"Mbak... maafkan aku," kata Senja dengan suara lirih, wajahnya sembab seperti habis menangis. Lani mengangkat pandangannya, menatap anak perempuannya dengan kebingungan bercampur haru."Apa maksudmu, Sayang?" tanya Lani pelan, suaranya hampir bergetar."Aku... aku menyesal nggak mengakui Mbak Lani sebagai ibuku. Aku salah, Bu," ujar Senja lagi, kali ini sambil melangkah lebih dekat. Matanya berkaca-kaca, namun ada keberanian yang terpancar.Lani tak sanggup berkata apa-apa. Ia membuka tangannya, mempersilakan Senja masuk dalam pelukannya. Ketika tubuh mungil itu akhirnya berada dalam dekapannya, Lani menangis sejadi-jadinya."Senja, Ibu nggak pernah marah. Kamu selalu jadi anak Ibu. Kamu tahu itu, kan?" bisiknya di telinga anaknya. Senja mendongak. Senja hanya menjawab dengan isakan, tanpa berkata apa-apa lagi.Lani terbangun dengan tiba-tiba. Napasnya tersengal-sengal, keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia menyeka air mata yang entah kapan mulai mengalir. Matanya menyapu kamar ya
Minggu sore itu terasa sunyi. Di ruang tamu rumah Alzam, Agna duduk di sofa panjang, mengenakan gaun kasual berwarna biru pastel. Jemarinya memainkan ujung bantal kecil di pangkuannya, sementara tatapannya terus mengarah ke jendela besar di depan. Jalanan di luar sepi, hanya sesekali terdengar suara motor melintas.Ponsel yang tergeletak di meja kecil di sampingnya tiba-tiba bergetar. Nama "Arhand" muncul di layar. Agna menggigit bibir bawahnya, ragu sejenak, sebelum akhirnya menjawab. Apa yang terjadi padanya dan Arhand kapan hari di cafe, membuatnya merasakan sensasi yang luar biasa. Namun begitu, jauh di lubuk hatinya, dia merasa itu tidaklah benar. Aku punya suami, apa kata orang jika mengetahui justru aku yang selingkuh dengan bermain api dengan Arhand, bathinnya."Agna,..""Ya?" suaranya terdengar pelan tapi ragu."Sedang apa?" tanya Arhand dari seberang telepon. Suaranya terdengar akrab, hampir seperti seorang kekasih yang sedang memeriksa keadaan.Agna melirik lagi ke jendela
Malam itu, lampu kamar Alzam menyala redup. Agna melangkah pelan ke pintu kamar yang sedikit terbuka, seolah takut membangunkan suaminya. Ia mengintip ke dalam, memperhatikan Alzam yang tertidur lelap di atas ranjang. Wajahnya terlihat damai, tubuhnya yang kekar terekspos karena ia hanya mengenakan sarung setelah sholat Maghrib dengan baju atas yang sudah diletakkan di gantungan baju sisi pintu. Agna menelan ludah, matanya tak lepas dari dada bidang itu. Untuk sesaat, ia merasa seperti seorang gadis muda yang tengah menatap cinta pertamanya, meski ia tahu perasaan itu salah.Namun, benarkah ini salah? batinnya bertanya. Bukankah dia suaminya? Pria yang dulu ia nikahi dengan harapan meningkatkan karier politiknya. Tapi kini, sesuatu yang lain tumbuh. Perasaan yang perlahan mengambil alih, membuat hatinya bergejolak. Apakah ini cinta? Atau hanya cemburu yang tak terkendali?Agna melangkah masuk, menutup pintu perlahan. Udara di kamar terasa dingin, tapi tubuhnya justru terasa panas. Ia
Lampu kamar Lani remang, menciptakan bayangan lembut di dinding. Suara detak jam terdengar jelas dalam keheningan malam. Ia terbangun saat merasakan kehangatan di pinggangnya. Mata Lani terbuka perlahan, dan ia menoleh."Mas, kenapa malam-malam begini kamu kemari?" tanyanya setengah bingung, melihat Alzam yang memeluknya erat dari belakang.Alzam tidak menjawab langsung. Ia memandang Lani dengan intens, wajahnya serius namun lembut. "Aku memikirkanmu terus, Lani. Aku nggak bisa tidur.""Dibilang aku nggak kenapa-kenapa, napa? Bukannya kamu tadi sudah nelpon aku, dan aku sudah bilang aku baikan?" Saat Agna masuk kamar tadi, Alzam memang sedang menelpon Lani.Namun, alih-alih melepaskan pelukannya, Alzam justru mendekatkan wajahnya ke Lani. Matanya menatap dalam ke matanya, lalu jemarinya membelai pipinya pelan."Lani," katanya dengan suara serak, penuh emosi. "Aku nggak bisa berpura-pura. Aku nggak bisa ngelihat kamu sedih, apalagi kalau kamu masih mikirin Senja."Lani terdiam menatap
