“Hai, Om! Aku calon istrimu!”
Begitu kata-kata itu meluncur dari mulutku, aku tahu sudah tidak ada jalan untuk mundur. Suaraku sendiri terdengar nyaring di telinga, bahkan lebih keras dari suara blender yang barusan nyala di counter. Semua orang di cafe mendadak berhenti gerak. Ada yang pegang sendok, terus diam di udara. Ada juga yang pura-pura nunduk tapi jelas-jelas nguping. Dan di tengah semua itu—Om Kais cuma bengong. Matanya sedikit membulat, bibirnya terbuka tipis, seolah sedang berusaha memastikan apa telinganya masih berfungsi dengan benar. Lucu banget. Aku nyaris ngakak kalau nggak ingat ini momen penting dalam sejarah hidupku. Jadi aku tahan tawa dan cuma berdiri tegak di depan meja, menatapnya dengan senyum paling manis yang kupunya. “Kataku, Om, aku calon istrimu,” ulangku tenang, sambil menepuk dada pelan. “Jadi mulai hari ini, tolong biasakan diri sama wajah ini, ya.” Sumpah, ekspresi kaku di wajahnya tuh priceless banget. Kayak patung lilin yang kehilangan instruksi buat ngedip. “BINAR!” Tuh kan, suara Mama langsung melengking dari arah kasir. Aku bisa merasakan tatapan mautnya dari jarak sepuluh meter. Tapi ya— sudah terlambat. Aku sudah melangkah sejauh ini. Aku menoleh sedikit, tersenyum manis ke Mama. “Mama, tenang aja. Aku serius, kok.” Om Kais langsung berdehem. Tangannya masih memegang cangkir kopi, tapi agak gemetaran. “Ehem… Binar, kamu ini… bercanda, kan?” Aku menggeleng cepat. “Enggak.” Terus aku menatapnya lekat, biar dia yakin aku tidak sedang bercanda. “Aku udah pikirin dari semalam. Om baik, sopan, wangi, dan... cocok dijadiin suami.” Beberapa pengunjung di pojokan langsung terbatuk. Duh, mereka pasti dapat hiburan gratis. Mama mulai jalan ke arahku sambil menepuk jidatnya sendiri. Tapi aku tetap fokus ke Om Kais. “Binar, kamu tahu nggak, Om itu—” “Teman Papa? Iya, tahu,” potongku cepat. “Tapi cinta kan nggak kenal umur, Ma.” Aku tahu itu kalimat klise, tapi ekspresi shock Mama bener-bener worth it. Om Kais menarik napas panjang, kayak lagi menghitung kesabaran. “Binar, kamu masih kecil.” “Dua puluh satu tahun bukan kecil, Om,” balasku cepat. “Dan aku udah bisa bikin kopi yang enak. Itu artinya Om bakal betah hidup sama aku.” Wajahnya merah. Sumpah, aku nggak tahu karena malu, marah, atau tersipu? Hehe. Mama akhirnya nyamperin, mencubit lenganku pelan. “Sini, Dek. Jangan ganggu pelanggan cafe. Maaf ya, Nak Kais, anak Tante lagi kumat dramanya.” Aku mengambil cangkir kopi Om Kais, meniup pelan permukaannya. “Om, minum dulu, nanti keburu dingin. Calon istri yang baik harus jagain kopi suaminya.” Ya Tuhan, lihat deh mukanya sekarang! Campuran antara bingung, panik, dan… manis banget. “Binar,” katanya akhirnya, nada suaranya setengah pasrah. “Kamu benar-benar bikin semua orang di cafe ini lupa cara bernafas.” Aku tersenyum lebar, menatapnya tanpa berkedip. “Berarti aku sukses dong, Om.” Dan ya—mungkin aku sedikit gila. Tapi kalau cinta bikin aku berani ngelakuin hal segila ini, aku nggak keberatan. Karena sejak pertama kali Om Kais duduk di cafe Mama, dengan kemeja putih dan senyum tenangnya itu… aku tahu, dia bukan cuma pelanggan tetap. Dia bakal jadi takdirku. Mama menarik lenganku cukup kuat sampai aku hampir tersandung tangga. “Ke atas. Sekarang.” Nada suaranya datar, tapi berbahaya. Aku menatap Om Kais sekilas sebelum akhirnya menurut, menyeret langkah menuju tangga kayu menuju lantai dua. Di atas sana, ada ruangan kecil berdinding kaca—ruang kerja Mama, tempat beliau biasanya mengurus stok bahan, pembukuan, dan kalau lagi bete, ngopi sendirian sambil