Share

04. Malam Bulan Purnama 2

    Ini benar-benar berada di luar harapanku, aku bahkan tak pernah membayangkan akan berada di hutan Lakebark pada malam hari. Kondisi di mana aku dikelilingi oleh pepohonan dengan tinggi yang menjulang, serta malam hari tanpa bintang-bintang.

    Dua hal yang sangat kutakuti, yaitu kegelapan dan juga hutan terlarang. Kini aku berada di tengah-tengahnya, mengantarkan diri kepada sesuatu yang akan membangkitkan rasa takutku selama ini.

    Padahal aku selalu berharap agar bisa hidup tenang dan dijauhkan dari segala sesuatu yang berbahaya, misalnya terjebak di dalam hutan saat hari sudah gelap. Sayangnya, aku benar-benar masuk ke hutan itu dan dapat mendengar berbagai suara mengerikan yang silih berganti menyapa gendang telingaku.

    Aku masuk ke dalamnya tanpa mengenakan peralatan yang bisa melindungiku dari sesuatu yang mungkin saja akan membuat trauma masa kecilku kembali, aku masuk dengan hanya menggunakan piyama tidur panjang dan tak memakai alas kaki sama sekali.

    Aku benar-benar tanpa perlindungan. Meski aku pergi bersama orang tua dan anggota keluargaku yang lain, aku ragu menyebut perjalanan ini sebagai rekreasi. Maksudku, tak ada apa pun yang bisa membuatku takjub di dalam hutan ini.

    Aku hanya tahu bahwa hutan Lakebark itu terlarang untuk dimasuki oleh manusia. Namun, apa yang dilakukan oleh keluargaku saat ini benar-benar di luar dugaan. Yah, aku hanya tak bisa mempercayai hal ini saja. Bisa-bisanya aku yang takut dengan makhluk mengerikan masuk ke tempat di mana makhluk-makhluk itu berasal.

    Aku lalu menolehkan wajahku ke samping kanan, dan menemukan seraut wajah wanita dewasa yang sangat kusayangi, ia sedang menatap lurus ke depan. Di malam yang dingin ini, tangan ibuku begitu hangat. Aku bahkan hampir tak merasakan kedinginan saat menggenggam jari jemarinya yang hangat itu. Namun sepertinya, mengenakan jubah panjang lebih terasa hangat saat ini dan aku menyesal tidak bersikeras meminta agar pakaianku diganti tepat sebelum keberangkatan kami tadi.

    Obor yang dipegang di tangan kirinya, Ibu angkat tinggi-tinggi, seolah tidak peduli jika setelah semua ini tangannya akan terasa pegal. Dia adalah sosok yang begitu tangguh. Ibu tak pernah sekalipun membentak atau menghukumku. Berbeda dengan Ayah, terkadang ia menginginkanku menjadi sosok yang kuat melebihi dirinya sendiri.

    Mereka pasangan suami istri yang saling bertolak belakang, tapi aku sangat menyayangi keduanya. Aku akan menghormati keputusan mereka selama itu baik untukku.

    Pada akhirnya, aku pun tak lagi bersikukuh ingin pulang ke rumah, namun setidaknya aku ingin berhenti sejenak, mengistirahatkan kedua kaki yang sudah penat karena dibawa berjalan-jalan dalam gelapnya malam. Yah, kini aku hanya bisa pasrah dan hanya mengikuti kemana mereka akan membawaku pergi.

    Rasa kantuk yang semula menghinggapi kedua mata, kini menguap entah kemana. Aku tak lagi merasakan ngantuk, berpikir untuk melanjutkan tidurku saja tidak. Yah, beberapa saat yang lalu aku memang ingin pulang agar mimpiku bisa dilanjutkan kembali, tapi setelah berjalan di kedalaman hutan Lakebark, aku rasa kesempatan ini tak akan datang dua kali.

    Makanya, daripada sibuk memikirkan betapa pentingnya pulang dan melanjutkan tidur di rumah, aku memilih untuk mengedarkan pandanganku ke sekitar. Sangat jarang aku bisa masuk ke kawasan hutan dan berjalan di dalamnya dengan santai, serta sibuk menatap setiap pohon-pohon besar dengan tingginya yang menjulang. Semua terlihat menyeramkan saat malam, tapi aku senang ada sesuatu yang akhirnya terpecahkan dari rasa penasaranku selama ini.