Agna menghela napas panjang, menatap mobil Taft di depan matanya. Hatinya penuh rasa kesal, tapi ia menahan diri. Dengan cemberut, ia membuka pintu mobil, duduk di kursi samping pengemudi, lalu diam tanpa berkata apa-apa. Alzam, yang sudah duduk di kursi kemudi, melirik sekilas."Kamu cemberut terus," ucap Alzam datar sambil menghidupkan mesin mobil."Mas tahu aku nggak suka mobil ini, kita pakai untuk acara seperti ini," balas Agna tanpa menoleh. Ia memandang keluar jendela, mencoba menyembunyikan rasa kesalnya."Kalau nggak suka, turun saja, kamu pikir aku juga suka selalu kamu yang di dekatku, mendampingiku," ujar Alzam sambil mengarahkan mobilnya ke jalan utama. Ucapannya terdengar dingin, tapi ia tetap fokus pada jalan.Agna hanya mendengus, memilih diam. Ia tahu, berdebat dengan Alzam hanya akan membuat suasana semakin buruk. Namun, pikirannya sibuk memikirkan rencananya malam ini. Ia menyentuh tas kecil yang diletakkannya di pangkuan, memastikan sesuatu di dalamnya tetap ada.
Alzam berdiri di dekat meja hidangan, menyendokkan sate ayam ke piringnya. Di sebelahnya, Dandi dan Hanum terlihat asyik berbincang. Hanum, perempuan dengan jilbab biru langit yang terlihat elegan, menyapanya dengan senyum ramah."Selamat, Kapten Alzam. Pujian Pak Bara biasanya selalu ada alasan," ujar Hanum lembut. "Semoga segera menyusul Mayor Wibowo."Dandi, yang sudah lebih dulu memegang piring penuh makanan, menimpali sambil tertawa kecil. "Dia mah pasti bisa. Dan bener kata Hanum,' ucapnya dengan mendekat ke Hanum."Sepertinya baru jadi calon ibu Persit, kamu telah tau banyak hal, Hanum.""Dia kan aktif mengikuti perkembangan banyak hal Kep," dukung Dandi. "Tapi dia ghak salah kan?"Alzam hanya mengangguk. "Masih jalan panjang, Dan. Tapi, terima kasih."Sebelum percakapan berlanjut, Prayit datang dengan senyum cerah. Sosoknya sederhana namun penuh semangat. "Eh, Alzam! Dandi!" serunya, menyalami mereka. "Kapan aku bisa kayak kalian, jadi Kapten? Rasanya susah banget!"Dandi terta
"Belum lama mereka pergi, kok sudah pulang lagi. Sepertinya Mas Alzam sakit. Aku lihat Mbak Agna merangkulnya berjalan tadi," suara lirih Bu Sarem memecah kegelisahan Lani yang berdiri di ruang keluarga. Wanita paruh baya itu menyeka tangannya dengan celemek, matanya menatap Lani penuh tanya.Lani tersentak, pikirannya yang sejak tadi melayang kembali tertambat ke kenyataan. "Mungkinkah dia sakit, Bu?" gumamnya. "Siang tadi aku lihat dia pulang dari kerja sehat-sehat saja." "Iya ta, Mbak. Tapi wajahnya tadi pucat. Mbak Agna kelihatan buru-buru."Ucapan itu membuat dada Lani semakin sesak. Ia hanya tersenyum kecil pada Mbok Sarem. Langkahnya gontai menuju kamar. Tapi pikirannya terus bergulat. Sakit? Sakit apa yang diderita Mas Alzam? Kenapa dia seperti lemas begitu?Ia berjalan mondar-mandir, kedua tangannya saling meremas. Kecemasan semakin merayapi. Setiap kali memikirkan kondisi Alzam, hatinya berdegup tak karuan. Ia tak bisa menghilangkan bayangan wajah lelaki itu—pandangan mata