dengerin lagu lawas. Begitu pintu tertutup klik, hawa di ruangan itu langsung berubah. Aku duduk manis di kursi depan mejanya, sementara Mama—Mama Retha, si pemilik cafe sekaligus Ratu Drama versi dunia nyata—berdiri dengan tangan di pinggang, napasnya naik-turun kayak baru abis sprint keliling blok. “Binar Gendhis Rarasita!” Waduh, nama lengkapku keluar. Fix, ini udah masuk level krisis. “Ma, tahan amarah, dengerin aku dulu ya—” “Dengerin kamu?!” Mama menatapku tajam. “Dek, kamu baru saja bilang di depan pengunjung cafe, bahwa kamu calon istri KAIS!” Aku menunduk, pura-pura melihat kuku biar nggak kena tatapan maut. “Tapi ‘kan aku berusaha jujur, Ma.” “JUJUR?!” suara Mama naik satu oktaf. “Dek, Kais itu rekan bisnis Papa! Umurnya tiga puluh dua tahun! Dan kamu baru dua puluh satu tahun! Kamu sadar nggak kalau tadi kamu hampir bikin jantungnya copot?” Aku pura-pura berpikir serius. “Hmm, kayaknya gak copot, Ma. Soalnya tadi dia masih sempet ngomong.” “BINAR!” Aku langsung menegakkan badan. “Oke, oke! Aku salah gaya ngomongnya, gitu aja, kan?” Mama menghela napas panjang, lalu duduk di kursi seberangku. Wajahnya masih tegang tapi matanya mulai lembut sedikit. “Sayang, Mama ngerti kamu mungkin kagum sama Kais. Dia pria yang baik, memang. Tapi kamu nggak bisa sembarangan ngomong hal kayak gitu di depan umum. Orang bisa salah paham.” Aku menggembungkan pipi. “Tapi aku nggak main-main, Ma. Aku suka Om Kais. Sejak pertama kali dia datang ke cafe ini, tiap sore duduk di pojok jendela, pesen kopi susu tanpa gula, terus baca buku. Aku nggak cuma kagum. Aku jatuh cinta.” Mama menatapku lama. Tatapan campuran antara khawatir, bingung, dan sedikit iba. “Binar, kamu tuh masih muda. Kadang perasaan kagum bisa kelihatan kayak cinta, padahal cuma fase. Nanti juga hilang.” Aku menggeleng cepat. “Enggak, Ma. Ini bukan fase. Aku udah coba lupain, tapi tiap kali dia datang, aku malah senyum sendiri. Dan tiap kali dia pamit pulang, dada aku rasanya kayak diremas.” Mama mengusap wajahnya, lalu bergumam, “Astaga, anak siapa sih ini.” Aku tersenyum. “Anak Mama Retha, pemilik cafe paling hits di kota Solo.” “Bukan waktu bercanda, Binar.” “Tapi aku serius, Ma.” Mama menghela napas lagi, kali ini lebih dalam. “Ya ampun, Dek. Cinta itu bukan cuma soal berani ngomong. Kadang juga soal tahu kapan harus diam.” Aku menatap meja, menelan ludah. Ruangan jadi hening beberapa detik sebelum Mama berdiri lagi dan menepuk pundakku. “Sekarang kamu istirahat dulu. Mama nggak mau kamu turun ke bawah sampai semua pengunjung pulang. Dan jangan berani-berani ngomong begitu lagi, apalagi kalau Kais masih di sana.” “Berarti aku nunggu dia pulang, baru boleh turun?” “BINAR.” “Oke, oke! Nggak turun, janji.” Begitu Mama keluar, aku bersandar di kursi, memeluk bantal kecil di sofa. Di luar jendela, dari celah kaca, aku bisa lihat Om Kais masih duduk di tempatnya. Wajahnya datar, tapi sesekali matanya melirik ke arah tangga. Aku nyengir sendiri. Oke, mungkin tadi caraku salah. Tapi aku tidak menyesal. Karena kalau aku nggak berani ngomong hari ini, mungkin Om Kais nggak akan pernah tahu… kalau ada satu gadis yang benar-benar niat jadi “calon istri”-nya.Begitu mobil berhenti di depan rumah, aku langsung turun tanpa menunggu Pak Yoto matiin mesin. Aku udah capek, haus, dan masih kesal karena drama motor mogok plus ‘kejutan tikus’ sore ini. Tapi semua itu belum seberapa dibanding kejadian begitu aku membuka pintu rumah. Rumah sepi. Nggak ada suara Mama yang biasanya ngoceh dari dapur. Aku berjalan ke ruang tengah, hanya ada Papa lagi