เข้าสู่ระบบTaksi yang membawa Yasmin berhenti di sebuah gedung tiga puluh lantai tempat suaminya bekerja, sudah hampir sepuluh tahun Angga mengabdi di sana. Dan sekarang menjabat sebagai menejer produksi.
Dengan langkah tegap Yasmin menaiki tangga anak tangga di depan lobby, karena hampir tiap hari ia datang, sehingga para sekuriti sudah mengenalnya dengan baik. "Selama siang, Mbak." sapanya, dengan ramah menyapa dua resepsionis di sana. "Siang, Bu." balas mereka tak kalah ramah. "Titip ini yaa, seperti biasa. Buat pak Angga," Yasmin menyodorkan tas bekal yang di bawanya di atas meja resepsionis. Kedua wanita itu saling sikut, lalu tersenyum kaku menerimanya. "I–iyaa, Bu." "Makasih yaa, saya permisi kalo gitu," Yasmin menganggukkan kepalanya, lalu berbalik beranjak dari sana. Senyumnya tak pernah pudar, setiap langkahnya terasa ringan. Berharap suaminya bisa makan dengan lahap masakannya hari ini. Namun ... Saat akan memesan taksi online, tiba-tiba Yasmin menepuk keningnya sendiri. "Yaampun, lupa air jahenya." Semalam ia sempat mendengar Angga beberapa kali berdehem ketika tidur, biasanya Angga akan terkena flu. Jadi Yasmin buatkan air jahe hari ini. "Balik lagi, dehhh!" Yasmin kembali masuk kedalam lobby, berjalan dengan santai seperti biasa. Namun, saat akan mendekati meja resepsionis, langkahnya melambat saat samar-samar mendengar pembicaraan dua resepsionis itu. "Kasihan bangettt yaa, istri pak Angga. Udah effort banget masakin lakinya tiap hari, ehh doi malah makan di luar." ucap resepsionis yang berambut pirang. "Iya, kasihan banget ... Padahal masakannya enak banget, bumbunya sangat pas di lidah gue." sahut temannya. "Ini sihhh, keliatan banget ibu rumahanya." "Iyaa," Yasmin terdiam mematung di tempatnya, hatinya bagai tertusuk ribuan jarum secara bersaan. Dari tempatnya bersembunyi, Yasmin melihat kedua wanita itu dengan semangat membuka kotak bekalnya. Ia bersembunyi di balik pohon palm, yang terletak tak jauh dari meja resepsionis. Sehingga Yasmin bisa dengan jelas mendengar apa yang mereka katakan. 'Jadi ... Selama ini mas Angga tidak pernah memakan makan siang yang aku bawa?' bisiknya dalam hati. Bibir Yasmin bergetar menahan isakan agar tidak keluar dari bibirnya, air mata perlahan berlinang di mata indahnya yang siap tumpah kapan saja. Yasmin memukul pelan dadanya yang terasa sesak, mendengar percakapan keduanya yang tengah mengasihaninya. "Ternyata semenyedihkan ini kamu, Yasmin ...." gumamnya pelan, dengan suara tercekat di tenggorokan. Tak tahan mendengar lebih jauh lagi, Yasmin pun kembali berbalik dengan botol tumbler yang ia peluk erat. Yasmin berjalan cepat ke arah pintu kaca besar di lobby, air mata jatuh tak tertahan lagi. Yasmin menunduk sambil terisak pelan, hingga tak sadar ia menubruk seseorang hingga nyaris saja membuatnya terjengkang kebelakang. "Aaww ...." "Maaf, kamu baik-baik saja Nona?" terdengar suara pria bertanya dengan khawatir. Namun Yasmin hanya mengangguk pelan, tanpa melihat wajah yang ia tabrak. "Maafkan saya, permisi." Belum sempat pria itu menjawab, Yasmin sudah pergi begitu saja meninggalkan pria itu yang masih menatapnya heran. Sambil menyeka air matanya dengan kasar, Yasmin menghentikan taksi begitu tiba di jalan raya depan kantor. Ia masuk begitu