LOGINNeil terdiam cukup lama. “Usia kehamilannya?” tanyanya akhirnya. “Masih dini, Tuan. Baru beberapa minggu.” Neil menarik napas dalam-dalam. “Dan dia tidak mengatakan apa pun padaku.” “Sepertinya begitu, Tuan.” Neil menatap keluar jendela, matanya menyipit. “Terus awasi gerak-geriknya.” “Baik, Tuan.” “Tanpa satu pun kesalahan,” tekan Neil. “Jika dia keluar dari kota, aku mau tahu lebih dulu.” “Dipahami, Tuan.” “Dan satu hal lagi,” tambah Neil dengan suara rendah. “Ya, Tuan?” “Jaga jarak. Jangan dekati dia. Jangan biarkan dia merasa dia sedang diawasi.” “Baik, Tuan Neil.” Neil mengakhiri panggilan itu tanpa kata tambahan. Ponselnya diletakkan perlahan di atas meja. Ruangan kembali sunyi, namun kali ini terasa jauh lebih berat. Neil duduk di kursinya, menyandarkan punggung, menatap langit-langit kantor. Tangannya menyentuh pelipis, seolah mencoba meredam gejolak di kepalanya. “Jadi kau benar-benar hamil…” gumamnya pelan. Bayangan Lena muncul di benaknya—tatapan dingin, seny
Hujan turun pelan di luar rumah nenek Vero. Suaranya mengetuk kaca jendela seperti bisikan yang enggan pergi. Ruang tamu rumah tua itu terasa hangat, beraroma teh chamomile yang baru saja diseduh. Lena duduk di sofa, kedua tangannya saling menggenggam erat di atas perutnya yang masih datar—rahasia kecil yang hanya mereka bertiga ketahui.Selena berdiri di dekat jendela, menyilangkan tangan di dada. Wajahnya tampak tegang sejak Lena mengucapkan satu kalimat yang membuat jantungnya seakan berhenti berdetak.“Aku akan pergi dari New York untuk sementara waktu,” ucap Lena pelan, namun tegas.Selena berbalik cepat. “Pergi?” suaranya meninggi. “Pergi ke mana, Lena?”Lena menelan ludah. “Ke luar kota. Mungkin… ke luar negara. Aku belum tahu pasti.”“Apa maksudmu belum tahu pasti?” Selena melangkah mendekat. “Kamu tidak bisa bicara seperti itu lalu berharap aku tenang.”Nenek Vero yang duduk di kursi goyang menghela napas pelan. “Biarkan Lena bicara, Selena,” katanya lembut namun penuh wibawa
Langit gelap bertabur bintang di malam itu ketika pintu Selena’s Dream akhirnya tertutup di belakang Lena. Ia menghembuskan napas panjang, menuruni satu anak tangga, tangannya sibuk merapikan tas di bahu. Kepalanya masih penuh—rapat, pesanan klien, dan satu kunjungan yang sejak tadi berusaha ia hapus dari pikirannya.Namun sebelum ia sempat melangkah lebih jauh—Seseorang muncul dari samping.“Tunggu.”Lengan Lena ditarik kuat.“Aa—!” Lena terkejut, refleks menoleh, dan jantungnya seolah berhenti berdetak ketika wajah itu tertangkap jelas di hadapannya. “Neil?!”Suara Lena meninggi, nyaris berteriak.Neil berdiri tepat di depannya, rahangnya mengeras, sorot matanya tajam dan dingin. Tangannya masih mencengkeram lengan Lena seolah takut wanita itu akan menghilang jika dilepas.“Katakan,” ucap Neil tanpa basa-basi, suaranya rendah tapi penuh tekanan, “kau mengandung anak siapa, Lena?”Lena menegang. Ia langsung menarik lengannya dengan kasar.“Kau ini bicara apa, sih?” bentaknya. “Lepas
Ruangan itu dipenuhi aroma kopi hitam yang sudah mulai dingin. Neil duduk di balik meja kerjanya, jasnya masih rapi, dasi terpasang sempurna, namun garis di dahinya semakin dalam seiring matanya menelusuri dokumen demi dokumen. Suara halaman kertas dibalik terdengar konstan, seperti detak jam yang menegaskan betapa sibuknya pagi itu.Tok. Tok. Tok.Ketukan di pintu membuat Neil berhenti membaca. Ia menghela napas pendek tanpa menoleh.“Masuk,” katanya singkat.Pintu terbuka perlahan. Seorang pria bertubuh tegap dengan setelan hitam masuk dengan langkah terukur. Tatapannya tajam namun penuh kehati-hatian. Begitu pintu tertutup kembali, Neil baru mengangkat wajahnya.“Oh,” ucap Neil datar. “Silakan duduk.”“Terima kasih, Tuan,” jawab pria itu sambil duduk di kursi di depan meja.Neil menyandarkan punggungnya, menyilangkan tangan di dada. “Kau datang lebih cepat dari yang kuperkirakan, Teddy.”Teddy mengangguk tipis. “Saya hanya membawa laporan sementara, Tuan Neil. Saya rasa ini penting
Neil berdiri mematung di dekat jendela besar ruang kerjanya, menatap hujan tipis yang turun seperti tirai kelabu. Hari itu… seharusnya hari pernikahannya. Hari yang ia siapkan, hari yang ia impikan. Tapi wanita yang seharusnya berdiri di altar bersamanya… justru pergi meninggalkannya.Rahangnya mengeras. Ia meraih ponselnya, menekan satu kontak yang sudah sangat ia percaya.Nada sambung terdengar sebentar.“Ya, Tuan?” suara pria di seberang terdengar formal.Neil mengepalkan tangan. “Aku ada tugas untukmu.”“Perintahkan saja, Tuan.”“Awasi Elena Carter. Pemilik Selena’s Dream.”Ada jeda sunyi. “Elena Carter… Nona Lena?”“Ya.” Nada Neil merendah, dingin. “Laporkan semua pergerakannya. Semua. Tidak ada yang terlewat.”“Baik, Tuan. Saya mengerti.”Telepon ditutup. Neil menatap kembali ke jendela, matanya berkabut.“Lena… kau tak akan bisa bersembunyi dariku selamanya,” gumamnya lirih.---Rumah Sakit“Kandungannya sehat. Semua normal,” kata dokter sambil tersenyum.Lena mengembuskan napa
Tuan Rolland tersenyum puas. “Neil, ini—” “Saya kenal,” potong Neil pelan. Tatapannya menusuk langsung ke mata Lena. Suara itu… Cara ia mengucapkan kata-kata itu… Seolah ada ribuan memori yang kembali menghantam. Rolland tertawa kecil. “Oh? Baguslah kalau kalian sudah saling kenal.” Lena menelan ludah, mencoba tersenyum. “Selamat malam… Neil.” “Selamat malam, Lena.” Neil mengucapkannya dengan suara rendah, namun matanya… tak bisa disembunyikan. Ada sesuatu di sana. Rindu? Marah? Kekecewaan? Atau semuanya bercampur menjadi satu? Rolland melanjutkan ceritanya, tidak sadar tegangnya suasana. “Wah.. mengejutkan. Kalian berdua saling kenal seperti sebelumnya punya masa lalu, ya?” ia bercanda. Lena hampir tersedak. Namun Neil tersenyum tipis—senyum yang Lena kenal sangat baik. “Kami punya banyak cerita,” jawab Neil pelan. “Sangat banyak.” Lena memalingkan wajah, jantungnya berdegup kacau. Neil kembali menatapnya. “Bukanlah begitu, Nona Elena?” suara