Lani mendesah pelan, tubuhnya menggigil dalam balutan udara dingin malam walau selimut tebal membungkus dirinya dengan Alzam yang tidur memeluknya. Jam dinding menunjukkan pukul tiga dini hari. Ia memandangi Alzam yang terbaring dengan wajah tenang, meski ada bekas kecemasan yang samar di wajahnya. “Mas…” panggil Lani.Alzam hanya bergeming. Ia seperti terjebak dalam tidur lelap. Lani meraih baju di dekat tempat tidur, lalu duduk di tepi tempat tidur, menggoyangkan pundak Alzam dengan lembut. “Mas, bangun. Kita belum salat Isya’, kan?”Alzam menggerakkan kepalanya sedikit, tapi matanya tetap terpejam.“Mas, bangun. Salat dulu,” kata Lani lagi, kali ini dengan nada sedikit mendesak.Tak ada respons. Lani mencoba lagi, kini dengan menggoyang tubuhnya lebih kuat.“Mas, kita belum salat, bangun.”Masih tak ada jawaban. Akhirnya Lani ke kamar mandi. Melaksanakan mandi besar. Lalu kembali duduk di sisi Alzam, kali ini dengan mendekatkan rambutnya ke wajah Alzam. “Masih ghak mau bangun?” Se
Menjelang pagi, suasana rumah Lani dan Alzam perlahan kembali hening setelah malam penuh kebahagiaan. Namun pagi itu juga menjadi momen yang berat bagi Mira. Ia harus berpamitan."Lani...," suara Mira lirih, menahan air mata. "Aku pamit ya. Seperti yang kita rencanakan, aku resign. Lagian, kehamilanku udah masuk tujuh bulan. Kayaknya waktunya istirahat dan fokus siapin semuanya."Lani memeluk Mira erat. "Kamu yakin? Aku belum siap kehilangan kamu, Mir. Excel juga pasti cari-cari."Alzam menghampiri dengan senyum hangat. "Tenang aja, Lani. Kita bisa sering main ke sana. Lagi pula rumah Rey juga kan deket, cuma dua jam lebih dikit. Rey juga bisa mancing di sini."Mbok Sarem menenteng tas kecil sambil mengelus perut Mira. " Mbok doakan lancar sampai lahiran. Tapi ya itu, nanti kalau kamu lahiran, Mbok boleh ke sana, kan?"Mira tertawa kecil. "Wajib, Mbok. Nggak lengkap rasanya tanpa kehadiran Mbok."Excel yang baru bisa merangkak cepat, tiba-tiba menghampiri Mira sambil menyodorkan botol
Sore mengendap di antara sela-sela pepohonan di halaman belakang rumah Arhand yang dipenuhi harum rempah dan suara tawa. Tapi tak ada yang bisa menyaingi keharuan yang hadir hari itu.Di bawah naungan tenda sederhana berhiaskan lampu-lampu kecil, Arhand dan Agna duduk bersisian. Seorang kyai sepuh dari pesantren dekat rumah memimpin akad nikah yang syahdu, hanya dihadiri oleh keluarga, Evran, Arman, Manda, Thoriq, Salma, Elmi, Aksa, Alzam dan Lani. Tak ketinggalan, Arya dan istrinya yang kini telah berdamai dengan masa lalu.Mereka memang menggelar acara itu di halaman belakang rumah yang luas namun tertata rapi, para tamu keluarga duduk di atas tikar pandan, menyaksikan prosesi kecil yang begitu sakral. Tak ada gaun mewah, tak ada undangan bertumpuk, hanya kehadiran orang-orang terkasih yang telah menemani perjalanan panjang Arhand dan Agna.Evran duduk di sisi depan, menggenggam tangan Arman erat. Di sebelah mereka, Manda tak mampu menahan air mata saat melihat putranya berdiri teg
Menjelang maghrib, sebuah mobil boks putih bertuliskan nama catering ternama berhenti tepat di depan rumah Alzam. Beberapa pekerja turun dengan sigap, membongkar kotak-kotak makanan, mengangkat panci besar, dan menurunkan nampan berisi hidangan lengkap. Tak lama kemudian, satu per satu terop berdiri di halaman rumah. Warga mulai berdatangan, heran dan penasaran dengan suasana yang tiba-tiba ramai ini.Lani, yang sedang menidurkan Excel, langsung keluar begitu mendengar suara gaduh. "Mas, ini semua apa?" tanyanya dengan nada bingung.Alzam hanya mengangkat bahu sambil tersenyum, pura-pura tak tahu. "Aku juga baru lihat ini, Lani. Mungkin ada orang yang salah alamat?""Mas... jangan bercanda. Ini rumah kita. Lihat itu, teropnya sudah hampir jadi."Mbok Sarem yang baru saja selesai menyiapkan camilan untuk semua orang, ikut keluar dan berdiri di samping Lani. "Masya Allah, ini ada acara apa, to, Mas Zam? Kok kayak mau mantenan aja."Lani memutar-mutar ponselnya, mencoba menghubungi Mira.
