"Astaga… kenapa kau sangat keras kepala? Apa yang harus kulakukan padamu agar perutmu itu terisi dengan bubur ini?" Maia mencoba bertanya apa yang Juan inginkan.
"Ayolah... Lima suapan saja-pun sudah lebih baik dan aku tidak akan memaksamu lagi memakan bubur itu. Aku akan membuangnya setelah lima suapan." bujuk Maia.Juan tersenyum dari dalam selimut. Perhatian Maia padanya sungguh sangat besar saat ini. Ia juga tidak ingin membuat Maia kerepotan lebih lama dan membuat semua orang mencemaskannya saja.Tapi apa boleh buat? Bubur itu memang sangat menjijikkan di matanya.Juan membuka selimut dan mengeluarkan kepalanya untuk melihat apa yang Maia lakukan. Lalu ia mendapati Maia hanya diam dengan tatapan wajah memelas saat menunggunya menjawab."Jangan tunjukkan wajah seperti itu. Aku ingin sembuh dan tidak ingin semua orang mengkhawatirkanku. Tapi aku tidak akan menelan hal seperti itu." Juan menjawab lagi."Ayolah... Aku akan mela“IronClaw, sudahi dukamu. Jane sudah tenang di sana,” ucap Icarus pada Mike, “Target utama… sudah terbang. Sepertinya itu bos mereka.” ucapnya dengan suara rendah.Mike, Axel, dan Sylas yang berjongkok di sekitarnya menoleh hampir bersamaan. Sunyi hutan hanya dipecah suara jangkrik dan napas tertahan.Mike mengepalkan tangan, “Berarti ini saatnya. Tanpa bosnya, markas mereka lebih rapuh.”Axel meraih senapannya, senyum tipis muncul di wajahnya, “Sudah lama aku menunggu momen seperti ini.”Sylas hanya mengangguk, matanya dingin seperti bilah baja, “Itu artinya Bos masih di dalam sana, kan?”Icarus menandai titik-titik pertahanan musuh di layar, “Kemungkinan besar, ya. Titik keberadaan Bos masih di tempat itu. Kita harus ke sana untuk memastikan Bos di sana.”“Gerbang utama dijaga ketat. Tapi sisi utara punya blind spot. Kamera mereka mati dalam lima detik setiap putaran. Itu jalan kita masuk.” Lanjut Icarus lagi.Mike menghela napas panjang, lalu berdiri tegak, “Baiklah, Blood Lotus. M
Saat itulah suara deru mobil Juan terdengar di kejauhan. Ia melompat keluar bahkan sebelum kendaraan benar-benar berhenti. Nafasnya tersengal, wajahnya panik setelah menerima panggilan terakhir dari Jane. Tanpa pikir panjang, Juan langsung masuk ke barisan tembakan, menembak membabi buta untuk memukul mundur para penyerang.“Berhenti! Jangan sentuh keluargaku!” teriaknya sambil menghantamkan peluru ke arah musuh.Namun teriakan itu terpotong dentuman tajam.Dor!Peluru penembak jitu menembus tubuhnya. Juan terhuyung, tapi tetap berusaha melawan, berusaha berdiri, hingga satu lagi peluru menghantam dan membuatnya tersungkur di halaman.Di tengah kekacauan itu, Maxim melihat wanita asing berjalan tenang, penuh kendali. Wajahnya samar di balik asap dan bayangan, tapi jelas dialah yang memimpin. Para penyerang menarik Leo dan Monica yang masih memeluk Valeria secara paksa dari rumah. Tangis Leo dan rengekan nyaring Valeria itu menusuk hati, tapi tak seorang pun dari mereka bisa menghen
Di pinggiran Texira, dalam hutan pembatas daerah tersebut.Mike berdiri tegak di antara pepohonan lebat. Angin malam membawa aroma tanah basah dan dedaunan kering yang tertindih sepatu para anggota Blood Lotus. Kendaraan mereka diparkir rapat di balik semak, disamarkan dengan jaring kamuflase.“Dari pantauan satelit yang didapatkan GhostWire, markas Diego ada di arah timur laut, sekitar tiga kilometer dari titik ini.” Suara Mike dalam, tegas, dan bergema di antara sunyi hutan.Ia mengeluarkan peta lipat lusuh dari ranselnya, membentangkannya di atas kap mobil. Jari telunjuknya menekan tanda merah yang menggambarkan bangunan persembunyian Diego, “GhostWire, bicaralah.”“Markas itu bukan sekadar rumah. Itu benteng. Dikelilingi pagar besi setinggi enam meter dengan kawat berduri ganda. Menara penjaga ada di empat sudut, masing-masing dilengkapi lampu sorot dan senjata otomatis. Hanya ada satu gerbang utama, dijaga puluhan orang bersenjata.”Semuanya mendengar dengan seksama sambil membay
