Mag-log in
Di sebuah rumah sederhana berlantai dua, seorang wanita tengah berias di dalam kamarnya. ia adalah Yasmin yang tengah menunggu sang suami pulang.
Yasmin menatap pantulan dirinya di cermin meja rias, jemarinya dengan lembut menyisir rambut sehalus sutra. Ia mengambil lip serum, lalu mengoleskannya perlahan di bibir ranum yang tampak semakin memikat. Setelah selesai, Yasmin bangkit dari duduknya dan berputar pelan. Lingerie hitam yang membalut tubuhnya tampak kontras dengan kulit putih bersihnya. “Heeemmm, wangi…” gumamnya puas, menghirup aroma parfum mahal yang baru saja ia semprotkan di titik-titik sensitif tubuhnya. Matanya terarah pada jam di atas nakas dekat tempat tidur. Senyum terbit di bibirnya ketika jarum panjang hampir menyentuh angka dua belas. “Sebentar lagi Mas Angga pulang… mending aku tunggu di bawah,” ujarnya pelan, sambil meraih jubah satin dan membungkus tubuh indahnya. Dengan langkah ringan, Yasmin meninggalkan kamarnya untuk menyambut suami tercinta. Sebelum turun, ia menyempatkan diri memastikan kedua anaknya sudah tertidur. Ia berbelok ke lorong tempat kamar mereka berada. Ceklek. Yasmin membuka pintu bercat putih bertuliskan nama Bianca. Senyum lembut menghiasi wajahnya melihat gadis delapan tahun itu tertidur pulas memeluk boneka beruang kesayangannya. “Tidur yang nyenyak, sayang .…” bisiknya, lalu menutup pintu perlahan. Ia menyeberang ke kamar di seberang. Pintu bercat coklat bertuliskan Brayan. Yasmin membuka sedikit, cukup untuk mengintip. Bocah lima tahun itu tampak lelap dengan posisi tidur khasnya. “Uhhh … jagoan Bunda juga udah nyenyak, hihihi .…” bisiknya sambil menahan tawa kecil. Bolehkah ia bangga memiliki putra-putri yang pintar dan mandiri sejak dini? Tentu saja. Ia menutup pintu dengan hati-hati lalu berjalan menuruni tangga. Kaki jenjangnya melangkah perlahan, sementara jubah satinnya berkibar lembut mengikuti gerakan tubuhnya—membuat sosoknya tampak begitu anggun di bawah cahaya temaram lampu dinding. Rumah sudah dalam keadaan gelap, hanya diterangi lampu kecil di sepanjang anak tangga yang menciptakan suasana malam begitu syahdu. Saat Yasmin menapaki anak tangga terakhir, suara deru mesin mobil terdengar dari arah depan, disusul suara gerbang terbuka. “Mas Angga sudah pulang!” serunya girang, sebelum berlari kecil ke arah pintu depan. Tiba di depan pintu, Yasmin langsung memutar anak kunci lalu menariknya hingga setengah terbuka. Seketika ia merapatkan jubah satin tipisnya saat hembusan angin malam menyentuh kulitnya. Dari tempatnya berdiri, ia melihat sang suami tengah memarkirkan mobil di carport. Begitu pintu mobil terbuka, wajah lelah itu langsung terlihat. Tatapan sekilas Angga padanya terasa dingin, datar, seolah sekadar formalitas. Biib. Angga menekan tombol kunci mobil, memastikan semuanya terkunci sempurna. Ia kemudian menutup dan mengunci gerbang dengan cermat sebelum akhirnya melangkah ke arah istrinya yang menunggu di depan pintu. “Kamu belum tidur?” tanya Angga tanpa ekspresi, ketika sudah berdiri di hadapan Yasmine. Yasmine menggeleng pelan. “Belum, nungguin kamu.” “Kenapa mesti nunggun saya?” nada dingin Angga membuat dada Yasmine terasa mengerut, tapi ia menahan diri. “Mau aku siapkan makan malam, Mas?” tanyanya lembut, berusaha mengabaikan sikap acuh itu. “Saya sudah makan di kantor,” jawab Angga singkat sambil membuka kancing lengan kemejanya. Yasmine hanya mengangguk kecil, lalu mengikuti langkah suaminya menuju kamar. “Pintu sudah kamu kunci lagi belum?” tanya Angga tanpa menoleh, menaiki anak tangga satu per satu. “Sudah, Mas. Aku kunci,” jawabnya pelan. “Anak-anak sudah tidur?” “Sudah, mereka udah pulas pas aku cek tadi.” “Heeemmm .