saja, tanpa menoleh lagi kebelakang. Mungkin ini akan menjadi kali terakhirnya menginjakan kaki di kantor suaminya. "Kamana Mbak?" tanya pak supir ramah. Yasmin melirik jam tangannya, jam pulang sekolah anak-anaknya masih lama, sepertinya ia masih punya waktu untuk menenangkan diri. Karena tidak mungkin Yasmin menemui anaknya dengan keadaan kacau seperti ini. "Jalan saja dulu, Pak." jawab Yasmin akhirnya. "Baik, Mbak." Mobil taksi pun melaju meninggalkan kantor Angga, tempat yang telah menolehkan luka tak kasat mata di hati Yasmin. *** Entah sudah sejauh mana taksi itu membawanya, hingga tiba-tiba mobil berhenti dan Yasmin baru tersadar dari lamunannya. "Kenapa berhenti, Pak?" tanyanya, ketika belum menyadari mereka berada di mana. "Kita mau kemana sebenarnya, Bu?" tanya pak supir, sambil menoleh kebelakang. "Jalan aja terus, pak." jawab Yasmin asal. "Jalan terus kemana, Bu. Kita udah mau masuk ke luar kota ini." ujar pak supir, dengan nada yang sedikit kesal. Argo taksi semakin besar dan penumpangnya seperti orang linglung, ia takut membawa kabur pasien rumah sakit jiwa. Bisa tekor setorannya nanti. "Hahhh! Luar kota?" tanya Yasmin, sambil melihat ke arah luar jendela. Dan ternyata benar ... Mereka sudah berada di perbatasan antara Bandung dan Sumedang. "Kok bisa sampai sini, Pak? Ini udah jauh banget ke rumah saya," tanya Yasmin, yang belum menyadari kesalahannya. "Bu. 'kan Ibu sendiri yang bilang jalan terus sama saya pas saya tanyain mau kemana, bahkan saya udah bertanya lebih dari sepuluh kali!" kesal pak supir, sedikit menaikan intonasinya. "Haah ...." Yasmin terdiam, berusa mengingat apa yang terjadi. Hingga kilasan balik kejadian di kantor Angga kembali berputar di benaknya seperti kaset rusak. Yasmin memijat pelipisnya yang terasa berdenyut, bagaimana bisa dia linglung seperti ini. tiba-tiba ia teringat sesuatu, di ambilnya ponsel di dalam tas selempangnya. Yasmin menghela napas kasar saat mendapati ponselnya dalam keadaan mati. "Pak, ini jam berapa, yaa?" tanyanya, sedikit mencondongkan tubuhnya kedepan. "Jam tujuh." jawab pak supir ketus. "Hahh ... Jam tujuh!" Sontak saja mata Yasmin terbelalak, padahal tadi niatnya mau menjemput anak-anak setelah dari kantor Angga. "Iyaa dan ibu lihat sendiri argonya." tunjuk pak supir dengan dagunya. Yasmin menepuk keningnya sendiri merutuki kebodohannya. "Maaf, Pak. Tapi bisa kita jalan lagi? Tenang saja, saya bayar kok!" ucapnya, ketika melihat keraguan di wajah sang supir. "Haah ... Baiklah." "Terima kasih, Pak." Yasmin menghela napas lega, ia merebahkan tubuhnya. Matanya menatap ke arah luar jendela dengan tatapan kosong. "Aku harus gimana?" bisiknya pelan, hatinya kembali sesak mengingat hal menyakitkan tadi. Apalagi ia harus bertemu dengan suaminya itu, yang jelas ... Semuanya tidak akan pernah sama lagi. *** Begitu tiba, Yasmin langsung masuk begitu saja ke rumah, tentu setelah membayar taksi dengan nominal yang cukup menguras isi dompetnya. Dengan hati-hati ia memutar anak kunci. Hari sudah malam, wajar jika pintu rumah telah terkunci. Meski tidak yakin suaminya sudah berada di rumah atau belum, soal anak-anak Yasmin mempercayakan sepenuhnya pada Bianca, anak pertamanya, yang ia yakin mampu menjaga adiknya dengan baik. “Sepertinya mereka sudah tidur .