    Tentang apa yang tersembunyi di kedalaman hutan ini.

    Aku memang takut kegelapan, tapi rasa penasaranku mengubah segalanya. Bulan yang bersinar terang di malam hari ini seperti memberikanku kekuatan untuk bersikap lebih berani lagi. Aku bahkan sempat menyuarakan pendapatku kepada Ayah, betapa tidak bergunanya obor dan lentera yang mereka bawa di tangan mereka itu, jika sinar bulan di atas kepala saja sudah cukup untuk menerangi jalan yang kami lewati.

    Mereka hanya diam, tak menjawab, ataupun bereaksi. Mereka bergeming di tempat seolah saat ini aku sedang berbicara dengan patung. Tak ada bedanya dengan berjalan bersama patung, ini sama saja dengan mengajak patung yang pernah kulihat di depan pintu masuk gereja berbicara empat mata! Yah, bahkan bangunan beribadat pun hanya ada satu di desa ini.

    Apa pun itu, sepertinya aku memang tidak bisa berharap kepada orang dewasa untuk menjawab pertanyaanku ini.

    Aku meneruskan perjalanan ini tanpa berniat bertanya kembali dengan mereka. Toh, mereka tak akan menjawab pertanyaanku. Aku 'kan hanya anak kecil yang tak terlalu penting.

    Kami masih terus berjalan menuju ke suatu tempat yang sampai sekarang tidak kuketahui di mana posisinya. Belum sampai beberapa menit setelah aku memutuskan tekadku untuk tidak lagi bertanya, aku kembali dibuat berhenti melangkah dan berakhir diam di tempat. Aku sedikit memiringkan tubuhku, menyorong ke samping kanan, seraya mengeratkan genggamanku pada Ibu.

    "Bu, siapa di sana?" tanyaku sambil menunjuk pada apa yang kulihat di seberang sana. Pandanganku masih tertuju pada mereka. Aku cukup yakin yang kulihat itu adalah manusia, karena mustahil ada sesuatu yang berjalan dengan dua kaki dan membawa lentera. Itulah sebabnya aku menggunakan kata "siapa" dan bukannya "apa" pada apa yang kutangkap dengan kedua mata ini.

    Kali ini, aku mendapat balasan dari ibuku.

    "Tak ada apa-apa di sana," sahutnya datar dan tanpa ekspresi.

    Jawaban Ibu membuatku kaget. Alasan pertama adalah karena ia berbicara tanpa menoleh ke arah yang kutunjuk. Kedua, dia seolah tahu yang kubicarakan ini adalah 'orang'. Ketiga, aku belum pernah melihatnya bersikap seperti ini. Ibuku adalah seseorang yang begitu lembut hatinya.

    Dengan ketiga alasan itu, akhirnya aku berkesimpulan bahwa Ibu saat ini sedang berbohong dan aku tak lagi ingin mempercayai ucapannya. Aku putuskan untuk kembali menatap ke seberang sana. Mereka sudah tak lagi terlihat.

    Jalan yang kulalui, dengan jalan di seberang sana hanya dipisahkan oleh sungai kecil yang dangkal. Aku dapat melihat pepohonan di sana lebih lebat dan rapat ketimbang jalan yang kami lewati ini.

    Aku masih kepikiran soal tadi, aku tak mungkin salah lihat dan aku berani bersumpah, bahwa yang kulihat tadi itu adalah orang-orang dengan pakaian serupa seperti yang keluargaku kenakan. Mereka juga memakai jubah hitam panjang semata kaki, dengan tudung yang menutupi kepala. Mereka juga membawa lentera, dan melangkah seperti manusia biasa.

    Dalam kondisi ini, aku mencoba berpikir positif. Fakta di mana aku takut dengan hal-hal yang berbau supranatural memang tak bisa dibantah begitu saja, tapi aku ingin meyakininya sekali lagi. Apa yang kulihat tadi adalah manusia sama seperti kami?

    Ah, terlihat! Mereka terlihat lagi. Sepertinya keluargaku berhasil menyusul langkah kaki mereka.

