Dalam sekian tanggal horor yang ada di muka bumi, aku rasa hari ini adalah hari paling horor sedunia. Bukan masalahnya bakal terjadi apa tapi siapa yang datang ke rumah Pak Ravi dan disinyalir akan berbuat keonaran.Bu Gea dan Wita. Dua nama wanita yang paling aku ingin hindari kedatangannya. Aku melirik jam dinding yang sudah menunjukan waktu jam 12.00 pagi, itu berarti kedua wanita itu akan datang sebentar lagi.Astaga! Kenapa sih mereka harus datang saat besok aku mau wawancara beasiswa? Bikin kebebasanku sebagai gadis perawan yang merdeka terenggut paksa.Apesnya nasibku.Semula aku menyangka Bu Gea itu tipe mertua yang baik, ayu dan tidak sombong. Tapi, setelah tahu dari Wita kalau dia berbuat begitu demi menyenangkan anak angkatnya ketakutanku mendadak naik ke level dewa.Tadinya, aku berpikir kalau hanya Wita sih gampang-lah, sesama bocah bisa diatur. Tapi, ini emak-emak ... alamak! Mending pingsan aja deh.Duk! Duk!Berkali-kali kubenturkan kepalaku ke meja dapur hingga menim
"Sudahlah Wit, lagian masih untung ada yang mau sama anak angkat itu. Ibu sih gak masalah sama Sara karena yang penting Ravi tetep ngasih uang balas budinya, cuman kalau si Sara udah coba ngalangin awas aja!""Ya, Wita tahu Bu, tapi ...."Terdengar hening sejenak."Tapi apa?""Wita suka Bu sama Mas Ravi. Kenapa sih Ayah gak mau jodohin Wita aja?""Wita! Syut! Nanti ada yang dengar!""Iya, gue dengar Bu, nih dari tadi udah kayak cicak. Nemplok di pintu," gumamku pelan menyahut dari luar kamar.Aku menghela napas mendengar percakapan Bu Gea dan Wita. Hari ini aku diminta membuat bubur oleh Ibu. Namun, ketika aku mau memberikannya, telingaku malah menangkap pembicaraan aneh ini dan kuputuskan untuk diam di balik pintu. Menguping.Sebenarnya, aku tahu pernikahan memang mewajibkan seorang perempuan untuk beradaptasi dengan keluarga suaminya. Sudah semestinya aku harus mencoba akrab dengan Wita dan Bu Gea, tapi setelah kejadian hari ini aku sangsi sikapku akan tetap sama. Rasa hormatku pada
Aku menghembuskan napas berat. Akhirnya, Bu Gea dan Wita kembali ke habitatnya juga dan saat ini kami sedang berada dalam perjalanan pulang menuju rumah usai mengantar mereka. Diam-diam aku merasa bersalah juga menyesal.Sumpah demi apa pun aku tak pernah menyangka kalau yang memakan bubur itu bakalan Bu Gea. Ini di luar dugaanku. Alhasil, akibat tingkah isengku itu Bu Gea memutuskan pulang, katanya apa yang kubuat keterlaluan.Fiuh! Semakin sulit deh langkahku menjadi menantu yang direstui. Padahal aku tadi sudah meminta maaf berulang kali tapi Bu Gea tetap marah.Namun, meski ibu mertuaku kasar dan nyebelin. Sebagai menantu aku tetap bersyukur untungnya Bu Gea tak kenapa-napa, setelah dikasih obat diarenya mereda. Hanya ... kurasa dia akan semakin membenciku setelah ini.Aku yakin itu. Bodoh! Sara Bodoh!"Sudah sedihnya?" Aku menggerakan kepala ke samping saat Pak Ravi bertanya. Aneh sekali, lelaki itu seakan tak peduli meski ibu angkatnya marah kepada kami. "Belum," jawabku pend
Jika saja pintu doraemon itu ada, maka aku ingin pergi dari kampus terus menuju ke Korea untuk operasi plastik.Buat apa? Buat operasi muka, sebelum satu kampus tahu kalau aku seorang pendusta. Masih terngiang di benakku, dulu di depan kelas KIM-A aku bilang kalau aku belum menikah tapi semenjak kejadian di rumah makan padang, aku jadi khawatir lambat-laun si Kenzi bakal menyebarkan kabar pernikahanku dengan Pak Ravi. Namun, perasaan sejauh mata memandang aku belum menemukan keanehan. Semua orang masih memandangku sama, terutama mahasiswa yang diajar Pak Ravi. Mereka tampak masih ramah dan sumringah ketika berpapasan denganku. Mungkinkah Kenzi belum mengumumkannya? Kalau begitu rasa-rasanya kedudukanku masih aman. Howaah!Aku menguap sambil menunggu dengan sabar di koperasi. Hari ini tugasku adalah meng-copy bahan ajar Pak Ravi dan bahan referensi untuk ujian beasiswa S-2-ku. Sayang, lagi asyik-asyiknya mengantuk sambil melamun seseorang menepuk pundakku. "Teh Sara! Teh!""Kenzi
