Sudah sebulan pernikahan Zaki dan Flara, namun hubungan mereka tetap saja tak ada perubahan. Meskipun begitu, Flara masih sangat berusaha untuk mengembalikan lagi hati dan cinta Zaki. Ia masih meyakini bahwa cinta masih bisa untuk ia dapatkan kembali. Walapun beberapa minggu terakhir Flara selalu mencium bau perempuan dan beberapa kali kemeja suaminya meninggalkan bekas lipstik, entah mengapa Flara merasa Zaki tak benar-benar mengkhianati dirinya. Flara kenal betul suaminya itu, ia tak semudah itu untuk berpaling dari cintanya. Flara juga merasa bahwa yang dilakukan Zaki hanyalah sebagai bentuk pelampiasan atas kesalahannya. Di suatu malam, Flara mengendap-endap mengikuti ke mana Zaki pergi. Entah ingin ke mana pria itu di hari yang sudah sedikit malam. Penasaran dengan apa yang di lakukan suaminya di luar sana, Flara mengikuti ke mana perginya pria itu. Dengan hati dan debaran halus di dadanya ia masih berada di dalam taksi dengan terus menatap mobil yang berada di depannya. Flara
Flara membuka mata dengan pelan. Memaksa tubuhnya untuk bangkit dari rasa sakit yang mendera. Ia duduk diam seraya mengingat apa yang terjadi semalam. Begitu mengingatnya, Flara sudah tak menemukan Zaki di sampingnya. Flara tak terkejut, ia sudah menduga hal seperti ini. Ia merasa kesal karena ditinggal begitu saja oleh suaminya sendiri. Ia bagaikan wanita yang tak ada harga diri. "Mudah-mudahan dia sadar dengan apa yang terjadi semalam. Aku nggak mau jadi bahan amukan dia." Flara menggerutu seraya bangkit dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi. *"Pemisi, Pak. Asisten yang Bapak minta sudah bisa hadir hari ini, saya langsung suruh masuk saja, Pak?" tanya sang sekretaris. "Hm." Hanya itu yang menjadi jawaban atas pertanyaan sekretarisnya. Zaki memang terkenal dingin, cuek dan bermulut pedas saat di kantor. Tak ada yang boleh menggangunya ketika ia tenggelam dalam tumpukan berkas yang menjulang tinggi di depan mejanya. "Masuk!" teriaknya saat terdengar pintu di ketuk. "Selamat
Rania masih berusaha untuk melepaskan rambutnya, Namun entah apa yang membuatnya sangat susah. Terdengar suara kaki yang melangkah masuk ke ruangan. Rania mengintip dari kolong meja siapakah gerangan pemilik kaki tersebut. Bagaimana bisa lancang tak mengetuk pintu terlebih dahulu sedangkan sekretarisnya saja tadi mengetuk pintu sebelum masuk. Bahkan tak berani masuk ketika belum terdengar teriakan dari Zaki. 'Perempuan? Dari kakinya itu perempuan, apa itu istrinya Zaki? Aku rasa, iya. Tidak mungkin orang lain jika dia saja masuk tanpa mengetuk pintu.' Rania membatin seraya tersenyum licik. Ia merasa inilah momen yang tepat untuk menciptakan kesalahpahaman di antara mereka. "Ah, Pak ini sangat susah. Aku kesulitan melepaskannya." Zaki mendelik seketika ke arah Rania. Bagaimana ia bicara dengan nada seperti itu? Ia sangat khawatir jika yang masuk ruangannya itu adalah sang Ayah. Ia takut jika ayahnya murka mendapati ia dengan posisi seperti ini. "Kenapa nada bicaramu seperti itu? Bi
Rania melempar tatapan piciknya ke arah Zaki yang tengah fokus pada tumpukan berkas di hadapannya itu, di tangan Rania sudah ada secangkir kopi yang dirinya buat beberapa saat lalu, sengaja ia datang pagi-pagi buta seperti ini hanya untuk membuat Zaki luluh padanya.Langkah anggunnya tampak membawa Rania memasuki ruangan Zaki, senyum menggoda yang tersemat di wajah cantiknya enggan hanya sekedar ia lunturkan. "Pak," sapa Rania semakin melangkah mendekat, "Saya membuatkan kopi untuk bapak," sambungnya meletakan cangkir kopi itu di samping tumpukan berkas. Menyadari itu, Zaki mengernyitkan dahinya bingung, menatap penuh tanya ke arah cangkir kopi yang baru saja Rania letakkan, "Bukankah saya tak meminta dibuatkan kopi?" tanyanya kemudian mengangkat dagunya hingga pandangannya terpaku pada Rania. Rania tersipu malu, senyumnya dibuat sebaik mungkin, "Saya cuman ingin bapak sedikit lebih santai saja, lagipula saya lihat sedari awal saya bertemu bapak, sepertinya bapak terlalu memikirkan