    Aku mulai menghitung jumlah mereka yang menggunakan jubah panjang, mereka ada sekitar lima orang. Di antara orang-orang misterius itu, ada satu di antara mereka yang tidak menggunakan jubah seperti yang lainnya. Dan aku sangat mengenali perawakannya dari belakang itu.

    "E-Elena?" gumamku tergagap. Sedang apa Elena di sini?

    "Ada apa, Aaron?" Ibu bertanya padaku.

    Aku terkesiap, buru-buru aku menggeleng dan menjawab, "Tak apa, Bu! Sepertinya aku melamun."

    Setelahnya Ibu tak lagi memperhatikanku. Aku kembali terdiam, masih tak percaya terhadap apa yang baru saja kutemukan.

    Aku melepaskan genggamanku pada Ibu dan mulai menggosok-gosok mataku berulangkali kali, tak mungkin indra pengelihatanku keliru dalam mengenali seseorang.

    Aku yakin sekali itu adalah dia, sosok mungil yang diapit oleh mereka yang tubuhnya lebih besar darinya, mereka orang-orang dewasa. Jika menurut pendapatku, pastilah itu ayah dan ibu gadis itu. Meski berada di jarak yang cukup jauh, nyatanya kemampuanku dalam melihat di kegelapan dan mengenali sahabat sejak kecil tak bisa diragukan.

    Siapa lagi yang memiliki badan semungil itu di desa kami selain Elena? Anak gadis di desa kami tak ada seorang pun yang memiliki tubuh pendek sepertinya, hampir semua anak perempuan memiliki tinggi badan sepertiku, yaitu 145cm. Yah, walau bisa dibilang aku ini termasuk pendek untuk anak seusia tujuh tahun, tapi Ibu pernah berkata, pertumbuhanku akan berlangsung cepat ketika memasuki usia 10 tahun.

    Tapi, aku masih penasaran, dan mulai bertanya-tanya, kenapa Elena bisa ada di hutan Lakebark? Sedang apa gadis kecil itu di hutan ini malam-malam?

    Beberapa menit lalu, aku masih bisa melihat Elena yang sedang berdiri di depan sana, tepat di bawah sebuah pohon dengan lubang besar di tengah batangnya. Aku yakin sekali lubang itu terbentuk karena burung pelatuk terus mematukinya tanpa henti untuk menjadikannya tempat bersarang.

    Aku mengerjap-ngerjapkan mataku sekali lagi. Tempat ini benar-benar menakjubkan!

    Begitu kami sekeluarga tiba di tempat yang sepertinya menjadi tujuan kami, aku langsung melepas tangan Ibu dan berlari ke sebuah panggung kayu tak beratap. Tempat itu dikelilingi dengan cahaya dari obor yang membuat tempat itu tampak seperti sebuah tempat pertunjukan. Sederhana, tapi menawan.

    "Ayah! Ibu! Tempat ini keren!"

    Tak henti-hentinya aku berdecak kagum atas apa yang baru saja kulihat. Obor-obor baru kembali dinyalakan. Kini, obor yang banyak itu mengelilingi panggung dan membuatnya semakin bersinar.

    "Wah ... hebat!" teriakku kagum. Maklum, aku jarang ke kota dan melihat sesuatu yang biasa dilihat oleh mereka yang ada di sana.

    Akan kujelaskan apa yang ada di tempat ini. Tepat di depan panggung yang tak lebih lebar dari enam meter itu, terdapat beberapa batang pohon yang sudah ditebang, menjadikannya tempat duduk yang menghadap panggung.

    Tempat duduk itu berjejer lima ke belakang; juga lima di sisi kiri dan juga di sisi kanan. Orang-orang mulai berdatangan dan duduk di batang kayu tersebut. Seolah-olah mereka semua adalah penonton dari sebuah pertunjukan yang akan digelar malam ini!

    Aku yang telah kembali dari kegembiraanku mulai bersikap tenang dan berpikir tentang bagaimana cara mereka membangun lantai bertiang kayu ini di tengah-tengah hutan Lakebark yang terlarang?

    Mengingat hutan Lakebark sangat luas, tak mengherankan jika mereka bisa membangun tempat ini di tengah-tengah hutan.

    "Ah, Elen!" Teringat sahabatku yang manis, aku dengan cepat menyelusuri tempat itu, mencari keberadaan gadis berambut kuning laksana emas yang sempat kulihat beberapa saat yang lalu.

