“Kau menangis karena itu?”“Benar, Mas. Maaf, ya. Aku begitu lelah dan tak nyaman malam itu. Aku bahkan tak tahu apa yang kukatakan pada Mas Bian sampai Mas Bian marah padaku malam itu dan langsung balik ke Surabaya.” Bian mengernyitkan dahinya mentapku. Aku pun menatapnya dengan sisa-sisa air mata yang masih menggenang.Baru dia mengelus pipiku untuk menghapus sisa air mata itu dengan lembut. “Aku tidak marah padamu.”Dia pasti bohong padaku.Bian memintaku duduk kembali, membiarkanku tenang dulu baru kami lanjut mengobrol. “Memangnya budemu bilang apa sampai kau sesedih itu?”“Bude menceritakan tentang penyitaan yang dilakukan kakak Miranda di rumah Om Damar. Maaf, aku baru tahu hal itu. Bude dan ibu saat itu juga sedang di Batu karena ada undangan pernikahan kerabat ayahku. Jadi kami semua tidak tahu.”“Baru tahu dua minggu kemudian ketika bersilaturrahmi langsung ke rumah Om Damar. Setelah tahu hal itu, bude dan ibu juga tidak memberitahuku karena berpikir aku pasti sudah leb
“Kenapa kau ke Surabaya? Biasanya barang-barangmu dikirim saja?”Baru datang Bian langsung mencecarku tentang alasanku ke Surabaya.“Ada beberapa hal yang butuh ku kordonasikan langsung. Maaf, aku juga suntuk di rumah. Tidak tahu kenapa pengen banget ke Surabaya,” kuberikan alasan itu.“Bukannya baru kemarin ke vila Tom Lee? Kalau suntuk jangan jauh-jauh, pergi ke sana saja.”Deg!Apa Bian sedang menyindirku?Pria ini, walau nada suaranya tenang, tapi aku merasa dia menyindirku. Mungkin aku juga harus menghadapinya dengan tenang.“Maaf, ya? Sepertinya Mas Bian tidak suka sekali aku datang ke Surabaya,” ujarku.“Bukan begitu.”“Tadi aku maunya langsung balik ke Batu. Tapi aku lelah, dan pinggangku sakit. Maunya cari hotel saja untuk menginap. Tak tahunya Iqdam bilang sudah menghubungimu.” Aku menyampaikannya dengan sedih. kutambahi, "Kalau begitu, aku ke apartemen Nyonya Wibowo saja, ya? Tadi dia bilang aku boleh menginap di sana kalau aku kebetulan di Surabaya." Aku langsung bangkit
“Mel, masih ingat tidak, ketika kita datang ke sini karena ada undangan di Mojokerto, ternyata ada sesuatu yang heboh di kampung kita.” Bude bercerita.“Apa itu, bude?” tanyaku penasaran.“Kita juga baru tahu dari tetangga yang kebetulan membahas ini, bahwa rumah dan pondok juga semua tanah atas nama Pak Damar, mau disita oleh keluarga istri Pak Bian. Warga sempat heboh, sampai mau adu jotos sama pihak yang mau menyita rumahnya.”Aku terbengong mendengar hal itu. Kejadian itu sudah lebih dari sebulan yang lalu. Dan aku tidak tahu apa-apa?“Kok bude dan ibu tidak cerita, sih?” tukasku sedikit menyesali baru tahu hal ini.“Lho, perasaan kamu yang lebih tahu, Mel. kita tidak tanyain ini juga karena takut mengusik masalah rumah tangga kalian. Solanya pas kita silaturrahmi ke rumah Bu Aini, dia bilang, penyitaan itu tidak jadi karena Pak Bian mau menikah lagi dengan Miranda.”“Bu Aini sampai meminta maaf pada ibumu, kalau semua ini harus terjadi. Aku dan ibumu bisa memahami keputusan Pak B
~ POV Melati ~Aku keluar kamar dan tak mendapati Bian di manapun.Teringat pertengkaran semalam yang terus saja berputar-putar untuk hal yang takberguna—kesal sebenarnya. Walau begitu, aku menyesali beberapa kata-kataku yang begitu saja meluncur tanpa kupikirkan dulu.Apa Bian sakit hati mendengarnya?Kuperiksa ponselku, barangkali Bian mengirim pesan memberitahu ke mana dia pergi. Tapi tak ada notif apapun. “Sarapan dulu. Sudah ditunggu mama dan yang lain.” Tom Lee mengejutkanku. Dia datang saat aku berjalan ke teras untuk mencari Bian.“Oh, baiklah,” ujarku.Hari ini kami akan balik. Jadi sarapannya lebih pagi.Ketika berjalan beberapa langkah, kakiku terhenti. Aku berbalik badan karena ingin menanyakan pada Tom Lee di mana Bian.Tanpa menunggu bertanya, Tom Lee sudah menebak apa yang ada dipikirkanku.“Bian balik ke Surabaya semalam.”“Oh, begitukah?” tukasku menyembunyikan sisi terkejutku. Malam-malam langsung balik begitu saja? “Jangan terlalu dipikirkan lagi. Bian juga
“Eh, Mas Bian kok tidur di sini?” Melati yang tadinya sudah anteng di dalam selimut kini terusik karena aku berbaring di sebelahnya.“Apa masalahnya? Tadi kau juga aku keloni!” ujarku menarik lengan Melati agar kembali berbaring.“Enggak enak, Mas, sama Tom Lee dan Bu Rosi.”Aku kini yang terusik saat Melati menyampaikan itu. Sungguh tidak terima kalau dia tidak mau tidur bersamaku hanya karena tidak enak dengan Tom Lee dan ibunya.“Kamu amnesia atau bagaimana? Aku suamimu. Kenapa tidur sama suaminya malah tidak enak sama mereka?”“Masalahnya aku sudah bilang setelah aku melahirkan kita sudah berpisah.”“Terus kenapa? Sekarang kau masih istriku, kan?”“Kesannya aku enggak punya pendirian. Sudah ada niat pisah kok malah masih sekamar.”“Jujur, apa kau menyukai Tom Lee dan berharap setelah pisah akan bersamanya?” aku tak berbasa-basi menanyakan hal itu.“Kalau berharap bersama Tom Lee aku tidak pernah, Mas. Tapi Bu Rosi sudah melamarku untuk Tom Lee. Aku diminta pikir-pikir dulu.”“Juju
“Aku bukannya sedih kalau tidak bisa ke vila Tom Lee. Jangan berpikir yang bukan-bukan lagi padaku.”Melati menyangkal sedikit ucapanku tadi agar aku tidak menyalahpahami dia.Dalam hati aku tertawa sendiri, wanita memang lucu. Mudah sekali terombang-ambing dengan sikapnya sendri. “Santai, Mel. Aku paham itu,” sahutku.Belajar dari yang sudah-sudah pokoknya aku harus benar-benar tenang dan santai menghadapi semua ini. Tak boleh dikit-dikit cemburu, tak boleh dikit-dikit terpancing emosi. Harus punya tameng kesabaran seperti baja. Aku tidak akan membiarkan Tom Lee yang berhasil merebut perhatian Melati.Ingat, aku saja bisa bertahan tanpa cinta dengan Miranda. Tentu Melati juga bisa sekali menerima Tom Lee untuk kepentingan masing-masing.Dan semenyebalkan apapun Melati akan mengujiku, seharusnya aku akan menerimanya sebagai penebus kesalahanku. Yang masih belum bisa kuberikan padanya.Begitu datang di vila Tom Lee, kulihat pria itu menggendong putrinya yang terus merengek.Melat