Share

07

"Jangan melepaskan pelukanmu, Ron," pinta Rani. Ron menjadi serba salah, bagaimana dia bisa berada di tengah situasi seperti ini. Sebagai seorang laki-laki sulit baginya menahan keinginan naluriahnya. Rani semakin merapatkan dirinya ke tubuh Ron. Ada kenyamanan tersendiri saat mencium aroma maskulin yang menguar dari tubuh sahabatnya. Pikiran Rani melayang, membayangkan kedekatan dua anak manusia yang saling berbagi kasih lewat sentuhan nyata.

"Apa kamu tidak suka ku peluk?" tanya Rani.

"Ah, itu ... ak- aku ...."

"Kamu kenapa? Bukankah hal seperti ini sudah menjadi kebiasaan kalian?"

"Tapi kamu it,-"

"Aku kenapa? Bukankah seperti ini para wanita jalang di luar sana menggoda pria seperti kalian?"

Rani menarikan jemari tangannya di dada Ron yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Meskipun terhalang oleh kaos yang dikenakan pria itu. Namun, sensasinya membuat Ron harus menahan nafasnya.

"Kenapa Ron? Kenapa harus Angela? Apa karena dia lebih cantik?" tanya Rani dengan nafas memburu menahan ledakan emosi.

"Apa karena aku selalu menahan diri untuk tidak menjadi jalang sepertinya?"

Rani menatap manik kecoklatan milik Ron Ibrahim. Mereka begitu dekat dan intim. Ron bisa menghirup wangi strawberry dari tubuh Rani yang ada di sampingnya. Sejenak pikiran liar Ron membuatnya menggerakkan tangannya untuk mengusap bibir Rani yang begitu menggoda.

Rani membiarkan itu terjadi.

"Ajari aku menjadi seperti mereka."

Ron tersentak. Dia memalingkan wajahnya menatap ke luar kaca mobil. Melihat lalu lalang kendaraan di jalanan. Mereka terdiam selama beberapa menit. Rani dengan rasa frustasinya dan Ron dengan kebingungannya.

Rani yang sedang dikuasai amarah dan kecewa semakin merapatkan tubuhnya. Dengan gerakan kaku wanita itu ingin mendudukkan dirinya di pangkuan Ron. Tentu saja Ron menolak. Pria itu masih sedikit waras untuk tidak menuruti kemauan gila Rani.

"Kamu mabuk?" tanya Ron dengan lembut.

Rani menggelengkan kepalanya. Sepertinya pertanyaan Ron sedikit menyadarkan gadis itu. Kinii dia beringsut menjauh, wajahnya memerah menahan malu.

"Sebaiknya kita meneruskan perjalanan kita," kata Ron.

"Tidak perlu. Antar aku ke villa merah." Titah Rani tak ingin dibantah. Ron melirik ke ponsel yang dipegang oleh Rani.

"Aku sudah mematikan GPS di ponselku."

"Kok kamu tahu?"

"Aku tidak sebodoh itu," jawab Rani terdengar santai.

"Azlan tidak akan berhenti mengekang diriku, kamu tahu itu bukan?"

Ron mengangguk.

"Jika dia bisa mempermainkan aku, kenapa aku tidak boleh mempermainkannya?"

"Apa maksudmu, Rani? Jangan gila!"

"Aku tidak bisa hidup seperti ini terus menerus. Berada dalam bayangan Angela."

"Kamu masih bisa untuk bertahan hanya sampai selesai kontrak," kata Ron memberi saran.

"Aku tidak bisa menahan diri lebih lama lagi," kata Rani.

"Apa maksudmu?"

"Aku harus segera hamil , agar orang-orang menyangka itu anak kami berdua."

"Ron tidak akan mengampunimu."

"Aku tidak peduli. Cepat kita pergi ke villa merah. Aku akan menjadi seperti wanita lainnya."

Ron mengumpat dalam hati. Bukan inginnya terjebak dalam situasi ini. Rani adalah sahabatnya, apakah dirinya bisa dan tega mengambil harta paling berharga yang Rani punya?

"Jika kamu tidak mau, aku bisa meminta orang lain," Rani berkata penuh ancaman.

"Jangan! Kita akan pergi ke Villa merah sekarang." Ron menyetujui permintaan Rani.

Dia pun segera menjalankan kembali mobilnya menuju tujuan Rani.

Rani tersenyum misterius. Wanita polos yang tidak pernah berbuat macam-macam itu ingin sekali membalas dendam pada keluarga Bagaskara. Menyadari bahwa dia tidak punya apa-apa, menyerang perasaan lawan adalah hal yang paling bisa dipikirkannya saat ini. Tidak peduli bagaimana hasilnya nanti.

Ron mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang. Mereka berdua menuju Villa merah yang terletak di daerah Bogor. Perjalanan sekitar tiga jam mereka tempuh.

"Ponselmu begitu berisik, Ron."

Ron mendesah gusar. Itu pasti Azlan, batin Ron.

"Boleh aku bantu angkat?"

Rani sudah menebak itu Azlan, karena ponselnya sengaja dia matikan. Tentu pria menyebalkan itu menghubungi Ron.

"Halo, Ron."

Teriak Azlan keras. Terpaksa Rani menjauhkan benda pipih itu dari telinganya.

"Aku belum budeg, Azlan!"

"Kenapa kamu yang mengangkat telpon milik Ron?"

"Tenanglah, dia terlalu lelah."

"Di mana kalian saat ini?"

"Ups, tolong pelankan suaramu Azlan! Ron kelelahan."

"Jangan menguji kesabaran ku, Maharani!"

"Aku dan Ron sedang menikmati hari berdua, jangan menggangguku."

Tanpa permisi Rani mematikan panggilan.

Ron menatap sahabat sekaligus mantan kekasih sahabatnya. Banyak sekali pertanyaan yang ingin dia tanyakan. Namun, semua hanya berhenti di kerongkongan. Ron menghela nafas berat.

"Apa yang kamu rencanakan, Rani?"

"Rasa sakit."

"Berhentilah, tidak perlu memperpanjang urusan dengan Bagaskara."

"Tidak, sampai Azlan mengaku kalah," jawab Rani.

Mobil masih membelah jalan raya, kali ini Rani memandang ke luar kaca mobil. Sesekali dia menyenandungkan lagu kesukaannya.

Persetan dengan segala kepolosan dan kehormatan yang dia jaga. Jika pada akhirnya dia dipecundangi oleh Azlan.

Rani meyakinkan hatinya untuk menjerat Azlan. Dia akan membuat pria itu menangis darah telah berani menyakitinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status