Suasana perpustakaan fakultas kedokteran sore ini lumayan sepi. Hanya ada suara dari lembaran buku yang dibalik, sesekali bunyi langkah sepatu dari mahasiswa yang lewat di lorong, dan denging AC yang samar. Aku duduk di pojok, meja nomor tiga dekat jendela yang menghadap taman belakang.
Laptop terbuka, buku anatomi manusia terbentang, highlighter warna-warni berserakan seperti pasukan kecil yang siap perang. Aku lagi serius banget ngetik catatan review ujian minggu depan, sampai tiba-tiba—pluk!—sebuah amplop berwarna krem mendarat tepat di atas keyboard-ku. Aku mendongak. “Hadiah apa lagi nih, Sa?” Sahabatku, Safa Adinaya, berdiri di depanku dengan senyum khasnya yang terlalu lebar. Rambutnya dikuncir asal, tapi tetap aja kelihatan kayak bintang iklan vitamin rambut. “Bukan hadiah,” katanya sambil duduk di kursi sebelahku, membuka buku catatan yang jelas-jelas cuma kamuflase biar dia nggak diusir pustakawan. “Undangan.” “Undangan apa?” tanyaku curiga. “Pernikahan.” “Pernikahan siapa?” “Coba buka dulu.” Aku menatap amplop itu lama sebelum akhirnya menarik napas dan membuka isinya. Di dalamnya, ada kartu putih dengan cetakan emas mengkilap. Nama-nama pengantinnya terpampang jelas di tengah: Alya Maureen & dr. Naufal Syahreza, Sp.PD Aku mematung beberapa detik. “Wait, Alya Maureen? Maksudnya Alya teman kelas kita?” Safa mengangguk sambil mengunyah permen karet, entah dapat dari mana. “Yap. Si seleb TokTok dengan dua ratus ribu followers itu. Anak dokter konsulen, ingat?” Aku memandangi undangan itu lama. Elegan, mahal, dan mewah—tiga kata yang langsung menggambarkan dunia Alya yang jauh banget dari duniaku. Kami sama-sama anak kedokteran, iya. Tapi kalau aku sibuk ngafalin anatomi sambil makan roti dingin dari kantin, Alya bisa bikin live stream tentang ‘Tips Kuliah Medis Tanpa Kelihatan Kusut’ sambil disponsori skincare mahal. Safa mencondongkan badan, menatapku dengan senyum nakal. “Kamu mau datang nggak?” Aku mengembuskan napas, menatap kartu itu lagi. “Aku bahkan nggak nyangka dia ingat namaku, Sa.” “Dia ingat, kok. Nama kamu kan tercantum di grup kelas, Bee.” Aku mendelik. “Oh, jadi aku diundang karena list grup, bukan karena dia pengen aku datang?” Safa mengangkat bahu santai. “Yah, minimal kamu masuk daftar, itu udah prestasi.” Aku mendecak pelan, lalu menutup laptop. “Safa, kamu sadar nggak, umur kita baru dua puluh satu, dan Alya udah mau nikah sama dokter spesialis? Sementara aku masih bingung ngebedain vena porta sama arteri hepatika.” Safa terkekeh pelan. “Ya kali kamu mau nikah juga? Dosen baru aja bilang nilai kamu paling tinggi di angkatan. Fokusnya beda, Bee.” Aku bersandar di kursi, memainkan ujung amplop itu. “Iya sih, tapi kadang aku ngerasa kayak hidup orang lain tuh melesat jauh, sementara aku masih di titik ngerjain laporan patofisiologi sambil minum kopi.” Safa menatapku dengan tatapan hangat. “Kamu itu bukan lambat, Bee. Kamu cuma jalan di jalur yang beda.” Aku tersenyum tipis. Aku nyengir, menatap kembali undangan itu. Nama Alya tercetak indah di kertas tebal itu, lengkap dengan hiasan bunga dan pita kecil. Safa menutup buku catatannya—lalu menatapku dengan pandangan menyelidik khas wartawan gosip kampus. “Ngomong-ngomong, Bee,” suaranya pelan, tapi nada jahilnya langsung kedengeran. Aku mendengkus, pura-pura sibuk membereskan pulpen dan highlighter. “Apalagi?” “Progress