…” gumam Yasmin sambil melangkah lebih dalam menuju kamarnya. Lampu-lampu rumah telah dipadamkan. Hanya lampu tempel di sepanjang anak tangga yang menyala, menjadi satu-satunya sumber cahaya saat ini. Ceklek. Pintu kamar terbuka. Dengan gerakan santai, Yasmin meraih saklar dan menekannya. Namun alangkah terkejutnya ia ketika lampu menyala—suaminya berdiri di sisi ranjang, menatapnya dengan tajam. “Dari mana saja kamu, hah?!” Yasmin memejamkan mata. Sepertinya malam ini ia tak akan bisa tidur lebih cepat.Seperti yang Yasmin katakan pada Angga, ia akan berjualan kue muffin yang akan ia bagikan di grup tetangga dan ibu-ibu sekolah. Mungkin hasilnya tak seberapa, tapi cukup untuk menyibukkan diri—mengalihkan pikiran dari luka batin yang terus mengendap.Aroma vanilla dan cokelat langsung memenuhi dapur saat Yasmin mengeluarkan muffin yang baru matang dari dalam oven.“Eeemmm … wangi banget!” serunya, bangga dengan hasil yang terlihat sempurna.“Mengembang sempurna ….”Yasmin memindahkan kue-kue itu ke dalam tempat kue susun berbahan kaca, menatanya dengan cantik. Ia lalu meraih ponsel, menyalakan kamera, dan memotretnya dari berbagai angle.“Sepertinya cukup,” gumamnya. Ia menyortir beberapa foto terbaik, lalu mengirimkannya ke semua grup yang ada di ponselnya.Saking asyiknya dengan kue-kue itu, Yasmin hampir lupa menjemput anak-anaknya.“Astaga … sebentar lagi mereka pulang.”Tanpa sempat membereskan dapur, Yasmin melepas apron-nya dan bergegas keluar, setelah memastikan tak ada kompor
Lepas magrib Angga tiba di rumah, ia keluar dari mobilnya setelah memastikan semua barang-barangnya tidak ada yang tertinggal. Sambil membuka sabuk pengamannya, matanya sesekali melirik ke pintu masuk. Biasanya Yasmin akan berdiri di sana menyambutnya pulang. "Tumben gak nyambut, gue?" gumannya tanpa sadar. Biib. Setelah memastikan mobilnya terkunci dengan benar, Angga pun melangkah dengan ringan masuk kedam rumah. Ceklek. Kedua alis Angga mengerut saat akan memasukan anak kunci yang biasa ia bawa, namun keadaan pintu tidak terkunci dari dalam. "Tumben gak di kunci ...." gumamnya heran. Angga pun melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah, dengan berbagai pertanyaan di benaknya. Ada sesuatu yang hilang, namun ia tidak tau itu apa? "Hahahaha ...." "Mamah yang kalah, jadi harus di hukum!""Jangan, Kak. Ampun! Hahaha ...." "Ian bantu pegangin Mamah, Kak!" "Iyaa, pengang yang erat." "Hahaha ... Ampun, Bi ... Dek tolong Mamah, Dek!" "Ndak, Mamah harus di hukum." Senyum Angga te
Yasmin mematung sesaat, lalu berlalu begitu saja menuju kamar mandi. Berusaha mengabaikan suaminya begutu saja, Namun dengan cepat Angga mencekal lengannya.“Yasmin, saya bertanya sama kamu!” bentaknya dengan suara tertahan.“Ada apa sih, Mas?”“Ada apa? Saya bertanya sama kamu!” teriak Angga tepat di depan wajahnya.Yasmin menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan emosi yang sejak tadi bergemuruh di dadanya.“Aku mau mandi dulu, boleh?” ucapnya pelan, menatap Angga dengan tatapan lembut seperti biasanya. “Badan aku rasanya lengket banget.”“Kamu dari mana saja?” tanya Angga, kini sedikit menurunkan suaranya. “Anak-anak nungguin kamu berjam-jam di sekolah,”“Mereka biasa pulang sendiri, nggak masalah,” sahut Yasmin cuek.“Apa?” Angga menatapnya tak percaya.“Aku mandi dulu. Capek.” Yasmin melepaskan paksa tangan Angga yang mencekal lengannya, lalu melangkah pergi menuju kamar mandi tanpa menoleh lagi.Angga menatap punggung istrinya dengan heran. Tak biasanya Yasmin bersikap sedingi
