Share

Bab 3

last update Last Updated: 2025-10-26 13:15:06

Pemandangan kota Los Angeles di kaca ruang kantor tidak cukup untuk menghibur perasaan Jonas.

Setelah Yuli pergi, ruangan Jonas terasa sunyi, hanya diisi oleh aroma manis bunga yang seharusnya menyenangkan, tapi baginya terasa menusuk. Dia berdiri di depan buket itu lama sekali, matanya kosong menatapi rangkaian bunga. Perlahan, dia mencabut setangkai bunga aster ungu kecil—bunga favorit Yuli dulu, yang selalu dia lukis di samping namanya.

Dia membawanya ke hidung, menghirup aroma lembutnya. Bukan wangi bunga yang dia cari, tapi bayangan Yuli yang terlihat hancur dan begitu dingin tadi. Rasa bersalah, penyesalan, dan kerinduan yang sudah dipendamnya selama dua minggu ini meluap menjadi sebuah tekad yang obsesif.

Dia tidak bisa kehilangan Yuli untuk kedua kalinya. Tidak seperti ini. Matanya berkilat, memantulkan cahaya dari layar komputernya yang masih menyala, seolah sebuah rencana mulai tersusun rapi dalam benaknya. Dia harus mendapatkannya kembali. Diam-diam.

***

Sore itu, Yuli menutup toko bunga lebih awal dengan alasan tidak enak badan. Kebenarannya, pertemuan siang hari itu telah menghabiskan seluruh energinya.

"Kamu yakin bisa nyetir sendiri?" tanya Lila, wajahnya penuh kekhawatiran.

"Iya, aku baik-baik saja. Cuma capek," bohong Yuli, memaksakan senyum. "Aku langsung pulang, janji."

Mereka berpisah di persimpangan, Lila ke kiri, Yuli ke kanan menuju tempat parkir mobilnya yang agak sepi dan gelap karena lampu jalanannya rusak. Langkah Yuli terburu-buru, perasaannya tidak karuan. Udara malam yang dingin tidak juga meredakan kegelisahan di dadanya.

Tiba-tiba, sebuah bayangan muncul dari balik sebuah mobil, menghalangi jalannya. Yuli nyaris berteriak, jantungnya nyaris melompat keluar.

"Yuli, jangan takut. Ini aku."

Jonas.

Dia berdiri di sana, dengan jaket jeans dan celana chino, terlihat jauh lebih kasual dan... rapuh daripada siang tadi di balik meja kerjanya yang mewah.

"Apa yang kau lakukan di sini, Jonas?" tanya Yuli, suaranya bergetar antara takut dan marah. "Kau mengikutiku?"

"Aku tidak bisa membiarkanmu pergi seperti siang tadi," jawab Jonas, tangannya terkepal di saku jaketnya. "Aku tahu aku tidak berhak. Tapi tolong, kita perlu bicara. Bukan sebagai mantan, bukan sebagai sepasang penzinah... tapi sebagai dua orang tua yang dulu saling mengenal dengan sangat dalam. Sebagai teman."

Kata "teman" itu terasa pahit sekaligus menggodai. Yuli ingin berteriak, ingin lari. Tapi ada kerinduan yang dalam, keinginan untuk mendengar suaranya, untuk memahami apa yang terjadi di kepalanya, membuatnya terpaku.

"Tidak ada yang perlu dibicarakan, Jonas. Semuanya sudah jelas." "Tidak.Tidak jelas," desisnya, matanya memandangnya dengan intens. "Aku tidak bisa tidur. Aku tidak bisa fokus. Setiap kali aku menutup mata, yang aku lihat adalah wajahmu yang terluka siang tadi. Aku merusak segalanya lagi, bukan?"

Yuli diam. Air matanya menggenang, mengkonfirmasi tanpa kata-kata.

"Tolong," pinta Jonas, suaranya pecah. "Hanya satu jam. Aku janji tidak akan menyentuhmu. Kita hanya... bicara."

Yuli menatapnya lama. Di balik semua rasa sakit, dia masih melihat jejak pemuda yang dulu dicintainya. Dia akhirnya mengangguk lemas, terlalu lelah untuk melawan.