kamu sama Om Kais gimana?” Aku menoleh pelan, menatapnya tanpa ekspresi. “Progress apaan?” “Ya, masa progress laporan patofisio,” bisiknya sambil nyengir. “Jelaslah progress pendekatan!” Aku menghela napas, menatap layar laptop yang sudah gelap karena sleep mode. Lalu, dengan nada datar menjawab, “Aku udah melamar dia.” Safa terdiam sejenak. Ekspresinya butuh beberapa detik buat mencerna. “—Kamu apa?” Aku tetap tenang. “Melamar.” “MELAMAR SIAPA?!” Suara Safa melengking hingga membuat tiga mahasiswa di meja depan menoleh. Aku buru-buru menepuk tangannya, “Ssssttt, pelan, Sa!” Tapi dia sudah histeris. “Kamu nggak bercanda kan, Bee?! Kamu beneran melamar Om Kais?! Om Kais yang itu?! Yang suka duduk di cafe Mama Retha sambil sambil minum kopi susu tanpa gula itu?!” Aku mengangguk, berusaha tetap kalem meski wajahku mulai panas. “Iya. Aku melamar dia. Minggu lalu.” Safa menatapku seperti baru melihat alien turun dari atap perpustakaan. “Binar Gendhis Rarasita!” desisnya. “Kamu itu punya nyali level internasional! Astaga, gimana reaksinya dia?! Dia pingsan, kabur, atau langsung lapor Mama Retha?” Aku nyengir malu-malu, menunduk sedikit. “Nggak salah satu, sih. Dia cuma diem. Lama banget. Terus akhirnya bilang ‘Binar, kamu bercanda, kan?’ gitu.” Safa menutup mulutnya, setengah nahan tawa, setengah nahan teriak. “Dan kamu jawab apa?” Aku mengangkat dagu. “Aku bilang, dia baik, sopan, wangi, dan cocok dijadiin suami.” Dan di detik itu juga, Safa tak bisa menahan diri. “YA AMPUN, BINAR!!!” Jeritnya menggema di ruangan yang tadinya sunyi. Semua kepala di perpustakaan serentak menoleh. Bahkan pustakawan yang dari tadi sibuk di meja depan langsung berdiri. “Mahasiswi di pojok jendela!” suara bapak penjaga perpustakaan terdengar tegas. “Tolong jaga ketenangan ruangan. Kalau masih berisik, silakan lanjutkan obrolannya di luar.” Safa menutup mulutnya cepat, matanya membulat ke arahku. Aku menunduk malu. “Kita diusir, Sa.” Kami berdua langsung memasukan barang ke dalam tas, menahan tawa sambil keluar dari ruangan dengan langkah secepat mungkin. Begitu sampai di lorong luar, tawa Safa langsung meledak lagi. “Binar, sumpah, kamu nekat banget! Gimana kamu bisa mikir buat ngelamar Om Kais duluan?!” Aku terkekeh sambil memeluk buku anatomi. “Ya karena kalau aku nunggu dia nyatakan cinta keburu aku jadi dokter jantung. Itupun kalau aku gencar kasih sinyal-sinyal cinta tiap hari. Kalau enggak, aku bakal jomblo seumur hidup.” “Dan dia jawab apa akhirnya?” Aku menatap lantai, senyumku mengembang kecil. “Dia nggak jawab. Tapi dia nggak nolak juga.” Safa langsung menatapku penuh drama. “OH. MY. GOD. Itu artinya ada harapan!” Aku menggeleng. “Sa, tolong turunkan ekspektasi. Aku realistis, kok. Dia mungkin cuma butuh waktu buat nolak. Aku juga nggak mau maksa.” “Realistis dari Hong Kong,” gumam Safa. Perutku tiba-tiba berbunyi pelan, nyaris bisa kudengar sendiri. Safa menoleh cepat. “Kamu lapar?” Aku meringis. “Banget. Dari siang cuma makan roti isi telur setengah, itu pun sisa bekal sarapan.” “Udah, ayo ke kantin. Nggak bisa ngobrol serius kalau perut kamu bunyi kayak steto bergetar.” Kami pun turun ke lantai dasar, menuju kantin fakultas yang mulai sepi karena jam makan sore udah lewat. Bau nasi goreng dan kopi sachet langsung menyambut. Aku dan Safa duduk di sudut, pesen mie goreng dua porsi