Home / Romansa / Hasrat Liar Mantan Posesif / Bab 3 - Mood Yang Buruk

Share

Bab 3 - Mood Yang Buruk

Author: R. Sheehan
last update Last Updated: 2025-01-08 18:24:08

Malam harinya, setibanya Serena di tempat kos, ia mendapati sebuah mobil berwarna merah yang tak asing baginya terparkir di halaman. Itu mobil Ruhi, batinnya seraya menaikkan pandangan untuk melihat siluet sang sahabat, tapi tidak ditemukannya di mana pun.

Rupanya, tak jauh dari kompleks kontrakan itu, Ruhi yang dicari oleh Serena sedang berada di restoran sederhana yang lokasinya tak jauh dari situ. Wanita berpakaian elegan, memiliki perawakan 164 sentimeter, wajah cantik dan berkulit putih sedang duduk di kursi plastik demi menunggu pesanannya.

Bibi pemilik restoran yang telah akrab dengan wanita berambut panjang itu lalu menyerahkan bungkusan plastik yang dalamnya berisikan mie kwetiau basah pedas dua porsi.

"Ruhi, ada sate telur di dalamnya, kalian bisa makan bersama nanti." kata bibi paruh baya itu sambil tersenyum.

"Gratis lagi?" pekik Ruhi tertawa senang. Bibi itu pun menganggukkan kepalanya seraya ikut tertawa.

"Kalian sudah lama tidak datang kemari. Pasti sibuk bukan? Makan yang banyak, biar terus sehat dan semangat bekerja." 

"Begitulah, Bi, aku dan Serena sibuk dengan pekerjaan. Lain kali kami pasti akan datang berkunjung bersama." jawab Ruhi tak segan menerima sate gratis yang diberikan oleh bibi penjual. Padahal dia termasuk dari golongan orang berada, tapi tetap merasa bahagia hanya karena diberi sate telur.

"Kalau begitu, aku pergi dulu, Bi. Semoga dagangannya laris manis." Ruhi melambaikan tangannya disertai senyuman saat dia pergi dari tempat itu.

Dia perlu melewati belokan yang akan mengarahkannya pada lorong kos tempat tinggal Serena. Karena itu merupakan jalan tikus, dia jalan kaki ke tempat makan tersebut.

Serena nyatanya tidak langsung naik tangga ke atas. Tapi menunggu sahabatnya itu muncul. Tidak butuh waktu lama bagi Ruhi dirinya lihat karena sosok wanita itu kelihatan batang hidungnya beberapa saat kemudian.

"Serena, kau sudah pulang?" Terkejut, Ruhi buru-buru menghampiri sahabatnya tersebut.

"'Baru saja pulang. Aku lihat mobilmu, tapi kau tidak ada di dalam. Pergi ke mana?"

"Aku mampir buat beli ini," katanya seraya menunjukkan makanan yang dirinya bawa. "Sebelum kemari aku mampir ke tempat kerjamu, tapi katanya kau sudah pulang. Aku bertemu Ayu di pabrik." 

"Biar aku yang bawa. Ayo masuk." ajak Serena seraya mengajak sahabatnya itu pergi ke ruangan kosnya.

Tempat tinggal Serena merupakan sebuah gedung dua lantai dengan total kamar dua belas kamar. Kamarnya sendiri berada di lantai dua, paling pojok dengan pemandangan di kirinya merupakan persawahan. Dia telah menempati kosan itu sejak lima tahun lalu setelah mendapat pekerjaan sebagai buruh pabrik.

Kamar Serena tidak terlalu luas. Ada satu kamar tidur single dekat dinding di samping jendela. Satu meja rias lengkap dengan kursinya. Dan sofa bekas untuk dua tiga orang yang didapatnya dari membeli di toko barang bekas pada tahun kedua dia mendapatkan upah. Terdapat televisi, dapur mini yang bersebelahan dengan kamar mandi. 

Serena menyampirkan jaket yang dikenakannya. Mencangklongkan tas yang dibawa pula ke paku di dinding. Ia berniat ingin pergi ke kamar mandi, tapi dihentikan di tengah jalan oleh Ruhi yang berada di dapur untuk mengambil piring.