duduk santai di sofa sambil memegang tablet, dan Mas Pandu di sebelahnya, fokus nonton berita di TV. “Assalamualaikum,” sapaku sambil menaruh tas di meja. “Waalaikumsalam,” jawab Papa sembari tersenyum ke arahku. Mas Pandu mengangkat dagu sedikit, tanda respon malas khasnya. Aku memicing. “Mama mana?” “Pergi,” jawab Mas Pandu santai. “Pergi ke mana?” “Jogja,” sela Papa. Aku langsung berdiri tegak. “Jogja?! Sejak kapan Mama ke Jogja?” “Pagi tadi,” jawab Papa tenang banget, bikin aku makin pengen teriak. “Lho, kok nggak bilang sama aku?!” Papa akhirnya mematikan tabletnya. “Katanya cuma sebentar,
Langit sore sudah mulai berubah warna waktu aku meninggalkan kampus. Safa udah duluan pulang bareng pacarnya, sedangkan aku harus mampir ke toko alat tulis buat beli refill pena dan sticky note warna pastel—peralatan tempur wajib menjelang minggu ujian. Begitu keluar dari toko, aku membuka ponsel dan langsung melihat notifikasi pesan dari Papa. 📩Papa: “Adek pulang jam berapa?” 📤Aku: “Baru mau pulang, Pa. Lagi di parkiran, tapi aku curiga motorku mulai minta perhatian khusus.” 📩Papa: “Maksudnya?” 📤Aku: “Maksudnya... mesinnya bunyi kayak batuk asma. 📩Papa: “Jangan bercanda, Dek. Coba nyalain dulu pelan-pelan, jangan dipaksa.” 📤Aku: “Udah aku elus-elus dulu kok sebelum dinyalain 😌.” Aku terkikik sendiri membaca balasanku. Papa pasti lagi geleng-geleng kepala di rumah. Motor tua kesayanganku itu, “Bumblebee”—karena warnanya kuning belang hitam—sudah aku anggal seperti anak sendiri. Aku memasukkan kunci, memutar, dan— Krek… krkkk… plek! Suara yang keluar lebih
Suasana perpustakaan fakultas kedokteran sore ini lumayan sepi. Hanya ada suara dari lembaran buku yang dibalik, sesekali bunyi langkah sepatu dari mahasiswa yang lewat di lorong, dan denging AC yang samar. Aku duduk di pojok, meja nomor tiga dekat jendela yang menghadap taman belakang.Laptop terbuka, buku anatomi manusia terbentang, highlighter warna-warni berserakan seperti pasukan kecil yang siap perang. Aku lagi serius banget ngetik catatan review ujian minggu depan, sampai tiba-tiba—pluk!—sebuah amplop berwarna krem mendarat tepat di atas keyboard-ku.Aku mendongak.“Hadiah apa lagi nih, Sa?”Sahabatku, Safa Adinaya, berdiri di depanku dengan senyum khasnya yang terlalu lebar. Rambutnya dikuncir asal, tapi tetap aja kelihatan kayak bintang iklan vitamin rambut.“Bukan hadiah,” katanya sambil duduk di kursi sebelahku, membuka buku catatan yang jelas-jelas cuma kamuflase biar dia nggak diusir pustakawan. “Undangan.”“Undangan apa?” tanyaku curiga.“Pernikahan.”“Pernikahan siapa?”
“Hai, Om! Aku calon istrimu!” Begitu kata-kata itu meluncur dari mulutku, aku tahu sudah tidak ada jalan untuk mundur. Suaraku sendiri terdengar nyaring di telinga, bahkan lebih keras dari suara blender yang barusan nyala di counter. Semua orang di cafe mendadak berhenti gerak. Ada yang pegang sendok, terus diam di udara. Ada juga yang pura-pura nunduk tapi jelas-jelas nguping. Dan di tengah semua itu—Om Kais cuma bengong. Matanya sedikit membulat, bibirnya terbuka tipis, seolah sedang berusaha memastikan apa telinganya masih berfungsi dengan benar. Lucu banget. Aku nyaris ngakak kalau nggak ingat ini momen penting dalam sejarah hidupku. Jadi aku tahan tawa dan cuma berdiri tegak di depan meja, menatapnya dengan senyum paling manis yang kupunya. “Kataku, Om, aku calon istrimu,” ulangku tenang, sambil menepuk dada pelan. “Jadi mulai hari ini, tolong biasakan diri sama wajah ini, ya.” Sumpah, ekspresi kaku di wajahnya tuh priceless banget. Kayak patung lilin yang kehilangan