"Mama!" Panggil Naya yang berlari dari dalam sekolah.Gadis kecil itu memeluk kaki Renata erat, seolah ingin menyalurkan rasa rindunya yang teramat. Wajahnya berseri begitu kepalanya mendongak hanya untuk melihat wajah Renata. Bibirnya tersenyum lebar menampilkan deretan gigi putihnya yang rapi."Mama, Naya kangen sekali." Ujar Naya lagi.Renata tak bisa jika tak tersenyum, dengan lembut ia melepas pelukan Naya pada kakinya. Kemudian mensejajarkan tingginya dengan Naya, tangannya mengusap kepala gadis kecil itu sayang. Mengatakan bahwa ia juga rindu pada Naya dan merasa bersalah karena kemarin pergi tanpa berpamitan."Mama juga rindu Naya. Kok matanya sembab, Naya habis menangis?" Tanya Renata.Saat menyadari mata Naya sedikit sembab dan wajahnya yang sayu. Perempuan itu tanpa menunggu jawaban Naya berangsur menarik tubuh kecil itu, merengkuhnya dalam pelukan hangat. Tanpa ia sadari, Naren yang berdiri tepat di sebelahnya tersenyum tulus melihat interaksinya dengan Naya. "Naya menang
"Naya tunggu di sini saja ya, biar Mama yang memasak." Setelah kurang dari satu jam berbelanja, mereka segera pulang ke apartemen Renata. Ini kali pertama bagi Naren masuk ke dalam tempat tinggal kecil Renata. Jelas sangat berbeda dengan tempat tinggalnya yang besar luar biasa. Matanya tak lepas dari seisi penjuru tempat ini, sedikit tidak percaya jika perempuan itu benar-benar hidup secukupnya. Tidak ada banyak perabotan di dalamnya, dapurnya terlihat dari ruang tamu, hanya ada satu kamar tidur dengan kamar mandi di luar. Namun, Naren akui tempat tinggal Renata terasa begitu hangat dan nyaman, semua barangnya ditata rapi membuat sepetak tempat tinggal ini tidak terlihat sempit."Aku mau lihat Mama masak, pliss." Lamunan Naren terpecah begitu mendengar rengekan putrinya, gadis kecil itu berjalan membuntunti Renata yang berangsur menuju dapur membawa semua bahan masakan. Gadis kecilnya terlihat sangat manja, terlihat sangat antusias mengikuti Renata ke dapur untuk melihat perempuan i
Siang telah berganti malam, itu artinya Naya dan Naren sudah seharusnya pulang. Tapi pasangan ayah dan anak itu justru masih berdiam diri di apartemen Renata dengan nyaman. Tanpa rasa peduli jika si pemilik tidak nyaman dengan keberadaan mereka, lebih tepatnya keberadaan Naren.Laki-laki itu terus menatap Renata tanpa jeda, semua aktivitas perempuan itu tak luput dari pandangan Naren. Interaksi-interaksi Renata dengan Naya jelas membuat Naren tak mampu bicara, kedua perempuan beda generasi itu terlihat sangat cocok menjadi ibu dan anak. Keduanya sedikit mirip dan Renata mampu mengimbangi semua kelakuan putrinya."Naya, browniesnya Mama letakkan di dalam paper bag ya." Kata Renata.Perempuan itu memasukkan sekotak wadah berisi brownies buatannya tadi sore ke dalam paper bag. Lalu membawa paper bag itu untuk diberikan kepada Naren. Agar lelaki itu tidak lupa membawanya saat akan pulang, dan Renata berharap lelaki itu segera membawa Naya untuk pulang. "Iya, Mama, terima kasih, ya." Jawab
"Papa, kapan Papa dan Mama akan menikah?" Celetuk Naya memecah keheningan malam.Naren yang sedang menyetir menoleh sejenak ke arah putrinya yang duduk di jok sebelahnya. Kali ini Naya sama sekali tidak menangis saat di ajak pulang ke rumah karena Naren beralasan jika Naya ingin segera melihat papa dan mama menikah maka ia harus pulang dan tidak menangis. Dengan rasa sedikit kesal Naya akhirnya menurut tanpa menangis."Hmm mungkin bulan depan, kenapa?""Lama sekali, apa tidak bisa minggu depan saja? Naya sudah tidak sabar ingin tidur bersama Mama setiap hari." Rajuk Naya yang membuat Naren tertawa pelan."Kalau ingin cepat Naya harus membantu Papa.""Membantu apa, Papa? Naya mau!" Jawab Naya cepat.Tubuhnya yang bersandar kini berubah condong ke arah Naren, sudah tidak sabar ingin tahu apa itu. Membuat Naren terkekeh di sela kegiatannya menyetir mobil, tingkah Naya sungguh menggemaskan di matanya. Jalanan Surabaya malam ini terasa sangat lengang, tidak seperti malam-malam biasanya yan
Renata termenung dalam lamunannya, pagi ini perempuan itu merasa enggan untuk bekerja. Ia meringis saat mengingat keputusannya semalam. Bagaimana bisa dia setuju menikah dengan Naren tanpa adanya rasa tulus dan cinta. Renata pikir dia sudah gila karena berani-beraninya senekat itu.Tubuhnya sudah rapi berbalut pakaian kerja, seharusnya Renata segera berangkat sebelum jam semakin siang atau dia harus rela tertinggal bus. Entah apa yang membuat perempuan itu ragu untuk berangkat ke kantor, apakah ia takut saat sampai di kantor tiba-tiba bertemu Nawes? Atau ia canggung bertemu dengan Naren? Namun suara bel membuat lamunan perempuan itu buyar, dengan tergesa beranjak untuk membuka pintu. Wajahnya yang terkejut terlihat kentara lantaran saat ia membuka pintu sudah ada Naren yang berdiri di depan unitnya. Laki-laki itu tersenyum lebar saat menatapnya dan laki-laki itu sendirian. Tidak bersama Naya yang justru membuat Renata lebih terkejut."Selamat pagi, Renata." Sapa Naren."Pa-pagi, Pak.
