mata polosnya, tetapi dibungkus erat oleh hasr