"Ada apa dengan kemejamu?" 

Kemeja? 

Serena menunduk, lantas memaki dalam hati saat dia lupa bahwa kancing teratas kemejanya hilang dua kancing. Berkat perbuatan kurang ajar Kevin tadi yang seperti kesetanan melecehkannya.

"Jahitannya lepas," jawabnya bohong.

"Kok bisa?"

"Ya, bisa." Serena menghindari tatapan selidik Ruhi, kabur dari jangkauan sahabatnya yang hampir ingin memutar tubuhnya untuk diselidiki.

Ruhi tertegun di balik pintu kamar mandi yang tertutup. Tidak percaya sama sekali dengan jawaban Serena. Sahabatnya itu pasti tak tahu, kalau ada bekas kemerahan di kulit lehernya yang putih pucat. Bekas itu, seperti tanda ciuman kuat. Karena dia telah menikah, dia bisa dengan mudah tahu bekas tanda semacam itu. Karena bagaimana pun, suaminya sendiri suka sekali memberinya kissmark.

"Pasti terjadi sesuatu dengannya." gumam Ruhi mulai khawatir. 

Serena berganti pakaian dengan cepat. Membasuh wajah, tangan dan kaki lalu keluar dari kamar mandi. Di meja kopi di depan sofa, Ruhi telah menyiapkan makanan yang dibawa seraya menyalakan televisi.

"Sudah lama sekali aku tidak makan mie ini." celetuk Serena kemudian.

"Aku tahu, jadi aku membelinya. Cepat makan, keburu dingin."

Serena menerima makanan miliknya, menundukkan kepala saat mengambil mie bertekstur kenyal itu masuk ke dalam mulut. Rasa pedas dan kuah kaldu ayam yang khas meleleh di dalam mulut Serena. Ia lagi-lagi lupa kalau bibirnya terluka dan kuah panas serta pedas membuat luka itu membengkak. Ia meringis tertahan jadinya.

Ruhi yang biasa cerewet lebih banyak diam, membuat Serena khawatir dan sedih karena tahu sebab sahabatnya seperti itu.

"Bagaimana perusahaan?" tanyanya memecah keheningan.

"Tetap di jalan buntu. Papa dan Tomi sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mempertahankan perusahaan sebelum rapat pemegang saham nanti. Tapi kalau saham kami masih di bawah ambang batas, investor asing itu akan tetap punya suara dominan. Kalau sampai mereka berhasil mengambil alih mayoritas, perusahaan kemungkinan besar akan diakuisisi."

Serena terus menundukkan kepalanya seraya mendengarkan dengan baik perkataan Ruhi. Dihadapkan pada persoalan bisnis yang bukan ranahnya, ia tidak tahu harus menjawab dan menanggapinya bagaimana. Andai saja kakak laki-lakinya ada disini, mungkin dia bisa meminta saran padanya. Akan tetapi sayangnya... Ah, sudahlah. Percuma juga dia berandai-andai di waktu yang tidak tepat begini.

Tak ada yang bisa Serena lakukan dengan kondisinya sendiri yang serba kekurangan layaknya sekarang untuk membantu sahabatnya tersebut. Jadi dia memilih tidak melanjutkan percakapan soal perusahaan keluarga Ruhi.

Bersamaan dengan mereka yang masih mengobrol dan keduanya telah menyelesaikan makannya, ponsel Serena berbunyi. Kedua wanita itu kompak mengedarkan pandangan ke suara ponsel yang berbunyi.

"Tunggu sebentar."

"Siapa yang menelepon?" Ruhi bertanya asal dengan tatapannya terarah lurus ke televisi yang kini memutar sinetron yang menceritakan pernikahan kontrak. Itu adalah sinetron lokal yang ibunya ikuti setiap hari. Membosankan tapi disukai ibu-ibu rumah tangga.

Nomor tak dikenal.

"Teman di pabrik. Aku keluar dulu sebentar. Kau tinggal saja di sini." ucap Serena bohong seraya keluar dari kamar.