plus teh manis panas. Sambil menunggu pesanan datang, aku dan Safa sama-sama menatap layar ponsel, membaca pesan di grup kelas tentang mata kuliah besok. “Sa—” “Eh, eh, Bee! Diam dulu!” sahutnya cepat hingga aku terdiam. Aku langsung menatapnya. “Kenapa sih, kayak liat pasien kolaps aja?” Dia menunjuk ke arah luar jendela kantin, ke arah parkiran fakultas. “Itu, bukan Om Kais?” Aku langsung menoleh. Dan benar saja. Di antara mobil-mobil yang berjejer, sosok tinggi dengan kemeja biru muda itu berdiri di samping sedan hitam. Rambutnya sedikit berantakan diterpa angin sore, dan tangannya sibuk menggulir layar ponsel. Aku bertepuk tangan pelan seperti anak kecil yang baru liat badut ulang tahun. “Ya ampun, semesta! Aku lagi lapar, tapi dikasih bonus vitamin hati!” Safa nyaris menyemprot teh manisnya. “Kamu tuh, Bee! Bisa nggak sih kalau liat dia nggak heboh kayak abis menang undian?” Otakku langsung blank. Detik berikutnya, kursi di bawahku bergeser keras, aku berdiri, dan tanpa pikir panjang langsung melangkah keluar. “Bee! Mie gorengnya belum datang!” seru Safa. “Makan kamu aja!” balasku cepat sambil melambai. Beruntungnya aku hari ini. Gak ada hujan badai bisa bertemu dengan Om Kais. Dan, kesempatan emas tak boleh dilewatkan. Langkahku semakin lebar. Takut calon suami kabur duluan. Begitu aku sudah ada di dekatnya, dia menoleh. Pandangan matanya tenang, seperti biasa. “Binar?” panggilnya, suaranya rendah dan lembut, tapi sukses bikin jantungku error sepersekian detik. Aku langsung pasang senyum andalanku—yang kata Mama Retha cuma muncul kalau aku lagi ngelucu. “Hai, Om Kais! Wah, kebetulan banget, ya. Aku baru aja mau bilang ke semesta, kangen vitamin mataku.” Om Kais mengerjap pelan, jelas nggak siap diserang gombalan versi raw. “Vitamin mata?” ulangnya, nada suaranya naik setengah oktaf. Aku mengangguk. “Iya. Soalnya tiap liat Om, mata aku langsung segar lagi. Kayak dikasih tetes mata dari surga.” Dia menatapku beberapa detik, ekspresinya campuran antara geli dan pasrah. “Kamu ini, Bin,” ujarnya pelan, menatapku sambil menggeleng. “Jangan panggil BIN! Aku berasa kayak agen rahasia yang lagi nyamar di antara mahasiswa,” protesku. “Lalu?” alisnya terangkat, senyum tipis sempat terlihat meski hanya beberapa detik. “Panggil aja Bee, atau sayang, atau honey—aku orangnya fleksibel kok, Om,” ujarku sambil mengulum senyum menggoda. Belum sempat Om Kais menjawab gombalanku yang, jujur aja, udah kuciptakan dengan seluruh kreativitas dan keberanian hidupku—suara seseorang memotong momen bersejarah itu. “Eh, Binar! Hai!” Aku refleks menoleh. Sosok dengan jas dokter putih dan wajah secerah iklan pasta gigi muncul dari arah parkiran. Ya Tuhan, dr. Naufal Syahreza, Sp.PD. Calon mempelai pria! Lengkap dengan senyum ramah dan gaya khas dosen muda yang bikin mahasiswi auto-lurusin rambut. “Eh, Dok! Selamat ya buat pernikahannya,” sapaku cepat, berusaha nyembunyiin rasa kikuk karena baru aja ketahuan gombalin Om Kais. Dokter Naufal tersenyum sopan. “Terima kasih, Binar. Kamu datang ke acaranya, kan?” Aku melirik ke arah Om Kais yang berdiri di samping mobilnya, dengan tangan di saku celana. “Datang sih datang, Dok,” jawabku. “Tapi kayaknya bakal awkward kalau datang sendirian. Soalnya, ya… temen-temen sekelas kebanyakan datang bawa pasangan.” “Kalau gitu kamu harus bawa pasangan juga.” Dokter Naufal