***

Mereka tidak pergi ke resto mewah. Jonas malah mengajaknya ke sebuah kedai ayam goreng tenda di pinggir jalan, tempat yang dulu sering mereka kunjungi saat masih pelajar dan hanya punya uang pas-pasan. Suasana remang-remang, aroma minyak goreng, dan suara gemericik aqua galon saat diisi ulang terasa begitu surreal.

Mereka duduk di bangku plastik, berhadapan di meja kayu yang lapuk. Kesenjangan antara malam di hotel mewah dan warung ayam ini begitu lebar, mencerminkan jurang antara khayalan dan kenyataan.

Pesanan mereka datang: dua porsi ayam geprek dengan nasi hangat dan es teh manis.

Jonas memegang gelas es tehnya, memeluknya seolah mencari kehangatan. "Aku masih ingat dulu kita sering ke sini setelah ujian. Kamu selalu minta sambal ekstra."

Yuli mencoba sepotong ayam, rasanya sama seperti dulu, tapi segalanya sudah berbeda. "Kenapa kau membawaku ke sini, Jonas?"

"Karena di sinilah kita yang sebenarnya. Bukan di hotel mewah, bukan di kantor. Di sini, kita hanya Jonas dan Yuli. Aku ingin mengingat itu. Aku ingin kamu mengingat itu."

Dia menarik napas dalam. "Aku tidak bahagia, Yuli. Pernikahanku... itu seperti kuburan yang indah. Kami tidak bertengkar, tapi kami juga tidak berbicara. Kami hidup dalam koeksistensi yang damai dan sangat sepi. Malam itu... malam itu adalah kesalahan, ya. Tapi itu adalah satu-satunya hal yang terasa benar dalam waktu yang sangat lama bagiku."

Yuli mendengarkan, hancur. Dia tidak ingin mendengar ini. Dia tidak ingin tahu bahwa Jonas menderita. Itu membuatnya ingin merangkulnya, sekaligus membuat rasa bersalahnya pada wanita yang tak dikenal di rumahnya menjadi sepuluh kali lipat.

"Jonas, kau sudah menikah. Apa pun masalahnya, itu harus kau selesaikan di rumah. Bukan dengan... dengan kembali padaku."

"Aku tahu!" katanya, hampir membentak, lalu menurunkan suaranya. "Aku tahu. Tapi mendengar itu darimu... itu membuatku sadar betapa aku telah menyia-nyiakan segalanya. Aku menyesal, Yuli. Bukan atas malam itu, tapi atas segala keputusanku yang membuat kita berpisah."

Dia menatapnya, matanya berbinar dengan kejujuran yang menyakitkan. "Aku tidak memintamu untuk kembali padaku sekarang. Aku tidak layak. Tapi tolong, jangan hilang lagi. Izinkan aku... untuk tetap menjadi temanmu. Izinkan aku untuk bisa melihatmu baik-baik saja. Itu saja."

Yuli menatap piringnya yang hampir habis. Pertahanannya runtuh. Dia luluh. Bagaimana mungkin tidak? Di hadapannya adalah cinta pertamanya, yang tampak begitu tersiksa dan memohon dengan polos.

"Sebagai teman?" ulang Yuli, suaranya lirih.

"Sebagai teman," janji Jonas, mengulurkan tangan kanannya di atas meja, sebuah isyarat gencatan senjata.

Yuli menatap tangan itu lama sekali. Ini adalah ide yang sangat buruk. Ini seperti bermain dengan api. Tapi hatinya yang kesepian dan masih menyimpan cinta terlalu lemah untuk menolak.

Dengan hati-hati, dia meletakkan tangannya di atas tangan Jonas, bukan berjabat, hanya menempel. Kehangatan itu terasa seperti rumah, dan seperti racun, sekaligus.

"Sebagai teman," gumam Yuli, dan dalam hatinya, dia tahu dia baru saja membuka pintu bagi badai yang akan menghancurkan hidupnya yang sudah tenang.

"Aku belum menyapa dengan benar sebagai teman lamamu," kata Yuli. Bersikap melupakan bagaimana hubungan mereka sebelumnya.

"Apa kabar?" tanya Yuli diiringi senyuman tulus.