Tubuh Maia masih terasa sakit di sekujur badan, bekas luka akibat kobaran api dan hempasan ledakan lapas masih menyisakan perih yang mendalam. Nafasnya sesak, kulitnya panas dingin, dan seluruh tubuh seakan memberontak menuntut penanganan medis yang layak.Diego tahu, tanpa pertolongan, Maia bisa saja kehilangan nyawanya. Maka malam itu, ia membawa seorang dokter wanita ke tempat persembunyiannya.Dokter itu melangkah masuk dengan wajah pucat pasi. Matanya bergetar penuh kecemasan, tangan yang membawa kotak medis pun sempat gemetar.Bukan hanya karena menghadapi pasien yang kritis, tetapi juga karena ia sadar sedang berada di sarang milik Diego—pria yang hawanya misterius dan berbahaya. Terbukti dengan banyaknya pria berpenampilan tidak biasa, serba hitam dan di pinggang masing-masing terselip senjata api.Saat dokter mulai membuka perban dan memeriksa luka Maia, sesekali ia melirik kanan-kiri, seakan ada tatapan maut dari anak buah Diego yang berjaga di sudut ruangan. Setiap kali men
Markas Blood Lotus–Dataran Tinggi MineTown. Rumah tua bergaya klasik mewah itu berdiri membeku di antara kabut pegunungan. Dinding kayunya masih menyimpan bayangan masa kecil Maia. Namun malam ini, ketenangan itu buyar oleh dering ponsel Mike yang berkali-kali bergetar di meja panjang ruang utama.Mike menghela napas berat. Sepekan penuh ia sudah mengabaikan nomor yang sama. Itu dari Jane. Adik tirinya itu selalu mendesak dengan berita-berita yang tidak ingin ia dengar. Bahkan saat mengabarkan dan meminta bantuan untuk The Galaxy waktu itu saja, Mike enggan.Baginya, kepergian Maia adalah umpama tali yang putus. Mike tidak ingin larut dengan keluarga O’Neil yang nyatanya penyebab bos mereka pergi.Tapi entah kenapa, kali ini tangannya tergerak untuk mengangkat.‘Mike… penjara tempat Bos ditahan… meledak… semua orang di dalamnya mati!’ Suara Jane terdengar terisak, hancur.Mike membeku. Ponsel nyaris jatuh dari genggamannya. Ia mendongak menatap layar televisi besar yang memang selal
Maia menunduk, tubuhnya gemetar. Dengan suara parau ia akhirnya berkata pada sipir di hadapannya, “Aku… menyerah. Katakan pada Diego, aku setuju ikut dengannya.”“Tapi satu hal. Jangan sentuh keluargaku. Itu syaratku.”Sipir itu menatap datar, lalu mengangguk tipis, “Baik. Aku akan sampaikan.” Tanpa sepatah kata lagi, ia meninggalkan ruangan interogasi.Hening kembali menyelimuti. Maia terduduk di kursinya, menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Air matanya jatuh deras, membawa rasa pahit dari kekalahannya sendiri.*Beberapa jam setelah itu, malam di penjara mendadak berguncang. Terjadi ledakan keras yang memecah keheningan, tepat di sebelah sel tempat Maia ditahan. Dinding bergetar hebat, api menyembur dari celah-celah besi. Jeritan panik membahana, asap tebal segera memenuhi lorong-lorong.Maia tersentak, terlempar ke lantai. Panas menjilat kulitnya, telinga berdengung, “Astaga…” desisnya, berusaha bangkit di tengah kekacauan.Tubuh-tubuh terpanggang di balik jeruji, jeritan re