Rania keluar dari dalam taksi, dirinya menatap sebuah restoran yang ada di hadapannya itu dengan tatapan yang begitu sulit diartikan. Denan tiba-tiba menghubunginya, mengatur pertemuan mereka di restoran ini. Terlepas dari apapun yang akan mereka bicarakan, yang terpenting Rania datang, karena hanya hal itulah yang Rania pikirkan. Semua hal yang akan Denan sampaikan, jelas bisa Rania dengar saat setelah mereka bertemu."Selamat datang di restoran..""Apa kau bisa menunjukan meja atas nama Denan?" tukas Rania cepat. Sembari menyusuri setiap sudut ruangan dengan sorot matanya, dirasa tidak ada Denan diantara mereka yang duduk di ruangan ini. "Baik, ikuti saya!" ujar pelayan itu berjalan mendahului Rania, membuat Rania pun ikut melangkahkan kakinya.Rania rasa, Denan masih belum datang, namun ternyata dugaannya salah. Denan pasti sudah memesan meja khusus untuk pertemuan mereka, mengingat perbincangan mereka akan sangat rahasia. "Apa kau tak salah?" tanya Rania saat pelayan itu menunt
"Pak, hari ini saya ingin makan siang di luar," kata Rania setelah mendapatkan tanda tangan Zaki. Pria itu pun mengernyitkan dahinya bingung, "Bukannya kamu makan siang dengan saya?" Zaki balik bertanya membuat Rania bersorak dalam hati, dirinya tahu jika Zaki mulai luluh padanya. "Kenapa, Pak? Apa bapak tak bisa makan tanpa saya?" tanyanya semakin berjalan mendekat, menatap Zaki dengan tatapan penuh minat. Zaki menyunggingkan senyumannya, "Apa kau sangat membutuhkan jawaban da...""Sudahlah, Pak. Istri Bapak pasti akan marah jika Bapak terus menerus makan siang dengan saya," tukas Rania menegakan tubuhnya, mengambil langkah mundur. Seolah tak terima dengan apa yang Rania katakan, Zaki bangkit dari duduknya, berjalan mendekat mengitari meja, mengikis jarak di antara dirinya dan Rania, "Apa kamu berniat mempermainkan saya?" tanya Zaki dengan suara rendah namun tersirat ancaman didalamnya.Tangan Rania bergerak, meletakkan sebelah tangannya di dada bidang Zaki, meremas kemeja pria
Sebagai seorang asisten pribadi Zaki, adakalanya Rania mengikuti jadwal padat yang Zaki miliki. Jika Zaki lembur maka Rania pun lembur, jika Zaki pulang lebih awal, begitupun dengan Rania. Yang terpenting pekerjaannya selesai dan tugasnya pun berjalan dengan lancar. Seperti saat ini, Rania berkali-kali melirik ke ruang sebelah. Di mana Zaki yang tengah berkutat dengan berkas-berkas di hadapannya itu. Cukup sebal karena Rania harus ikut lembur dan pulang terlambat, namun demi misinya berjalan lancar, mau tak mau Rania melakukan hal itu dengan sabar.Rania bangkit dari duduknya saat melihat Zaki yang mulai berdiri, berjalan menuju toilet yang disediakan khusus di dalam ruangannya. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada, tangan Rania bergerak meraih alat pengaman hubungan seksual dari dalam tas miliknya. Langkah gontainya membawa Rania masuk ke dalam ruangan milik Zaki. Tanpa berniat mengetuk pintu terlebih dahulu. Rania melirik ke arah pintu toilet yang masih tertutup. Rania de
"Ini apa!?" tanya Flara tegas, suaranya benar-benar parau dan tercekat, tangannya terulur menunjukan sebuah alat pengaman hubungan seksual ke arah Zaki. Zaki yang melihat itu sedikit terkejut. Pasalnya, dirinya tidak membawa maupun menyimpan alat seperti itu. Namun Zaki bersikap seolah biasa saja, menyembunyikan keterkejutannya dengan raut wajah dingin yang dimilikinya. "Apa urusannya denganmu?" tanya Zaki berjalan melalui Flara begitu saja. Membuat Flara menganga tak percaya. Seolah apa yang Zaki katakan semakin melukai hatinya. Tak tinggal diam, Flara berbalik mengikuti langkah Zaki, "Apa kamu bermain api di belakangku!?" tanya Flara dengan nada tegasnya. Hatinya berkali-kali mengatakan untuk tetap diam, namun pikirannya seolah menggebu-gebu untuk menuntut Zaki perihal apa yang Flara temukan di dalam tas Zaki. "JAWAB!" teriak Flara kala Zaki hanya diam tanpa berniat menjawabnya. Zaki membalikan tubuhnya, menatap Flara dengan sorot mata penuh kebencian, "Kamu tak perlu ta..""