Taksi yang membawa Yasmin berhenti di sebuah gedung tiga puluh lantai tempat suaminya bekerja, sudah hampir sepuluh tahun Angga mengabdi di sana. Dan sekarang menjabat sebagai menejer produksi. Dengan langkah tegap Yasmin menaiki tangga anak tangga di depan lobby, karena hampir tiap hari ia datang, sehingga para sekuriti sudah mengenalnya dengan baik. "Selama siang, Mbak." sapanya, dengan ramah menyapa dua resepsionis di sana. "Siang, Bu." balas mereka tak kalah ramah. "Titip ini yaa, seperti biasa. Buat pak Angga," Yasmin menyodorkan tas bekal yang di bawanya di atas meja resepsionis. Kedua wanita itu saling sikut, lalu tersenyum kaku menerimanya. "I–iyaa, Bu." "Makasih yaa, saya permisi kalo gitu," Yasmin menganggukkan kepalanya, lalu berbalik beranjak dari sana. Senyumnya tak pernah pudar, setiap langkahnya terasa ringan. Berharap suaminya bisa makan dengan lahap masakannya hari ini. Namun ... Saat akan memesan taksi online, tiba-tiba Yasmin menepuk keningnya sendiri. "Yaa
Pagi harinya, seperti biasa Yasmin di sibukan dengan rutinitas paginya menyiapkan sarapan dan memastikan ketiga orang tersayangnya sudah bersiap dengan rapi. Di meja makan sudah tersaji semangkuk besar nasi goreng dan tak lupa telor ceplok kesukaan semua orang. Yasmin tengah mengaduk kopi hitam milik suaminya ketika Angga datang, lalu duduk di kursi biasanya. Wajahnya seperti biasa ... Datar. "Kopinya, Mas." Yasmin menaruh cangkir kopi di hadapan Angga, lalu mengisi piring pria yang hampir berkepala empat itu dengan nasi goreng. "Cukup." ucap Angga, sambil mengangkat tangannya ke udara. "Ooh, oke." Yasmin kembali menyimpan sutil ke mangkuk nasi, lalu melepas apron pink yang sejak tadi melekat di tubuhnya. "Aku lihat anak-anak dulu,""Hemmmm." gumam Angga sambil menyeruput kopinya. Yasmin berusaha menarik sudut bibirnya, lalu memilih beranjak pergi dari sana untuk mengecek putra-putri kesayangannya. Yasmin menaiki anak tangga satu persatu, lalu menuju ke kamar Bianca terlebih da
Di sebuah rumah sederhana berlantai dua, seorang wanita tengah berias di dalam kamarnya. ia adalah Yasmin yang tengah menunggu sang suami pulang. Yasmin menatap pantulan dirinya di cermin meja rias, jemarinya dengan lembut menyisir rambut sehalus sutra. Ia mengambil lip serum, lalu mengoleskannya perlahan di bibir ranum yang tampak semakin memikat. Setelah selesai, Yasmin bangkit dari duduknya dan berputar pelan. Lingerie hitam yang membalut tubuhnya tampak kontras dengan kulit putih bersihnya. “Heeemmm, wangi…” gumamnya puas, menghirup aroma parfum mahal yang baru saja ia semprotkan di titik-titik sensitif tubuhnya. Matanya terarah pada jam di atas nakas dekat tempat tidur. Senyum terbit di bibirnya ketika jarum panjang hampir menyentuh angka dua belas. “Sebentar lagi Mas Angga pulang… mending aku tunggu di bawah,” ujarnya pelan, sambil meraih jubah satin dan membungkus tubuh indahnya. Dengan langkah ringan, Yasmin meninggalkan kamarnya untuk menyambut suami tercinta. Sebelum