…” gumam Angga datar, lalu membuka pintu kamar mereka. Begitu masuk, Angga melempar jas dan tas kerjanya ke atas ranjang, lalu berlalu menuju kamar mandi tanpa sepatah kata. Dengan tangan bergetar menahan sesak di dada, Yasmin memungut jas dan tas suaminya. Ia menatanya kembali di tempat semestinya, mencoba menenangkan diri. “Sabar, Yasmin .…” bisiknya lirih — mantra kecil yang sudah terlalu sering ia ulang hanya untuk tetap kuat. Sambil menunggu Angga, Yasmin menyiapkan baju ganti dan meletakkannya rapi di atas ranjang. Ia lalu menatap cermin, merapikan rambut yang sedikit berantakan karena angin malam. Tak lama kemudian, suara pintu kamar mandi terbuka. Angga keluar dengan hanya berbalut handuk kecil di pinggang. Ia melirik sekilas ke arah Yasmine, lalu berjalan menuju meja tanpa sepatah kata pun, sambil mengusap rambutnya yang basah. Yasmin mendekat, lalu membantu mengeringkan rambut Angga dengan hairdryer. “Kenapa keramas malam-malam?” tanyanya lembut sambil mengusap rambut Angga dengan handuk kecil. “Gerah,” jawab Angga singkat. “Oh iya, hari ini memang panas banget. Brayan aja tadi sampai kena ruam saking panasnya.” “Heeemmm. Jangan lupa kasih salep ya, sama sunscreen besok pagi.” “Iya, Mas,” sahut Yasmine pelan. Begitu rambut suaminya terasa kering, Yasmine mematikan hairdryer lalu mencabut colokannya. Ia menatap punggung Angga yang kini tengah mengenakan baju tidur yang tadi disiapkannya. Saat Angga hendak merapikan kancing bajunya, Yasmin tiba-tiba memeluknya dari belakang. “Mas … aku kangen,” bisiknya lirih. Angga berhenti sejenak, lalu menatap pantulan mereka di cermin di hadapannya. “Awas dulu, Yas. Bajunya belum dikancing semua.” Yasmin hanya tersenyum kecil. “Gak usah di kancing sekalian, Mas .…” suaranya terdengar setengah manja. “Yas, saya capek. Mau istirahat.” Yasmin terdiam beberapa detik. Ia tahu nada itu—dingin, tegas, dan membuat hatinya menyesak. Tapi rasa rindunya lebih kuat dari logika. Ia menunduk, suaranya nyaris tak terdengar. “Aku cuma kangen sama kamu, Mas …” "Kangen gimana? Setiap hari kita bertemu!" "Bukan seperti ituuuu ...." rengek Yasmine manja, sambil menggoyangkan tubuhnya. "Yas. awas dulu." "Gak mau .... " "Yasmin." ucap Angga dengan tegas. Tapi yasmin belum menyerah, ia semakin berani menggerakkan tangannya di perut Angga dengan lembut, berusaha membangkitkan g4irah suaminya. Angga menghela napas panjang, lalu melepaskan tautan tangan Yasmin dengan hati-hati. “Udah malam. Tidur, ya.” Yasmin menyerah, meski lembut ucapan Angga mampu menggores luka di hatinya, akhirnya ia mengangguk perlahan, meski matanya terasa panas. Ia melangkah mundur dan menatap punggung suaminya yang kini melangkah menuju ranjang, lalu merebahkan tubuhnya di sana sudah berbaring membelakangi dirinya. Sunyi. Hanya suara detak jam di dinding yang menemani malam mereka—dua orang yang berada di ruangan sama, tapi seolah di dunia yang berbeda. Yasmin menggigit bibir bawahnya, lalu perlahan ikut berbaring di samping Angga, memunggungi tubuh suaminya yang kini sudah diam