terkekeh pelan, lalu mengalihkan pandangan ke arah Om Kais. “Oh iya, Pak Kais, kebetulan banget ketemu. Ini undangan buat Anda.” Dia merogoh saku jas putihnya dan menyerahkan sebuah amplop berwarna krem yang sama persis dengan yang Safa kasih tadi. “Alya minta saya langsung yang ngasih, katanya Anda anak dari Dosen kesayangannya.” Om Kais menerima undangan itu dengan anggukan sopan. “Terima kasih, Dokter Naufal. Sampaikan salam saya untuk Alya.” “Sip, Dok.” Dokter Naufal lalu berpaling padaku lagi, masih dengan senyum khas dosen favorit. “Binar, jangan lupa datang ya. Dress code-nya pastel, jangan putih. Nanti dikira pengantin.” Aku tertawa, menahan rasa absurd antara malu, bangga, dan sedikit kesetrum karena diperlakukan ramah. “Siap, Dok.” Setelah itu, Dokter Naufal berpamitan dan melangkah menuju mobilnya, meninggalkan aku dan Om Kais dalam keheningan yang tiba-tiba terasa… aneh. Aku menatap amplop di tangannya, lalu menatap wajahnya. “Om,” panggilku pelan. Om Kais menurunkan pandangannya dari amplop itu. “Hm?” “Aku juga dapat undangan.” Aku berhenti sebentar, mencoba merangkai kalimat dengan ekspresi paling meyakinkan. “Jadi, gimana kalau kita datang bareng?” Om Kais menaikkan sebelah alis. “Bareng?” “Iya. Pasti lebih seru. Terus, aku nggak bakal canggung kalau ada Om,” ujarku sambil menatapnya penuh harap. Om Kais memandangi wajahku beberapa detik. “Kamu memang nggak pernah kehabisan alasan buat ngedeketin aku, ya?” Aku nyengir, tanpa malu sedikit pun. “Aku kan mahasiswa kedokteran. Udah biasa cari solusi yang efisien dan evidence-based.” Om Kais terkekeh pelan, akhirnya. “Baiklah, Binar. Aku akan datang ke acara itu.” Mataku langsung berbinar. “Serius?! Bareng aku?” Dia menatapku tenang. “Nggak. Aku datang bareng Bunda.”“Siapa tuh?” gumamku pelan sambil mencondongkan tubuh dari balkon kamar. Dari sini, aku bisa melihat Om Kais berdiri di samping seorang wanita cantik—seksi, rapi, dan kelihatan pintar banget. Mereka hendak pamit pulang, tapi masih asyik berbincang dengan Papa dan Mas Pandu di halaman depan. “Ya ampun, jangan bilang itu—” aku berhenti, menelan ludah. “—calon?” Aku makin mendekat ke pagar balkon. Angin sore membawa samar-samar suara tawa mereka. Tawa Om Kais. Dan tawa si wanita itu, lembut banget, bikin telingaku gatal. “Hmm, jadi gitu ya, Om? Belum juga terima lamaranku, udah pamer calon lain?” gerutuku pelan sambil manyun. Aku menatap punggung mereka yang kini mulai berjalan ke arah mobil. Si wanita itu ijin untuk masuk mobil, dan Om Kais membalas dengan senyum tipis—senyum yang harusnya jadi hak eksklusif ku nanti kalau semesta sedikit lebih adil. Saat mobil perlahan menjauh, aku masih berdiri di balkon dengan tangan terlipat di dada. “Baiklah, Om Kais,” bisikku pelan, penuh
Begitu mobil berhenti di depan rumah, aku langsung turun tanpa menunggu Pak Yoto matiin mesin. Aku udah capek, haus, dan masih kesal karena drama motor mogok plus ‘kejutan tikus’ sore ini. Tapi semua itu belum seberapa dibanding kejadian begitu aku membuka pintu rumah. Rumah sepi. Nggak ada suara Mama yang biasanya ngoceh dari dapur. Aku berjalan ke ruang tengah, hanya ada Papa lagi duduk santai di sofa sambil memegang tablet, dan Mas Pandu di sebelahnya, fokus nonton berita di TV. “Assalamualaikum,” sapaku sambil menaruh tas di meja. “Waalaikumsalam,” jawab Papa sembari tersenyum ke arahku. Mas Pandu mengangkat dagu sedikit, tanda respon malas khasnya. Aku memicing. “Mama mana?” “Pergi,” jawab Mas Pandu santai. “Pergi ke mana?” “Jogja,” sela Papa. Aku langsung berdiri tegak. “Jogja?! Sejak kapan Mama ke Jogja?” “Pagi tadi,” jawab Papa tenang banget, bikin aku makin pengen teriak. “Lho, kok nggak bilang sama aku?!” Papa akhirnya mematikan tabletnya. “Katanya cuma sebentar,