Arhand dan Agna saling berpandangan ketika suara dari ponsel membuat mereka terdiam. Arhand mengernyit, mencoba mengenali nada bicara itu—terdengar lelah, namun juga penuh tekanan."Maaf, apa benar ini nomornya Mas Arhand?""Iya. Ini saya sendiri. Maaf, ini siapa ya?"Dari seberang sana, terdengar helaan napas berat sebelum suara lain, jauh lebih familiar namun dibalut amarah dan kekhawatiran, mengambil alih sambungan."Arhand! Astaghfirullah, kamu ke mana aja? Kami tunggu dari kemarin sore di Munding Wangi. Kamu ke mana? Omahmu ini udah nyaris sesak karena semua nanya kamu di mana!""Oma?" Arhand langsung berdiri, panik. Ia memutar langkah ke arah jendela, mencoba menjauh dari Agna agar percakapan lebih tenang. "Oma, maaf... aku—aku...""Apa kamu sama perempuan itu, hah? Oma bisa terima kamu memang sudah sah menurut negara, tapi menginap, satu apartemen? Ya Allah, Arhand... jangan cemari darah keluarga kita dengan aib!" Suara Oma Evran meninggi, dan di latar belakang terdengar suara M
Arhand merapatkan pelukannya. Hawa malam yang sejuk dari jendela balkon tetap terasa hangat di antara mereka. Agna merebahkan kepalanya di bahu Arhand, mencoba menenangkan debaran jantungnya sendiri. Aroma parfum lembut yang ia kenali sejak dulu masih melekat di kemeja pria itu."Aku nggak nyangka... kita bisa begini," lirih Agna."Kenapa? Kamu nggak suka?" tanya Arhand pelan, hampir seperti berbisik di telinga."Suka... Tapi takut," jawab Agna jujur."Takut kenapa?""Takut kita kelewatan. Kita bawa diri ke tempat yang terlalu nyaman, lalu kita kehilangan kendali."Arhand menarik napas panjang, tapi tak menjauh. Sebaliknya, ia justru menyentuh pipi Agna dengan lembut, menatap wajah perempuan itu dengan serius."Aku bawa kamu ke sini bukan buat itu, Agna. Aku cuma pengen kita bisa bicara dari hati ke hati, jauh dari ributnya dunia luar. Tapi aku juga manusia, aku... aku nggak bisa bohong, rasa untuk itu ada. Aku lelaki normal, di dekatmu aku seperti hilang kendali. Agna, aku,.."Agna m
"Mir, kamu kenapa?"Mira makin mengeratkan pelukannya, bahkan mencium Rey dengan begitu saayangnya. Binar ceria nampak tergambar di matanya."Mira, jangan bikin aku takut kayak gini, dong."Mira makin terkekeh dan mengajak Rey bercanda dan bermanja.Malam semakin larut ketika aroma embun mulai merambat dari sela jendela kamar yang terbuka sedikit. Lampu redup menemani keheningan malam di rumah Alzam yang kini kembali tenang setelah membahas soal keramaian resepsi siang tadi. Kamar yang biasanya hanya ditempati Mira kini terasa lebih hangat—bukan hanya karena Rey yang kini hanya di kamar, tapi juga karena kehadiran cinta yang tak terbendung di antara mereka.Rey duduk di tepi ranjang, sementara Mira bersandar di bahunya. Tangannya yang besar membelai pelan rambut istrinya, seperti mencoba menghapus kelelahan yang masih menggantung di wajah cantik itu."Kamu ngapain mandangin aku terus?" Mira melirik."Lagi jatuh cinta, Mir. Sama istri orang."Mira mencubit lengan Rey pelan. "Istrimu se