tak bergerak. Air mata menetes pelan dari sudut matanya. Ini bukan kali pertama ia merasakan penolakan seperti ini — dan setiap kali terjadi, hatinya tetap terasa perih. Apakah ia sudah tidak lagi menarik di mata suaminya? Pertanyaan itu terus bergema di kepalanya, membuat dadanya terasa sesak. Dengan gerakan lemah, Yasmine menarik selimut hingga menutup dadanya. Di sampingnya, terdengar dengkuran halus, tanda Angga sudah terlelap, seolah tak ada apa pun yang salah di antara mereka. Yasmin menutup mata rapat-rapat, menggigit ujung selimut untuk menahan isakan agar tidak lolos dari bibirnya. Malam kembali sunyi, hanya tersisa suara napas dua insan yang tidur di ranjang yang sama … tapi hatinya terasa sangat jauh.Seperti yang Yasmin katakan pada Angga, ia akan berjualan kue muffin yang akan ia bagikan di grup tetangga dan ibu-ibu sekolah. Mungkin hasilnya tak seberapa, tapi cukup untuk menyibukkan diri—mengalihkan pikiran dari luka batin yang terus mengendap.Aroma vanilla dan cokelat langsung memenuhi dapur saat Yasmin mengeluarkan muffin yang baru matang dari dalam oven.“Eeemmm … wangi banget!” serunya, bangga dengan hasil yang terlihat sempurna.“Mengembang sempurna ….”Yasmin memindahkan kue-kue itu ke dalam tempat kue susun berbahan kaca, menatanya dengan cantik. Ia lalu meraih ponsel, menyalakan kamera, dan memotretnya dari berbagai angle.“Sepertinya cukup,” gumamnya. Ia menyortir beberapa foto terbaik, lalu mengirimkannya ke semua grup yang ada di ponselnya.Saking asyiknya dengan kue-kue itu, Yasmin hampir lupa menjemput anak-anaknya.“Astaga … sebentar lagi mereka pulang.”Tanpa sempat membereskan dapur, Yasmin melepas apron-nya dan bergegas keluar, setelah memastikan tak ada kompor
Lepas magrib Angga tiba di rumah, ia keluar dari mobilnya setelah memastikan semua barang-barangnya tidak ada yang tertinggal. Sambil membuka sabuk pengamannya, matanya sesekali melirik ke pintu masuk. Biasanya Yasmin akan berdiri di sana menyambutnya pulang. "Tumben gak nyambut, gue?" gumannya tanpa sadar. Biib. Setelah memastikan mobilnya terkunci dengan benar, Angga pun melangkah dengan ringan masuk kedam rumah. Ceklek. Kedua alis Angga mengerut saat akan memasukan anak kunci yang biasa ia bawa, namun keadaan pintu tidak terkunci dari dalam. "Tumben gak di kunci ...." gumamnya heran. Angga pun melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah, dengan berbagai pertanyaan di benaknya. Ada sesuatu yang hilang, namun ia tidak tau itu apa? "Hahahaha ...." "Mamah yang kalah, jadi harus di hukum!""Jangan, Kak. Ampun! Hahaha ...." "Ian bantu pegangin Mamah, Kak!" "Iyaa, pengang yang erat." "Hahaha ... Ampun, Bi ... Dek tolong Mamah, Dek!" "Ndak, Mamah harus di hukum." Senyum Angga te
Yasmin mematung sesaat, lalu berlalu begitu saja menuju kamar mandi. Berusaha mengabaikan suaminya begutu saja, Namun dengan cepat Angga mencekal lengannya.“Yasmin, saya bertanya sama kamu!” bentaknya dengan suara tertahan.“Ada apa sih, Mas?”“Ada apa? Saya bertanya sama kamu!” teriak Angga tepat di depan wajahnya.Yasmin menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan emosi yang sejak tadi bergemuruh di dadanya.“Aku mau mandi dulu, boleh?” ucapnya pelan, menatap Angga dengan tatapan lembut seperti biasanya. “Badan aku rasanya lengket banget.”“Kamu dari mana saja?” tanya Angga, kini sedikit menurunkan suaranya. “Anak-anak nungguin kamu berjam-jam di sekolah,”“Mereka biasa pulang sendiri, nggak masalah,” sahut Yasmin cuek.“Apa?” Angga menatapnya tak percaya.“Aku mandi dulu. Capek.” Yasmin melepaskan paksa tangan Angga yang mencekal lengannya, lalu melangkah pergi menuju kamar mandi tanpa menoleh lagi.Angga menatap punggung istrinya dengan heran. Tak biasanya Yasmin bersikap sedingi
