"Bang!" Panggilku lagi."Sudahlah, kalau memang tak mau tak usah kasih sesuatu yang tak masuk akal!" Bang Fardan beranjak keluar. Aku kaget dengan jawaban Bang Fardan yang seolah jika aku menolaknya bukan karena tak memiliki alasan, tapi karena memang tak mau melayani.Aku termenung sendiri. Apa mungkin tadi aku salah? Apa ucapanku begitu menyingung harga dirinya?Sudahlah, aku lelah dengan semua keadaan ini. Ibu Mertua dan ipar di tambah Bang Fardan juga.Kepalaku berdenyut, rasanya sakit sekali. Duh ... Mana ngga punya obat sama sekali lagi, sedangkan Bang Fardan justru keluar.Aku mencari obat di laci, berharap menemukan sekedar parasetamol. Hanya untuk meredakan sakit kepala yang menggangu ini.Ah! Tak ada satu pun. Aku harus cari di kotak P3K. Segera aku beranjak saat kupastikan jika Zia tengah terlelap.Kucari di laci, beruntung ada. Aku memang selalu menyimpan Paracetamol dan obat-obatan yang penting untuk sekedar pertolongan pertama, seperti oralit dan obat diare."Sudahlah, i
PoV Riana (Ibu Amel)Kringg ...."Ah, Amel. Baru saja aku kepikiran, dia udah nelfon saja." ujarku, "Pak! Ini Amel telfon. Tumben dia.""Angkat, Bu. Siapa tahu penting." Suamiku langsung duduk di sebelahku. Kami sudah mau tidur. Ini sudah pukul sepuluh malam.Kugeser tombol dial berwarna hijau, "Hallo, Sayang!""Ma! Tolong Aku!" Seketika aku beranjak. Suaraa Amel begitu pilu. Ada apa ini?"Ka-kamu kenapa, Mel!" tanyaku langsung. Suamiku ikut berdiri melihat tingkahku yang langsung beranjak dari duduk."Ada apa, Bu?" tanya suami.Aku meletakan jari telunjuk kemulut. Agar Bapak diam dulu."Jemput aku, Bu. Aku pengen pulang saja!" Dari sebrang sana terdengar suara pilu anakku. Kenapa dia?"Kenapa, Sayang. Ada apa? Cerita sama Mama." Aku makin panik. Jangan-jangan Amel tersandung masalah atau hanya masalah rumah tangga biasa?"Tolong, Ma ... Kalau Mama ngga mau jemput aku. Mending aku bunuh diri saja!" Deg! Kenapa? Kenapa Amel anakku senekad ini mengucapkan kata-kata itu."Iya, Sayang.
PoV 3"Pak, Aku khawatir terjadi apa-apa pada Amel." Riana panik."Sudahlah, Bu. Do'akan saja. Lebih baik kita coba dekati. Bujuk dia agar emosinya stabil!" Sanusi--Bapak Amel-- memberi solusi. Riana mengangguk.Mereka mendekat pada Amel yang masih terus saja mengamuk. Tapi, sepertinya Amel tahu kedatangan orang tuanya. Dia berhenti dan menatap dengan Ibu."Ma ...." Amel langsung memeluk Ibunya dengan erat. Riana mengelus pucuk kepala Amel."Tenang, Sayang. Mama akan hukum orang yang telah membuat kamu menjadi seperti ini!" Riana berucap pada anaknya penuh penekanan. Ia benar-benar sakit hati, melihat putrinya yang sekarang ini.Baginya Amel anak yang baik, manja tapi cukup mandiri. Dia gadis yang tegar dan tak pernah mengeluh.Tak terasa air mata Riana menetes. Ia menyesal tak bisa tahu semuanya dari awal. Dia pikir putrinya bahagia bersanding dengan Fardan yang dia anggap sempurna.Riana melirik suaminya, Sanusi juga tengah mengusap matanya yang basah."Sayang, kamu yang kuat ya. Se
"Fardan?" Iryani mencari sosok anaknya. Ia tak menemukan Fardan di meja makan."Kemana dia? Bahkan makannya saja belum selesai." Iryani mengumel. Lira hanya terlihat terus mengamati rumah saja."Ya sudah kita makan dulu! Mungkin sedang kekamar mandi." Iryani akhirnya merasa segan pada Lira. Mereka akhirnya duduk dan mulai menikmati makanan. Namun sampai makanan habis Fardan tak kunjung keluar."Ya sudah, Bu. Ini sudah malam. Saya pulang dulu!" ujar Lira dengan melihat jam tangannya."Nanti dulu. Tunggu Fardan keluar. Mungkin dia ketiduran!" Iryani beranjak. Ia mengetuk pintu kamar Fardan. Namun tak ada sautan.Pintu di buka. Iryani kaget karena ternyata Fardan tak ada dikamarnya. Ia pergi kedapur dan menemukan pintu dapur terbuka. Itu artinya Fardan keluar lewat pintu belakang. Memang rumah mereka belakangnya hanya hamparan kebun sampai menuju jalan. Tak ada dinding yang membuat rumah mereka mati tak berpintu.Dengan berat hati, Iryani mengijikan Lira untuk pulang menggunakan taxi on