Tatapan Jonas melembut. Senyum yang tak pernah terukir di bibirnya, kini ditunjukkan hanya pada Yuli seorang. "Aku baik. Lebih baik lagi saat duduk bersama denganmu seperti ini," kata Jonas.

Lalu Yuli memalingkan wajahnya untuk menatap ke sekitar kota. "Kenapa dari luasnya negara ini, kita malah bertemu di Los Angeles?"

"Kau benar. Padahal kita berpisah karena merantau ke kota yang jauh waktu itu. Aku harus ke San Diego dan kau ke Chicago." Jonas terkenang. "Sepertinya takdir tidak benar-benar memisahkan kita, Yuli."

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Godaan Liar Suami Orang   Bab 10

    Tiga hari berlalu tanpa kabar dari Jonas.Awalnya, Yuli mengira Jonas hanya sibuk dengan rencana "pembebasannya". Tapi ketika panggilan demi panggilan tidak diangkat, dan pesan singkatnya hanya terbaca tanpa balasan, kecemasan mulai merayap seperti kabut di lembah. Ketenangan kota kecil itu tiba-tiba terasa menyesakkan. Setiap bunyi ponsel membuatnya terkejut, hanya untuk kemudian kecewa karena itu bukan Jonas.Khawatirnya berubah menjadi panik. Pikirannya melayang kepada skenario terburuk: apakah Karin sudah melakukan sesuatu padanya? Apakah Jonas celaka? Atau... yang paling menyakitkan... apakah dia telah berubah pikiran dan memilih untuk mundur, meninggalkannya sekali lagi dalam kesunyian?Yuli: Jonas, tolong jawab. Aku khawatir. Yuli:Apa kamu baik-baik saja? Hanya satu kata saja. Please. Yuli:Jika kamu sudah tidak ingin ini lagi, katakan saja. Aku akan mengerti.Pesan terakhir itu dikirim dengan air mata. Dia merasa dirinya sangat memalukan—seorang wanita yang ditinggalkan, menung

  • Godaan Liar Suami Orang   Bab 9

    Jaket itu menjadi pengobar kerinduan yang tak terbendung. Selama tiga hari berikutnya, percakapan mereka melalui pesan semakin intens. Jonas tidak lagi meminta lokasinya, tetapi dengan licin menyelipkan pertanyaan-pertanyaan kecil. Tentang udara, tentang pemandangan, tentang bunga apa yang mekar di sana. Yuli, yang hatinya telah lembek, menjawab tanpa curiga."Aku membayangkan kamu di antara hamparan hijau," tulis Jonas suatu malam. "Seperti dulu kita jalan-jalan ke kebun teh di dekat sekolah."Yuli, yang memang baru saja mengunjungi kebun teh, membalas tanpa berpikir panjang. "Di sini lebih indah. Kebun tehnya luas, menghadap langsung ke lembah. Udara nya sejuk dan bau tanahnya menenangkan."Itu adalah kesalahan yang fatal.Dua hari kemudian, pada sebuah Sabtu yang cerah, Yuli sedang menyiram tanaman kecil di pekarangan rumahnya. Bunyi derum mobil mendekat membuatnya mengangkat kepala. Sebuah mobil rental berwarna gelap berhenti persis di depan pagar kayunya.Pintu mobil terbuka. Dan

  • Godaan Liar Suami Orang   Bab 8

    Kabut pagi masih menyelimuti lembah ketika Yuli membuka jendela rumah kayu tua yang baru disewanya. Udara sejuk dan bau tanah basah menusuk hidungnya, sebuah sensasi yang jauh berbeda dari udara panas dan polusi kota yang telah ditinggalkannya. Di kejauhan, gunung menjulang dengan puncaknya yang tersembunyi di balik awan, diam dan kokoh, seolah menatapnya dengan sikap acuh tak acuh.Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan gemuruh di dadanya. Pelariannya ke kota kecil di lereng gunung ini terasa seperti mimpi sekaligus mimpi buruk. Di satu sisi, ketenangan di sini menyembuhkan. Di sisi lain, kesendirian justru membuat pikirannya semakin berisik, dipenuhi oleh bayangan Jonas, Karin, dan rasa bersalah yang tak kunjung usai.Briiing! Briiing!Suara telepon dari dalam saku jaketnya membuatnya nyaris melompat. Jantungnya berdebar kencang. Seperti biasa, nama "Jonas" terus-menerus muncul di layar. Sejak kepergiannya tiga hari lalu, ini sudah menjadi ritual. Dia mengabaikan panggi