    "Nek, apa tadi Nenek ada melihat Elena?" tanyaku setelah tiba di depan Nenek. Ah, aku sudah bertanya pada orang yang salah.

    Nenek tiba-tiba menyeringai dan membalas, "Apa yang kau harapkan dari temanmu itu, Aaron?"

    Aduh, sia-sia saja aku bertanya padanya. Dasar nenek yang tak pernah menyayangi cucunya!

    Aku lalu menatap satu per satu mereka yang hadir di tempat itu, barangkali aku akan menemukan Elena di antara mereka. Namun sayangnya, aku tak juga menemukannya.

    Elena, ada di mana kamu?

    "Aaron." Panggilan seseorang membuatku menoleh, Ibu tiba-tiba saja sudah berada di dekatku, menghampiriku di saat aku sedang bersandar pada sebuah batang pohon dekat panggung.

    Tudung yang ada di kepalanya pun diturunkan olehnya hingga tampaklah parasnya yang jelita. Ibuku memang sangat cantik, aku sangat bangga dilahirkan dari wanita sepertinya.

    "Ya, Bu?" balasku. Sesaat setelah aku menjawab, alih-alih berbasa-basi denganku, Ibu justru menyeretku agar mengikuti langkahnya.

    "Bacalah ini nanti," ucapnya seraya menyodorkan beberapa lembar kertas usang padaku. Dari warnanya yang sudah menguning, dan bau yang agak amis, bisa kupastikan kertas-kertas itu sudah berusia lama sekali. Tapi, kenapa aku harus menyentuhnya?!

    Aku menepis tangan Ibu. "Aaron tak mau, Bu." Aku mengerutkan wajah. Jelas kertas itu sudah melalui berbagai macam debu dan kotoran.

    Ibu langsung memelototiku dengan tajam, dia yang tak pernah bereaksi demikian membuatku takut. Tiba-tiba ia menarik dan mencengkeram lenganku dengan kuat.

    "Bu, sakit! Lepaskan!" Aku hampir menangis saat ibu mulai mencubitku agak kasar. "Uh, lepaskan Aaron, Bu!"

    Ibu mengempaskan tanganku. "Aaron! Dengarkan Ibu baik-baik." Dia berbisik sambil menatapku dengan matanya yang terlihat menakutkan. "Kau harus melakukan apa yang Ibu perintahkan dan jangan sekali-kali kau membantahnya! Mengerti?"

    Aku tak bisa bergerak, lidahku kelu. Yang bisa kulakukan hanyalah mengangguk patuh. Ibu kembali menyodorkan lembaran usang tersebut dan aku mengambilnya.

    Ibu pun beranjak pergi, meninggalkanku seorang diri. Tak lama setelah itu, datang seorang pria tua berkumis tipis yang menarikku ke sisi panggung. Ia kemudian menaruh tempat lilin di atas sebuah meja kayu yang tinggi, dan meletakkan beberapa lilin berwarna merah yang masih baru.

    Pria itu menyalakan lilinnya tanpa suara, begitu selesai dengan tugasnya, ia langsung pergi dariku. Pria asing tadi ... terlihat enggan menatapku. Aku langsung mencibir perbuatannya. Apa menurutnya aku ini tak kasatmata?

    Aku kembali memperhatikan sekitar, dan dengan cepat bersyukur karena telah menemukan Elena yang sejak tadi kucari-cari. Gadis kecil itu sedang duduk di salah satu batang pohon bersama ibunya. Dia terlihat kedinginan, aku cukup yakin jika dia juga dipaksa keluar dini hari ini sama sepertiku.

    Aku tak memiliki niat untuk memeriksa ulang lembaran kertas usang yang kugenggam itu. Daripada harus membawanya kemana-mana, akhirnya kuputuskan untuk meletakkannya saja di atas meja.

    Semua batang kayu yang bisa diduduki itu dengan cepat sudah penuh oleh mereka yang sedang menunggu sesuatu. Semua tempat duduk tersebut kini sudah tidak tersedia lagi. Aku masih memperhatikan mereka dengan kepala yang dipenuhi tanda tanya, tiba-tiba saja Nenek mendatangiku sambil tersenyum mengerikan, dan dia menyuruhku untuk mulai membaca lembaran kertas yang ada di tangannya.