Taksi yang membawa Yasmin berhenti di sebuah gedung tiga puluh lantai tempat suaminya bekerja, sudah hampir sepuluh tahun Angga mengabdi di sana. Dan sekarang menjabat sebagai menejer produksi. Dengan langkah tegap Yasmin menaiki tangga anak tangga di depan lobby, karena hampir tiap hari ia datang, sehingga para sekuriti sudah mengenalnya dengan baik. "Selama siang, Mbak." sapanya, dengan ramah menyapa dua resepsionis di sana. "Siang, Bu." balas mereka tak kalah ramah. "Titip ini yaa, seperti biasa. Buat pak Angga," Yasmin menyodorkan tas bekal yang di bawanya di atas meja resepsionis. Kedua wanita itu saling sikut, lalu tersenyum kaku menerimanya. "I–iyaa, Bu." "Makasih yaa, saya permisi kalo gitu," Yasmin menganggukkan kepalanya, lalu berbalik beranjak dari sana. Senyumnya tak pernah pudar, setiap langkahnya terasa ringan. Berharap suaminya bisa makan dengan lahap masakannya hari ini. Namun ... Saat akan memesan taksi online, tiba-tiba Yasmin menepuk keningnya sendiri. "Yaa
Pagi harinya, seperti biasa Yasmin di sibukan dengan rutinitas paginya menyiapkan sarapan dan memastikan ketiga orang tersayangnya sudah bersiap dengan rapi. Di meja makan sudah tersaji semangkuk besar nasi goreng dan tak lupa telor ceplok kesukaan semua orang. Yasmin tengah mengaduk kopi hitam milik suaminya ketika Angga datang, lalu duduk di kursi biasanya. Wajahnya seperti biasa ... Datar. "Kopinya, Mas." Yasmin menaruh cangkir kopi di hadapan Angga, lalu mengisi piring pria yang hampir berkepala empat itu dengan nasi goreng. "Cukup." ucap Angga, sambil mengangkat tangannya ke udara. "Ooh, oke." Yasmin kembali menyimpan sutil ke mangkuk nasi, lalu melepas apron pink yang sejak tadi melekat di tubuhnya. "Aku lihat anak-anak dulu,""Hemmmm." gumam Angga sambil menyeruput kopinya. Yasmin berusaha menarik sudut bibirnya, lalu memilih beranjak pergi dari sana untuk mengecek putra-putri kesayangannya. Yasmin menaiki anak tangga satu persatu, lalu menuju ke kamar Bianca terlebih da
Di sebuah rumah sederhana berlantai dua, seorang wanita tengah berias di dalam kamarnya. ia adalah Yasmin yang tengah menunggu sang suami pulang. Yasmin menatap pantulan dirinya di cermin meja rias, jemarinya dengan lembut menyisir rambut sehalus sutra. Ia mengambil lip serum, lalu mengoleskannya perlahan di bibir ranum yang tampak semakin memikat. Setelah selesai, Yasmin bangkit dari duduknya dan berputar pelan. Lingerie hitam yang membalut tubuhnya tampak kontras dengan kulit putih bersihnya. “Heeemmm, wangi…” gumamnya puas, menghirup aroma parfum mahal yang baru saja ia semprotkan di titik-titik sensitif tubuhnya. Matanya terarah pada jam di atas nakas dekat tempat tidur. Senyum terbit di bibirnya ketika jarum panjang hampir menyentuh angka dua belas. “Sebentar lagi Mas Angga pulang… mending aku tunggu di bawah,” ujarnya pelan, sambil meraih jubah satin dan membungkus tubuh indahnya. Dengan langkah ringan, Yasmin meninggalkan kamarnya untuk menyambut suami tercinta. Sebelum