Awalnya Serena ragu-ragu apakah mengangkat panggilan itu atau tidak. Telepon keburu mati sebelum sempat diangkat. Dan berbunyi kembali untuk yang kedua kalinya, tanpa menunda, ia menerima panggilan dari nomor tak dikenal tersebut. 

"Halo?" 

["Nona Serena, ini saya Lina Hui, asisten pribadi direktur Kevin."]

Mendengar siapa yang kali ini meneleponnya, Serena menatap liar sekelilingnya. Ia kemudian sedikit menjauh dari pintu kamarnya, pergi ke lorong sebelah kanan demi menyembunyikan diri.

"Ya, Miss Lina. Ada apa? Apa ada yang bisa saya bantu?" Dalam benaknya Serena memiliki banyak pertanyaan. Mengapa asisten Kevin menghubunginya? Untuk apa?

"Begini, baru saja direktur meminta saya agar Anda datang ke kantor kami di jam makan siang perusahaan. Hubungi saya apabila Anda besok telah sampai di kantor."

"Tunggu tunggu, saya ke kantor?" ulang Serena tak yakin.

["Kami akan menunggu kedatangan Anda besok Siang. Itu saja yang harus saya sampaikan. Saya tidak akan mengganggu istirahat Anda, selamat malam, Nona Serena."]

Kemudian panggilan ditutup. Begitu saja. Menyisakan Serena yang membeku seperti patung.  

Apa-apaan?

Ruhi mengawasi Serena yang baru saja masuk. Sahabatnya itu kini berubah linglung setelah menerima telepon tadi. Tampaknya ada hubungannya dengan seseorang yang menelepon sahabatnya itu, batinnya menebak. 

"Apa yang terjadi? Apa kata temanmu?" 

Serena kembali duduk di tempatnya. "Bukan apa-apa,"

"Kau yakin bukan masalah besar?" tanya Ruhi kembali. Pasalnya raut wajah Serena tampak sepucat mayat. Ia jadi khawatir ketika melihatnya. 

"Ayu yang tadi menelepon. Katanya besok cuti bekerja karena ada urusan keluarga dan memintaku agar membantu mengurus permohonan cutinya."

"Dia bisa langsung mengirim pesan melalui email atau telepon langsung ke supervisor kalian, kenapa pula kau yang direpotkan?" Ruhi menimpali dengan cemberut. 

Karena profesi mereka yang beda, waktu luang yang dia habiskan dengan Serena tidak banyak. Kecuali hari libur, dan di shift Siang begini, barulah dia bisa bertemu dengan Serena dan menghabiskan waktu bersama. 

Ia memiliki bisnis sendiri yang perlu perhatiannya, Cafe dan Studio Foto. Tidak punya banyak waktu untuk bertemu Serena meski dia ingin. Untuk bertemu saja, mereka perlu menyesuaikan jadwal. Sebenarnya merepotkan, tapi itulah konsekuensi yang harus mereka hadapi setelah menjadi dewasa, setelah mereka masuk ke dunia orang-orang sibuk bekerja. 

Serena menggaruk belakang lehernya yang tak gatal. Tidak mengerti sama sekali mengapa sahabatnya ini tidak suka dengan Ayu. Padahal dia adalah salah satu teman dekatnya. 

"Ini bukan masalah besar dan aku tidak keberatan melakukannya. Jangan terlalu berlebihan." Serena berkata membujuk tapi tampaknya semakin membuat wanita itu semakin kesal. 

"Terserah kau sajalah. Aku tidak mau lagi peduli denganmu!" ujarnya marah. 

"Kau mau ke mana?" Serena bingung karena tiba-tiba Ruhi berdiri dan mengambil tasnya. 

"Awalnya aku mau menginap, tapi kau malah menjengkelkan. Aku pulang saja." 

Serena langsung bangun dari duduknya, "Ruhi?"

Panggilannya tidak dipedulikan. 

"Tunggu sebentar. Aku minta maaf. Ruhi....!"

Blam! 

Dan suara pintu yang dibanting tertutup itu lah yang menjawab panggilannya. Ruhi telah pergi. 