Pagi sekali Fardan pergi kerumah Amel. Tentunya dengan membawa Zia. Dia sengaja tak ingin khawatir Amel dan mertuanya. Pasti mereka sangat cemas. Pikirnya.Tiba di depan rumah ternyata Riana dan Sanusi juga sudah bersiap untuk pergi kerumah Fardan."Ibu, Bapak." Fardan turun dengan mengendong Zia. Fardan mengulurkan tangan untuk menyalami takzim mertuanya. Namun, ternyata baik Riana ataupun Sanusi tak mau menyambut uluran tangannya.Riana justru segera merebut Zia dari gendongan Fardan."Ibumu keterlaluan! Membawa Zia tanpa izin!" cetus Riana."Maaf, Bu. Kupastikan kejadian ini tak akan terulang lagi!" Fardan meyakinkan.Tak berapa lama, Amel keluar. Ia sudah sedikit sembuh tapi masih belum juga terlalu normal. Masih sering berhalu dan kadang masih suka histeris."Loh, Bang Fardan!" Amel berkata, sambil langsung mencium punggung tangan Fardan. Layaknya seperti biasa ia lakukan saat Fardan pulang kerja."Iya, Mel. Aku ...."Belum sampai bilang kalau Fardan mengantar Zia. Amel langsung
"Amel, Zia ... Kamulah kehidupanku sekarang!" ujar Fardan dalam mobil.Saat sudah tiba di halaman, Fardan masih terdiam. Dia ragu untuk masuk, suasana depan rumah Amel yang sudah temaram menunjukan jika si empu rumah sudah tertidur. Di pandangi rumah yang pernah ia tempati dua tahun lebih. Masa-masa sulit namun saling mengsupport. Fardan teriris hatinya. Ia salah, telah menempatkan Ibunya di rumah dia. Pikir Fardan, Amel akan layaknya seperti pada Ibunya sendiri, begitu juga dengan Ibunya Fardan. Dia berfikir Iryani akan menyayangi Amel seperti ia menyayangi Farah. Nyatanya salah!Dengan langkah sedikit ragu, Fardan membuka gerbang yang memang tak terlalu tinggi. Rumah Sanusi itu memang sederhana walau dia merupakan anggota dewan perwakilan rakyat daerah. Namun, sikap jujur dan sederhana, membuat ia tak ingin memiliki rumah yang bak istana. Bahkan tetangga pun sampai enggan untuk masuk."Buat apa bikin rumah mewah, pagar keliling menjulang tinggi jika tali silaturahmi antar tetangga
Amel manatap lekat pada Fardan. Mata mereka bertemu. Fardan mengeleng. Meyakinkan istrinya bahwa semua yang di katakan Ibunya bohong belaka."Bang!" Amel bersuara. Meminta penjelasan pada Fardan. Namun Fardan hanya bergeming.Amel mengambil langkah seribu dan langsung masuk kedalam rumah. Bahkan Mamanya saja ia tabrak bahunya. Tangisnya pecah, pikirannya yang sudah agak tenang harus kembali terguncang. Bahkan lebih hebat dari sebelumnya. Riana bingung, antara memilih masuk kedalam untuk menolong Amel atau memaki orang tak tahu diri seperti mereka."Ayo, Dan! Ngapain bengong. Kita pulang, kita rencanakan pernikahan mewah kalian!" Iryani mendengkus, sedangkan Lira hanya berlenggok dengan memamerkan semua perhiasannya."Nggak, Bu! Aku disini sama Istri dan anakku. Aku tak akan pernah menghianati pernikahan ini!" Fardan mulai berani. Lira kesal, dia menyengol lengan Iryani."Nggak ada tapi-tapian!" Iryani kali ini mendekat kearah Fardan. Menarik tanganya untuk segera ikut dengannya."Tun
Tubuh Amel sudah lemas karena darah terus mengalir di tangannya. Seluruh keluarga kaget dan tak menyangka jika Amel nekad ingin mengakhiri hidupnya. Amel merasa sangat kecewa dengan Fardan dan hilang akal karena syndrom itu kini kembali menang.Sanusi bergerak cepat. Ia langsung mengambil kain untuk mengikat tangannya. Tentu untuk menghentikan pendarahan pada tangan, agar Amel tak kehabisan darah."Ambil kunci mobil, Buk!" Sanusi berteriak pada Riana dengan segera mengangkat Amel.Sementara tubuh Riana membeku melihat Amel tergolek lemah. Ia seperti terhipnotis. Hatinya perih tercabik-cabik."I-iya, Pak!" Riana segera berlari. Wiwin pun yang tadi membeku kini juga sudah sadar dan segera membantu membukakan pintu selebar mungkin.Riana segera langsung kedepan. Membuka pintu mobil untuk segera membawa Amel kerumah sakit."Kamu jaga rumah, Win. Jaga Zia baik-baik!"Wiwin hanya mengangguk. Dia juga tengah galau karena keadaan Kakaknya."Selamatkan Mbak Amel ya Allah!" Wiwin hanya mampu be