Kota Makassar malam itu gelap tanpa bintang. Awan menggantung rendah, seolah tahu ada yang sedang gundah turun dari pesawat malam. Arhand menapakkan kakinya di bandara dengan langkah berat, membawa koper kecil dan tas selempang yang lebih berisi kegelisahan daripada barang-barang.Baru beberapa langkah keluar dari pintu kedatangan, sebuah tangan menarik pergelangan tangannya. Lembut, tapi membuat jantungnya berdegup."Bukan aku ingin menghianati janjiku, Arhand," suara Agna lirih namun tegas. Matanya menatap Arhand, dengan kelopak yang lelah, seperti habis menangis.Arhand berhenti, menatap perempuan yang kini berdiri di hadapannya. Ada syal panjang membalut kepala Agna. Tidak seperti biasanya. Bukan hijab penuh, tapi semacam penyesuaian. Agna mencoba, meski belum yakin."Tapi setelah aku bertemu ibumu tadi... aku takut, Hand. Takut aku tak akan bisa menjadi menantu yang baik untuk beliau. Dia membenciku. Tatap matanya seolah tak sudi padaku."Arhand tidak langsung menjawab. Ia hanya
Keluarga besar Arhand sudah lebih dulu tiba di Munding Wangi, membiarkan Arhand bicara dengan mertuanya. Mereka sejak belum selesai acara sudah ingin pulang. Bukan hanya Thoriq dan Salma yang mendengar perbincangan tak enak di kalangan orang besar itu, khususnya di kalangan partai yang dinaungi Agna. Walau mereka berusaha bungkam dengan seolah tak terjadi apa-apa, sampai waktu mereka dipakai untuk menimang cucu mereka, Excel, mereka tak bisa menutup telinga."Ternyata dengan menggelar pesta pun takkan membuat orang lain kagum, justru makin mengumpulkan orang untuk membicarakan aib pengantin," ucap Lani berbisik pada suaminya."Bener, Lani. Mereka kan nggak kenal aku sama Rey, hinggah mereka enak aja ngobrol soal yang kini berdiri di pelaminan dengan tak melihat kami yang makan sambil memperhatikan mereka. Bener kan, Rey?""Apa?""Rey, kamu ini gimana sih, dari tadi kita ngomong banyak hal, kamu cuma merhatiin Mira saja," timpuk Alzam yang merasakan beban yang ditanggung nenek juga tan
Pesta pernikahan Agna dan Arhand digelar megah di ballroom hotel bintang lima. Bunga mawar dan lili putih mendominasi dekorasi, sementara lampu-lampu gantung kristal menciptakan kilauan mewah di setiap sudut ruangan. Musik alunan saxophone dari panggung utama melantun lembut, menyambut para tamu undangan yang datang berbusana formal nan elegan.Agna duduk di pelaminan, mengenakan gaun rosegold berpotongan longgar berhias renda halus dan mutiara kecil yang dijahit tangan. Hijab satin senada melingkupi rambutnya, sementara riasan wajahnya natural dan lembut. Namun, sorot matanya tak sepenuhnya bahagia. Ia mencoba tersenyum pada setiap tamu yang menyalami, meski jauh di dalam dadanya, ada sesak yang tertahan. Sejak bertemu dengannya, keluarga Arhand tak menampakkan keramahannya. Manda bahkan sering berpaling saat dia menatapnya. "Baru juga di sini mereka seperti ini. Bagaimana jika aku nanti jadi ikut ke sana? Bahan aku seolah tak membawa apa-apa. Apa yang bisa aku lakukan untuk menghad