"Astaga, aku lagi yang salah." desah Serena frustasi. Ia pergi keluar, ingin melihat apakah Ruhi sungguhan pulang atau pura-pura saja. Tapi saat dia menengok ke luar pagar dari lantai atas, mobil berwarna merah yang diparkir sudah tidak ada. 

"Anak itu benar-benar kekanak-kanakan." gerutu Serena tak habis pikir dengan tingkah sahabatnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Liar Mantan Posesif   Bab 12 - Bintang Di Langit

    Serena duduk di kursi kayu di depan kamar kosnya. Udara malam cukup sejuk, membelai kulitnya yang lelah setelah seharian bekerja di pabrik. Tangannya menggenggam secangkir kopi hangat yang sudah mulai mendingin, sementara tatapannya kosong, mengarah ke langit yang dipenuhi bintang."Tumben sekali bintang kelihatan dengan jelas malam ini." Ia bergumam lirih seraya menyeruput kopi di tangan. Kesunyian menyelimuti gang sempit tempat kos Serena berada. Sesekali terdengar suara kendaraan dari jalan raya di kejauhan, tapi selebihnya hanya ada desiran angin dan suara televisi dari kamar sebelah. Serena menarik napas panjang, membiarkan dadanya naik turun dengan berat.Lelah. Bukan hanya tubuhnya, tapi juga jiwanya.Ia memeluk dirinya sendiri, merasakan kedinginan yang bukan hanya berasal dari udara malam, tetapi juga dari kesepian yang semakin menggigit.Di pabrik tadi, Ayu menatapnya dengan kekhawatiran yang nyata. Terus bertanya-tanya tentang apa yang terjadi pada dirinya. Ia tidak bisa m

  • Hasrat Liar Mantan Posesif   Bab 11 - Transaksi 10 Juta

    Kevin menatap Serena dengan intens, matanya yang biru menyala penuh keinginan. Jemarinya menyusuri garis rahang wanita itu, mempermainkan ujung dagunya sebelum kembali menutup jarak di antara mereka. Bibirnya menekan bibir Serena, kali ini lebih dalam, lebih menuntut.Serena tersentak, tapi bukan karena ketakutan—lebih kepada ketidaktahuannya bagaimana harus merespons. Kevin bukan pria yang sabar ketika menginginkan sesuatu, dan Serena bisa merasakannya dari cara bibir pria itu bergerak di atas miliknya.Tangannya terangkat, secara naluriah menyentuh dada Kevin yang bidang di balik kemeja tipisnya. Ia bisa merasakan kehangatan tubuh pria itu, detak jantung yang keras seakan menunjukkan betapa ia menikmati momen ini dengan penuh semangat. Kevin menarik napas di sela ciuman mereka, membiarkan hidungnya bersentuhan dengan hidung Serena. "Kau terlalu kaku. Tidak bisakah kau rileks?" gumamnya rendah, suaranya serak dan bergetar bercampur gairah. Serena tidak bisa menjawab. Ia hampir lupa

  • Hasrat Liar Mantan Posesif   Bab 10 - Transaksi 10 Juta

    Serena tidak tahu dimana letak kesalahannya hingga dia harus mendapatkan penghinaan ini. 10 juta untuk setiap kali dia tidur dengan Kevin? Apakah menurutnya, aku telah menjadi sehina itu? Walaupun hatinya terasa sakit, seperti terkoyak dan hancur berkeping-keping, namun Serena tidak menampakkan kelemahannya untuk diketahui oleh Kevin yang teramat membencinya. Seolah penawaran tentang tubuhnya bukanlah apa-apa, Serena menunjukkan senyum mengejek ke arah Kevin yang tengah menunggu. "Untuk orang sekelas direktur sepertimu, menawarkan 10 juta setiap kali tidur denganku, apakah tidak terlalu murah? Tidakkah hal itu akan membuat hati nuranimu bersalah?"Kevin hanya terkekeh, dan dengan sepasang mata birunya yang dingin, ia pun membalas dengan hinaan yang lebih besar, "Kau harus sadar dengan nilai dirimu, Serena. Kau yang hanya wanita bekas pria lain, apakah masih bisa diberi harga tinggi selain 10 juta itu? Harga yang aku tawarkan, adalah harga yang paling masuk akal. Oh, tapi tentu saja

