"Ka-kamu!" Adelia segera menutup mulutnya dengan telapak tangannya saat dia sadar jika masih ada Siska didepannya.
"Sial! Ada apa lagi ini? Kenapa dia ada di sini? Bukannya tadi dia ...." Adelia yang sibuk bergumam sendiri langsung tersentak saat Siska menoleh ke arahnya.
"Pak! Saya membawa karyawati yang bernama Adelia dan kebetulan hanya ada dia saja," ucapnya dengan tatapan tidak suka ke arah Adelia, namun saat beralih ke arah Carlton, dia langsung tersenyum manis mencari perhatian kepadanya.
Carlton tak peduli dengan tatapan Siska, tatapan dia hanya tertuju untuk Adelia.
"Ya! Kamu masuk, saya ingin bicara sama kamu," pinta Carlton dengan senyuman tipis, membuat Adelia bergidik.
"Sial! Apa maksud dari senyuman dia itu? Kenapa aku merasakan perasaan tidak tenang seperti ada sesuatu yang mau dia lakukan padaku!" gumam Adelia yang segera menundukkan kepalanya, untuk menghindari tatapan Carlton.
Siska langsung tertawa senang.
Beberapa detik, Adelia yang merasa canggung hanya diam. Membuat suasana menjadi sunyi, hanya terdengar suara nafas keduanya dan tatapan Carlton tak berpaling sedikitpun darinya."Sial! Mengapa jadi canggung seperti ini? Sekarang aku harus apa?" gumam Adelia, dia menundukkan kepalanya. Carlton tersenyum melihat tingkah Adelia yang masih malu-malu sampai tak berani membalas tatapannya."Lucu sekali!" gumamnya sambil mengeratkan pelukannya."Kenapa tidak berisik lagi? Bukannya tadi, kamu berusaha untuk menghindari aku?" tanya Carlton tepat di dekat telinga Adelia."A-aku ...." Adelia merasakan tubuhnya merinding, karena hembusan nafas dari bibir Carlton."Hahahaha ... Sayang! Kenapa berubah jadi pemalu sih? Tadi saja kamu ...." bibir Carlton langsung dibungkam oleh telapak tangan Adelia."Diam! Kamu berisik sekali, Carl! Kamu belum menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di sini!" Adelia mendongakkan kepalanya dan menatap wajah Carlton."Jelaskan kenapa kamu ada di sini? Lalu, kenapa ta
Mata Adelia melotot tajam, saat Carlton mengecup bibirnya dan secepatnya, dia mendorong dada Carlton dan bibirnya pun terlepas."Carl! Ka-kamu! Kenapa kamu mencium aku?" pekik Adelia.Carlton tersenyum sambil mengusap lembut bibirnya yang sudah basah."Memangnya kenapa sayang? Tempat ini sangat aman kalau kita melakukan hal yang sama seperti malam itu," ucapnya dengan tawa pelan, Carlton merangkul erat pinggang Adelia."Carl!" Adelia kembali panik saat melihat tingkah Carlton yang semakin membuat dirinya gugup."Jangan panik sayang! Di sini aman dan tenang saja, hanya ada kamu dan aku saja!" jawabnya dengan santai.Glek!Adelia menelan kasar ludahnya, dia masih sangat gugup dan tak percaya dengan ucapan Carlton."Ta-tapi Carl! Ini ruangan siapa? Mengapa kamu bisa ada di sini?" tanyanya dengan tatapan penasaran.Carlton menarik tubuh Adelia lebih dekat dengannya."Ikut aku dulu! Nanti, aku akan menjelaskan semuanya! Oh, ya! Jangan gugup sayang, di sini kamu bebas melakukan apapun padak
[Adel, malam ini datang ke hotel The Sultan, ya! Ada kejutan yang ingin buatmu dan Alvin.] Adelia sontak tersenyum saat membaca pesan dari sahabatnya itu. Hari ini memang harusnya Adelia merayakan hari jadiannya yang ketiga tahun dengan sang kekasih. Namun, pekerjaan dan kesibukannya mengurus pernikahan membuatnya tak sempat. Terlebih, Alvin juga sedang sibuk mengurus project di perusahaannya dua minggu ini. Siapa sangka, sahabat Adelia begitu perhatian padanya. [Terima kasih, Lusi! Kamu memang yang terbaik.] balas Adelia cepat. [Santai saja. Itulah gunanya sahabat. Nanti datang ke kamar no. 171, ya] Menahan kebahagiaan yang meluap, Adelia lantas segera menyelesaikan pekerjaannya. Bahkan, dia mampir ke salon sebentar untuk berdandan agar hari ini tak bisa terlupakan. Adelia terus membayangkan betapa manisnya pertemuan mereka malam ini. DING! Pintu lift The Sultan terbuka menunjukkan bahwa dirinya telah sampai di lantai 17. Adelia lantas keluar dari sana dan berjalan menuju
Matahari bersinar sangat terang, hingga menembus tirai jendela kamar hotel yang di dalamnya. Sepasang pria dan wanita di kamar 170 itu masih berpelukan di bawah selimut dengan damai. Sayangnya, suara dering ponsel membuat keduanya perlahan terganggu. "Siapa yang menelepon sepagi ini? Apakah dia sudah bosan hidup di dunia ini!" Carlton mengumpat menyadari itu berasal dari ponselnya. Namun alih-alih mengangkat panggilan, pria tampan itu justru memeluk Adelia seperti bantal. Sementara itu, Adelia terkejut. Seketika, dia menyadari bahwa Carlton memeluk erat tubuh telanjangnya. "Ini!" Adelia refleks langsung mendorong tubuh Carlton hingga berhasil melepaskan pelukannya. Gadis itu langsung menyilangkan kedua tangannya di dada. "Tadi malam kita.... " Carlton seketika menghela napas menyadari maksud Adelia. Selain memuaskan, malam tadi memang begitu panjang dan tak terlupakan karena itu pertama baginya. Hanya saja, Carlton baru ingat bahwa wanita di hadapannya ini adalah korban