    Sepertinya Nenek mengambilnya dari atas meja yang kutinggalkan, aku bersikap patuh. Dengan hati-hati, aku mengambil salah satu kertas dari tangan Nenek dan mulai melihat isinya.

    Завіт між людиною та царем темряви

    Ah, aku tahu. Kalau tidak salah, ini adalah bahasa Ukraina. Yang artinya adalah perjanjian antara manusia dan sang raja, kalau tidak salah mengartikan. Dulu Ibu pernah mengajariku bahasa yang berkerabat dekat dengan bahasa Rusia ini. Walau tak menggunakannya sehari-hari seperti mereka yang memang bahasa ibunya adalah bahasa Ukraina, tapi aku sudah menguasai bahasa ini sekarang. Aku lalu melirik Nenek, dan yang kudapati adalah Nenek yang sedang tersenyum lebar. Uh, dia selalu bisa membuatku merinding ketakutan.

    Suasana tiba-tiba berubah menjadi hening saat ada sekitar lima orang berjubah hitam mulai naik ke atas panggung. Bunyi decit dari lantai kayu yang diinjak oleh mereka terdengar tidak enak, membuatku tak suka mendengarnya.

    Mataku dengan saksama mengawasi pergerakan kelimanya sambil menebak-nebak siapakah mereka. Dua di antara mereka adalah orang-orang bertubuh tinggi, mungkin di atas 160cm. Sedangkan tiga lainnya, tingginya mungkin sepantaran denganku.

    "Bacalah, Aaron!" Nenek memerintahku secara tiba-tiba dan mengejutkanku. Aku kembali mengalihkan perhatianku pada lembaran usang di tangan.

    "I-ini ...." Aku tak bisa melanjutkan kata-kataku setelah melihat hal ini. "Tu-tulisannya ... Ke-kenapa berubah begini?"

    Tulisan yang semula bisa kubaca, tiba-tiba saja berubah menjadi bahasa yang belum pernah kutemui. Secara perlahan, huruf-huruf asing itu bermunculan dan menghapus tulisan yang ada di sana.

    Keadaan pun berubah menjadi mencekam saat terdengar alunan musik dari kedalaman hutan. Seperti alat musik harpa, suaranya begitu lembut dan merdu. Namun, keindahan itu justru memberikan kesan yang mengerikan. Kami ini sedang di dalam hutan, loh? Mustahil ada pertunjukan musik di malam hari!

    Sudah kuduga, hutan Lakebark sangat mengerikan! Siapa yang berani bermain musik malam-malam selain ... mereka yang tak kasatmata.

    Tanpa kusadari, mulutku sudah melafalkan tulisan di kertas itu dengan lancar. Aku terus membaca sesuatu yang tidak kuketahui apa artinya dan bahasa apa yang digunakan. Seolah mulutku memiliki kuasa atas dirinya sendiri. Tahu-tahu aku sudah membacanya dengan lantang.

    Mulutku masih sibuk membaca apa yang ada di kertas usang tersebut. Tanganku gemetar, mataku terus bergerak ke sembarang lain. Aku mencoba menahan mulutku bergerak, tapi sama sekali tidak bisa.

    Puncaknya, aku semakin gelagapan ketika salah seorang yang ada di atas panggung mulai melangkah maju ke depan, berdiri seakan memimpin orang-orang di belakangnya. Jubah hitam yang dipakainya terlihat berbeda dari yang lain. Seperti ada jahitan benang yang rumit di bagian dada, serta pernak-pernik aneh berbentuk kepala dan bulu-bulu angsa yang menjuntai di bawah sikunya. Aku mencoba fokus, kini dia yang sudah berdiri lebih maju dari teman-temannya itu pun mulai membuka tudung kepalanya, menyibak dan memperlihatkan wajah siapa di baliknya.

    Seketika itu juga aku tersentak di tempat. Sosok itu membuatku tercengang, karena dia adalah seseorang yang sangat kukenal baik. Aku tak menyangka bisa melihatnya di tempat seperti ini, dalam kondisi yang tak jauh berbeda denganku, meski pakaian yang kami kenakan sangat jauh berbeda.

    Dia adalah ... Ivanoff, sosok yang berdiri di atas panggung itu adalah salah seorang sahabat baikku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status