Langit sore sudah mulai berubah warna waktu aku meninggalkan kampus. Safa udah duluan pulang bareng pacarnya, sedangkan aku harus mampir ke toko alat tulis buat beli refill pena dan sticky note warna pastel—peralatan tempur wajib menjelang minggu ujian. Begitu keluar dari toko, aku membuka ponsel dan langsung melihat notifikasi pesan dari Papa. 📩Papa: “Adek pulang jam berapa?” 📤Aku: “Baru mau pulang, Pa. Lagi di parkiran, tapi aku curiga motorku mulai minta perhatian khusus.” 📩Papa: “Maksudnya?” 📤Aku: “Maksudnya... mesinnya bunyi kayak batuk asma. 📩Papa: “Jangan bercanda, Dek. Coba nyalain dulu pelan-pelan, jangan dipaksa.” 📤Aku: “Udah aku elus-elus dulu kok sebelum dinyalain 😌.” Aku terkikik sendiri membaca balasanku. Papa pasti lagi geleng-geleng kepala di rumah. Motor tua kesayanganku itu, “Bumblebee”—karena warnanya kuning belang hitam—sudah aku anggal seperti anak sendiri. Aku memasukkan kunci, memutar, dan— Krek… krkkk… plek! Suara yang keluar lebih
Suasana perpustakaan fakultas kedokteran sore ini lumayan sepi. Hanya ada suara dari lembaran buku yang dibalik, sesekali bunyi langkah sepatu dari mahasiswa yang lewat di lorong, dan denging AC yang samar. Aku duduk di pojok, meja nomor tiga dekat jendela yang menghadap taman belakang.Laptop terbuka, buku anatomi manusia terbentang, highlighter warna-warni berserakan seperti pasukan kecil yang siap perang. Aku lagi serius banget ngetik catatan review ujian minggu depan, sampai tiba-tiba—pluk!—sebuah amplop berwarna krem mendarat tepat di atas keyboard-ku.Aku mendongak.“Hadiah apa lagi nih, Sa?”Sahabatku, Safa Adinaya, berdiri di depanku dengan senyum khasnya yang terlalu lebar. Rambutnya dikuncir asal, tapi tetap aja kelihatan kayak bintang iklan vitamin rambut.“Bukan hadiah,” katanya sambil duduk di kursi sebelahku, membuka buku catatan yang jelas-jelas cuma kamuflase biar dia nggak diusir pustakawan. “Undangan.”“Undangan apa?” tanyaku curiga.“Pernikahan.”“Pernikahan siapa?”
“Hai, Om! Aku calon istrimu!” Begitu kata-kata itu meluncur dari mulutku, aku tahu sudah tidak ada jalan untuk mundur. Suaraku sendiri terdengar nyaring di telinga, bahkan lebih keras dari suara blender yang barusan nyala di counter. Semua orang di cafe mendadak berhenti gerak. Ada yang pegang sendok, terus diam di udara. Ada juga yang pura-pura nunduk tapi jelas-jelas nguping. Dan di tengah semua itu—Om Kais cuma bengong. Matanya sedikit membulat, bibirnya terbuka tipis, seolah sedang berusaha memastikan apa telinganya masih berfungsi dengan benar. Lucu banget. Aku nyaris ngakak kalau nggak ingat ini momen penting dalam sejarah hidupku. Jadi aku tahan tawa dan cuma berdiri tegak di depan meja, menatapnya dengan senyum paling manis yang kupunya. “Kataku, Om, aku calon istrimu,” ulangku tenang, sambil menepuk dada pelan. “Jadi mulai hari ini, tolong biasakan diri sama wajah ini, ya.” Sumpah, ekspresi kaku di wajahnya tuh priceless banget. Kayak patung lilin yang kehilangan