"Aaaaa!" Adelia berteriak keras, tatkala dia melihat tubuh polosnya terlihat oleh Carlton. Seketika, Carlton menaruh kembali tubuh Adelia di atas tempat tidur dan menutup tubuhnya kembali dengan selimut. "Ma-maaf, Babe! Tadi itu tidak sengaja!" ucapnya dengan tawa yang menggelikan. Adelia cemberut dan segera menarik selimut itu sampai ke dagu."Dasar mesum!" ucap Adelia, dia memalingkan wajahnya, "dan berhenti panggil aku babe!"Carlton menghela nafas panjang, lalu duduk di samping Adelia. "Emmm! Tapi, aku akan tetap memanggilmu, Babe." Adelia melotot. Hanya saja belum sempat berbicara, Carlton tiba-tiba sudah menyela, "Oh, iya. aku ingin bertanya padamu, apakah boleh?" "Mau tanya apa?" Carlton tersenyum dan wajahnya mendekati telinga Adelia. "Babe, siapa nama kamu? Mengapa kamu bisa ada di kamarku?" tanya Carlton.Adelia terdiam sejenak, karena dia kembali teringat tentang apa yang telah terjadi sebelumnya. "Aku? Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa ada di sini? Tapi ...." Adelia
"Siapa kalian?" tanya Carlton. Namun, wanita yang ada di depan Carlton hanya membuka mulutnya dan menatap Carlton dengan tatapan tidak biasa. Pria itu jelas sadar dengan tatapan menjijikan semacam itu. Carlton lantas menatapnya tajam. "Cepat! apa yang kalian inginkan! Waktu saya tidak banyak untuk melayani orang-orang semacam kalian!" tegasnya. Seketika Lusi tersadar, lalu melirik ke arah pria yang ada di sampingnya. "Vin, sepertinya kita salah kamar. Adel tidak mungkin ada di sini, tapi ...." Wanita itu langsung membuka layar ponselnya untuk menegaskan nomor kamar yang dia kirim tadi malam kepada sahabatnya itu. "Eh! Kita salah kamar! Ini bukan kamar 171 tapi 170," ucapnya sambil tersenyum malu kepada pria yang ada di sampingnya. "Oh, salah ya! Baguslah kalau begitu," ucap pria yang tak lain adalah Alvin. "Kalau begitu, ayo pergi! Aku yakin kalau Adel tidak mungkin mengkhianati aku dan dia adalah wanita yang sangat baik," ucap Alvin sambil melirik sekilas ke arah Carlto dan be
"Hei, kamu kenapa?" tanya Carlton kembali. Adelia tersentak dan segera menghapus sir matanya yang tak dia sadari, telah lolos membasahi pipinya. "Ah! aku ... aku baik-baik saja!" jawab Adelia. Dia bergegas untuk menyembunyikan kesedihannya. Namun, Carlton semakin penasaran padanya. "Ada apa? Mengapa kamu terlihat sedih sekali? Apakah kamu mengenal dua orang brengsek tadi?" tanya Carlton yang kemudian segera meraih tangan Adelia. "Ya, aku mengenal mereka berdua!" jawab Adelia akhirnya dengan jujur. "Aku mau pulang! Kapan pakaianku datang? Aku sudah tidak tahan lagi jika terlalu lama di sini." Ditahannya mati-matian air matanya yang entah mengapa terus mengalir. Setelah memastikan perasaannya sudah membaik, Adelia lantas membalikkan tubuhnya hendak beranjak pergi. Hanya saja, Carlton tiba-tiba memeluknya dari belakang. "Apakah pria brengsek itu adalah Alvin yang tadi terus kamu katakan itu?" tanya Carlton. Adelia terdiam, lalu menutup matanya secara perlahan. Tubuhnya bah
Cukup lama Daffa menatap pintu yang sudah tertutup rapat, hingga akhirnya menghembuskan nafas kasar. "Baiklah! Lebih baik aku pergi saja dulu, tidak mungkin aku berdiri terus di sini. Nanti bisa-bisanya aku dikira penjahat di sini!" ucap asisten Carlton itu bergegas pergi meninggalkan tempat itu. Sementara itu, Carlton tampak berjalan menghampiri dokter wanita yang kini hendak memulai untuk melakukan pemeriksaan. "Nona, bolehkah saya tahu nama anda?" tanyanya dengan ramah. Adelia mengangguk. "Boleh dok! Nama saya Adelia," jawabnya. "Baiklah! Umur berapa dan apa keluhan yang anda rasakan?" tanya dokter itu lagi. Adelia terdiam sejenak, lalu melirik ke arah Carlton yang berdiri di belakang sang dokter. "Emmm! Saya ...." Adelia merasa canggung untuk mengatakannya. Dokter itu mengerenyitkan dahinya. "Ada apa nona? Apa ada sesuatu yang salah?" tanyanya. Adelia menggelengkan kepalanya. "Tidak sama sekali! Hanya saja ...." Adelia menarik nafas panjang, lalu melanjutkan ucapannya.