Kini keduanya berada di toko perhiasan, seperti kata Naren yang akan membawanya untuk mencari cincin pernikahan. Mereka sepakat untuk tidak mengadakan acara pertunangan dan langsung menikah saja. Sudah ada beberapa jenis cincin di hadapan keduanya, dari yang elegan hingga yang terlihat begitu mewah. Membuat Naren bimbang harus memilih jenis cincin mana yang terlihat paling bagus saat dipakai Renata karena semuanya pasti terlihat cantik di jari lentik perempuan itu."Yang sederhana saja, Mas." Putus Renata menarik atensi Naren.Panggilan itu masih terasa canggung, sebab beberapa jam yang lalu Naren masih bosnya. Tapi sekarang laki-laki itu menjadi calon suaminya. Ini masih terlihat tidak nyata bagi Renata."Yang biasa? Kau suka yang mana, aku menurut saja." Balas Naren karena semua bentuk cincin untuk laki-laki terlihat sama saja desainnya."Aku yang memilih?""Iya, kan kau yang akan memakainya."Renata mengangguk samar sebelum kembali memusatkan atensi ke beberapa cincin di hadapannya
"Papa kenapa lama sekali sih?! Naya kan mau cepat-cepat ketemu Mama!" Cecar Naya yang baru masuk ke dalam mobil.Di bangku kemudi Naren terkekeh melihat putrinya yang merengut marah. Bibir kecilnya mengerucut serta tatapan matanya tajam ingin menusuk. Tapi bukannya takut atau merasa bersalah, Naren justru semakin terkekeh karena putrinya terlihat sangat lucu."Maaf sayang, Papa harus menyelesaikan beberapa urusan dulu. Naya mau kan memaafkan Papa?" Tanya Naren yang kini sepenuhnya menghadap Naya."Tidak mau! Naya marah sama Papa. Biasanya Papa datang jam 12 tepat, kenapa hari ini telat 30 menit? Naya sudah lapar ingin makan!" Omel Naya yang terlihat benar-benar marah."Yahh... Naya tega dengan Papa? Padahal Papa sudah memesan tempat di restoran favorit Naya. Rencananya Papa ingin membawa Naya untuk makan siang di sana, tapi karena Naya tidak mau memaafkan Papa yasudah tidak jadi." Pasrah Naren yang pura-pura kecewa.Diam-diam Naren memperhatikan raut wajah putrinya yang berubah menyes
"Dari aku kecil hingga dewasa, aku tinggal di sini. Ya begini lah lingkungan tempat tinggal kami, berbeda dengan lingkunganmu, Mas."Renata tersenyum tipis saat Naren tidak berhenti memperhatikan bangunan rumah tua tempat tinggalnya dulu. Ya, sekarang mereka berada di panti asuhan tempat asal Renata. Mereka sudah berada di sini sejak sore hari hingga petang menjelang.Kedatangan Naya dan Naren disambut baik di panti, bahkan Naya cepat akrab dengan anak-anak seusianya. Mereka berkenalan dan mulai bermain bersama hingga kelelahan, Naya yang tidak memiliki banyak teman merasa sangat senang saat bertemu anak-anak panti. Begitu pula Naren yang sudah bertemu dengan bu Mirna dan memberi tahu tentang pernikahannya dengan Renata.Wanita paruh baya itu jelas sangat terkejut namun juga sangat bahagia mendengar kabar itu. Selama ini bu Mirna tidak pernah tahu jika Renata dekat dengan laki-laki, perempuan itu juga tidak pernah mengenalkan seorang teman laki-laki padanya, tapi hari ini tiba-tiba da