  • Hasrat Liar Mantan Posesif   Bab 9 - Kemunculan Tiba-tiba

    "Serena, ini sudah tahun ke lima kau bekerja di sini. Bapak sejujurnya senang dengan keuletan dan semangatmu selama bekerja." ucap Pak Wawan berbasa-basi.Serena merasa risih karena tiba-tiba membicarakan tentangnya. Apalagi di ruangan ini bukan cuma ada mereka berdua saja, melainkan juga ada Kevin dan kaki tangannya duduk mendengarkan. Apa tidak bisa kedua pria itu disuruh pergi dulu?"Ya, Pak, benar," jawab Serena membenarkan. Meski tak tahu mengapa Pak Wawan mengungkit hal ini, dalam benaknya ia merasakan firasat buruk yang samar."Karena sudah lima tahun, kau pun pasti tahu bahwa pinjamanmu pada perusahaan perlu dilunasi."Begitu kata hutang dibahas di sini, ekspresi Serena langsung berubah. Seketika itu ia menyela demi menghentikan manajernya ini merembet kemana-mana. "Pak Wawan, untuk masalah ini, bisakah tolong kita bicarakan berdua saja? Saya akan datang menemui bapak lagi, setelah bapak selesai dengan urusan bapak dengan tamu penting ini."Usai mengatakan itu, Serena berdiri

  • Hasrat Liar Mantan Posesif   Bab 8 - Kemunculan Tiba-Tiba

    Di jam istirahat, atap sekolah merupakan tempat dimana para siswa yang tidak memiliki circle pertemanan setara, untuk melarikan diri. Di sana, seseorang dapat melakukan apa saja tanpa perlu resah dan gelisah diintai oleh banyak pasang mata. Salah satu siswa itu tak lain adalah Serena. Baru sebulan pindah ke sekolah elit, ia telah di-bully oleh beberapa siswi yang tak suka padanya sebab terlalu cantik dan diincar banyak para pemuda. "Kau sering sekali kulihat datang kemari."Serena yang baru saya menyelesaikan makan siangnya menoleh ke arah sumber suara. Ia melepas Airpods di telinga, dan suara musik yang tadi mengalun kini menghilang. Ia dapat mendengar dengan jelas suara seorang pemuda tampan dan jangkung yang bicara padanya. "Ah, pantas saja saat aku memanggil dirimu, kau tidak menyahut. Jadi karena ini." Kevin sedikit membungkuk demi mengambil Airpods di tangan Serena. "Kau mencariku?" Serena bertanya bingung karena selalu bertemu dengan Kevin di atap sekolah. Entah apakah itu

  • Hasrat Liar Mantan Posesif   Bab 7 - Apakah Cinta

    Blam! Pintu kamar mandi dibanting tertutup oleh Kevin. Meninggalkan Serena sendirian di sana dengan ekspresi pucat yang sulit dideskripsikan. Usai kepergian Kevin dari sana, Lina Hui yang awalnya menunggu di luar bergegas masuk. "Apakah terjadi sesuatu?" tanyanya seraya mendekat. Ia sedikit terkejut saat mendapati bahwa wanita cantik di depannya tampak berantakan. Pakaian yang dikenakan Serena terlihat tidak rapi dengan kancing teratasnya terbuka. Memperlihatkan kulit mulus yang terdapat tanda kemerahan serupa tanda ciuman. Serena mengangkat kepalanya yang tadi merunduk. Ia menatap balik pada sepasang mata khawatir itu. "Tidak, tidak ada yang terjadi," Lalu seolah keadaannya bukanlah apa-apa, ia berbalik menghadap cermin, mulai merapikan pakaiannya, mengancingkan kembali kancing yang dilepas dan kemudian, ia berbalik, berjalan melewati Lina tanpa sepatah kata. "Apakah karena direktur...." Lina tidak lanjut mengucapkannya karena merasa bahwa itu percuma. Selain sang direktur yang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status