  • Godaan Liar Suami Orang   Bab 7

    Tekanan itu mencapai puncaknya ketika Yuli menemukan setangkai bunga Hyacinth ungu—bunga permintaan maaf yang pernah disebutkan Karin—tergeletak di depan pintu kontrakannya, tanpa kartu, tanpa penjelasan. Itu adalah pesan. Sebuah pesan yang hanya dia dan Karin yang mengerti. Perang urat saraf itu berhasil; pertahanannya runtuh.Dia tidak bisa lagi tidur, tidak bisa makan. Setiap bayangan membuatnya terjaga. Keputusan yang sudah matang dalam pikirannya akhirnya diucapkan kepada Lila keesokan harinya di toko."Aku akan pergi, Lis," ucap Yuli, suaranya datar namun penuh keyakinan yang putus asa. "Aku butuh cuti panjang. Aku akan pergi ke luar kota, mungkin ke kampung halamanku atau ke suatu tempat yang tenang. Aku butuh... menjernihkan pikiran."Lila memandangnya dengan sedih. Dia melihat lingkaran hitam yang dalam di mata Yuli dan tubuhnya yang semakin kurus. "Apa ini karena dia? Karin?""Ini karena segalanya," jawab Yuli menghindar. "Aku lelah, Lis. Aku merasa terjebak. Aku butuh melep

  • Godaan Liar Suami Orang   Bab 6

    Keesokan harinya, Yuli memaksakan diri untuk membuka toko. Berlindung di balik rutinitas terasa lebih aman daripada terus-menerus mengurung diri di rumah yang kini terasa seperti sangkar kaca. Dia membereskan rak-rak bunga dengan tangan gemetar, setiap kali bel pintu berbunyi, jantungnya serasa mau copot.Lila, yang sudah mendengar kegelisahan Yuli, mencoba bersikap normal. "Santai aja, mungkin cuma kebetulan," bisiknya sambil merangkai bunga, meski tatapannya juga terus mengawasi pintu.Tepat pukul sepuluh pagi, ketika toko mulai ramai dengan pelanggan, bel pintu berbunyi lagi. Dan di sana, berdiri seorang wanita.Dia tidak perlu memperkenalkan diri. Elegan. Dingin. Seperti es yang dibungkus sutra. Gaun linen putihnya sederhana tapi mematikan, dan tas tangan yang digenggamnya cukup untuk membayar sewa toko Yuli setahun. Wanita itu adalah personifikasi dari segala ketakutan Yuli."Selamat pagi," ucap wanita itu dengan senyum tipis yang tidak sampai ke matanya. "Saya Karin. Apakah saya

  • Godaan Liar Suami Orang   Bab 5

    Cahaya pagi yang kejam menyusup melalui celah tirai, menyinari debu-debu yang berputar dansa di udara. Sinar itu pula yang membangunkan Yuli dari tidurnya yang gelisah. Untuk sesaat, kebingungan menyergapnya. Kehangatan tubuh di sampingnya, aroma Jonas yang familiar bercampur dengan seprai yang berantakan... lalu, kenangan semalam menghantamnya bagai gelombang pasang.Ciuman di depan pintu. Paksaan masuk. Gendongan. Dan... kelembutan sekaligus keganasan yang mengikutinya di atas kasur ini. Mereka sekali lagi tenggelam dalam lautan kenangan, mabuk bukan oleh alkohol, tetapi oleh ilusi masa lalu dan keputusasaan yang mereka rasakan di masa kini.Rasa bersalah yang tajam langsung menusuk dada Yuli, lebih menyakitkan daripada sinar matahari yang menyilaukannya. Dengan gerakan pelan-pelan, seperti mencuri, dia melepaskan diri dari pelukan Jonas yang masih terlelap. Wajahnya dalam tidur tampak begitu tenang, begitu damai, sebuah kontras yang menyiksa bagi Yuli yang hancur.Dia mengambil gau

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status