Kampus gempar. Sesuai dugaanku, semenjak Pak Ravi dengan santainya mengatakan pada Bu Agnes kalau aku istri sah Pak Ravi, beberapa hari ini semua orang di kampus yang kutemui jadi mendadak aneh. Dari mulai tukang parkir sampai ke teman seangkatanku jadi banyak bergosip dan berbisik-bisik nggak jelas.Tidak tanggung-tanggung spekulasi buruk mulai bermunculan dari para warga kampus. Ada yang bilang Pak Ravi kena pelet-lah, aku yang pakai susuk-lah sampai ada yang bilang aku hamil di luar nikah.Kacau! Kacau!Heran aku tuh, kenapa sih Pak Ravi harus jujur? Udah tahu Bu Agnes mah orangnya pendendam.Siapa pun yang jadi lawannya pasti enggak bisa bernapas dengan mudah di kampus ini. Setidaknya itu yang aku dengar dari Hana, mahasiswa S-2 yang info ghibah-nya selalu aktif."Gila! Lo liat gak tadi si Sara? Sok kecakepan banget dia, padahal dia banyak hutang banget," celetuk seorang cewek pada dua temannya yang lain.Tampaknya mereka baru masuk kantin dan tidak tahu kalau siang ini aku pun ma
Orang bilang kentut di depan suami itu adalah bagian dari bentuk keakraban sekaligus tanda kita sudah nyaman. Nah, masalahnya kentut yang kulakukan itu terbilang kentut yang kurang ajar jauh dari kata bentuk akrab.Orang lagi sakit malah dikasih kentut. Untung jadi sembuh, coba kalau jadi nambah sakit? Bisa bahaya jika Pak Ravi pingsan karena baunya."Udah buang air besarnya?" tanya Pak Ravi saat aku baru keluar dari toilet.Aku nyengir kuda. Merasa bersalah juga lega. Pantas saja kentutku bau soalna aku baru ingat belum BAB."Udah Pak. Hehe ... oh ya, buburnya enak gak?" kataku sambil menghampiri Pak Ravi yang sedang duduk di atas kursi meja makan. Mengalihkan issu adalah jalan ninjaku.Aku mengambil tempat tepat di depan Pak Ravi yang masih sibuk menyantap bubur yang kubuat tadi.Melihat Pak Ravi terlihat lebih baik dan segar, dalam hati aku tersenyum senang, setidaknya dia tak nampak mengkhawatirkan lagi meski masih sedikit pucat."Mau jawaban jujur atau modus?"Bukannya menjawab,
Mataku terbuka saat suara dorongan pintu paling pelan menyapa gendang telinga. Samar aku melihat warna cat kamar yang berbeda.Perasaan kamarku nggak bercat abu. Kok, ini jadi abu? Terus baunya ini ... sepertinya aku kenal.Di mana aku? Aku memegang kepalaku yang terasa pening lalu mencoba bangkit dan mendudukan diri."Aw!" Aku meringis saat kurasakan daerah selangkanganku yang sedikit sakit.Ah, kenapa ini? "Sudah bangun?" Sebuah suara menyapa. Aku sontak mendongak melihat sosok yang baru saja masuk ke dalam kamar. Melihatnya di kamar ini membuatku dengan cepat menyembunyikan wajah malu.Seketika otakku cepat berfungsi dengan baik dan sadar kalau semalam kami sudah melewati batas tapi entah mengapa aku tak merasa bersalah.Kami halal. Ya, toh?Pak Ravi tersenyum melihatku yang seperti kucing ketahuan mencuri ikan. Wajahku pasti sangat merah karena siapa sangka kalau yang merebut keperawananku adalah Pak Ravi.Entah harus bahagia atau sedih."Sudah jangan malu-malu gitu. Minum air
POV RAVIAku tersenyum saat melihat Sara dengan gembira bermain pasir putih yang terbentang sepanjang pantai. Rambut panjangnya yang tertiup anginberkibar menjadikannya lebih cantik.Sara adalah istimewa. Itulah yang kuketahui sejak pertama kali mengenalnya. Kuakui rasa pada Sara terasa lebih dalam dan kuat seiring berjalannya waktu. Maka, ketika hari ini aku melihatnya bersama ibu kandung yang telah kuanggap mati, jiwa ini seakan memberontak.Aku tak rela Sara dekat-dekat dengan wanita kejam itu, aku takut dia terpengaruh sehingga meninggalkanku seperti Ibu.Setiap melihat wajah Sara, entah kenapa aku kadang ragu apakah hubungan kami bisa berjalan lama? Bukan. Bukan karena aku menyangsikan kesetiaannya tapi aku takut tak sanggup bertahan tanpanya."Makasih ya Pak, Bapak udah bawa aku ke pantai," kata Sara dengan senyuman di bibirnya yang kemerahan."Iya, sama-sama tapi bisakah kamu gak panggil saya lagi dengan sebutan Bapak? Saya suamimu dan udah mengambil kesucianmu pula, masa ma